Peluang Saya Besar Sekali, Hampir 100 Persen (Wawancara)

Sumber foto: https://alowarta.alonesia.com/khazanah-islam/pr-7325499932/ketika-gus-dur-bikin-penasaran-ratusan-tamu-dari-berbagai-negara-kisahnya-bikin-ngakak

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Gus Dur akhirnya memastikan dirinya akan maju sebagai calon presiden. Ketegasan itu disampaikan Ketua Umum PBNU itu kepada pers, Selasa, 24 Agustus lalu. Cucu K.H. Hasyim Asy’ari pendiri NU itu juga menyatakan sangat antusias mengaggapi pencalonan dirinya sebagai presiden oleh Amien Rais. Ia pun yakin dukungan Amien kepadanya itu sangat tulus. Gus Dur juga percaya, selain didukung kelompok “Poros Tengah”, anggota MPR dari Partai Kebangkitan Bangsa pun akan mendukungnya. Karena itulah, tokoh kontroversial yang 4 Agustus lalu genap berusia 58 tahun itu menyatakan siap bertarung dengan Habibie dan Megawati dalam memperebutkan kursi presiden mendatang. “Optimisme saya samalah dengan Pak Habibie atau Mbak Mega,” katanya. Untuk mengetahui lebih jauh sikap dan posisi politiknya itu, wartawan FORUM, Tony Hasyim dan Yus Ariyanto, mewawancarai Gus Dur, Selasa, 24 Agustus lalu. Karena kesibukannya menerima kedatangan tamu-dari pagi sampai malam tidak pernah surut-Gus Dur melayani wawancara FORUM di dalam mobil Mercy-nya dari Kantor PBNU ke kediamannya di Ciganjur. Namun, setelah wawancara berlangsung 30 menit, Gus Dur tiba-tiba tertidur. Banyak orang tidak tahu, didalam mobil kuno keluaran tahun 1973 yang kaca depannya retak itu sedang melintas salah satu tokoh yang berpeluang besar menjadi presiden. Berikut petikannya. la secepatnya dilaksanakan?

Bagaimana sebetulnya posisi Anda terhadap Megawati dan Habibie?

Kalau mau mengerti posisi saya, Anda harus tahu bahwa saya ini tidak punya ambisi untuk jadi presiden. Tapi, kalau ditugasi oleh MPR, akan saya lakukan. Namanya juga tugas. Artinya, kewajiban warga negara itu kan sama saja. Karena itulah, saya mengeluarkan kata-kata, bahwa saya menyetujui pencalonan Mbak Mega sebagai presiden. Tapi, kalau disuruh kerja untuk Mbak Mega, saya enggak mau. Itu bukan kewajiban saya. Gitu lo.

Maksudnya, tidak mau kerja untuk Mbak Mega itu apa ?

Ya, saya tidak ikut memperjuangkan. Sebab, itu bukan yang saya cari. Saya kan bukan orang politik. Dalam arti, saya tidak menjadi pimpinan partai. Saya tidak mengkiritik siapa-siapa, ya.

Dengan siapa pun saya dekat. Anda kan tahu sendiri bahwa saya baik sama Pak Harto, baik sama Pak Habibie, baik sama Pak Wiranto, baik sama Mbak Mega. Atas dasar itu, kalau toh saya harus jadi apa-apa, itu karena tugas. Itu yang harus dimengerti. Kalau tidak dimengerti, berarti dia tidak mengerti saya.

Jadi, Anda tidak ada beban seperti mereka?

Memang, saya enggak punya beban. Tapi. justru bebannya paling berat, Kenapa? Karena saya harus memperhatikan masalah-maslah keamanan negara, baik jadi presiden maupun tidak. Saya harus bertanggung jawab. Contohnya, saya nanti mau ke Aceh, Timor Timur, Ambon, dan segala macam. Itu semua harus saya pikirkan. Saya juga harus menemui Kanselir Jerman Schroeder, PM Belanda Wim Kok, kemudian Ketua Parlemen Eropa, lalu tokoh-tokoh pemerintahan dari RRC, India, dan sebagainya. Mereka semua minta ketemu dengan saya. Kenapa mereka minta ketemu saya? Karena saya perhatikan dari awal, yang punya gagasan itu cuma saya. Mau diapain negara ini, cuma saya yang punya gagasan.

Umpama saja, dalam bidang ekonomi, saya menginginkan bahwa Indonesia, India dan Cina Daratan (RRC) menyusun perekonomian dalam kerja sama yang erat, dengan dukungan modal dan kapasitas menajerial dari Jepang dan Singapura. Hanya dengan cara begitu, kita orang-orang Asia ini bisa berdiri setaraf dengan orang-orang Amerika dan Eropa Barat.

Lalu dalam soal pemerintahan, sejak dulu saya sudah bilang, saya menginginkan adanya pemerintahan daerah yang memiliki otonomi penuh. Bagi saya, otonomi itu berarti kebebasan bagi pemerintah daerah. Jadi, gubernur dan bupati dipilih oleh DPRD masing-masing. Artinya, bupati tidak ditunjuk oleh gubernur, gubernur tidak ditunjuk oleh presiden. Begitu juga, saya menginginkan adanya pembagian pendapatan yang lebih adil antara pusat dengan daerah. Umpamanya, pusat hanya mengambil 25 persen. Selebihnya untuk daerah. Itu berlaku untuk semua provinsi.

Kemudian, sejak lama saya punya gagasan agar kekuasan legislatif itu diredefinisi sebagai kekuasaan independen yang tidak boleh dipengaruhi eksekutif dan yudikatif. Dan banyak lagi gagasan yang saya lontarkan dari dulu. Sampai sekarang pun saya masih aktif melontarkan gagasan-gagasan kenegaraan tersebut. Nah, pikiran-pikiran semacam itu selalu saya tunggu dari yang lainnya. Tapi mana, kok enggak ada.

Benarkah Anda berposisi netral terhadap Habibie dan Mega agar kalau tidak didukung mayoritas, mereka akan setuju menunjuk Anda jadi presiden alternatif?

Saya tidak pernah sengaja begini. Wong, saya dari awalnya enggak kepengen jadi apa-apa. Cuma, kalau ditugasi MPR, saya tidak akan menolak. Kewajiban orang NU itu begitu. Saya enggak punya keinginan yang neko-neko.

Anda sudah menjelaskan pendirian itu kepada Habibie dan Mega?

Enggak. Semua orang juga sudah tahu, Mereka juga sudah tahu.

Kalau tidak dijelaskan langsung, kan Anda bisa dicurigai…

Enggak. Enggak ada yang curiga sama saya. Saya sama Pak Habibie baik-baik saja, sama Mbak Mega baik-baik, sama Pak Harto baik-baik, sama Pak Wiranto juga baik-baik saja. Sama, semuanya baik-baik saja. Jadi, dengan kata lain, mereka acceptable bagi saya, saya juga acceptable bagi mereka.

Selain Amien Rais, apakah Anda juga didukung Soeharto, Wiranto, atau tokoh lain?

Ada. Pada umumnya mereka bilang begini, “Kalau you yang jadi presiden, kalau you yang memegang negara ini, kami ikut”.

Pak Harto pernah menyatakan langsung kepada Anda soal itu ?

Ya, bukan langsung, tapi lewat orangnya. Habibie juga pernah bilang sama saya, kalau kami sedang ngobrol, bahwa saya adalah seorang wiseman. Itu berarti dia menganggap saya ini orang yang bisa memberikan keamanan bagi dirinyalah…..

Anda percaya bahwa dukungan Amien kepada Anda itu cuma jebakan?

Enggak. Saya enggak percaya. Saya yakin dengan Mas Amien. Soalnya, saya tahu persis bahwa dia itu orang yang memikirkan nasib bangsa dan negara ini. Dengan kata lain, kita enggak boleh memandang rendah dia.

Apa Mega bisa menerima Anda sebagai presiden?

Oh, bisa……. sampai sekarang pun kami masih sering telepon-teleponan. Juga sering ketemu.

Tapi, bagi Mega, posisi presiden itu sudah harga mati. Apalagi buat pendukungnya….

Anda itu jangan melihat bahwa kalau ada seseorang punya ambisi jadi presiden, lantas menjadi musuh kita. Orang boleh-boleh saja punya ambisi. Habibie mau jadi presiden, silakan saja. Kenapa enggak boleh? Mbak Mega mau jadi presiden, boleh saja. Dua-duanya baik sama saya. yang punya problem saja, seperti Pak Harto, baik kok sama saya, ha ha ha…..

Anda pernah bilang tidak mau jadi secondman. Itu berarti Anda tidak mau dijadikan wakil dari presiden siapapun?

O, itu jelas. Bukan karena apa-apa. Saya itu enggak mau nama saya dipakai orang, tapi saya sendiri enggak mendapatkan kekuasaan yang sebenanarnya. Wapres kan begitu. Kalau saya jadi wapres nanti banyak orang, anggota NU, itu terlalu berharap kepada saya. Seolah-olah saya punya kekuasaan, padahal enggak punya. Secondman itu kan kerjanya cuma meresmikan gedung, motong-motong pita. Kalau kerjanya cuma gitu, untuk apa?

Kalau jadi presiden, apa yang akan Anda lakukan pada 100 hari pertama?

Tentu, saya harus mengatasi masalah-masalah ekonomi dan menghadapi krisis pangan. Dan yang penting juga adalah menimbulkan sense of confident, atau rasa percaya diri di kalangan bangsa kita. Nah, di samping itu, saya harus memulai upaya membangun pemerintahan yang bersih, clean and good government.

Untuk mengatasi ancaman perpecahan bangsa, apa yang akan Anda lakukan?

Itu sih saya pakai berdasarkan pengalaman yang lama. Artinya, kalau saya ngomong soal toleransi, dari dulu saya ini sudah jatuh-bangun. Belasan tahun saya dikerjain sama toleransi, ha ha ha…. Apa yang saya perjuangkan itu enggak gampang. Sampai saya diinjek-injek segala macam. Baru sekarang orang mengaku, “Oh, ternyata betul juga dia.” Itu juga bukan perjuangan setahun dua tahun, tapi sangat lama. Dari dulu, kan saya sudah bicara soal pluralitas beragama. Apa yang saya perjuangkan dari dulu, saya kira semua orang sudah tahu.

Kalau Anda jadi presiden, siapa wakilnya?

Saya itu enggak pengen jadi lo. Kalau ternyata jadi, ya, kita lihat saja nanti. Berunding dululah.

Anda banyak gagasan, tapi tidak pernah bisa melaksanakannya karena Anda cuma pemimpin informal. Jadi, kalau Anda jadi presiden, apa itu akan lebih baik?

Saya enggak pengen. Tapi kalau ditugasi, saya jalankan (nada suaranya agak meninggi). Menjadi Ketua NU pun saya enggak pengen. Tapi, toh efektif keketuaan saya. Dari dulu, sebetulnya saya enggak pengen jadi ketua NU. Cuma, karena saya sudah diserahi, ya, saya jalankan. Sama juga dengan posisi presiden.

Dulu, Anda selalu ditentang kalangan sayap kanan Islam. Apa sekarang mereka mau mendukung Anda sebagai presiden?

Itu kan cuma karena salah paham saja. Sebentar lagi juga hilang. Wong sudah sama-sama mengerti kok kami.

Kedekatan Anda dengan Amien Rais ditafsirkan sebagai awal bersatunya umat Islam Indonesia. Apakah Anda memang sudah meniatkan untuk itu?

Lo, saya ini dekat dengan semua orang. Sama orang Kristen saja saya dekat, apalagi sama Mas Amien yang orang Islam. Gimana, sih!

Tapi, pikiran-pikiran Anda dan Amien dulu kan sering bertentangan?

Saya enggak setuju dengan beberapa pendapat Mas Amien. Tapi, bukan berarti saya menentang Mas Amien habis-habisan. Saya enggak menentang seluruhnya, Enggak begitu, dong. Kalau saya baik dengan Pak Theo Sjafei, tidak berarti saya setuju dengan semua langkahnya.

Apa keberatan Anda pada Amien Rais sekarang ini?

Oh, enggak ada. Biasa-biasa saja.

Kalau terhadap Mbak Mega?

Keberatan saya nomor satu, kenapa Mbak Mega enggak mau ngomong kita ini enggak tahu kemauan dia itu apa. Kalau cuma pidato seperti kemarin, itu kan belum cukup.

Maksudnya, dia harus bicara lebih mendetail?

O, iya. Sudah lama saya bilang begitu.

Itu strategi Mbak Mega, atau dia memang tidak mampu?

Saya enggak tahu. Saya enggak pernah tanya. Karena saya dengan dia itu demikian hormat. Jadi, saya enggak pernah tanya kenapa beliau enggak pernah ngomong.

Tapi, kata salah seorang ketua PDIP, Mega sedang menunggu waktu yang tepat untuk mengambil inisiatif…..

Soal menunggu itu enggak berat. Tapi, apakah pengikut kita paham? Bahwa Mbak Mega menunggu waktu yang tepat, saya sih paham-paham saja. Tapi, apakah orang-orang PDIP yang di bawah mengeti? Kan mungkin mereka bertanya, “Kenapa Mbak Mega diam saja?” Istilahnya, kok jago aduannya enggak main.

Maksudnya, Mega harus bicara dengan siapa?

Dia harus ngomong kepada bangsa ini. Apa pendiriannya tentang soal ini, soal itu. Semuanya.

Anda pernah menyarankan soal itu kepada Mbak Mega?

Di mana-mana saya bicara hal itu.

Kapan terakhir Anda ketemu Mega?

Sejak pulang berobat dari Amerika, saya belum ketemu Mega. Dan, Anda jangan kira saya sering ketemu Mbak Mega. Jarang, kok.

Anda malah lebih sering bertemu Habibie, ya?

lya, ha ha ha …..

Apakah Anda mendukung kalau Habibie maju lagi dalam pemilihan presiden nanti?

Ya, kita lihat nantilah. Tergantung pada siapa yang akan jadi menteri-menterinya, siapa pembantu-pembantunya. Saya harus lihat dulu.

Anda bisa bertemu dengan Habibie, Mega, Amien, Wiranto, Hamzah Haz, bahkan Pak Harto. Berarti peluang Anda besar sekali ya?

Wah, (peluang saya) besar sekali. Sebenarnya hampir 100 persen.

Kalau ada kendala, kendalanya apa?

Ya, mungkin miskomunikasi saja.

Dengan Habibie itu Anda membicarakan apa saja?

Biasa saja. Membicarakan perkembangan keadaan.

Kalau sama Pak Harto?

Ya, sama saja.

Saat bertemu Habibie, Anda mengusulkan agar masalah Pak Harto diselesaikan menurut hukum Islam. Hukum Islam yang mana?

Ya, hukum fikih itu. Hukum fikih mengatakan, orang Islam itu harus saling memaafkan satu sama lain. Nah, kalau ada kesalahan dan harus dihukum, ya, harus dihukum. Tapi, nyawanya itu harus terjaga.

Tapi, kan Anda tidak setuju kalau Pak Harto diadili?

Ya, kalau pendapat saya begitu. Tapi, yang lain kayaknya enggak semua setuju.

Kalau Anda jadi presiden, Soeharto akan dimaafkan, dong?

Kalau sudah terbukti kesalahannya, ya, baru dimaafkan kesalahannya.

Selain Amien Rais, partai mana saja yang mencalonkan Anda menjadi presiden?

Ya, enggak tahu. Kok nanya saya. Saya nggak pengen jadi apa-apa kok. Siapa yang nyalonin saja, saya terima. Sekarang ini, kan, baru Mas Amien.

Kenapa PKB sendiri tidak mencalonkan Anda, malah ngotot mendukung Mega?

Tanya saja ke sana, sama Matori.

Tapi, Anda kan sebetulnya pemimpin NU dan sekaligus pemimpin PKB?

(Setelah agak lama terdiam) Ya, gimana ya….

Selama kampanya pemilu PKB dan melihat beberapa acara istighasah NU, arus bawah NU itu kan maunya Anda yang jadi presiden. Kenapa pimpinan PKB bersuara lain?

Ya, kalau kiai-kiai, orang-orang NU, sih maunya sederhana saja supaya saya tidak jadi orang yang kontroversial, gitu. Mereka enggak mau saya jadi orang yang serakah. Gitu saja.

Lalu kenapa Matori malah mendukung Mega?

Pertanyannya itu, kenapa si Matori begitu? Menurut saya, yang sudah, ya sudah….

Omong-omong, Anda kok rajin sekali berobat ke luar negeri, ke Eropa, dan Amerika. Apa itu untuk mempersiapkan diri jadi presiden?

Lo, bukan soal itu. Saya ini betul-betul mau berobat, kok. Masak saya mau enggak ngeliat terus? Saya kan juga mau sehat. Enggak ada urusannya dengan soal pencalonan presiden. Ah, ngaco saja, ha ha ha…

Bagaimana kondisi kesehatan Anda sekarang?

Baik sekali. Sebentar lagi juga bisa melihat.

Berapa persen kemungkinannya?

Total. Bagus. Menurut hasil pemeriksaan, bisa bagus lagi. Cuma makan waktu.

Kapan sembuhnya?

Ya, dalam satu-dua bulan ini.

Jantung Anda bagaimana?

Lo, jantung enggak ada masalah. Kondisi kesehatan saya bagus kok.

Apa Anda tidak capek dari pagi sampai malam terus-menerus ketemu orang?

Enggak. Dari dulu saya sudah begitu. Semua orang mau ketemu saya. Kemarinmalam Pak Subianto (Menteri Keuangan) ngobrol sama saya sampai jam setengah dua malam… (Gus Dur tidak melanjutkan jawabannya. la tertidur sambil menyilangkan tangan di belakang kepada).