Pembaharuan Dalam Gerakan Keagamaan

Sumber Foto: https://www.kompasiana.com/iwaniraka0783/658ffe6ac57afb649b382bb2/mengenal-tajdid-dan-ishlah-gerakan-pembaharuan-islam-di-indonesia

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Beberapa waktu yang lalu, ada yang menulis dalam harian Kompas tentang terhentinya pembaharuan di lingkungan Muhammadiyah. Dasar dari kesimpulan itu adalah ketidakmampuan Lembaga Tertingginya, Majelis Tarjih, untuk memahami perlunya pengembangan wawasan yang luas dan segar di bidang pengambilan keputusan hukum agama. Dengan demikian, kreativitas tidak dapat berkembang karena hambatan yang begitu besar. Cara memandang melalui pendekatan legalistik-formal ini akhirnya membawa kepada “hukuman” kepada Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan keagamaan.

Mungkin pengambilan kesimpulan dengan pendekatan seperti itu ada baiknya, tetapi yang jelas ia akan bersifat sesisi belaka. Ia tidak memperhitungkan dua faktor utama yang ada dalam sebuah gerakan keagamaan: alaupun aspek legalistik-formalnya telah dilanda kebekuan, masih ada aspek-aspek dalam kehidupannya yang dapat membawakan penyegaran, jika lembaga formal yang telah “beku” ini gagal mengemban tugas penyegaran itu.

Dilihat dari sudut pandangan ini, Muhammadiyah jelas masih merupakan kelompok keagamaan yang dinamis dan sedikit banyak mengalami proses penyegaran dalam beberapa aspek kehidupannya. Usaha-uasaha sosial, kesehatan dan pendidikan mereka banyak yang bernafaskan kesegaran. Walaupun terlampau sering masih harus dibungkus dengan ketundukan lahiriyah kepada batasan-batasan legalistik-formal yang ditetapkan Majelis Tarjih, tidak berarti aspirasi penyegaran yang tersimpan dilubuk hati yang terdalam tanpa dirumuskan secara formal dalam bentuk tertulis lalu menjadi tidak ada sama sekali. Inovasi terus menerus terjadi, walaupun dalam bentuk deretan panjang yang bersifat kecil-kecil dan seolah-olah tidak membawa konsekwensi apa-apa. Dalam deretan sangat panjang, inovasi demi inovasi yang bersifat kecil-kecil itu akan menciptakan sikap hidup yang bersifat variant terhadap keputusan-keputusan resmi kelompok, sebagaimana dirumuskan oleh lembaga tertingginya.

Melandasi Keberanian

Adalah menarik dari kasus Muhammadiyah apa yang diceritakan Mitsuro Nakamura Cornell tentang Muhammadiyah di Kotagede (Yogyakarta) beberapa tahun yang lalu. Menurut Nakamura, watak dinamis Muhammadiyah ternyata terpelihara dan berkembang selama beberapa puluh tahun ini, melalui keteguhan para warganya untuk berpegang pada “ajaran” pendirinya, KHA. Dachlan, beliau mengeluarkan semboyan “jangan bergantung kepada Muhammadiyah dalam hidupmu, justru Muhammadiyah yang harus kau hidupi”.

Sikap hidup ini melandasi keberanian mereka untuk berkorban materiil, tenaga dan pikiran untuk kepentingan Muhammadiyah. Kebiasaan-kebiasaan positif, seperti kesederhanaan hidup, kesediaan bekerja keras, keikhlasan perjuangan dan lain-lainnya lagi berkembang dari “doktrin” yang begitu sederhana.

Jadi jelaslah, bahwa adalah gegabah bagi kita untuk menjatuhkan vonis atas suatu kelompok keagamaan, dengan hanya melihat doktrin-doktrin resminya belaka. Setidaknya keputusan yang diambil, terutama yang berwatak “reaksioner” dan “retrogessi” di pandangan mereka yang mendambakan penyegaran dan pembaharuan total, sebenarnya merupakan upaya untuk melihat ke depan dengan tidak mengabaikan pemeliharaan akar-akar kulturil positif, yang ditakutkan akan hilang atau tidak berfungsi, apabila penyegaran itu dilaksanakan terlalu tergesa-gesa.

Ambil misal saja ensiklik mendiang Paus Paulus VI tentang Keluarga Berencana. Mustahil beliau tidak mengetahui besarnya krisis kependudukan dunia dan akibat-akibat yang timbul dari krisis itu, kalau tidak ditangani dari waktu dini. Tetapi keputusan melegalisir program-program KB yang ada begitu saja, walaupun tidak termasuk memberikan perkenan kepada sterilisasi dan aborsi, akan merusak landasan-landasan fundamental bagi kehidupan kejiwaan umat Katholik.

Persoalannya lalu tidak hanya menjadi “mana yang boleh mana yang tidak” dalam rangkaian metode-metode perencanaan keluarga yang bersifat teknis, melainkan bersangkut-paut dengan soal-soal lain yang lebih besar dan menetap akibatnya bagi kehidupan manusia menurut visi Katholik. Keputusan untuk menolak KB yang diberikan dengan kesadaran penuh akan adanya kelompok-kelompok informil dalam lingkungan umat Katholik yang akan mengabaikannya dan mengikuti suara hati mereka sendiri untuk mengikuti program KB di negeri masing-masing.

Jangan dari Satu Sudut Saja.

Jalinan antara keputusan resmi dan pengabaiannya oleh sementara anggota inilah yang membuat kita harus berhati-hati sebelum menjatuhkan hukuman kepada sesuatu kelompok keagamaan. Interpretasi dan reinterpretasi ajaran tidak hanya terjadi di lingkungan hirarki formalnya belaka, melainkan terjadi di hati setiap pemeluk agama itu yang mampu mengambil sikapnya sendiri.

Karena itulah, misalnya, kita dapati bahwa Kardinal Peronio sudah bertindak jauh dalam membiarkan penafsiran kembali doktrin-doktrin Katholik dan hubungannya dengan perjuangan si miskin di Amerika-Latin, sehingga mendorong munculnya “teologia-teologia pembebasan” yang sangat revolusioner. Padahal pada waktu yang sama Uskup Leveotre dari Perancis masih bergulat dengan masalah-masalah “kuno” seperti penggunaan bahasa Latin dalam liturgi gereja. Pada waktu yang bersamaan, sekelompok agamawan Katholik di AS justru mencapai “kemajuan” dengan merumuskan perkenan atas hubungan seksual di luar perkawinan dan perkenan meninggalkan selibasi bagi para pastor problem yang sama sekali tidak relevan untuk dibicarakan bagi para agamawan Amerika Latin. Sedangkan bagi para agamawan Katholik di Asia, pemikiran kembali doktrin-doktrin agama mereka harus dilihat dari kacamata telah berakarnya secara kokoh wawasan kultural Katholik, yang bagaimanapun juga harus dicernakan sebagian oleh umat Katholik di kawasan ini Jelaslah dari apa yang dikemukakan di atas, bahwa pembaharuan, atau lebih tepatnya penyegaran pemikiran keagamaan, tidak boleh hanya dilihat dari satu sudut pandangan belaka, betapa fundamental dan urgennya sekalipun sudut itu untuk diambil. Dalam interaksi antara sesama pemeluknya dan antara pemeluknya dengan dunia luar, selalu akan muncul kebutuhan akan penafsiran kembali, yang akan dilakukan secara multi-dimensional oleh orang yang berbeda-beda dari kelompok dan tingkatan berbeda-beda pula. Selama proses ini masih berjalan, selama itu pula tidak dapat dikatakan sesuatu kelompok keagamaan mengalami “kebekuan”. Hanya apabila daya tanggap kelompok itu telah hilang sama sekali dalam menghadapi situasi yang senantiasa berubah-ubah, barulah dapat dikatakan tercapai “titik beku”.

Selama ada sub-kelompok yang mampu membuat penafsiran kembali doktrin-doktrin keagamaan mereka, betapa kecil dan parsialnya sekalipun, selama itu pula akan ada proses penyegaran dan pembaharuan. Kalau tidak mungkin hirarki formal sebagai struktur yang melakukannya, ya dari para awam sebagai anti struktur dapat diharapkan munculnya proses itu, kalau kita ingin meninjau istilah Victor Tumer.