Pendekatan Kultural Syekh Mutamakkin

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Dalam melihat buku Syekh Mutamakkin: Perlawanan Kultural Agama Rakyat yang disajikan kepada saya mengenai salah seorang guru saya Kyai Ahmad Mutamakkin, maka perkenankan saya untuk mengemukakan beberapa hal sebagai berikut. Buku ini memuat hal-hal yang sangat mendalam dan saya sendiri melihat bahwa tulisan yang disajikan ini adalah untuk orang yang sudah mendalami Kyai Ahmad Mutamakkin baik sejarah, tujuan maupun perjuangannya. Terutama di bagian-bagian awal dari buku tersebut ketika dibicarakan mengenai epistemologi untuk metode yang digunakan di dalam memahami mbah Mutamakkin dalam penyebaran agama Islam.
Banyak hal yang berbeda tetapi saya tidak akan menguraikannya, karena terus terang saja untuk saya harus membaca berkali-kali, kalau baru sekali baca mana mungkin. Lalu yang kedua, yang penting juga bagi saya adalah bahwa dari buku itu tersembul sebuah simpulan yang menurut saya itu sangat dahsyat yaitu bahwa mbah Mutamakkin ini telah memberikan pada kita sebuah contoh yang luar biasa mengenai peranan agama dalam kehidupan kita. Apakah hal itu berjalan sebagaimana mestinya? natural ataukah merupakan intervensi yang justru menumbuhkan keyakinan baru di dalam tubuh masyarakat atau muslimin di Jawa pada abad ke-18. Seiring itu saya tidak tahu persis karena memang masalahnya masih menunggu pemeriksaan lebih jauh, dan yang ketiga bahwa hidup mbah Mutamakkin ini sebenarnya merupakan sesuatu yang harus kita perhatikan sebagai bandingan bahwa beliau telah memulai sebuah tradisi baru, telah memulai apa yang dinamakan sebagai pendekatan kultural terhadap kemelut yang terjadi pada masa itu. Itu penting sekali untuk diingat karena ada dua pendekatan yang agak berbeda yang dipakai orang, satu pendekatan politis, satu lagi pendekatan kultural.
Pada pendekatan politis yang dipentingkan adalah institusi atau lembaga; lembaga kepesantrenan, lembaga syari’ah, lembaga keulamaan, di sisi lain lembaga keraton, lembaga tradisi yang kebetulan itu dari sisi kejawaan dan juga lebih penting sekali adalah lembaga kemasyarakatan dalam hubungannya dengan kekuasaan. Nah, ini merupakan sebuah kenyataan yang hidup dalam masyarakat yang harus kita beri perhatian cukup dan kita teliti dengan mendalam. Pendekatan kultural ini memang lain dengan pendekatan politis dalam arti bahwa lembaga politis lebih mementingkan lembaga atau institusi. Nah, ini yang pernah disinggung tulisan adik saya Solahudin Wahid di Suara Pembaharuan, dia menyatakan bahwa sebaiknya diadakan perombakan dan perbaikan sistem di dalam NU (Nahdlatul Ulama).
Tentang hal ini segera saya bantah beberapa hari kemudian di dalam harian yang sama bahwa dua sisi; satu itu aspek institusional harus kita perbaiki, yaitu penggunaan komputer, modernisasi administrasi dan sistem pelaporan yang baik, sistem order yang baik, hubungan yang baik antara pimpinan dan anggota. Tetapi jangan lupa bahwa NU adalah sebuah kultur, sebuah jalan hidup. Karena itu perbaikan harus kedua-keduanya tidak bisa hanya satu segi saja. Hal itu juga dikatakan oleh mbah Mutamakkin tentang keadaan kaum Muslimin. Jadi pada waktu itu terjadi bahwa ada semacam perlawanan kultural dari beliau, saya tidak tahu apa itu agama rakyat atau agama populer atau agama saja saya tidak tahulah, yang penting terjadi pendekatan kultural yaitu bahwa dimulai sesuatu yang baru.
Mbah Mutamakkin ini kan kita lihat di dalam hidupnya sebagaimana diuraikan dalam buku itu adalah murid dari Syekh Zayn. Syekh Zayn ini seorang Syekh al-Yamani, seorang pemimpin tarekat yang besar di Timur Tengah terutama Naqsyabandi. Dia ini sebenarnya adalah penerus dari tradisi Naqsyabandi yang dibawakan oleh Syaikh Khaliq dari Naqsyabandi India ke Tanah Kurdi yaitu di Arbarter dari sana ke Aleppo di pantai barat Syiria dan kemudian melalui Madinah dibawa ke Makkah. Karena orang-orang Kurdi itu bermadzhab Syafi’i, maka tidak usah heran ulama-ulama kita yang ikut tarekat di kemudian membawa pulang madzhab Syafi’i. Padahal dia sebelumnya bermadzhab Hanafi. Di sini pentingnya arti orang Kurdi, Syekh Zain. Dia mendidik Kyai Mutamakkin.
Nah, pada saat yang sama dia juga pernah belajar di dalam uraian buku ini, dalam beberapa riwayat mengenai keberadaan Mbah Mutamakkin tadi itu yang ada dalam disertasi Pak Azyumardi Azra, yaitu diterangkan mengenai Imam al-Kurrani. Seorang sarjana besar, seorang ulama tradisional ini jarang ada orang yang bisa mengedepankan baik tradisi keilmuan yang tinggi maupun kedalaman ilmu pengetahuan. Nah, kedua orang ini saya belum tahu sampai dimana pengaruhnya pada Mbah Mutamakkin. Tetapi telah memberikan kepadanya bekal, berupa kecintaan yang mendalam kepada ajaran-ajaran Islam.
Ketika dia pulang, saya lihat ada perbedaan antara Mbah Mutamakkin dan pihak lain. Yang pertama adalah ahli syari’ah atau ahli fiqih, yang diwakili oleh ulama-ulama yang oleh Demang Urawan di kumpulkan ulama-ulama fiqih ini yang berkeberatan kepada cara-cara perjuangan Mbah Mutamakkin. Di sisi lain juga ada, dan ini diuraikan di dalam buku tersebut, uraian ada nama-nama para ahli tarekat lain yang dibakar oleh sultan-sultan Mataram. Dibakar orangnya hidup-hidup (dihukum). Nah, kalau dilihat dari mengapa kok demikian? Jelas bahwa ulama-ulama itu merupakan ulama yang melakukan perlawanan politik ingin membongkar atau ingin menghancurkan kekuasaan sultan, yaitu dalam hal ini, tadinya Amangkurat diteruskan dengan Pakubuwono II.
Nah, ini saya tidak tahu latar belakangnya apakah ingin menegakkan pemerintahan Islam menurut versi mereka, atau hal lain saya tidak tahu. Di sisi lain ada kaum syari’at, yaitu para ahli fiqih yang jauh dari tasawuf, jauh dari tarekat. Orang-orang ini sesuai dengan adagium yang berlaku hingga saat ini, yaitu: “Imamun Fajru al-Sittina ‘Aman Khoiru Min faudlo Sa’atin” yang artinya; Imam yang zalim enam puluh tahun masih lebih baik daripada anarki satu saat. Karena itu mereka terus terang saja lalu membebek kepada kekuasaan. Ahli-ahli fiqih dulu begitu. Nah, datanglah mbah Mutamakkin. Dia datang itu kedua-duanya tidak senang. Yang satu langsung menentang Sultan yang lain lagi membenarkan Sultan dengan segala cara.
Nah, mestinya apa? Mestinya pendekatan kultural. Pendekatan kultural dalam arti mengemukakan sesuatu yang baru kepada rakyat dalam hal ini tarekat tetapi tidak digunakan untuk langsung melawan. Yang terpenting adalah mengembangkan sebuah alternatif. Nah, kadang kala kekuasaan yang ada ini gamang terhadap kemungkinan seperti itu. Waktu saya membaca Serat Cebolek dari Dr. Soebardi, disertasi beliau mengenai mbah Mutamakkin, saya itu terus terang saja waktu itu teringat kepada, kira-kira awal tahun 90-an, zaman saya mendirikan Forum Demokrasi (Fordem). Saya langsung dipanggil oleh BAKIN. Di sana alurnya di undang buka puasa oleh kepala BAKIN, Bapak Sudibyo dengan wakilnya itu.
Lalu di situ saya ditanyain. Tapi pertanyaan itu untuk meringankan saya jangan semua dianggap kalau BAKIN itu mesti jelek (ndak/tidak). Dia bertanya kepada saya “apa Forum Demokrasi sebuah organisasi?” jawab saya “bukan pak, bukan organisasi”. “Baik kalau begitu, jadi enggak berbahaya”. Lalu apakah Forum Demokrasi ini berniat untuk menjadi oposisi? saya katakan “Iho, bagaimana mau jadi oposisi, wong organisasi saja bukan. “lalu apa?” ya sejumlah orang kumpul-kumpul, gitu aja pak. Pendapatnya kok lain dengan pemerintah? Ya, pendapatnya lain dari pemerintah tapi kan biasa itu pendapat lain, tapi kami tidak institusi lawan institusi kok pak, kami hanya sekedar jumlah orang kumpul tapi tidak berbahaya.
Jadi, dengan dituntut begitu, lama-lama secara kultural, posisinya pak Harto bisa menerima dengan kehadiran Forum Demokrasi. Seneng atau tidak seneng ya itu soal mereka, tapi kan tidak diapa-apakan. Saya teringat akan hal itu, jadi mbah Mutamakkin itu pada dasarnya juga menentang kekuasaan raja yang terlalu mutlak.
Tapi dia tidak mengatakan menentang, dia hanya berbeda dari kekuasaan dengan kata lain membuat kultur baru. Memperkenalkan kultur baru atau budaya baru dalam kehidupan rakyat (mendidik rakyat dengan cara demikian). Ini sebetulnya yang dilakukan mbah Mutamakkin yang pendekatannya bukanlah institusi lawan institusi melainkan institusi yang ia bangun yaitu tasawuf, itu adalah sesuatu yang berada di luar pemerintah. Tapi tidak melawan pemerintah. Ini penting sekali, karena kalau tidak diingat/tidak diketahui atau tidak disadari hal ini, maka kita juga bisa sekarang begitu lagi. Ternyata demokrasi cuma main-main saja. Tidak ada, mana sih forum dari atas ke bawah kok.
Saya ingat saudara Agus Miftah pergi haji naik pesawat dalam pesawat itu ada Jendral Hartono, Faisal Tanjung, Akbar Tanjung, ada Hamami Minata dan ada Ali Wardana. Begitu masuk dia di panggil oleh Hartono, gus ngapain kamu ke sini? Saya juga heran kenapa saya masuk di dalam kloter tersangka ini. Dalam arti bahwa kita berbeda dari mereka, tetapi berbeda itu tidak berarti menentang, hanya berbeda gitu aja.
Nah, kalau sanggup kita demikian, sekarang ini ya sama keadaannya dengan mbah Mutamakkin artinya apakah kita harus mengembangkan kultur atau model oposisi terhadap pemerintah ataukah kita ini mengembangkan sesuatu yang lain daripada yang dikembangkan pemerintah? Nah, di sini saya melihat mbah Mutamakkin telah memulai sesuatu yang baru yaitu dia memperkenalkan bangsa kita kepada pendekatan ketiga; tidak anti dan tidak pro melainkan berbeda… gitu aja.
Ini penting, Dr. Taufiq Abdullah, seorang ketua LIPI pernah menyatakan bahwa hubungan antara Islam dan kekuasaan di Indonesia ini sepanjang sejarah dapat di bagi dalam empat model.
Model pertama model Aceh, dimana kampung kecil itu berkembang, tadinya menggunakan fiqih kemudian berkembang menjadi keraton besar-besar misalnya Samudra Pasai dan sebagainya. Karena itulah hukum Islam menjadi sesuatu yang wajar karena dia berkembang secara berlahan-lahan, maka adat pun harus menyesuaikan diri dengan syari’ah di Aceh. Ini yang terkenal dengan; ungkapan orang Aceh “adat pa kata marhum” yang artinya “adat apa katanya almarhum” al-marhum Sultan Iskandar syah kalau Iskandar Muda saya tidak tahu yang mana?.
Kemudian kedua adalah model Minangkabau Sumatra Barat dimana model ini langsung mempertentangkan antara adat dan syari’ah, kebetulan syari’ah itu hukum warisnya selalu berdasarkan Ubuwwah (ke-bapak-an/patriarkhi) tetapi masyarakat Minang justru matriarkhi yaitu nenek-mamak yaitu perempuan yang lebih berkuasa. Lalu terjadi, karena tidak ada kekuasaan yang tangguh (bertahan) tidak ada pemerintahan pusat yang kuat, maka terjadi Perang Padri yang lamanya selama enam belas tahun (1822 M-1838 M). Nah, perang itupun tadinya akan berlangsung terus menerus kalau tidak ada Jendral De Kock, orang Belanda yang mengambil kekuasaan. Lalu disitu diambil kata-kata adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah tapi itu cuman omong saja sampai sekarang tetap saja nenek-mamak. Tapi disitu terjadi pertentangan antara adat dengan syari’ah.
Lalu model ketiga adalah model Gua Sumatra Selatan sekarang diteruskan oleh para Sultan di negara-negara bagian Malaysia. Islam datang ke dalam sebuah keraton yang sudah ada tradisi pra-Islamnya tapi budaya Islam masuk, jadi campur aduk antara Islam dan tidak Islam, sekarang tambah baru di semenanjung Malaysia itu menjadi tambah lagi tambah Barat (model Barat yang tidak karu- karuan).
Yang keempat, ini yang terpenting adalah model Jawa, lha ini mbah Muttamakin yang saya tidak tahu apakah Dr. Taufiq Abdullah mengetahuinya atau tidak tapi yang saya salut bahwa di Jawalah berkembang dalam hubungan antara Islam dan negara itu tradisi NGO, tradisi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) itu dimulai oleh Joko Tingkir (Sultan Hadiwijaya). Sultan Hadiwijaya ini bertempur dengan menantunya Sutawijaya, dalam pertempuran itu dia kalah. Karena kalah dia kembali lewat bengawan Solo ke Sumenep (Ibunya, Astabrengky).
Nah, di sana itu sebagai pusat tarekat Qadiriyah waktu itu. Dia kembali mendapatkan kanuragan (kepercayaan akan kebal-kebal) dia akan menuntut balas dan kembali naik perahu lewat bengawan solo. Tentang hal ini dikekalkan di dalam tembang Jawa yaitu “Singgo pilir sang getek sinonggo pekjul kawandoso cacahipun” yaitu rakit didukung oleh empat puluh ekor buaya artinya kalau nanti yang naik buaya itu masuk angin (kentut) ya dimakan. Jadi waktu dia sampai daerah Pringgoboyo di dekat Paciran (sekarang Lamongan). pada suatu malam ia mimpi didatangi oleh gurunya (Sunan Kalijaga). Kata gurunya “untuk apa kamu kembali ke Pajang?” apa mau merebut kembali tahta kerajaan dari tangan Sutawijaya? Untuk apa? Itu kan bukan tugas kamu! Tugas kamu itu mengajar rakyat, tinggal saja di sini mengajar rakyat nanti kan lama-lama timbul sendiri perlawanan.
Nah, betul. Akhirnya dia nurut gurunya tinggal di Pringgoboyo membuat pesantren. Nah, itu tradisi pesantren pertama kali di sana sebelum adanya pesantren di Gunung Karang di Banten. Nah, di situ dia memulai mengembangkan tradisi pesantren. Pesantren-pesantren ini menggunakan sistem kerajaan. Nah, kyai-kyai ini kan seperti raja-raja kecil.
Di sinilah model hubungan multi kratonik itu akhirnya juga dipakai oleh mbah Mutamakkin didalam mengajarkan agamanya artinya dia mengubah sesuatu tidak menentang kraton tapi di luar kraton. Resminya dia tunduk kepada kraton secara nominal. Nah, Di dalam Serat Cebolek diterangkan bagaimana dia menghadap raja pada akhirnya tentu saja dan lain-lain. Saya kebetulan sedang menulis tentang itu tapi ya populer tidak ilmiah seperti buku Zainul Milal Bizawie. Ya, populer saja, ringkasan dari beberapa sumber (1). Serat Cebolek itu sendiri, (2) Serat yang sedang saya nantikan yang baru diterbitkan oleh LKIS Jogja yaitu mengenai KH. Rifa’i Batang. kemudian ada cerita tutur dari Kyai Muadz Thahir yang dikemukakan di sini dari versi dia seperti apa? Dari versi sana. Kemudian ada satu sumber yang sangat penting yaitu sumber dari kitab-kitab lama di Jawa.
Dengan demikian, dikawinkan dengan buku Milal dan dengan tulisan Azyumardi Azra, maka saya berharap akan punya sumber-sumber yang baik untuk membuat buku tentang mbah Mutamakkin karena beliau itu bagi saya sangat penting sebagai tokoh yang membawakan pendekatan kultural di dalam hubungan antara agama dan kekuasaan.
Saya rasa hal-hal inilah yang saya kemukakan sebagai catatan dalam kesempatan ini dan saya berharap mudah-mudahan kita semua dapat mengadakan penelitian lebih mendalam lagi atas cerita mbah Mutamakkin yang saya lihat bahwa beliau membawakan pendekatan yang baru. Oh, ya tadi ada yang lupa bahwa disamping rujukan tersebut, saya dalam menulis itu juga bersandar kepada ketoprak. Bahwa Mbah Mutamakkin diceritakan oleh ketoprak tentang Demang Urawan, Danurejo dan segala macam itu. Dengan sumber-sumber itu kita harus berani melakukan spekulasi-spekulasi supaya mendapatkan kesimpulan-kesimpulan yang nantinya akan kita teruskan dalam penelitian lebih dalam.
Disampaikan Gus Dur pada acara Peluncuran Buku Syekh Mutamakkin di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 14 Mei 2002. Diskusi juga dihadiri oleh Prof Dr. Azyumardi Azra dan Prof. Dr. Bambang Pranowo.