Pelajaran Berharga dari Argentina

Sumber Foto; https://www.wrbl.com/news/international/former-argentine-president-de-la-rua-dies-at-81/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Presiden Fernando de la Rua meletakkan jabatan dan ia diganti–untuk sementara waktu, oleh gubernur negara bagian yang ditunjuk oleh Congress hingga bulan Maret 2002. Pada waktu itu, akan diadakan pemilihan umum untuk menetapkan Presiden. Tidak jelas apakah Presiden sementara itu akan turut serta dalam pemilu tersebut, namun jelas bahwa Argentina akan mempunyai pemimpin baru secara definitif sebagai hasil kegiatan tersebut.

Presiden sementara tersebut, segera mengumumkan penghentian untuk sementara waktu pembayaran hutang-hutang luar negeri Argentina yang mencapai 132 milyar dollar Amerika. Tidak jelas, apakah Argentina memasukkan dalam perhitungan itu beban-beban lain, seperti bunga pinjaman uang, biaya obligasi nasional itu sendiri, dan lain-lain. Juga, tidak jelas pula berapa lama penghentian pembayaran hutang-hutang itu akan berlangsung dan kepada pihak-pihak mana saja Argentina berhutang. Yang pasti, penghentian sementara pembayaran hutang-hutang luar negeri itu dilakukan untuk menolong keadaan keuangan Argentina yang sangat memprihatinkan.

Hutang luar negeri sebesar itu, terjadi karena ulah para pemimpi Argentina dari masa kepresidenan Juan Peron, Evita Peron, dan Carlos Menem. Dalam hal ini, yang terjadi adalah penganakemasan rakyat Argentina untuk menikmati jasa-jasa dan barang-barang yang belum waktunya mereka nikmati, alias populisme murahan. Maka, sekaranglah saatnya membayar kemewahan itu dengan kebijakan ketat yang dibawakan oleh Presiden de la Rua. Rakyat Argentina, akhirnya, membangkang dengan akibat pemerintahan berhenti.

***

Kebijakan pemimpin baru Argentina adalah mementingkan rakyatnya, dengan risiko pemboikotan Argentina secara total. Impor Argentina terancam, demikian pula ekspornya. Dengan kata lain, reaksi dunia internasional dapat saja melumpuhkan Argentina. Namun, pemimpin baru Argentina ternyata memilih untuk mementingkan rakyatnya daripada menuruti kemauan lembaga-lembaga internasional maupun negara-negara lain. Dan, orang-orang di luar negeri itu tidak dapat berbuat apa-apa menghadapai sikap tersebut.

Sikap tersebut diambil, karena pemimpin baru Argrentina itu yakin rakyat negeri tersebut akan mendukungnya. Walaupun, tentunya, untuk masa-masa yang akan datang negeri itu akan lebih berhati-hati menggunakan uangnya, tidak untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan populistik. Bagaimana Presiden baru nanti akan mengubah orientasi ekonomi negara tersebut pada pemenuhan kebutuhan dan penciptaan pasaran dalam negeri masih harus dilihat. Tapi jelas, perubahan orientasi yang diakibatkan oleh krisis keuangan tersebut akan sangat besar.

Sekali lagi, apa yang dilakukan Presiden sementara Argentina itu sangatlah besar artinya. Hal itu dapat dilakukan karena kecintaan mendalam rakyat kepada dirinya. Perubahan besar dalam orientasi ekonomi hanya dapat dilakukan, kalau ada dukungan kuat pada pemerintahan–yang, sekaligus para pelaksana kebijakan Presiden bersatu dalam orientasi dan cara kerja mereka. Tidak seperti di negeri kita, ketika Presiden dan Menteri Kehakiman dan Hak-Hak Asasi Manusia bertengkar secara terbuka di muka umum tentang siapa yang mengusulkan abolisi tanpa proses pengadilan atas diri Pak Harto.

***

Pelajaran pertama yang sangat penting dalam hal ini adalah, keberanian untuk menentukan sendiri apakah tanggungan luar negeri ditunda pembayarannya atau tidak. Tanggungan luar negeri Indonesia yang berjumlah lebih dari 700 milyar dollar Amerika, justru merupakan krisis lebih besar daripada yang dihadapi oleh Argentina. Kalau Argentina berani menghentikan sementara beban luar negerinya, mengapakah kita tidak? Baik kesiapan canggih untuk memperbesar produksi dalam negeri maupun untuk menciptakan pasaran setempat bagi pasaran produksi dalam negeri kita guna menghadapi boikot luar negeri.

Pelajaran kedua, pentingnya arti dukungan rakyat kepada pemimpin negara. Ini guna memungkinkan diambilnya tindakan drastis untuk benar-benar menghidupkan ekonomi rakyat. Apa pula untuk kawasan seperti negara kita yang sudah puluhan tahun terlalu banyak memperhatikan kepentingan para pengusaha besar, alias konglomerat. Hanya pemimpin yang mampu mendorong para konglomerat untuk memberi dukungan finansial bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang mampu memimpin negeri ini dari kehancuran di bidang ekonomi.

Pelajaran ketiga, keharusan saling pengertian yang mendalam atas keharusan melakukan perubahan orientasi ekonomi kita. Mereka yang telah gagal mencapai kesejahteraan merata bagi seluruh rakyat harus berani mawas diri dan mendukung upaya mengembangkan ekonomi rakyat yang sebenarnya. Dengan tidak perlu memusuhi usaha besar dan para konglomerat dalam melakukan perubahan orientasi tersebut, jelas bahwa UKM harus mendapakan prioritas utama guna memperoleh kredit berbunga murah dan fasilitas-fasilitas finansial lainnya. Hanya dengan cara itulah kita dapat melakukan upaya banting setir, guna menyelamatkan ekonomi kita. Persoalan ekonomi tidak terlalu penting hanya diserahkan kepada ahli-ahli ekonomi belaka, melainkan harus kita putuskan bersama. Di sinilah para politisi, TNI-POLRI berperan.