Pancasila dan Ajaran Agama, Tidak Saling Bertentangan

Sumber Foto: https://jatim.nu.or.id/rehat/pancasila-tidak-bertentangan-dengan-syariat-islam-0SzWR

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Pancasila bersumber pada nilai-nilai luhur bangsa yang telah berkembang sejak dahulu. Atau dengan ungkapan lain, Pancasila adalah kristalisasi nilai-nilai luhur yang disepakati bangsa kita, untuk dibakukan menjadi pegangan hidup bersama. Pengalaman bangsa kita dalam kehidupan kerohaniannya telah membawa kekayaan luar biasa besarnya, baik dalam volume kegiatan yang ditimbulkan maupun dalam perangkat kelembagaan yang mengarahkan dan mewadahi semua kegiatan itu. Perangkat kelembagaan itu ada yang berbentuk agama sebagaimana masing-masing sampai ke tanah air kita, namun ada juga yang berbentuk spiritualitas/kerohanian yang tidak langsung berkait dengan salah satu agama yang berkembang di kawasan ini.

Beberapa ilustrasi dapat dikemukakan mengenai bentuk luar yang diambil berbagai agama setelah sampai ke bumi nusantara. Agama Kristen, misalnya, sampai kemari dalam bentuk yang sepenuhnya berwatak Eropa, mulai dari nama kecil (first name) pemeluknya hingga kepada bentuk arsitektur Gothik yang menjadi corak utama bangunan peribadatannya, dari gereja kecil di pedalaman hingga katedral di kota-kota besar. Namun ternyata, Indonesianisasi bentuk arsitektural gereja-gereja telah berlangsung dengan kecepatan mengagumkan, bahkan proses itu telah mewarnai juga beberapa aspek dari kebaktian sebagai manifestasi peribadatan utama.

Di kalangan umat beragama Islam, perkembangan yang sama telah terjadi sejak awal masuknya agama tersebut ke kawasan Asia Tenggara. Di Minangkabau kaum muslimin masih menggunakan hukum adat dalam keluarga yang bersangkut-paut dengan pembagian harta warisan, walaupun jelas berbeda dengan ketentuan hukum Islam lama (fiqh) yang menentukan hak anak lebih besar dari istri orang yang meninggal dunia dan hak anak lelaki lebih besar dua kali lipat hak anak perempuan. Di kalangan masyarakat Jawa berlaku pembagian harta menjadi dua bagian, dengan sebagian menjadi istri atau suami orang yang meninggal dunia, sedangkan sisanya yang separuh lagi baru dibagi habis dengan sistem warisan secara fiqh. Hal yang sama dilakukan juga oleh para ulama Banjar, terutama Tuan Guru Arsyad dalam abad yang lalu, mengikuti sistem adat hukum Perpantangan.

Dapat dikemukakan contoh lain yang paling mudah dilihat, yaitu kasus kaum santri Jawa, yang menghormati hari-hari tertentu untuk melakukan peribadatan tambahan, seperti Kamis Kliwon atau Ahad Wage, sesuatu yang di negeri asalnya juga tidak ada. Penyerapan sebagian sistern nilai masyarakat Jawa dilakukan begitu jauh, sehingga sulit dibedakan mana yang benar-benar aspek budaya Jawa dan mana yang ajaran Islam.

Di kalangan masayarakat Bugis, berkembang sistem nilai yang disebut panggadereng, yang antara lain memasukkan unsur sara’ ke dalam dirinya, yang tidak lain adalah pengambilan dari fiqh Panggadereng yang mengandung bentuk fiqh dalam bentuk sara’ dibela matia-matian oleh masyarakat Bugis dengan kode etik kehormatan yang dinamai siri’. Tindak kekerasan akan diambil, bahkan nyawa hilang untuk menerapkan kode etik tersebut.

Baik agama maupun pengalaman kerohanian di luar dinding agama pada dasarnya memberikan bekas sangat mendalam pada diri pemeluk dan/atau penghayatnya, karena masing-masing merupakan pengalaman pribadi yang intens, yang hanya dapat dirasakan keharuannya oleh yang menjalani saja. Tidak ada ukuran obyektif untuk menilai keharuan rasa berpengalaman kerohanian, karena pengalaman seperti itu sangat ditentukan oleh rasa menyatu yang diperoleh pribadi yang bersangkutan dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Apakah itu Allah, Yesus Kristus, Sang Hyang maupun lain-lainnya, sesuatu yang berada di luar diri itu dirasakan sebagai sesuatu yang sangat menentukan arah, isi dan bentuk kehidupan pribadi yang menjalaninya. Apakah itu meditasi penuh seorang penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, seorang sufi yang sedang berkhalwat maupun pastur yang sedang menjalanı retret, pengalamsn itu amat bersifat subyektif. Sehingga tidak mungkin dapat dihayati orang lain, apalagi yang berbeda agama. Amun di balik subyekyifitas yang begitu massıf jangkauannya, ia merupakan sebuah obyektivitas tersendiri, berupa dalamnya kesadaran manusia Indonesia sejak dahulu akan kehadiran Tuhan Sang maha Pencipta.

Adanya sesuatu yang demikian mutlak dan menentukan kedudukan itu, mau – tidak mau lalu memberikan bekasnya sendiri dalam diri kita. Bekas yang utama adalah keterlibatan kita kepada sesuatu yang Maha Luhur dan Maha Agung, yang menciptakan kita semua. Karenanya, tidak heranlah jika gugusan pengalaman pribadi bangsa kita dari zaman ke zaman, dalam kuantitas demikian banyak dan kualitas demikian beragam, akhirnya membawakan kesadaran akan sesuatu yang begitu agung dan luhur, sehingga memungkinkan para pendiri negara kita membuat rumusan “Ketuhanan Yang maha Esa”. Rumusan itu, yang sekarang kita kenal sebagai sila pertama Pancasila, merupakan pengentalam kerohanian kita bersama, dalam segenap perbedaan dan keragaman pengalaman antara sesama warga bangsa ini secara keseluruhan.

Kalau ditilik dari sudut pandangan di atas, maka sebenarnya Pancasila tidak bertentangan dengan ajaran agama, melainkan justru mewujudkan pengalaman beragama yang sudah berlangsung sekian lama itu, bersama-sama dengan pengalaman kerohanian yang tidak dapat dikaitkan langsung dengan satu agama manapun, dalam format yang dapat dijadikan landasan hidup bersama antara sesama umat beragama dan semua penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu.

Pancasila adalah “titik kesepakatan” yang paling fundamental dalam kehidupan beragama dan berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kenyataan sejarah menunjukkan, tanpa ada titik seperti itu, yang timbul adalah pertentangan antara umat beragama, baik dalam lingkup intern satu agama maupun lingkup berbagai agama. Ajaran agama yang menganjurkan kasih sayang, persaudaraan dan persahabatan, seringkali menjadi pertentangan oleh kepentingan untuk mempertahankan kelembagaan agama dan mengembangkannya. Dengan ungkapan lain, upaya untuk memuliakan, mengembangkan dan memperluas pengaruh suatu agama, justru sering menjadi wadah pertikaian dengan umat lain agama atau penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kita tidak boleh bermimpi bahwa tanpa ada “titik kesepakatan” segalanya akan berlangsung dengan damai. Apa yang terjadi dalam sejarah bangsa-bangsa lain, dan sekali dua kali terjadi dalam sejarah kita di masa lampau, menunjukkan pertentangan antara umat beragama dan/atau penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah deretan peristiwa yang memilukan hati bila diamati dengan hati yang terbuka dan jiwa yang jujur.

Sejarah bangsa kita menunjukkan, agar datang kemari secara damai sebagai bagian dari proses yang besar seperti perdagangan, pendidikan, hubungan budaya dan sebagainya. Proses serba damai itulah yang akhirnya melahirkan sebuah ujung perjalanan yang mulia, kesepakan untuk menjadikan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai salah satu sila dari falsafah hidup, ideologi negara dan landasan hukum kita secara tuntas.

Bertolak dari pengalaman-pengalaman masa lampau, dari penyerapan unsur-unsur pengalaman kerohanian pra agama oleh agama-agama yang sampai ke kawasan nusantara hingga ke penyerapan unsur-unsur agama oleh berbagai kepercayaan yang telah ada, bangsa kita akhirnya sampai pada bersejarah untuk merumuskan Pancasila itu.

Agama menjadi berbeda-beda penampilannya, ketika ditinjau dari berbagai sudut pandangan. Dari sudut pandangan kerohanian, agama adalah upaya pendekatan (taqarrub, komuni, manunggal) sejauh mungkin kepada Sang Maha Pencipta, tinjauan yang akhirnya melahirkan konsep agama sebagai peribadatan. Dari sudut pandangan budaya, agama adalah wahana pelestarian nilai-nilai kemanusiaan yang paling luhur, perwujudan keharuan seni paling halus dan murni. Dari sudut pandang politik, agama adalah aturan permainan yang paling adil dan paling bermakna.

“Kerangka idealistik” agama seperti itu merupakan memerlukan pelestarian agama sendiri bagi kepentingan masa depan bangsa dan negara kita. Pelestariannya dilakukan dengan jalan “membakukan” kehadiran agama dalam kehidupan bangsa dan negara, melalui Pancasila sebagai rumusan yang dijadikan sebagai pegangan hidup bersama.

Pada titik ini, agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak lagi dapat dibatasi atau ditinjau dari hanya sila pertama belaka, karena sikap seperti itu justru akan mengecilkan arti agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sila-sila lain haruslah digunakan dalam “satu kesatuan yang utuh dan bulat”, dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Hanya dengan kaitan organik seperti itulah, kehidupan beragama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dapat dikembangkan dalam keselarasan dan keseimbangan ‘dimensional’-nya, bukanhanya dimensi peribadatannya belaka yang menonjol dan dimensi-dimensi lain tertinggal jauh.

Kembali kita lihat bahwa Pancasila dalam kesatuan dan keutuhan sila-silanya yang paling mendukung dan mengisi, tidak bertentangan dengan agama melainkan justru memberikan kerangka pengembangan bagi dirinya. Dan seperti seuai kerangka apapun di dunia, baik moral maupun institusional, sudah tentu ada keterbatasan “ruang gerak” bagi materi yang diwadahinya.

Demikian pula dengan adanya Pancasila, mau tidak mau para penganut sebuah agama atau penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa harus mampu membatasi diri, tidak dapat bertindak semau-maunya hanya untuk keunggulan agamanya sendiri. Dituntut dari dirinya kesanggupan untuk memahami, mengerti, menghormati dan memberikan kebebasan kepada ekspresi kerohanian yang hidup satu nusa dan satu bangsa dengannya. Harga yang tidak terlalu mahal untuk dibayar, karena alternatifnya adalah pertentangan agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang akan menghancurkan kita semua dalam jangka panjang.

Di samping sikap tenggang rasa kepada pemeluk agama lain atau penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dituntut pula dari seorang warga negara untuk menerima konsekuensi dari keberadaan dalam negara dan bangsa yang menganut Pancasila sebagai falsafah hidup, berupa penerimaan atas hak Pancasila itu sendiri untuk menjadi sumber hukum bagi perundang-undangan. Agama adalah sumber moral bagi Pancasila. Dengan modal tersebut, ia akan memperhitungkan kepentingan agama secara universal dalam pembuatan undang-undang, namun memiliki independensi penuh untuk merumuskan undang-undang tersebut, melalui perasionalisasi mekanisme pembuatan undang-undang itu sendiri.

Dalam keadaan demikian, hukum agama berlaku secara moral, diikuti atas kesadaran umatnya tanpa ada formalisasinya oleh negara, kecuali jika memang bersamaan dengan bunyi undang-undang, seperti pasal-pasal Undang-undang No. 1/1974 yang dikenal sebagai UU Perkawinan. Hubungan yang terjadi antara agama, Pancasila dan umat beragama lalu menjadi sebuah segitiga tidak sebangun.

Agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa menjadi sumber moral, baik sebagai perumus semangat hukum dari suatu undang-undang bagi Pancasila maupun sebagai pembentuk hukum moral yang tidak berstatus undang-undang bagi para pemeluk (seperti kewajiban shalat lima waktu sehari semalam bagi kaum Muslimin). Sedangkan Pancasila, dengan mempedomani ajaran agama atau kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai dasar moral yang universal, menggerakkan mekanisme pembuatan undang-undang untuk membuat dan menyusunnya bagi kepentingan warga negara secara individu maupun kepentingan bangsa secara kolektif.