Pelita IV: Antara Cita dan Kendala Realisasinya – Sebuah Tinjauan Awal dari Sudut Politik
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Sidang Umum MPR tahun 1983 telah menghasilkan sebuah keputusan fundamental, yaitu untuk mempercepat laju pembangunan. Percepatan irama pembangunan itu dilakukan dengan jalan mempercepat tibanya saat lepas landas menuju masyarakat adil dan makmur, yaitu pada Pelita VI nanti. Untuk itu, Pelita IV yang dimulai tahun ini harus mengalami percepatan tempo pula, dirumuskan dalam ungkapan “Pelita IV merupakan rangkaian integral dengan Pelita V dan Pelita VI”. Salah satu indikator semakin cepatnya tempo pembangunan dalam Pelita IV itu adalah sasaran-sasaran dan alokası anggaran yang dirumuskan dalam RAPBN tahun 1984/85. Ini tak terelakkan, karena RAPBN adalah rencana pembangunan jangka pendek yang memantulkan irama Pelita sebagai “rencana pembangunan jangka menengah”.
Dari keinginan untuk mempercepat tibanya saat lepas landas menuju masyarakat adil dan makmur (yang diberi kualifikasi baru oleh pemerintah dengan ungkapan “berdasarkan Pancasıla”), dengan pencerminannya oleh perubahan tempo pembangunan dalam ketiga Pelita yang akan datang, terasa setelah kebutuhan untuk menjawab sejumlah pertanyaan. Yang terpenting adalah kejelasan tentang tolok ukur untuk menilai apa yang ingin diraih dalam Pelita IV, dan apakah sasaran itu cukup realistis? Dengan lain kata, diperlukan adanya tolok ukur untuk menilai keabsahan gagasan percepatan irama pembangunan.
Dapatkah digunakan tolok ukur pencapaian modernisasi? Kalau tolok ukur ini yang digunakan, maka harus dimengerti bahwa modernisasi sebagai sebuah proses telah mengalami pengepingan-pengepingan prismatik yang begitu dahsyat, sehingga praktis tidak koheren lagi sebagai sebuah “kerangka programmatik” bagi pembangunan kita. Apa yang berkembang sekarang adalah modernisasi yang menonjolkan kosmopolitanisme dangkal di balik eksklusnisme yang semakin menjadi-jadi. Pelapisan masyarakat yang semakin kompleks ternyata tidak diiringi keterbukaan yang dibutuhkan untuk mengikat ke semua lapisan dalam sebuah hubungan integral yang akan membawa kepada solidaritas sosial yang jujur. Tanpa solidaritas seperti itu, kohesi masyarakat akan berada di bawah kadar minimal untuk membentuk “semangat bangsa membangun”, sebuah elan yang akan mendorong munculnya “etika pembangunan” dalam lingkup sangat luas kehidupan bangsa. Hanya dengan “etos dan etika pembangunan” yang kuat sajalah dapat digolong kekuatan sebagai bangsa. Kehendak sesuatu masyarakat, jika tidak mencapai derajat aspirasi bangsa, tidak akan mungkin membawa kepada proses inodernisasi dalam arti yang sebenarnya, yaitu perubahan mendasar dalam sikap nidup, pandangan hidup dari peri laku warganya secara individual maupun kolektif.
Sebagai akibat, modernisasi terkeping-keping itu telah membawa kita kepada sejumlah situasi dilematik, yang terpantul pada kebalauan pengertian kita akan skala prioritas pembangunan. Di saat kita tekankan sektor pertanian dalam Pelita I-IV, pengembangan pendidikan kita justru semakin menjauh dari orientasi kepada sektor tersebut, boleh dikata dalam semua aspeknya. Perkecualiannya mungkin hanya dalam penyebaran gedung sekolah melalui SD Inpres, yang menjangkau kawasan pedesaan secara merata. Kalaupun orientasi pendidikan lalu terarah secara antisipatif kepada tahap berikut dari proses pembangunan, katakanlah kepada tekanan pada industrialisasi masif dalam tahap Pelita demi Pelita nanti, masih dapat dipertahankan adanya kesenjangan antara sektor pertanian dan orientasi pendidikan itu.
Namun dalam kenyataan kita dapati tidak demikian halnya. Orientasi pendidikan telah terbawa kepada sebuah orientasi terbelah. Di satu pihak, orientasi itu telah modern dalam artian pandangan hidup yang mementingkan arti berpikir rasional dan tanggap terhadap pengaruh-pengaruh dari luar, tetapi di pihak lain kita masih terpaku pada rumusan-rumusan ideal yang serba abstrak dalam pengetahuan hidup bermasyarakat. Terpecahnya orientasi pendidikan ini, sebagai akibat logis darı identitas kembar proses modernisasi sebagaimana diuraikan di atas, membawa kepada kenyataan adanya kebalauan skala prioritas tersebut.
Kalau dari satu tolok ukur saja sudah terlihat kesulitan untuk menilai keabsahan gagasan percepatan laju pembangunan, maka akan sulit untuk dilakukan tinjauan yang tuntas atasnya. Namun, keputusan untuk melakukan percepatan telah diambil, tanpa ada kemungkinan melakuknan kajian mendalam atas keabsahannya. Yang terbaik untuk diambil sebagai titik tinjauan, kalau kenyataannya sudah demikian dalah melakukan teropongan global atas hipotesis hasil yang diraih nanti oleh Pelita IV, kemudian melakukan teropongan spesifik hanya pada aspek-aspek dan sektor-sektor tertentu saja. Diharapkan, dengan mengambil pendekatan ganda seperti itu akan muncul gambaran lebih kongkret tentang Pelita IV, setidak-tidaknya gambaran mengenai beberapa masalah utama yang akan dihadapi nanti.
Makalah ini akan menyoroti sektor politik dari Pelita IV, dengan tekanan pada aspek pemerataan hasil dan peluang partisipasi dalam pembangunan. Sektor adalah sektor yang kemungkinan besar akan merupakan titik pusat perubahan, karena alih generasi akan terjadi dan dengan sendirinya perubahan orientasi politik pemegang pemerintahan. Perubahan orientasi itu, dengan atau tanpa membawa perubahan dalam struktur pemerintahan, mau tidak mau akan memberikan dampaknya sendiri atas perilaku politik bangsa secara keseluruhan, minimal dalam perubahan pola hubungan antara pemerintah dan masyarakat. Karena keseluruhan hasil pembangunan dalam Pelita IV sangat ditentukan oleh kesadaran masyarakat untuk mengubah hampir seluruh aspek kehidupan kolektif dan individualnya, maka masalah politik menjadi sangat penting untuk disimak dengan mendalam. Kaitannya dengan sektor-sektor lain juga memerlukan pengamatan tersendiri, karena apa yang terjadi dalam sektor politik akan memiliki hubungan timbal-balik dengan sektor-sektor lain, yang jauh lebih intensif di kala perubahan orientasi politik terjadi. Secara keseluruhan, akibat dari perubahan orientasi politik itu akan menentukan irama pembangunan itu sendiri.
Perubahan fundamental Pelita IV dari Pelita-pelita sebelumnya terdapat dalam keputusan untuk menjadikan Pelita IV itu sendiri sebagai masa peralihan dari “era pertanian” ke “era industri”, dengan jalan mengutamakan industri masing-masing pertanian. Dimaksudkan dengan cara itu, pertanian akan dimodernisasi dengan mekanisasi yang bercakupan luas, sehingga ia “menjadi tangguh” dan mampu menopang industrialisasi atas tenaga sendiri (melalui swasembada pangan dan sebagainya). Dengan demikian, gambaran yang diperoleh adalah pengalihan sumber-sumber daya secara berangsur-angsur ke sektor industri. Peningkatan pendapatan di sektor pertanian akan mengurangi ketergantungan kepada sumber pembiayaan yang selama ini diperuntukkan baginya selama ini. Dalam bentuk lain, ia merupakan pengecilan porsi sektor pertanian dalam “kue pembangunan” secara progresif.
Ada sebuah masalah mendasar yang harus dipikirkan secara mendalam mengenai hal ini: apakah dampak pengalihan sumber-sumber daya secara masif itu (termasuk kemungkinan pengalihan sumber daya manusia) dari satu sektor ke sektor lain itu, atas pola kehidupan masyarakat bila ditinjau dari sudut politis? Apakah format kehidupan politik yang ada sekarang mampu “melayani” kebutuhan politis yang diakibatkan oleh proses pengalihan itu sendiri. Penyiapan angkatan kerja industrial menuntut kesanggupan menciptakan sistem pendidikan yang lebih berlandas pada perkiraan kebutuhan (need assessment) yang ditentukan oleh pasaran tenaga kerja. Mampukah format politik yang ada untuk mengembangkan pendekatan seperti itu dalam pengembangan pendidikan nasional kita, sedangkan selama ini sistem itu telah didominasi oleh kecenderungan ”menciptakan manusia ideal” yang sangat sarat dengan pedoman-pedoman normatif? Apakah itu moral Pancasila, agama, budi pekerti maupun sejarah, seluruh rangkaian mata ajaran tersebut menyita perombakan total, guna memungkinkan munculnya “manusia industrial” yang kita butuhkan. Kalau, untuk tugas ini saja format politik kita tidak mampu melaksanakan dengan baik dan tuntas, maka perubahan yang dilakukan atas keseluruhan sistem pendidikan kita tidak akan mencapai tahap fundamental, dan dengan sendirinya tidak mampu pula mengemban tugas menyediakan angkatan kerja dengan kualitas dan kuantitas yang dibutuhkan pasaran tenaga kerja. Padalah, harga ekonomis dari kegagalan ini hampir pasti akan melumpuhkan industri itu sendiri di hadapan persaingan tajam dengan negara-negara lain, kalau tidak di pasaran dunia tentu di pasaran domestik.
Format politik yang ada sebenarnya memiliki watak statis, yaitu menjaga stabilitas nasional. Tekanan berlebih pada aspek penjagaan stabilitas nasional itu menghendaki adanya sebuah proses umum berupa pemberian legitimasi yang bersifat saling komplementer antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah memberikan legitimasi hanya kepada lembaga-lembaga masyarakat yang “aman” kalau dilihat dari sudut kepentingan pemeliharaan stabilitas nasional. Sebaliknya, pemerintah juga memperoleh dukungan mereka dalam melaksanakan pola umum pembangunan nasional atau GBHN. Secara tak terhindarkan lagi, dengan cepat pemerintah lalu terdorong kepada posisi memelihara status quo intern lembaga-lembaga masyarakat yang mendukungnya. Biaya politik yang harus ditanggung pemerintah semakin lama menjadi semakin besar, dalam arti kesulitan memelihara momentum pengembangan politik. Dengan lain kata, komunikasi arti pembangunan kepada rakyat menjadi semakin sulit dilakukan. Salah satu indikatornya adalah ketergantungan semakin besar kepada aparat pemerintah untuk menyampaikan “pesan pembangunan”. Selain semakin mahalnya biaya penyampaian pesan-pesan itu, karena birokratisasi berarti inefficiency, terjadi akibat lain yang tadinya tidak diperkirakan : Sektor swasta dalam komunikasi politik menjadi semakin tergusur dari kawasan kegiatannya semula, dan berusaha mencari kompensasi dengan pengajuan daya tarik eksklusivistik untuk menjaga peranannya dalam kehidupan masyarakat.
Ini adalah kenyataan yang sangat mengkhawatirkan, karena pada dirinya ia berarti ancaman terhadap stabilitas nasional. Untuk menanganinya, diperlukan peningkatan proses pemberian legitimasi kepada orang-orang yang sebenarnya tidak lagi memiliki kredibilitas di kalangan luas masyarakat. Berarti terulangnya lagi siklus semula, namun dalam tingkat yang lebih tinggi, dengan akibat eskalasi terus-menerus sebuah lingkaran setan antara beban politis dan kebutuhan komunikasi. Kenyataan inilah yang agaknya mengubah sikap pemerintah untuk meletakkan “pembangunan politik” pada rel yang sama sekali baru.
Dalam “rel baru” itu, Golkar sebagai kekuatan sosial-politik diharuskan mengambil langkah-langkah pembenahan institusional yang mendasar, seperti pembakuan keanggotaan dan sebagainya. Kredibilitas politik Golkar diusahakan agar dalam Pelita IV nanti tumbuh dari “keswadayaan politik” yang tuntas. Partai-partai politik dengan sendirinya mengalami pembenahan mendasar pula. Pada permulaannya ditandai ketergantungan partai politik kepada “induk sosiologis”nya semula, seperti NU bagi PPP, partai politik ini didorong untuk melepaskan diri ketergantungan kepada NU dan Muhammadiyah, untuk memungkinkan munculnya tenaga-tenaga kreatif yang akan menyegarkan kehidupan politik. Katakanlah, untuk mencarikan sparring partners bagi pemimpin-pemimpin muda yang mulai bertumbuhan dalam Golkar. Hal yang sama juga diaplikasikan kepada PDI, dalam kaitannya dengan kaum “nasionalis eks PNI”.
Karenanya dapat diperkirakan bahwa dalam beberapa tahun ini organisasi-organisasi kemasyarakatan akan mengalami perubahan orientasi secara mendasar. Organisasi-organisasi besar yang bermodal dasar kultural yang kuat akan memperoleh “kapling” berupa kegiatan nonpolitis. Pada saat yang sama hubungan institusional mereka dengan parti politik dihentikan. Dengan demikian akan tercapai dua tujuan sekaligus, mengembangkan pihak pendamping (counter parts) yang akan menyampaikan pesan-pesan pembangunan kepada masyarakat atas tenaga sendiri, di samping menciptakan sistem saling memberikan legitimasi dengan “partai-partai politik yang telah diperbarui”.
Pada dasarnya, upaya ganda untuk meningkatkan kegunaan lembaga-lembaga politik dan nonpolitik untuk “mendasarkan pembangunan” seraya memelihara sistem pemberian legitimasi seperti itu adalah sesuatu yang wajar dan nasional. Di samping mengurangi biaya politik yang sangat tinggi karena harus melestarikan situasi status quo lembaga-lembaga kemasyarakatan itu, ada keuntungan lain yang diperoleh: pemerintah memperoleh pendamping yang spesifik, yaitu partai politik untuk “kehidupan politik negara” dan organisasi-organisasi kultural untuk menangani sektor nonpolitis.
Hanya saja, sangat sulit untuk mengoperasionalkan kerangka umum seperti itu, dalam penjabaran kongkret “di lapangan”. Kalaupun diandaikan pemerintah dapat memulai upaya ekapraya itu di-tingkat pusat di kalangan partai politik dan organisasi masyarakat nonpolitis, belum tentu internal engineering itu “menetes ke bawah”. Kesulitan itu disebabkan oleh rapuhnya organisasi-organisasi tersebut selama ini. Yang sanggup bertahan, hanya dapat berlaku demikian dengan solidifikasi tradisonalisme secara total, sehingga tidak memungkinkan alih generasi secara lancar. Jika diandaikan pengembangan di pusat itu dapat diselenggarakan di tingkat bawah dalam waktu cepat tanpa gejolak berarti, masih ada masalah lain yang lebih mendasar. Masalah itu adalah bagaimana melibatkan mereka dalam kegiatan pembangunan, tanpa kembali kepada kebutuhan akan hubungan patron client yang semula.
Tantangan di atas sangat sulit untuk dicarikan jawaban jika tidak digunakan sebuah kata kunci: partisipasi jujur dari bawah. Dengan kata kunci tersebut, pemerintah lalu terikat kepada sebuah keharusan mutlak, yaitu ketuntasan pendekatan persuasif kepada semua organisasi kemasyarakatan. Persuasi yang tuntas menghendaki kesediaan pemerintah untuk melibatkan mereka sejak dini, yaitu dari tahap perencanaan dan pilihan skala prioritas kegiatan. Untuk memulainya, juga tidak cukup dengan memelihara jalur “pendekatan sosial budaya” dan “pendekatan politik” yang dipakai selama ini, yaitu penentuan sebuah pola sikap yang dirumuskan di atas, untuk dilaksanakan oleh aparat pemerintah di bawah.
Yang diperlukan justru adalah desentralisasi “wewenang menentukan sikap pemerintah” terhadap sesuatu organisasi kemasyarakatan. Desentralisasi itu harus mengambil bentuk “perencanaan” kegiatan sosial-kultural dan politis di tingkat bawah. Sebagai misal, pemerintah hanya menetapkan garis-garis besar belaka, untuk nantinya dijabarkan sendiri secara operasional di bawah oleh pemerintah di daerah tingkat II. Desentralisasi “ekapraya politis dan sosiokultural” tersebut harus dipegang teguh, dengan fungsi kontrol ditingkat lebih atas (pusat dan provinsi).
Masalahnya, adakah kemauan cukup besar dari pihak pemerintah untuk mengambil keputusan sedemikian fundamental itu? Kalau tidak, maka bidang politik dan sosio-kultural akan menjadi kendala bagi operasionalisasi apa yang diinginkan terwujudnya oleh Repelita IV nanti. Sejarahlah yang akan menunjukkan apa yang akan terjadi.