Pancasila Sebagai Ideologi dalam Kaitannya dengan Kehidupan Beragama dan Berkepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Sumber Foto: https://islami.co/bagaimana-hubungan-pancasila-dan-agama-agama/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Pancasila adalah kesepakatan luhur antara semua golongan yang hidup di tanah air kita. Namun, sebuah kesepakatan, seluhur apa pun, tidak akan banyak berfungsi jika tidak didudukkan dalam status yang jelas. Karenanya, kesepakatan luhur bangsa kita itu akhirnya dirumuskan sebagai ideologi bangsa dan falsafah negara. Ideologi bangsa, artinya setiap warga negara Republik Indonesia terikat oleh ketentuan-ketentuannya yang sangat mendasar yang tertuang dalam sila yang lima. Pandangan hidup dan sikap warga negara secara keseluruhan harus bertumpu pada Pancasila sebagai keutuhan, bukan hanya sekedar masing-masing sila. Sebagai falsafah negara, Pancasila berstatus sebagai kerangka berfikir yang harus di ikuti dalam menyusun undang-undang dan produk-produk hukum yang lain, dalam merumuskan kebijakan pemerintah dan dalam mengatur hubungan formal antara lembaga-lembaga dan perorangan yang hidup dalam kawasan negara ini. Tata pikir seluruh bangsa ditentukan lingkupnya oleh sebuah falsafah yang harus terus-menerus dijaga keberadaan dan konsistensinya oleh negara, agar kontinuitas pemikiran kenegaraan yang berkembang juga akan terjaga dengan baik.

Justeru dalam status sebagai ideologi bangsa dan falsafah negara inilah dirasa adanya tumpang-tindih antara Pancasila dengan sebagian sisi-sisi kehidupan beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa memiliki lingkup masing-masing yang berjangkauan universal, berlaku seluruh ummat manusia, sehingga terasa sulit untuk dibatasi hanya pada “sisi ke-Indonesia-an” belaka. Hal ini langsung tampak dalam upaya Pancasila untuk menekankan sisi kelapangan dada dan toleransi dalam kehidupan antara ummat beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Jelas setiap agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa memiliki visi eksklusivistiknya sendiri, di samping visi universal yang mempersamakan semua agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dengan kata lain, wawasan Pancasila tentang kebersamaan antara agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak sepenuhnya sama dengan wawasan sekian agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang satu sama lain saling berbeda itu.

Dalam keadaan demikian banyak kalangan agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa melihat adanya keharusan bagi Pancasila untuk membatasi diri dalam batas-batas minimal untuk pengaturan kehidupan beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, Pancasila diharapkan berperan sebagai “polisi lalu lintas” kehidupan beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa belaka. Kesulitan yang dirasakan dalam mempertimbangkan ini adalah kenyataan, bahwa pengaturan lalu-lintas memerlukan aturan yang disepakati dan ditunduki bersama, dan itu berarti harus ada pihak yang membuat aturan itu. Fungsi Pancasila lalu jelas harus terwujud juga dalam membuat aturan permainan antara ummat beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dengan ungkapan lain, fungsi minimal itupun memerlukan batasan-batasan minimalnya sendiri, yang tidak boleh ditundukkan kepada kehendak agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri. Tugas kita sebagai bangsa saat ini justeru adalah menemukan garis batas yang jelas, mana yang wewenang Pancasila tanpa menganggu kebebasan beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sebuah contoh dapat dikemukakan dalam hal ini. Agama Islam mengajarkan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar di sisi Allah. Karenanya, banyak kalangan kaum muslimin yang tidak dapat menerima adanya persamaan agama (umumnya tertuang dalam pernyataan bahwa “semua agama adalah sama”). Kalau Pancasila memaksakan persamaan mutlak seperti tergambar dalam pernyataan di atas, tentunya independensi Islam sebagai agama lalu menjadi terganggu. Sebaliknya, jika Pancasila mampu menemukan titik temu dalam pandangan yang saling berbeda itu, dengan sendirinya ia berperan menjadi jembatan penghubung tanpa mengganggu kedaulatan theologis masing-masing. Rumusan seperti “semua agama diperlakukan sama dimuka Undang-undang dan diperlakukan sama oleh negara” mungkin akan lebih mengena dalam hal ini.

Gambaran posisi Pancasila seperti dikemukakan di atas, dengan sendirinya lalu membawakan ketegangan kreatifnya sendiri bagi (dan dalam) kehidupan bangsa kita. Tidak selayaknya hal itu dicoba untuk ditutup-tutupi dengan rumusan-rumusan kabur yang menjauhkan kita dari inti persoalan adanya berbedaan antara wawasan Pancasila dan wawasan agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sikap untuk menonjolkan konvergensi wawasan dan menutup-nutupi divergensi pandangan antara Pancasila dan agama-agama yang ada dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa justeru akan mengaburkan posisi strategis Pancasila dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Dalam upaya mengenal divergensi pandangan antara Pancasila di satu pihak dan agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu, dalam uraian selanjutnya akan dikemukakan beberapa titik strategis yang memerlukan pemecahan. Pengenalan masalah terlebih dahulu harus dilihat dari latar belakang yang berbeda-beda antara agama yang saling berlainan. Karenanya, pada hakekatnya Pancasila harus difungsikan dalam proses memahami wawasan terjauh dari agama-agama yang ada dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pengertian kata “Esa” yang digunakan baik dalam Pancasila maupun dalam Undang-Undang Dasar 1945, tentunya akan difahami secara berlainan oleh agama yang saling berbeda itu.

Sisi lain dari masalah ini adalah kenyataan, bahwa titik divergensi antara wawasan Pancasila dan pandangan agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ternyata berbeda dari satu ke lain agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Bagi agama Nasrani (Katholik dan Kristen), masalah pokok yang dihadapi dalam kaitannya dengan Pancasila terletak pada titik kelembagaan. Benarkah Pancasila merupakan sumber dari segala sumber, dalam artian meniadakan tempat gereja sebagai sumber keputusan keagamaan ?. Jawabannya tentu tergantung pada hingga dimana batas keputusan keagamaan dapat diterima. Gereja harus menentukan sikap keagamaan, namun yang memiliki dimensi serba bagai (termasuk dimensi politik), tetapi dimanakah dimensi-dimensi tu harus disesuaikan dengan rumusan formal yang dibuat oleh negara, semisal Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)?. Karena hal inilah penerimaan kalangan agama Nasrani atas gagasan penefimaan asas tunggal Pancasila yang dilontarkan Presiden/Mandataris MPR-RI dicapai hanya setelah melalui pembahasan sangat alot, baik secara internal maupun dengan pihak pemerintah. Masalah pokoknya adalah yurisdiksi Pancasila sebagai ideologi bangsa dan falsafah negara atas gereja, haruskah ia menghilangkan hak-hak gereja dan ummat untuk menentukan keputusan keagamaannya sendiri?. Setelah para pemimpin gereja yakin dengan tetap utuhnya kedaulatan theologis masing-masing secara internal, barulah penerimaan atas Pancasila sebagai satu-satunya asas dapat dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab.

Kasus di atas justeru tidak menjadi persoalan di kalangan kaum muslimin. Islam tidak mengenal pembedaan antara wewenang kenegaraan dan wewenang keagamaan. Karenanya, secara kelembagaan Islam justeru mengundang peranan negara dalam kehidupan kaum muslimin. Semakin banyak soal ummat Islam diurus oleh pemerintah, semakin baik menurut sudut pandangan ini. Masalah yang timbul justeru adalah tentang orientasi yang dimiliki oleh langkah-langkah yang diambil negara. Akankah status Pancasila sebagai “sumber segala sumber” berarti Pancasila bebas menggantikan ajaran-ajaran agama yang sudah baku dengan sesuatu yang tidak bersesuaian dengan ajaran Islam?. Jika itu terjadi, bukankah berlaku sekularisme, sesuatu yang secara mutlak ditolak oleh ajaran Islam ?. Ajaran-ajaran Islam telah dikongkretkan menjadi hukum-hukum agama (fiqh), haruskah warisan demikian berharga itu dibuang begitu saja. Untuk digantikan oleh Pancasila dengan hal-hal lain yang diambil dari ‘luar’ ?. Sedangkan Allah berfirman “Barang siapa menghukumkan tidak dengan apa yang diturunkan Allah, orang itu (termasuk kaum) zalim”. Bagaimana tidak langsung sekalipun penggunaan ajaran agama sebagai referensi bagi Pancasila, Islam harus diupayakan menjadi nilai-nilai dasar yang ditarik dari Pancasila dan UUD 1945. Penerimaan atas Pancasila sebagai satu-satunya asas oleh berbagai komponen gerakan Islam baru dapat dilakukan oleh kesemua organisasi, setelah ada kejelasan sikap pemerintah sendiri terhadap Pancasila. Pancasila bukanlah agama, tidak akan diagamakan dan tidak berfungsi menggantikan (kedudukan) agama. Dalam rationale yang diajukan oleh kalangan ulama dijelaskan, bahwa Pancasila secara kualitatif berbeda dari agama, karena ia tidak diturunkan sebagai wahyu. Dengan demikian, ia tidak memiliki dimensi keakhiratan, sehingga semua produk hukum dan tindakan yang didasarkan atas Pancasila hanyalah merupakan sesuatu yang duniawi semata-mata. Secara teoritik, status Pancasila sebagai satu-satunya asas, sebagai ideologi bangsa dan falsafah negara, tidaklah mengancam supremasi theologis dari kebenaran yang dibawakan oleh agama. Dengan ungkapan lain, Pancasila tidak dapat dibandingkan (baik disejajarkan maupun dipertentangkan) dengan agama, karena ia tidak memiliki sisi keberadaan dirinya sebagai kebenaran mutlak, sesuatu yang dimiliki oleh agama.

Pemahaman yang demikian atas status Pancasila dalam kehidupan bangsa sebenarnya merupakan sesuatu yang masih problematik. Dalam kasus perkawinan berlainan agama, misalnya, jelas Islam menentang perkawinan antara wanita muslimah dengan pria non-muslim, sesuai dengan perintah Al-Qur’an. Bukankah Pancasila harus menjawab pertanyaan apa pandangannya tentang keputusan agama seperti itu. Akan dilarang untuk seterusnya, demi mengikuti ajaran yang sudah dibakukan dalam Islam itu, berarti mengabaikan kebutuhan akan pengaturan hal itu secara definitif, mengingat hal itu telah terjadi secara cukup luas dalam kehidupan masyarakat kita dewasa ini. Dengan adanya pengundangan hukum waris Islam melalui Undang-Undang Peradilan Agama (UUPA) yang akan disyahkan tidak lama lagi, lalu timbul kebutuhan akan kepastian hukum anak yang dilahirkan dalam perkawinan campur agama itu akan diselesaikan urusan pewarisannya melalui hukum Islam atau hukum Barat. Dengan demikian akan timbul pula kebutuhan untuk memperkenankan perkawinan antara pasangan yang berlainan agama itu. Dalam keadaan demikian, kaum muslimin akan dihadapkan kepada sesuatu yang sama peliknya dengan apa yang dihadapi para pemimpin gereja ketika harus mengambil keputusan tentang asas Pancasila di tahun 1984-1985 itu.

Dengan melihat apa yang telah dikemukakan, dan mengenal hubungan problematik antara Pancasila sebagai ideologi bangsa dan falsafah negara (yang mengejawantah dalam bentuk asas tunggal dalam kehidupan berorganisasi) di satu pihak dan agama-agama dan kepercayaan yang ada terhadap Tuhan Yang Maha Esa, baru dapat dikembangkan pemikiran untuk mencari nilai-nilai dasar bagi kehidupan bangsa kita. Sebenarnya sudah tidak relevan lagi untuk melihat apakah nilai-nilai dasar itu ditarik oleh Pancasila dari agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, karena ajaran agama-agama juga tetap menjadi referensi umum bagi Pancasila, dan agama-agama harus memperhitungkan eksistensi Pancasila sebagai “polisi lalu-lintas” yang akan menjamin semua pihak dapat menggunakan jalan raya kehidupan bangsa tanpa kecuali.

Jika itu yang terjadi, artinya Pancasila bersikap netral dan tidak memenangkan pihak manapun di antara agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berkembang di negeri kita, maka tidak akan muncul persoalan apapun. Namun, sebaliknya dapat pula terjadi keadaan rawan jika ada keluhan tentang pemberian konsesi terlalu berlebih kepada satu pihak saja, seperti dirasakan kaum Katholik dan Kristen sehubungan dengan pengajuan RUU-PA (Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama) ke Dewan Perwakilan Rakyat, yang dianggap memberikan perlakuan istimewa dan tersendiri kepada kaum muslimin, atas kerugian kaum non-muslimin.

Agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa akan tetap saling berbeda, baik secara kelembagaan maupun orientasi kehidupannya. Namun, di balik perbedaan-perbedaan itu, secara keseluruhan agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tetap mengembangkan sejumlah pandangan yang bersifat universal. Tekanan pada kejujuran (baik sikap maupun perilaku), keikhlasan dan ketulusan dalam sikap dan tindakan, tekanan pada sisi keakhiratan dan keduniawian dalam porsi cukup seimbang, dan sejumlah hal-hal lain yang mendasar dapat ditarik dari agama-agama yang ada dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal ini lalu dapat dilakukan inventarisasi sejumlah etos tertentu yang dianggap disepakati bersama, untuk dijadikan landasan seterusnya.