Pengantar ke Permasalahan Integrasi Nasional

Sumber Gambar: https://wawasankebangsaan.id/dampak-integrasi-nasional-bagi-bangsa-indonesia/

K.H. Abdurrahman Wahid

I

BANYAK sekali persoalan yang dapat digunakan untuk mendekati permasalahan integrasi nasional. Di sini akan diambil dua hal yang dianggap penting sekali, yaitu pendekatan institusional dan pendekatan yang berhubungan dengan kebijakan di bidang budaya.

Pentingnya kedua hal tersebut dikaji bersama kali ini adalah karena penghadapan yang sering sekali diambil dalam menentukan kebijakan, baik itu kebijakan pemerintah maupun usulan alternatif terhadapnya, yang muncul dari bawah. Dengan demikian, seringkali pihak yang berbicara tentang masalah integrasi nasional melalui kedua hal tersebut terjebak ke dalam sikap a priori yang sama-sama tidak ditunjang kenyataan.

Semakin banyak pola berpendapat seperti itu digunakan, semakin jauh pula pemecahan dapat dijangkau dengan memuaskan.

II

Salah satu watak utama dari pertikaian pendapat antara kita sesama warga bangsa tercinta ini adalah mudahnya kita meromantisir persoalan asasinya. Mereka yang menganut faham Marxis, umpamanya, menganggap permasalahan integrasi harus dipecahkan secara institusional. Dalam arti pengembangan kelembagaan yang akan memupuk kesatuan bangsa, karena dengan pola pengembangan intitusional tidak akan mungkin lagi warga masyarakat sebagai perorangan untuk menyimpang dari garis umum yang menuju kesatuan bangsa itu. Walaupun tidak berpijak pada Marxisme, banyak sekali kebijakan institusional yang diambil pemerintah memiliki potensi mengarahkan kehidupan individual para warga masyarakat ke jalur kesatuan itu, seperti pembentukan sekian banyak “wadah nasional”, dari perhimpunan humas departemen-departemen (sekarang kementerian-kementerian, peny) di pihak pemerintah hingga yang benar-benar swasta seperti ikatan pencak silat yang berlingkup nasional.

Kesemua upaya integratif itu patut dipertanyakan apakah memang benar-benar memberikan sumbangan efektif bagi pencapaian integrasi nasional yang tuntas. Karena secara institusional, masing-masing bidang garapannya akan membuat sebuah lembaga seperti itu terpana pada keterbatasan dirinya sebagai organisasi kemasyarakatan. Keterbatasan bidang garapan ini pada gilirannya berarti pencapaian aspirasi integratif di bidangnya belaka. Itu pun masih dalam keterbatasan kemampuan berupaya. Dengan demikian integrasi paripurna tidak akan tercapai sepenuhnya, melainkan integrasi yang terpecah-pecah, beraspirasi nasional dalam hal-hal tertentu belaka, selebihnya tidak. Belum lagi kalau integrasi sepotong-sepotong ini dipaksakan datangnya dari atas, di mana yang dihasilkan adalah integrasi semu dari sejumlah besar warga masyarakat.

Pengotakan kepribadian warga masyarakat menjadi “integrated man” (manusia terpadu) secara sepotong-sepotong ini sudah tentu tidak mencerminkan keutuhan dan kebulatan kepribadian nasional yang diharapkan dari semua warga bangsa, melainkan membentuk mosaik warna-warna lokal yang beraneka warna, membentuk kepribadian yang secara pandangan persatuan bangsa masih harus dipertanyakan kebijakan untuk pengembangannya.

III

Secara budaya, dahulu ada anggapan bahwa integrasi nasional manusia Indonesia harus berarti peleburan semua unsur yang membentuk dirinya ke dalam sebuah keutuhan baru, keutuhan Indonesia. Janganlah masih ada orang hanya berpikir untuk loyalitas sempitnya yang semula, melainkan harus dilebur semuanya ke dalam loyalitas nasional yang baru. Kesemua unsur lokal, golongan dan etnis yang membentuk dirinya harus meleburkan diri ke dalam apa yang sering dirumuskan sebagai “ciri manusia Indonesia”. Dalam peristilahan yang semula digunakan untuk pembentukan bangsa Amerika Serikat, kita diminta untuk menjadi sebuah “melting pot”, ramuan berbagai unsur budaya menjadi satu budaya nasional yang baru.

Pandangan seperti itu sudah tentu tidak realistis. Di Amerika pun akhirnya diakui tidak ada “lembaga peleburan” atau melting pot yang dimaksudkan. Bagaimanapun juga manusia bangsa sebesar bangsa kita tidak akan mungkin terlebur menjadi sebuah identitas tunggal. Dalam analisa terakhir, yang dominan senantiasa bukanlah kepentingan nasional melainkan kepentingan kelompok sendiri yang diidentifikasi sebagai kepentingan kelompok nasional, seperti proses “pen-Jawa-an” bahasa formal kita yang berlangsung dengan pesat dewasa ini. Adalah kekanak-kanakan dan romantis untuk menganggap kepentingan nasional sebagai sublimasi semua kepentingan sektoral tadi. Yang benar, integrasi nasional secara kultural sekarang ini mengambil bentuk dominasi sebuah sektor atas sektor-sektor yang lain. Terjadi tukar menukar dukungan (trade off) di mana kepentingan-kepentingan sektoral itu mencoba mendapatkan sebanyak mungkin dari sektor yang dominan bagi dukungan mereka atas dominasinya.

Ini sudah tentu mengakibatkan bopengnya wajah integrasi nasional itu sendiri, karena di dalamnya lalu terkandung benih-benih kerusakan yang memang sudah inherent dan tak terhindarkan lagi. Kesadaran akan hal ini, akan hakikat saling tukar-menukar dukungan ini, harus kita miliki, agar seluruh kebijakan budaya kita dapat mencerminkan realitas, bukannya impian muluk-muluk yang jauh dari kenyataan hidup.