Pandangan Kita Harus Historis

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Beberapa hal dapat dikemukakan dalam kesempatan ini. Pertama, sejarah Islam telah menunjukkan kepada kita bahwa dalam meninjau perkembangan sejarah, selalu kita dapati bahwa responss kaum muslimin terhadap tantangan-tantangan dari luar selalu mengambil salah satu dari dua sudut pandang.

Pertama dari sudut pandangan kultural/ budaya, yang menunjukkan dengan jelas pertalian antara Islam dan sejarah. Umpamanya kelahiran Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Ia bermula dari keputusan para ulama fiqh (hukum Islam) pada abad ke-5 Hijriyah (abad ke-12/ke-13 M) yang memutuskan ziarah kubur dilarang dan ada yang berpendapat sebaliknya. Dari mereka yang melarang ziarah kubur, untuk gampangnya, lahir orang-orang Muhammadiyah. Kebalikan dari itu, alias dari mereka yang memperkenankan ziarah kubur, lahir NU.

Namun, sekarang ini banyak orang di Indonesia tidak memilih seperti NU atau ”lawannya”. Mereka adalah orang-orang Muhammadiyah yang senang ziarah kubur, atau orang-orang NU yang belum pernah ziarah kubur. Dengan kata lain, timbul pihak ketiga yang secara gampang dapat dinamai ”Muhammadi-NU”, yaitu campuran antara keduanya. Contoh yang paling baik dalam hal ini adalah Dr. Ahmad Sugiat yang belakangan ini bahkan telah mengambil Syadziliyah, nama sebuah aliran tarekat sebagai ”induk semangnya”. Pilihan responsi yang lain adalah pendekatan kelembagaan atau institusionalisasi.

Dengan pendekatan ini, mereka melihat Islam dalam bahaya, karena itu ia harus diperkuat dengan berbagai cara, bahkan dengan menggunakan kekerasan dan lain-lain. Dilupakan pendapat fiqh, bahwa penggunaan kekerasan hanya dapat dibenarkan jika ada pengusiran atas diri kita dari rumah (idza ukhriju min diyarihim). Jadi, pada dasarnya penggunaan kekerasan adalah sesuatu yang berlawanan dengan hukum Islam. Kaum institusionalis melupakan hal ini dalam menyusun sikap sehari-hari. Beberapa tahun lalu, penulis makalah pengantar ini diundang oleh Harian Yumiuri Shimbun —waktu itu harian terbesar di dunia— untuk berdiskusi dengan Prof. Samuel P. Huntington di Tokyo, mengenai bukunya The Clash of Civilizations yang menggemparkan itu.

Buku itu memang menggemparkan karena berupaya mengonstruksi sejarah manusia pada saat ini. Padahal peradaban yang maju di Amerika Utara dan Eropa Barat sangat berbeda dari peradaban-peradaban negara-negara yang umumnya dianggap sebagai negara sedang berkembang (developing countries). Penulis mengatakan padanya bahwa dia adalah ahli mengenai pohon Islam, pohon Kristen dan pohon lain-lain. Tetapi mungkin ada baiknya dia melihat hutan sejarah manusia dari jauh,dengan mencoba melihat hutan itu secara keseluruhan. Jadi melihat hutannya, bukan pohonnya.

Di hutan Islam akan terlihat, setiap tahun ada ratusan ribu pemuda-pemuda muslim belanja di negeri-negeri berindustri maju. Walaupun mereka bukan orang-orang Barat seperti halnya penulis, tetapi oleh keadaan dia ”dipaksa” menjadi seperti Barat. Apa yang penulis utarakan kepada Profesor kita itu dibenarkan oleh beliau. Namun, ternyata dia kembali ke Harvard di Amerika Serikat dan mengeluarkan buku berikutnya dengan tetap menyatakan adanya perbenturan budaya (clash of civilizations). Jelaslah di sini, kejujuran merupakan komoditas yang sulit dicari walaupun di universitas-universitas terkemuka yang menjadi ”panutan”, di kalangan lembaga-lembaga ilmiah maupun di kalangan negara-negara yang selama ini dikenal sebagai negara-negara ”penentu”. Karena itu, penulis lalu teringat kepada ucapan Mao Zedong: mempelajari Islam sebagai objek studi, memerlukan sikap yang jujur dan kritis.

Masalahnya, hal itu tidak mudah dilakukan, karena itu perlu dikembangkan profesionalisme yang tangguh untuk mengerti Islam. Umpamanya, kita harus mendekati Islam sebagai objek studi, tidak secara literatur, melalui pemetaan perkembangan historis Islam itu sendiri. Umpamanya dengan melihat data-data empiris tentang keadaan umat Islam di seluruh dunia dewasa ini. Kita harus berani membuka bidang kajian baru, seperti halnya dengan masyarakat-masyarakat Islam di negeri-negeri Afrika sub-sahara. Ternyata, di kawasan itu perkembangan Islam jauh berbeda daripada di negeri asalnya, Arab Saudi. Sebab itu, penulis membagi seluruh kawasan Islam menjadi enam bagian.

Pertama, Islam di kawasan Afrika sub-Sahara. Kedua, Islam di Afrika Utara dan di masyarakat Arab. Ketiga, masyarakat Islam di kalangan masyarakat Turki/Persia/Afghan. Keempat, masyarakat Islam di Bangladesh, Nepal, Pakistan, India, dan Srilanka. Kelima, Islam di kalangan kawasan Asia Tenggara. Yang terakhir adalah Islam di kalangan masyarakat berindustri maju. Dengan melakukan kajian berbeda-beda antara keenam kawasan tersebut, kita telah menyingkirkan kemungkinan subjektivitas yang terburuk. Objektivitas seperti itu menuntut sikap konsisten dari orang yang melakukan kajian. Sikap tidak objektif akan segera membuktikan bahwa kita belum dewasa benar. Ini berarti kita masih harus mengenal diri kita sendiri dengan tuntas.

Inilah ciri utama dari kajian Islam, yaitu menggabungkan pendekatan yang bersifat spiritual dan yang mengenai masalah-masalah keduniawian. Hal pertama kajian itu adalah sisi spiritual dari Islam. Ketika sampai pada bahasan lebih mendalam, yang digunakan adalah sisi profan/hal-hal keduniawian. Jadi, di samping hal-hal akhirat juga dibahas masalah-masalah keduniawian. Dalil-dalil yang digunakan untuk kedua hal itu yaitu dalil-dalil naqli (skripturalis) untuk soal-soal spiritual dan dalil-dalil aqli (rasional) untuk soal keduniawian. Dengan cara yang bersifat dualistik inilah, Islam mempertahankan diri semenjak dahulu. Ini adalah yang wajar, bukan?