Pengembangan Fikih Yang Kontekstual

Sumber Foto: https://www.gemarisalah.com/apa-itu-fiqih/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Judul di atas sebenarnya sesuatu yang jarang dipikirkan orang, yaitu adanya beberapa macam tahap pengembangan di dalam kurun waktu yang lama. Yang dimaksud dengan kata “pengembangan” di sini bukanlah dari titik nol, yaitu pengembangan fikih dari sesuatu yang sama sekali beku, melainkan justru sebaliknya. Kata fikih itu sendiri dalam pengertian terminologis (istilahi) dimaksudkan untuk menggambarkan sesuatu yang sudah mengalami proses pengembangan. Kata yang semula berarti “paham” atau “pengertian” itu, dalam arti terminologisnya menunjuk kepada hukum-hukum agama yang telah diproses melalui sebuah pola penalaran tertentu, sehingga pada akhirnya ia merupakan hasil yang tidak sepenuhnya bersifat literer (harfi), melainkan sedikit banyak sudah beranjak dari rumusan teks Alquran dan Sunnah semata.

Dalam definisi terminologisnya, kata fikih dirumuskan sebagai hukum-hukum yang ditarik atau disimpulkan dari dalil-dalil syar’i (al-ahkam al-mustanbathah min adiliatiha al-syar’yyah). Kata “al-mustanbathah” atau “disimpulkan” dan ditarik dalam definisi tersebut jelas sekali menampakkan adanya proses untuk memahami situasi, dalam mana sebuah ayat Alquran atau Sunnah Nabi saw. memperoleh pengolahan untuk disimpulkan. Misalnya ayat “kutiba ‘alaikum al-shiyam kama kutiba ‘ala al-ladzina min qablikum” (telah ditetapkan bagi kalian puasa Ramadhan sebagaimana diwajibkan atas orang sbelum kamu), perintah global tersebut di atas tidak menyebutkan perincian bagaimana puasa itu harus dilakukan. Maka dicarilah informasi bagaimana Nabi saw. berpuasa, baik dari hadis-hadis mutawatir maupun riwayat para sahabat, hingga akhirnya dapatlah dikumpulkan sebuah informasi yang sudah tentu saling berbeda, sebab sumber riwayatnya juga berbeda. Dari gugusan informasi yang saling berbeda itu ditariklah sebuah rumusan tentang puasa yang berlaku secara baku dan berlaku pula hingga saat ini setelah lebih dari 100 tahun ia dirumuskan. Maka sekarang puasa itu didefinisikan sebagai menahan diri dari makan dan minum sejak fajar terbit sampai matahari terbenam. Ke dalam pengertian “menahan diri dari makan dan minum” ini, disimpulkan pula menahan diri dari merokok, menahan diri dari memuntahkan sesuatu dari dalam perut, karena dikahwatirkan ada bagiannya, walaupun sedikit, yang masuk kembali melalui kerongkongan, dan lain sebagainya. Bahkan demikian luas jangkauan rumusan tersebut, hingga pernah ditanyakan apakah suntikan melalui lengan atau paha dan pemberian transfusi darah serta infus makanan membatalkan puasa atau tidak menunjukkan dengan jelas bahwa fikih adalah proses penalaran, dan bukannya sesuatu yang beku atau mati.

Menyantuni Aspek Lokalitas

Kalau pengertian fikih yang demikian ini diingat, yaitu ia merupakan sebuah proses pengembangan yang berlaku secara gradual walaupun di permukaan tampak membeku, maka dengan sendirinya kita harus melakukan refleksi atas kata pengembangan sebagaimana dimaksudkan di atas. Yaitu bahwa pengembangan fikih adalah pengembangan sebuah gugusan hukum agama yang tidak pernah berhenti berkembang. Dari butir-butir hukum yang dapat kita jumpai dari karya-karya ulama besar masa lampau hingga saat ini ternyata menunjukkan adanya kecenderungan amat kuat untuk melakukan proses penyesuaian dengan keadaan setempat tanpa mengorbankan prinsip umum dari hukum agam itu sendiri.

Ketika mufti Hadramaut ditanyai tentang tanah jajahan Hindia belanda yang secara politis dan administratif di bawah penjajahan kolonial Belanda, maka ia memberikan jawaban yang sepenuhnya menunjukkan pengertian akan sisi lokalitas dari hukum agama. Dalam jawabanyya atas pertanyaan apakah tanah jajahan Hindia Belanda termasuk negeri muslim (darr al-islam) atau negeri kafir (daar al-harb) — dengan konsekuensi kaum Muslimin harus mengecilkan Islam di Indonesia jika status tanah jajahan tersebut adalah negeri kafir–maka mufti Hadramaut mengatakan karena tanah jajahan Indonesia dahulu pernah diperintah oleh kerajaan-kerajaan Muslim, maka statusnya tetaplah menjadi negara Muslim secara nyatanya, walaupun negara kafir dalam bentuk lahirnya. Di sini tampaknyata sekali aspek lokalitas sangat dominan dalam pemikiran para ahli fikih di masa lampau. Ketika diadakan gradasi tentang arti ahli fikih (al-fuqaha), yang menurut standar sangat tinggi dalam penguasaan fikih, sebelum seseorang dapat diberi gelar tersebut, kemungkinan besar titik tolak pemikiran pembakuan keahlian fikih itu termasuk keahlian memperhitungkan faktor lokalitas di dalam pengambilan keputusan tentang hukum fikih itu sendiri.

Contoh lain dapat disebutkan dalam hal ini adalah sebuah diktum dalam karya utama Syeikh Arsyad Banjar yang berjudul Sabil al-Muhtadin, dalam corpus mana beliau menyatakan sahnya pembagian waris berdasarkan adat perpantangan. Harta dibagi dua dahulu untuk suami dan isteri dan barulah hasil parohan itu yang dibagikan kepada ahli waris. Ini jelas merupakan pengembangan yang radikal dari konsep semula yang ada dalam Alquran, yaitu bahwa keseluruhan harta peninggalam seseorang yang meninggal dunia dibagi antara para ahli waris. Memasukkan adat perpantangan di dalam kitab standar fikih adalah nyata sekali merupakan sebuah hasil pemikiran kontekstual yang memperhitungkan masyarakat Banjar yang harus hidup dari kerja di atas sungai, baik berdagang ataupun mengail ikan. Pekerjaan demikian tidak hanya dapat dilakukan suami saja, seperti mencangkul di sawah, melainkan harus dilakukan oleh suami dan isteri bersama-sama dengan jalan membagi kerja antara mendayung perahu dan berdagang atau mengail ikan.

Dengan demikian jelas sekali konteks lokal yang sangat kuat mempengaruhi proses pengambilan hukum fikih melalui perumusan kembali arti pemilikan harta yang diperoleh dari usaha bersama, walaupun ketentuan tentang perolehan bersama yang ada di daerah Banjar ini agak sedikit berbeda dari kasus-kasus kepemilikan bersama atas harta dinegeri-negeri Timur yang telah mengenal hukum tersebut di masa lampau Kontekstualisasi karena terpenuhinya beberap persyaratan seperti adanya pemilikan bersama atas harta dalam kasus yang disebutkan di atas, menunjuk dengan jelas betapa besarnya peluang bagi perumusan kembali hukum agama dalam fikih, sebuah institusi yang mau tidak mau harus diakui sangat kompleks dalam rumusannya, tetapi yang justru mampu menjawab tantangan zaman.

Kerangka Kolektif

Di dalam kita menengok kepada telah adanya proses pengembangan hukum agama melalui fikih dalam bentuk-bentuk yang nyata-nyata menggambarkan proses kontekstualisasi, harus pula diingat bahwa kerangka untuk itu juga dikembangkan dalam bentuk serangkaian kelengkapan metodologis. Ketika pada akhir abad ke-2 Hijri atau pertengahan abad ke-8 Masehi, Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’i mendiktekan karyanya berjudul al-Risalah kepada juru tulisnya Sulaiman Ibn Rabi’. Tentu beliau sendiri tidak menyadari bahwa implikasi dari karya beliau itu akan berakibat jauh sekali. Pendekatan empirik yang beliau lakukan kepada kasus-kasus hukum dengan mencoba meninjau kembali sumber-sumber Alquran dan Sunnah secara tuntas, akhirnya melahirkan apa yang kemudian dikenal sebagai teori hukum (ushul al-fiqh, legal theory). Kedua peralatan tersebut terus-menerus mengalami perkembangan walaupun dengan sangat lambannya, dan hingga saat ini pun belum terhenti upaya untuk melakukan pengembangan hukum agama di satu pihak, dan sekaligus metoda yang digunakan untuk merumuskan hukum itu di lain pihak.

Masalah utamanya adalah bagaimana seharusnya dibuat sebuah kerangka yang lebih kolektif dan lebih sistematis dalam pengembangan hukum agamanya sendiri maupun pengembangan metodologi yang digunakan dalam memutuskan hukum agama. Tanpa sebuah kerangka demikian, maka hasilny tetap saja akan bersifat sporadis seperti yang selama ini terlihat dalam literatur lembaran kitab kuning di bidang fikih. Upaya untuk melakukan upaya dua sisi tersebut, yaitu sisi sistematisasi upaya pengembangan fikih itu sendiri maupun pembakuan hukum-hukum yang telah diambil dalam sebuah kenteks kolektif, sangat perlu dipikirkan.

Dalam bangunan ini patut dicatat bahwa sejak dinasti-dinasti Mamalik di mesir maupun Utsmaniyah di Turki, sebuah mekanisme telah diciptakan untuk melakukan kedua kerja tersebut. Dengan cara membuat lembaran negara yang memuat keputusan-keputusan mufti dan yang memuat keputusan-keputusan hukum yang telah distandarisasikan oleh mufti-mufti, maka dengan penuh kepastian, pelaksanaan hukum agama dapat diefisienkan dalam arti ada kesamaan produk hasil pengolahan dan pengembangan hukum agama yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat secara umum. Lembaran negara “al-Majallah”, dalam bahasa Turki “Mejellet”, memuat hukum-hukum agama yang telah dibakukan oleh pemerintah, yang bentuk kontemporernya adalah undang-undang perkawinan (kita) melalui undang-undang No. 1/1974.

Undang-undang Perkawinan tersebut jelas sekali menunjukkan adanya lokalitas yang sangat kuat. Kebutuhan masyarakat kepada perumusan kembali beberapa aspek perkawinan berupa ikatan atau kontrak (‘aqd al-nikah) akhirnya melahirkan beberapa ketentuan yang sepintas lalu tampaknya menyimpang dari keputusan-keputusan hukum fikih yang tertera alam kitab-kitab “kuning”. Menurut kitab-kitab kuning bidang fikih dalam mazhab Al-Syafi’i, hak menceraikan hanya terletak ada suami, dengan rumusan yang terkenal yaitu apabila kata “thalaqtuki” (kuceraikan engkau) diucapkan suami, maka perceraian telah jatuh walaupun ucapan tersebut tidak disengaja. Demikian kuat kedudukan suami dalam perkawinan, yang diambil dari pengertian ayat Alquran “al-rijal qawwamun ‘ala al-nisa” (pria lebih tegak dari perempuan), sehingga hak talak yang sepihak itu dilestarikan lebih dari 1000 tahun lamanya. Bagi perempuan, hanya ada satu jalan untuk melepaskan diri dari nikah, yaitu dengan cara melarikan diri atau mogok dan memboikot suami dalam segala hal, yang dalam pengetahuan fikih disebut sebagai nusyuz.

Namun dalama UU Perkawinan kita, hak perempuan untuk menyatakan cerai dinyatakan dengan jelas sekali, yaitu melalui permohonan kepada Pengadilan Agama. Jadi dalam hal ini, telah ada reduksi atau penurunan wewenang pria dan penambahan wewenang perempuan dalam perkawinan. Sesuatu yang benar-benar menunjukkan watak lokal dari perkembangan fikih di tanah air kita yang sangat menghargai status perempuan. Masuknya unsur antropologis ini jelas sekali memberikan warna baru kepada hukum Islam yang diterapkan di Indonesia di bidang perkawinan. Suami pun kalau ingin menjatuhkan cerai, tidak bisa langsung seperti dahulu, yaitu hanya mengatakan “thalaqtuki“, melainkan baru jatuh talak apabila telah disahkan oleh Pengadilan Agama. Kenyataan-kenyataan seperti ini jarang sekali diperhatikan, sehingga kita seringkali terjebak dalam tuntutan global untuk melakukan perubahan hukum Islam, seakan-akan dia tidak pernah dikembangkan. Padahal kenyataan menunjukkan sebaliknya, sehingga tuntutan seperti itu, jika dilakukan terus-menerus, lama-kelamaan akan terasa sebagai sesuatu yang kosong, dan menunjukkan bahwa yang mengajukan tidak mengerti benar seluk beluk perkembangan fikih.

Perubahan Simbiotik

Sebuah aspek lain dari UU Perkawinan yang telah disebutkan di atas adalah ketentuan mengenai pembatasan jumlah istri, yang jelas menunjukkan adanya pengembangan akibat modernisasi, dalam artian masuknya gagasan-gagasan modernitas yang datang dari luar. Gagasan tersebut terasa kuat sekali di lingkungan perempuan terpelajar dari lingkungan yang dapat dikatakan “santri kota” maupun dari lingkungan yang tidak santri (non santri). Adanya interaksi yang begitu kuat antara kelompok-kelompok yang saling berbeda yang sama-sama memerlukan hukum Islam, walaupun sikap dan pengertian serta keterlibatan mereka kepada kehidupan beragama Islam sangat berlainan, menunjukkan bahwa setelah diundangkan sebagai hukum formal negara kita, bentuk hukum fikih mengalami peningkatan kedudukan yang fundamental. Kalau tadinya fikih adalah semata-mata hanya urusan kaum santri, maka akibat pengundangan secara formal dalam bentuk undang-undang dan peraturan-peraturan yang mempunyai daya ikat yang sama, maka jelas sekali fikih lalu berfungsi sebagai sesuatu yang sama sekali berbeda, yaitu sebagai aturan yang mengikat semua pihak, tanpa ditanyakan apakah mereka memiliki komitmen penuh kepada Islam atau tidak. Dengan kata lain, terjadi perubahan simbiotik dari fikih. Dia tidak hanya menjadi hukum-hukum yang ditarik oleh para ulama secara sendiri-sendiri kemudian dikonsensuskan secara merata oleh semua ulama, melainkan menjadi sesuatu yang bentuknya memiliki sangsi formal dan melibatkan semua warga negara tanpa memandang mereka kaum santri atau bukan.

Perubahan fungsi ini adalah apa yang dikenal dengan kata “tasyri“, yang dalam pengertian bahasa Indonesia mungkin paling tepat disebut sebagai pelaksanaan syari’ah. Inilah sesuatu yang membedakan perkembangan hukum agama di Indonesia dari masa lampau, yang semula hanya berupa pendapat-pendapat pribadi para ulama, dan kemudian menjadi norma umum tanpa harus adanya campur tangan pemerintah dalam perumusannya. Karena itulah, masih kita lihat di kraton-kraton kerajaan masa lampau masih juga terdapat hal-hal yang boleh dikatakan tidak sesuai sama sekali dengan produk-produk ulama yang terhimpun dalam fikih. Jika kekuatan fikih semula meningkat karena ia merupakan produk perundang-undangan negara, sudah tentu tidak akan dibiarkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan seperti yang terjadi di beberapa kraton tersebut.

Namun sekarang, dengan penubuhannya sebagai bagian dari Perundang-undangan Nasional, maka tidak dibiarkan terjadinya penyimpangan yang ada, minimal secara teoritis. Perubahan fungsi fikih dari norma yang berkembang di masyarakat secara kultural menjadi bagian dari proses Perundang-undangan Nasional yang berarti pengembangan fikih secara yuridis, dapatlah dikatakan sebagai perluasan fikih menjadi syari’ah, dalam arti yang terminologis. Karena pengertian syari’ah dalam pengertian terminologis adalah proses pengundangan secara formal. Walaupun seringkali kata syari’ah digunakan secara meluas dengan pengertian yang berbeda sati dari yang lain, seperti penggunaannya selama ini, namun jelas sekali bahwa aspek formalisasi fikih menjadi Undang-undang adalah bagian dari perkembangan syari’ah kita.

Fikih dalam arti yag lama adalah sesuatu yang merupakan produk penalaran yang dilakukan baik secara individual maupun kolektif oleh kelompok-kelompok ulama melalui proses pengembangan sikap bersama, umumnya mengenai hal-hal yang bersifat kasuistik dan sangat mendetail, sehingga tidak mungkin diperoleh konsensus atau kesamaan pendapat dalam hal itu. Dalam arti terminologis berarti hukum-hukum operasional dari apa yang telah dirumuskan secara global dalam bentuk pedoman- pedoman umum. Pedoman-pedoman itulah yang dinamakan syari’ah dan perinciannya secara operasional adalah yang dinamakan fikih. Ketika Alquran mewajibkan pelaksanaan shalat sebagai salah satu di antara fardhu atau kewajiban obligatoris bagi kaum Muslimin, maka ia adalah syari’ah karena sifatnya yang global. Perintah global yang bersifat syari’ah itu kemudian diperinci melalui aplikasi sebuah hadis “shallu kama raaytumuni ushalli” (shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat). Atas dasar pengertian yang ditarik dari hadis tersebut, maka kemudian para ulama mengumpulkan hadis-hadis maupun pendapat-pendapat sahabat tentang bagaimana kewajiban bershalat secara global dalam Alquran itu akhirnya dioperasionalisasikan melalui sejumlah tindakan dan pelaksanaan perintah secara terinci dan operasional.

Antara Syari’ah dan Fikih

Perubahan syari’ah dari sesuatu yang global menjadi fikih yang bersifat operasional dan menyangkut masalah-masalah perincian seperti dicontohkan di atas, menunjukkan dengan jelas adanya dua sisi yang sama sekali berbeda antara syari’ah dan fikih. Sisi pertama adalah perbedaan status. Ketika syari’ah merupakan perwujudan undang-undang sebagai proses penubuhan sebagai hukum formal dari fikih, dan ketika fikih sebagai himpunan kasus-kasus hukum yag sifatnya operasional, yang ditarik dari perintah-perintah syari’ah yang tadinya bersifat global, menunjukkan bahwa diperlukan adanya kemampuan melakukan differensiasi yang tinggi, mana yang fikih dan mana yang syari’ah. Saat inipun masih berkembang pandangan lain yang menyatakan bahwa syari’ah tidak lain adalah sebuah kelengkapan yang berupa jalan hidup.. sesuai dengan pengertian asli kata “syari’ah” dalam bahasa Arab, ia memasukkan di dalam dirinya semua unsur yang berbeda-beda, mulai dari akhlak hingga masalah-masalah pemerintahan. Artinya dimensi syari’ah lebih luas jangkauannya dari pada apa yang dapat diliput fikih. Syari’ah dalam pengertian ini tidak lain adalah terjemahan dari kata Islam dalam arti fungsinya sebagai jalan hidup paripurna yang harus diikuti oleh semua kaum Muslimin secara keseluruhan. Inilah yang membedakannya dari fikih, karena fikih pada dasarnya menyangkut aspek-aspek hukum belaka, tidak menyangkut aspek akhlak apalagi yang lain-lain seperti disebutkan di atas.

Dengan kata lain, fikih mengalami proses penyempitan ketika terjadi perluasan wawasan syari’ah oleh sementara kalangan semenjak beberapa puluh tahun terakhir ini. Fikih lalu dianggap hanya sebagai produk yang sifatnya parsial, yang tidak mendukung hidup kaum Muslimin secara penuh dan utuh, padahal sebenarnya di masa lampau justru fikihlah yag befungsi demikian dan hingga saat ini di kalangan ulama tradisional juga masih berpikiran seperti itu. Terjadinya penyempitan lingkup fikih oleh sejumlah pemikir masalah agama dewasa ini, menunjukkan adanya pergeseran yang kita belum tahu hingga titik mana akan terjadi. Suasana tentu masih bergumul antara dua pengertian fikih dan dua pengertian syari’ah yang saling berbeda itu, yang sedang terlibat dalam sebuah proses yang sangat intens dan masa yang sangat panjang, paling tidak masih beberapa puluh tahun lagi berlangsung. Sebenarnya di sinilah letak peluang untuk melakukan sebuah kajian ulang terhadap fungsi fikih, dan dengan sendirinya berarti pula kontekstualisasi fikih dalam arti masuknya unsur-unsur lokal yang sangat kuat dalam proses pengundangan fikih itu sendiri dalam bentuk hukum formal suatu negara. Kalau ini disadari, maka kontektualisasi fikih dalam kehidupan masyarakat kita akan banyak mengalami perkembangan yang menarik, mengingat bahwa justru para ahli fikih sendiri atau ulama-ulama kita dapat melakukan intervensi yang sangat besar ke dalam fikih, sehingga menghasilkan sebuah perundang-undangan yang memenuhi kebutuhan kita bersama sebagai bangsa yang modern tetapi sekaligus masih mampu berpegang pada akar-akar budaya masa lampau secara kuat.