“Pembakuan, Bukan Perubahan”

Sumber foto: https://kumparan.com/sejarah-dan-sosial/contoh-perubahan-sosial-di-bidang-politik-indonesia-21LdmJh4608

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Abdurrahman Wahid termasuk orang yang mengharapkan ada perubahan politik di Indonesia. Namun, ia juga termasuk orang yang sering kali terhambat ketika merintis perubahan. “Serahkan saja kepada sejarah,” kata Gus Dur, nama panggilannya, ketika diwawancarai Sudarsono dari FORUM. Berikut adalah petikannya

Bagaimana perubahan politik di Indonesia, sejak Kop-kamtib diganti Bakorstanas, dan munculnya keterbukaan?

Enggak ada perubahan strategis. Dua-duanya masih berpijak pada pendekatan security. Enggak ada perubahan strategis. Munculnya keterbukaan karena ada dua masalah. Tekanan luar negeri, ada masalah bantuan. Yang kedua semakin terpencarnya kekuasaan.

Dengan kata lain, Orde Baru, ya, gitu-gitu saja. Diukur dari ukuran ukuran strategis, memang. Yang ada proses pembakuan, bukan perubahan. Dalam masalah politik berujung pada penyederhanaan partai-partai politik. Dan, di sana, kekuatan-kekuatan yang bersifat ideologis dipatahkan sebagai kekuatan politik. Kekuatan-kekuatan ideologis dipatahkan sebagai sesuatu yg bersifat politis. Contohnya, partai Islam, dipatahkan, tinggal. partai PPP kan gitu. Secara ideologis tidak bisa dibilang partai Islam lagi.

Ada partai Katolik, Partai Murba, barangkali mungkin, dileburkan dalam PDI. Disusul dengan ditunggalkannya asas Pancasila: Pancasila sebagai satu-satunya asas. Ya, proses deideologisasi itu sudah rampung. Itu namanya pembakuan bukan perubahan.

Hanya, akhir-akhir ini, terjadi sedikit perkembangan karena ternyata gerakan Islam itu, sekalipun tidak lagi menjadi kekuatan organisasi politik formal, ternyata kekuatannya seperti kekuatan politik itu masih ada. Perkembangannya lebih cepat lagi karena sebagian dari aktivis gerakan Islam itu mencoba membuat ICMI sebagai kekuatan politik yang bersifat ideologis. Ada banyak eksklusivisme. Ideologi itu walaupun dieliminir, tetap saja di bawah permukaan masih ada. ICMI, yang di luarnya tidak tampak sebagai organisasi politik, tapi fungsinya sudah sangat politis.

Tentang asas tunggal, apakah Anda sangat mendukung?

Kalau NU, ya, dari awal sudah merumuskan sikapnya. Pancasila sebagai asas dalam pengertian landasan ideologi konstitusional, silakan. Asal jangan jadi akidah.

Seandainya jadi…?

Ndak bisa, akidah kita Islam. Enggak bisa diisi lainnya. Dengan kata lain, Pancasila jangan diagamakan. Justru itu yang mau dicoba oleh pihak-pihak tertentu untuk mengislamkan Pancasila, yang bertentangan dengan UUD.

Tentang penyederhanaan partai, dalam kasus PDI, apakah itu suatu kegagalan?

Harus dipisahkan antara penyederhanaan partai sebagai proses deideolgisasi. Deideologisasi berhasil. Tapi, penataan partai sebagai saluran aspirasi rakyat, ya, jelas gagal total. Karena partai dibuat dari atas, tidak muncul dari bawah. Dengan sistem massa mengambang, partai enggak punya anggota sampai di bawah, di lapangan. Anggotanya itu sekadar sejumlah aktivis saja.

Kalau sistem pemilu, apa perlu sistem distrik, misalnya?

Menurut saya, sistemnya, bukan sistem distriknya, tapi pelaksanaan pemilu. Pelaksana pemilu sekarang eksekutif kan. Mestinya tidak. Oleh suatu pihak yang independen yang bertanggung jawab kepada legislatif. Jadi, sifat obyektif dari pemilu itu dapat dicapai, semaksimal mungkin. Sistem yang sekarang ini akan menjamin Golkar selamanya menang dan parpol selamanya kalah. Apa perlunya pemilu kalau begini.

Tentang pemisahan partai politik dan ormas?

Ya, memang enaknya harus dipisah.

Tetapi, bagaimana partai bisa berakar?

Bikin sendiri kan bisa.

Bagaimana ketentuan soal referendum?

Referendum kan hanya satu aspek saja dari kehidupan konstitusional kita. Aspek yang terpenting, bagaimana melakukan koreksi terhadap perundang-undangan yang secara berat sebelah memberikan kewenangan yang terlalu besar kepada negara untuk mengatur kehidupan warga negara.

Apakah UU Kepartaian yang membatasi parpol itu harus ditinjau lagi?

Sebetulnya, itu enggak penting, enggak relevan menurut saya. Bagaimanapun juga, harus ada pembatasan. Kalau tidak, partai bisa ratusan. Di Jerman saja sekarang, partai yang tidak memperoleh 5 persen suara dalam pemilu tidak boleh ikut pemilu yang akan datang.

Anda mengatakan, PDI sebaiknya dibubarkan saja…

Saya enggak ngomong gitu. Terbit itu salah. Bubar itu kalau dia tak bisa menyelesaikan masalahnya, lalu minta uluran tangan dari luar. Ya mendingan bubar. Tapi, kalau Soerjadi berhenti, dia akan dihabisi. Oleh karena itu, wajar-wajar saja kalau dia bertahan. Saya enggak mengatakan baik mana.

Tentang perubahan politik, apa yang perlu dilakukan sekarang?

Gimana menciptakan mekanisme kontrol atas jalannya kekuasaan oleh pemerintah. Sedangkan pers sendiri masih lemah posisinya selama masih ada SIUPP.

Pak Harto mengatakan, pendekatan keamanan hanya bisa dilakukan dalam keadaan darurat…

Tapi, kenyataannya dipakai terus.

Contohnya, Haur Koneng?

Saya enggak tahu. Haur Koneng itu enggak jelas. Apa dimulai dari penilaian mereka sesat lalu enggak boleh menjalankan kegiatan keagamaan, lalu melawan, atau bagaimana, itu enggak jelas. Kalau misalnya dianggap tadi, kan tidak begitu caranya. Dengan pengadilan, dibawa ke pengadilan, diputusi, lha, baru…