Pengembangan Pengajian Kitab Di Pondok Pesantren

Sumber Foto:https://muallimin.sch.id/2015/10/04/antara-santri-prihatin-dan-santri-hedonis-sebuah-renungan/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Mengapakah perlu diberikan perhatian kepada masalah pengajian kitab di lingkungan pesantren? Jawaban terhadap pertanyaan yang demikian sederhana, ternyata tidak semudah yang disangka untuk dirumuskan dengan baik. Masalah pengajian kitab di pondok pesantren ternyata menyangkut hal-hal lain yang cukup mendasar bagi kehidupan pondok pesantren. Dapatkah sebuah pondok pesantren yang tidak mengajarkan kitab-kitab konvensional (al-kutub al-qadimah yang dikenal dengan sebutan kitab kuning) masih dapat dianggap pondok pesantren? Kalau dapat, lalu di manakah pentingnya kedudukan pengajaran kitab-kitab di lingkungan pondok pesantren, karena ternyata tokoh dengan kitab-kitab baru yang nonkonvensional, ia masih dianggap pondok pesantren juga? Kalau memang sudah didapatkan kejelasan di mana urgensi pengajaran kitab-kitab konvensional itu, akan timbul pertanyaan lain: mengapakah ia perlu dikembangkan? Sudah tidak memadaikah apa yang diajarkan selama ini? Mengapa sampai terjadi demikian? Dan sekian banyak pertanyaan lagi, yang semuanya sulit dijawab.

Bagian ini tidak mencoba menjawab pertanyaan di atas, melainkan sekedar mengemukakan latar belakang mengapa pelestarian pengajaran kitab kuning di pondok pesantren sangat penting, dan mengapa pengajaran itu sendiri masih dirasa perlu untuk dikembangkan lebih jauh. Penulis juga tidak berharap bahwa dengan tulisan ini persoalan utama akan terpecahkan, karena masalah pengembangan pengajian kitab-kitab konvensional, sebagaimana banyak juga masalah-masalah dasar lainnya, masih sangat bergantung pada inisiatif masing-masing pesantren untuk menemukan jawabannya sendiri yang dianggap paling baik dan tepat untuk kebutuhan saat itu. Kalau sebuah bentuk pemecahan persoalan sudah cukup banyak diikuti oleh pesantren-pesantren utama, barulah ia akan diterima sebagai pemecahan universal (hallun ‘am) bagi semua pesantren. Itupun masih akan ada sejumlah kecil pesantren yang tidak merasa terikat dengan pemecahan umum tersebut. Di sini perlu diingatkan pentingnya pemahaman yang besar dan berlaku di kalangan pondok pesantren atas beberapa istilah yang umum digunakan. Ketidakmampuan memahami arti beberapa istilah secara apa yang dipahami di kalangan pondok pesantren sendiri, karena keterlanjuran mengikuti arti yang dikembangkan kalangan luar pondok pesantren, dapat memberikan gambaran yang salah sama sekali. Arti kata taqlid, ijtihad, kafir, jihad, ijma’ dan sebagainya dapat jauh berbeda antara pengertian yang di gunakan di lingkungan pondok pesantren dan di luarnya. Menyamakan ijma’ dengan konsensus misalnya, sangatlah menyesatkan, karena perbedaan antar keduanya sangat besar (lihat Zamakhsyari Dhofier, The Pesantren Tradition, Canberra: The Australian National University, 1980)

Tetapi upaya menyamakan pemahaman atas persoalan yang dihadapi, baik tentang latar belakang permasalahannya maupun kemungkinan-kemungkinan pemecahannya, akan sangat membantu dalam mencari pemecahan persoalan yang bersifat universal di atas. Metode (manhaj) pemecahan persoalan seperti itu adalah sesuai dengan watak dari proses perubahan dan pengembangan lingkungan pondok pesantren pada umumnya, bahkan terkadang di kalangan sesama pengasuh dan pembina pondok pesantren yang satu sekalipun. Tekanan seringkali diberikan kepada upaya rintisan untuk mencari pola pemecahan persoalan yang dianggap tepat. Setelah kelayakannya dalam praktek diuji dan dicoba, itupun setelah melalui penolakan halus maupun tajam, sebelum diterima sebagai kebutuhan, barulah pola itu diterima sebagai sesuatu yang layak diratakan di kalangan pondok pesantren secara umum. Sesuai dengan pola dan metoda rintisan atau terobosan tersebut, maka diharapkan upaya pemecahan perosalan yang dihadapi pengajaran kitab konvensional yang muncul dari pengenalan masalah dan telaahan atas beberapa kemungkinan yang diajukan di sini, akan mencapai hasil yang diinginkan di kemudian hari, yaitu pemecahan masalah itu sendiri secara tuntas.

Dilihat dari fungsinya, sebenarnya pengajaran kitab-kitab konvensional melalui pengajian merupakan salah satu dari ketiga unsur utama sebuah pondok pesantren, sistem nilai yag utuh dan bulat yang berlaku di dalamnya, digunakannya sumber literer (al-kutub al-muqarrarah) yang bersifat universal bagi semua pondok pesantren, dan hirarki internnya yang tidak sama dengan hirarki kemasyarakatan di luar pondok pesantren. Saya sering mengemukakan bahwa ketiga unsur itu telah memberikan warna budayanya sendiri kepada pondok pesantren, yaitu menjadikan sebuah sub-kultur yang penting dan sangat fungsional sebagai alternatif ideal bagi budaya bangsa secara keseluruhan (lihat tulisan saya Pesantren Sebagai Sub-Kultur dalam Dawam Rahardjo. ed., Pesantren dan Pembaharuan, LP3ES, 1974). Walaupun kajian-kajian setelah terbitnya karya tulis tersebut telah membuktikan keharusan untuk sangat berhati-hati menerima pra-anggapan tentang watak sub-kultur pondok pesantren tersebut, namun kenyataan pentingnya kedudukan pengajian kitab konvensional di lingkungn pondok pesantren sebagai salah satu unsur utamanya, rasa-rasanya sulit untuk dibantah lagi.

Pengajian kitab konvensional memenuhi beberapa tujuan fungsional sekaligus. Pertama, menyamakan kedudukan metoda pemahaman agama (manhaj fahm al-ta’lim al-diniyyah) di kalangan pondok pesantren. Dengan mengikuti pengajian kitab-kitab yang sama, akan diperoleh kesamaan pemahaman atas hal-hal yang dibahas di dalamnya. Kedua, memelihara kelangsungan garis penularan ilmu (sanad al-‘ilm) dari generasi ke generasi dalam pola yang mantap dan menetap, melalui sistem pemberian al-ijazah (semacam simbol dalam bentuk ucapan atau baiat dari kyai) untuk mengajarkan kitab-kitab konvensional. Wajah utama dari fungsi penularan ilmu ini adalah silsilah kekyaian dan atau keguruan yang tidak terputus-putus dari warga pesantren di suatu kurun waktu ke atas, hingga kepada pengarang kitab dan bahkan kepada pendiri mazhab masing-masing. Silsilah kekyaian atau dalam istilah Zamakhsyari Dhofier intellectual geneology of the kyai, merupakan aspek menonjol yang membedakan pondok pesantren dari lembaga pendidikan Islam lainnya di kawasan nusantara (Zamakhsyari Dhofier, 1980). Ketiga, memelihara kelangsungan sistem nilai yang dianut oleh pesantren dalam artian yang dinamis. menyediakan wahana untuk memelihara inti moralitas beragama dengan kemampuan menyediakan bentuk lahiriyah yang senantiasa berubah. Dan keempat, menyediakan wahana untuk mengaitkan moralitas/akhlak yang dikembangkan di lingkungan pondok pesantren sendiri dan apa yang berkembang di luarnya.

Karena fungsinya sedemikian itu, dengan sendirinya beberapa aspek dari kehadiran kitab-kitab konvensional itu sendiri haruslah dimengerti dan diingat-ingat dalam upaya mencari pemecahan bagi persoalan pengajaran kitab konvensional itu di lingkungan pondok pesantren. Pertama, walaupun sangat besar keragaman pendapat antara kesemua kitab yang digunakan dalam pengajaran di lingkungan pondok pesantren, kesemua sumber literer itu memilih nilai-nilai utama yang sama, yaitu ketundukan mutlak pada kedua sumber utama Alquran dan Hadis, yang dikenal dengan sebutan al-adillah al-naqliyyah. Karenanya, tidak akan dikenal penggunaan kitab-kitab karangan golongan Mu’tazilah yang memberikan tempat utama pada paham sarwa akal (mazhab al-‘aqliyyah), maupun kitab-kitab yang terlalu mengandalkan pendapat pada intuisi belaka. Kedua, sebuah sistematika berpikir digunakan secara menyeluruh dan tuntas dalam semua disiplin pengetahuan yang dibahas, dengan tetap memberikan tempat kepada sub-sistematika yang khusus (al-manhaj al-khash) di lingkungan masing-masing disiplin pengetahuan itu. Dan ketiga, kitab yang digunakan hanyalah karya yang telah disepakati bersama tentang “kebenaran” isinya, baik secara aktif (seperti kutub al-sittah dalam pengajian Hadis) ataupun secara passif (seperti kitab-kitab kecil beraneka ragam di hampir tiap disiplin pengetahuan keagamaan).

Dengan melalui aspek-aspek utama pengajaran kitab-kitab konvensional tersebut melalui sistem pengajian, dengan sendirinya pijakan kita menjadi kuat dalam mencari upaya rintisan untuk memecahkan persoalan pengajian kitab konvensional di lingkungan pondok pesantren nantinya. Namun perlu juga diketahui beberapa varian yang diakui keberadaannya di lingkungan pondok pesantren, yang menunjukkan fleksibilitas sistem pengajian kitab konvensional itu. Pertama, jenis kitab yang digunakan mencerminkan jenis pandangan keagamaan pengasuh masing-masing pesantren dan orientasi kehidupan beragamanya. Jika di sebuah pesantren, tekanan diberikan pada kitab-kitab fikih yang berhaluan keras dan ketat dalam soal-soal hukum agama, maka di pesantren lain mungkin justru diajarkan kitab-kitab yang longgar. Begitu pula, spesialisasi yang dimiliki pengasuh sebuah pondok pesantren akan sangat mempengaruhi tekanan utama disiplin pengetahuan keagamaan yang diajarkan. Ada pondok pesantren yang lebih mengutamakan masalah-masalah hukum agama. Ada yang mengutamakan pengajaran kitab-kitab akhlak beragama, dan lebih jauh lagi yang memberikan tekanan pada pemahaman bahasa Arab dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan bahasa Arab. Kedua, sistem pengajian yang diterapkan juga dapat berbeda antara satu pondok pesantren dengan lainnya, ataupun juga dikembangkan kombinasi antara berbagai cara pengajian kitab. Ada yang hanya memberikan pengajian sorogan, dimana sang santri mengajı kitab satu persatu kepada kyainya (individual tutoring). Dapat juga digunakan sistem pengajian weton/bandongan (halqah, lingkaran), di mana seorang kyai membacakan dan menerangkan kitab yang diajarkan, sedangkan santri-santrinya mendengarkan dan mencatat bilamana dipandang perlu. Dengan diperkenalkannya sistem sekolah/madrasah, maka cara dalam mengajar kitab konvensional berkembang lagi, yaitu penggunaan ruang kelas dengan peralatan sekolah, seperti papan tulis dan melalui testing (tamrinat) dan ulangan/ujian (imtihanat). Selama 90 tahun terakhir ini telah dikembangkan juga sebuah sistem peopang (supporting system) bagi pengajian kitab di dalam kelas, yaitu dengan penyelenggaraan musyawarah kelas, di mana para siswa dapat membahas dan memahami bersama pelajaran yang sebelumnya telah diberikan di kelas dalam sitem seminar/diskusi. Dari sistem ini lahirlah berbagai bentuk musyawarah hukum agama yang berkembang di banyak tempat di tanah air kita hingga sekarang. Dan ketiga, tingkat pengajian dan lama belajar juga mengalami variasi sangat besar, tidak hanya dari satu ke lain pondok pesantren, bahkan dalam sebuah pondok pesantren sekalipun. Program-program khusus seperti pengajian bulan puasa umpamanya, dengan demikian patut diperhatikan sebagai salah satu bentuk pengembangan di kemudian hari.

Sebelum kita kemukakan beberapa kemungkinan pengembangan, terlebih dahulu harus melihat apakah sebenarnya yang dihadapi oleh sistem pengajaran kitab-kitab konvensional melalui pengajian. Hanyalah dengan kepastian pengenalan persoalannya secara konkrit, baru dapat dicarikan batasan-batasan bagi upaya memperoleh pemecahan.

Persoalan paling utama adalah perubahan kebutuhan akan corak pengajian yang ditawarkan. Kalau dahulu hanya tersedia satu bentuk pengajaran saja, yaitu pengajian kitab, sudah tentu tidak ada persoalan. Tetapi pondok pesantren sekarang umumnya memiliki sistem pengajaran melalui sekolah, yang sudah tentu memiliki kebutuhannya sendiri. Belum lagi kalau dilihat keragaman sekolah yag dikembangkan, dari yang hanya mengajarkan disiplin keagamaan belaka, kemudian yang mengajar disiplin non-keagamaan di samping “ilmu agama”, hingga kepada sekolah yang tidak memiliki pretensi formal keagamaan (seperti SMP,SMA dan sekolah-sekolah kejuruan pada sejumlah pondok pesantren).

Kesemuanya itu membawa kepada kebutuhan untuk lebih merasionalkan sikap pengasuh pondok pesantren dalam menawarkan pengajaran kitab konvensional melalui sistem pengajian. Di lingkungan pondok pesantren yang belum mengajarkan displin pengetahuan non-keagamaan, walaupun telah mengenal sistem sekolah sekalipun, rasionalisasi juga senantiasa diperlukan guna menjamin tercapainya tingkat tertentu dalam pengajaran pada akhir unit waktu tertentu. Dengan sendirinya, pengajian kitab di kelas lalu ditekankan pada kitab-kitab dasar belaka, sedangkan perluasan sumber bacaan ditawarkan melalui pendalaman dalam pengajian halaqah/weton maupun sorogan. Sebaliknya, sebuah pondok pesantren yang memiliki pengajaran sekolah non-keagamaan, pengajian halaqah maupun sorogan lebih ditekankan pada pengajian kitab-kitab dasar, guna mengganti kesempatan yang hilang di ruang kelas.

Persoalan lain yang juga penting, adalah semakin berkurangnya jumlah tenaga pengajar yang memiliki kadar pengetahuan keagamaan dengan bobot yang meyakinkan. Dengan sendirinya tidak dapat dihindari menurunnya kualitas pengajian kitab konvensional yang diberikan. Ini adalah kenyataan pahit yang diakui kebenarannya oleh pengasuh pondok pesantren secara umum. Banyak faktor penyebab dapat ditelusuri sebagai pendorong perkembangan seperti ini, tetapi tidak banyak gunanya untuk mengungkapkan faktor-faktor tersebut dalam tulisan ini. Walaupun di kemudian hari dapat diharapkan fakultas-fakultas keagamaan Islam dapat mengisi kekurangan tenaga pengajar yang memiliki kedalaman spesialisasi di bidang masing-masing, di samping keluasan pengetahuan dasar di luar bidang spesialisasinya itu. Namun terjadinya perubahan mendasar dalam pola pengajaran kitab-kitab konvensional melalui sistem pengajaran, tidak dapat dihindari.

Faktor lain yang harus diperhatikan, yang merupakan akibat dari turunnya kualitas tenaga pengajar, adalah semakin sedikitnya penggunaan kitab sebagai sumber referensi bagi pengolahan hukum fikih. Berkurangnya kemampuan mengajarkan aneka ragam kitab konvensional dengan sendirinya berarti menurunnya kemampuan memanfaatkan kitab-kitab tersebut bagi keperluan memecahkan masalah-masalah kehidupan. Kecenderungan untuk “menyerahkan” persoalan pada otoritas lebih tinggi dalam hukum agama, dengan akibat berkurangnya kegairahan untuk mencari sendiri jawaban yang diinginkan di tingkat bawah oleh mereka yang memiliki persyaratan untuk itu, sudah tampak nyata sekali. Dan akhirnya dapat menjadi sebuah lingkaran setan (al-daur al-tasalsul) berikut berkurangnya minat mencari sendiri keputusan hukum agama akan mengakibatkan semakin berkurangnya minat mengaji kitab-kitab konvensional, yang berakibat pada semakin berkurangnya lagi kegairahan memecahkan masalah hukum agama, dan seterusnya.

Banyak persoalan yang dihadapi oleh sistem pengajian kitab di lingkungan pondok pesantren, tetapi persoalan-persoalan utama di atas sudah cukup untuk mendorong kita mencari upaya rintisan/terobosan di bidang lain.

Kemungkinan pengembangan pengajian kitab di pondok pesantren tidaklah perlu dikemukakan secara visual atau deskriptif. Yang perlu dikemukakan adalah batasan-batasan bagi upaya yang akan dirintis. Beberapa batasan-batasan itu antara lain pertama, sistem pengajian yang akan dikembangkan haruslah disusun secara berjenjang, dengan pembagian yang jelas bagi masing-masing tingkatan: pengajian dasar, menengah, lanjutan (takhassus). Tiap tingkat harus dibuat sedemikian rupa, sehingga menjadi sebuah kesatuan yang bulat, sehingga mampu memberikan bekal pengetahuan keagamaan yang utuh untuk masing-masing tingkatan. Contoh kurikulum pengajian pondok pesantren API Tegalrejo di Magelang dapat dijadikan bahan perbandingan bagi mereka yang ingin membuat pengajian bulat, utuh dan tuntas untuk tingkatan dasar, dalam arti pengetahuan minimal (minimum requirement, al-mustawa al-adna) bagi seorang calon tenaga pengajar pesantren. Kedua, sistem pengajian pada tingkat dasar dan menengah, haruslah direncanakan dalam bentuk proyeksi kelanjutannya nanti di tingkat lanjutan (takhassus), baik di pondok pesantren lain yang memiliki program seperti itu. Ketiga, harus ada kejelasan kedudukan sistem pengajian yang akan dikembangkan, sebagai satuan inti yang berdiri sendiri atau sebagai sistem penopang program pengajaran yang lain. Kalau dimaksudkan sebagai sistem pengajian inti, maka sistem penopangnya harus disiapkan, baik dalam bentuk pengajian tambahan, penyediaan perpustakaan dan keputusan lanjutan, maupun dalam bentuk sistem magang mengajar (tadrib al-ta’lim, teaching apprenticeship). Dan keempat, bentuk penguasaan materi pengajian yang bercorak lain haruslah diberikan secara sistem petikan (thariq al-iqtitaf) yang sering dikenal di kalangan perguruan tinggi Islam kita dengan nama mata kuliah Capita Selecta. Hal ini terutama sangat bermanfaat untuk sektor kehidupan yang dihadapi dalam pembangunan dan sebagainya.