Penguasa Berkata
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
1. Ahli Bahasa
Bahasa sudah ada jauh sebelum disusun kaidah bahasa. Aturan diadakan setelah ada kata. Para ahli bahasa yang mau membuat aturan datangnya belakangan sehingga kalah dengan kebiasaan. Akhirnya, dalam kaidah Bahasa Arab, misalnya saja, penyimpangan-penyimpangan atau pengecualian. Bahkan, pengecualiannya selalu jauh lebih banyak daripada kaidahnya. Anda tidak usah heran terutama melihat perbedaan antara bahasa al quran dengan kaidah bahasa Arab.Terkadang yang ada di al quran itu dijadikan kaidah walaupun beda dari kebiasaan. Ya tidak apa-apa itulah bahasa.
Ada bahasa untuk mengikat sebuah bahasa ke dalam sejumlah aturan yang sudah dibakukan. Nah, pembakuannya itulah yang dilakukan oleh para ahli bahasa. Dalam bahasa Arab, aturan itu dituangkan ke dalam ilmu nahwu, dan ilmu bahasa Arab lain seperti shorof dan balaghah. Penjelasan lebih jauh tentang perbedaan kata-kata ada dalam kamus, sehingga ada satu kamus bahasa Arab “al-Qamus al-Muhid” misalnya, sampai 12 juz, saking banyaknya perbedaan kata-kata yang digunakan oleh orang-orang Arab.
Kata-kata yang sulaya (berbeda pengertian) bukan hanya kaitannya dengan al quran. Ada juga sajak-sajak dan percakapan sehari-hari. Kalau satu kata yang dibakukan terlalu sering sehingga menyimpang dari aturan, maka kata itu menjadi tanafur — dalam istilah balaghah. Kata itu menjadi penyebab rancunya kata-kata. Tanafur ada dua: tanafur al-kalimah, rancunya sebuah kata, dan tanafur al-jumlah, rancunya struktur kalimat.
Maka sebetulnya bahasa bukan hanya merupakan urusan ahli bahasa, tetapi ahli bahasa bekerja untuk menunjukkan bahwa beberapa kata memang keluar dari kaidah-kaidah yang mereka buat sendiri. Satu hal yang menjadi catatan, bahwa sudah menjadi hal yang biasa jika para ahli bahasa membuat peraturan semaunya sendiri. Tiap muallif (pengarang), saling berselisih sendiri-sendiri memahami kata.
Tidak semua yang diperdebatkan para ahli bahasa terlalu penting bagi yang bukan ahli bahasa, hanya para urusan para ahli bahasa sendiri.
Ada beberapa kata yang dipersoalkan dalam pembahasan ilmu nahwu. Yang tidak begitu penting, misalnya, apakah kata hanu (sejenis alat kelamin) masuk dalam kategori kata benda yang mempunyai peraturan sendiri. Ada ahli nahwu yang menetapkan ada asma al-khomsah (lima kata benda) yang mendapat perlakuan istimewa, bisa kita ikuti dalam nadlaman imrithi:
Abun (1) akhun (2) khamun (3) wa fu (4) wa dzu (5) jara
Kullun mudhafan mufradan mukabbara
Di situ ada kata-kata “jara” yang berarti bahwa wa yang berlaku di kalangan masyarakat Arab adalah yang lima itu. Sehingga kalau kemudian muncul lafadz “hanu”, itu tidak “jara” (terlaku) karena jarang digunakan.
Sementara ahli nahwu lainnya, termasuk Ibnu Hisyam, menambahkan satu lagi yaitu kata hanu karena ciri-cirinya mirip dengan asma al-khomsah maka menjadi asma al-sittah (enam kata benda). Padahal penetapan asma al-khomsah dimaksudkan sebagai padanan dari af’alul khomsah (lima kata kerja) yang istimewa, yaitu:
Wayaf ‘aluuna tarhaluuna wataf ‘aliina tarhaliina
Memang, bisa kita lihat bahwa para ulama itu macam-macam. Ada yang berpegang teguh atau setia pada kaidah-kaidah sehingga sebagai contoh hanu tidak dimasukkan karena tidak memenuhi kaidah tadi; karena hanu tidak kebagian jatah hitungan. Lha kok sekarang Ibnu Hisyam tidak terima, tetap memasukkan hanu sehingga menjadi enam kata dengan alasan isim (kata benda) yang memiliki hukum sendiri, dan fi’l (kata kerja) memiliki hukum tersendiri. Namanya juga ahli.
Sekarang kita berbicara mengenai beberapa amil (sejenis kata sambung). Amil-amil yang sering diperdebatkan para ahli nahwu itu jarang terpakai dalam bahasa Arab. Tidak apa-apa dipelajari saja, supaya tahu. Kalau ada, yang terbanyak hanya di al-Quran, dan sudah ada di al-Quran. Lha, ilmu nahwu tugasnya menggolong-golongan amil-amil ini. Sekali lagi, bahasa Arab itu didahului oleh al Quran kemudian nahwunya datang karena itu, memang banyak pengecualiannya.
Karena itulah Bahrul Ulum, orang yang hebatnya luar biasa, bukan sekadar karena banyak bukunya tentang ilmu bahasa. Ketika membahas kata, mereka disamping memahami yang sama juga mencatat hal-hal yang tidak sama, antara buku yang satu dengan buku yang lain: Perbedaan dalam hal ini, begitu seterusnya. Yang berlaku di pesanteren dan mungkin menjadi tradisi di mana-mana, satu buku diulang berkali-kali, dibaca bolak-balik dan dikutip sebagai dasar. Itu salahnya yang membaca. Sebenarnya, buku-buku cukup dibaca sekali-sekali, lalu diberi “tanda” mana yang ini tidak sama, sehingga akhirnya buku-buku itu penuh dengan “tanda” yang membedakan satu dengan yang lain. Dan kata-kata tidak disalahpahami.
2. Kata Penguasa
Kalau ahli bahasa berkuasa mengotak-atik kata, lain lagi dengan penguasa negara. Ia lebih bisa mengotak-atik kata-kata karena didukung oleh kekuasaannya.
Menurut pandangan Bung Karno, tidak ada negara adikuasa. Semua negara di dunia sama. Bung Karno tidak membicarakan masalah geologis. Kalaupun ada salah satu negara menjajah yang lain karena negara yang dijajah melarat atau karena kecil. Bung Karno kemudian membuat plesetan istilah Geovinessa vivere pericoloso, diartikan “Wahai pemuda, hiduplah dalam bahaya!” Vivere artinya yang hidup dan pericoloso artinya yang mendekati bahaya. Tadinya vivere pericoloso adalah istilah untuk orang yang bekerja di dekat perapian, tungku api besar. Tentunya pekerjaannya sangat berbahaya, kalau-kalau api itu menyambar dia karena terlalu dekat dengan atau dia masuk tungku itu. Akan tetapi pericoloso Bung Karno maksudnya adalah sesuatu yang sangat besar yang dapat membahayakan kita karena kebesarannya. Pericoloso berasal dari coloso atau kolosal artinya besar.
Nah, Bung Karno berhasil memasyarakatkan istilahnya itu karena didukung oleh kekuasaan, dalam arti kemampuan untuk mempengaruhi pendapat atau keputusan orang banyak. Kekuasaan dalam arti sesuatu yang digunakan untuk menunjukkan bagaimana keinginan kita ini dapat diwujudkan apa tidak.
Lain Bung Karno, lain Pak Harto. Keduanya sama-sama mempunyai kekuasaan itu. Akhir tahun 1989, Pak Harto mendirikan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Tetapi Pak Harto salah memahami kata “Islam”. Jadinya, kata “ICMI” itu menjadi sumber malapetaka. Melalui ICMI, dengan tidak bijaksana ia main Keppres seenaknya sendiri, sampai-sampai tentara mau diislamkan semua: tentara Kristen menjadi bawahan saja. Dia mengira pendekatan lain (selain aliran ICMI) itu bukan Islam.
Feri Tinggogoy, ketua Dewan Tanfidzi PKB Sulawesi Utara, yang beragama Katolik, meminta kepada saya: “Tolong Gus tanyakan kepada Wiranto, kenapa semasa dia menjadi panglima tidak ada temannya satu angkatan pun yang diangkat menjadi jenderal, semua berhenti di kolonel termasuk Feri Tinggogoy!” Karena Wiranto takut kepada Pak Harto. Pak Harto menganggap bahwa orang Kristen tidak boleh menjadi perwira tinggi. Bahkan ketika Feri Tinggogoy pernah diusulkan oleh Angkatan Darat menjadi ajudan presiden – karena dia termasuk jajaran militer terbaik – tetapi kemudian digantikan oleh Wiranto yang beragama Islam. Dia juga akhirnya menjadi Brigjen, Mayjen, Letjen, Panglima Kostrada, Panglima Angkatan Darat, Menhan, dan seterusnya sampai menjadi calon presiden dari Golkar melawan Akbar Tandjung. Semua itu gara-gara Pak Harto, yang penguasa itu, mempunyai pemahaman yang salah tentang kata “Islam”.
Nah, di sini saya ingin membicarakan lagi istilah reinterpretsi, penafsiran ulang. Orang itu sekarang sering tertipu dengan ayat tentang kesempurnaan agama. Ini sangat berbahaya, apalagi jika ia seorang penguasa. Kita pernah dikejutkan oleh kasus adanya unsur daging babi dalam bumbu masak Ajinomoto. Jika kesempurnaan haram itu sampai pada fikih, maka belum apa-apa sudah mengatakan Ajinomoto haram. Menurut saya, kesempurnaan Islam hanya dimaksudkan sebagai prinsip-prinsipnya saja. Lainnya itu adalah perincian yang berikutnya atau disebut fikih itu berkembang terus sampai hari ini.
Ajinomoto diprotes oleh Din Syamsudin waktu itu karena diproses menggunakan tabung kecil isinya minyak babi. Tabung kecil itu berfungsi memelihara suhu yang sama pada keadaan yang di luar berbeda-beda. Nah, tetapi tabung ini berada dalam air dalam sebuah bejana. Kalau tabung ini pecah maka bejana ini terkontaminasi minyak babi. Padahal air ini dicampur-aduk dengan bahan bumbu masakan, kemudian yang menjadi bumbu dipisahkan menjadi potongan kecil-kecil, menjadi kristal-kristal.
Dalam fikih, air bisa suci ketika tercampur najis, tetapi harus memenuhi dua kullah (kullatain), kira-kira 60 cm³. Apakah kemudian harus dibuat bejana besar-besar sehingga memenuhi kullatain itu? Dalam fikih juga ada prinsip al-ma’ al-jari, bahwa air yang mengalir tetap suci walaupun tercampur najis. Coba lihat sungai. Mulai dari kotoran manusia, bangkai, lalu kencingnya anak kecil dari halaman-halaman itu masuk ke dalam kali semua. Sekarang kali-kali itu warnanya cokelat karena hutan-hutan digunduli tanahnya terkikis jadi cokelat itu airnya. Itu semua tidak ada masalah. Airnya menjadi suci dan menyucikan (thohirun muthohirun). Tidak perlu tempat-tempat besar karena pabriknya terlanjur sudah sekian. Cuma masalahnya, untuk memenuhi prinsip al-ma’ al-jari, tabung dibuat kran air di bawah. Sehingga ada air yang masuk dan ada air yang keluar melalui kran itu. Inilah prinsip al-ma’ aj-jari. Jadi, pengertian kita air mengalir itu tidak berarti harus mengalir dengan sendirinya, bisa saja mengalir karena kita buat mengalir. Kalau target dua kullah itu bisa kita ciptakan sendiri, prinsip al-ma’ al-jari juga tidak harus terjadi secara alami. Semuanya kembali kepada cara kita memahami kata. Maka harus ada interpretasi.
Untuk kata-kata yang diartikan lain, misalnya lagi kata “pemberontak” yang disandang oleh Kartosuwiryo. Dia menjadi penasehat Jenderal Sudirman, waktu itu panglima TNI. Dia diperintahkan mendirikan dan membesarkan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) karena dalam perjanjian Renville tentara RI harus ditarik dari daerah-daerah kantong, yaitu Jawa Barat dan Jawa Timur kembali ke Jawa Tengah. Maka Jawa Tengah kan kosong, dikhawatirkan kekosongan itu diisi Negara Pasundan di Jawa Barat. Kemudian Jenderal Sudirman menyuruh Kartosuwiryo membentuk DI/TII, artinya yang membikin Jenderal Sudirman, TNI sendiri. Tetapi setelah selesai perang, pada tahun 1949, Belanda menyerahkan kedaulatan, Kartosuwiryo minta balas jasa ingin menjadi gubernur Jawa Barat dan disetujui. Tetapi yang ingin tidak dia saja, yang lain sampai intrik-intrik, ada Kolonel Sadikin dan lain-lain. Akhirnya, Kartosuwiryo kalah intrik, dia malah dinyatakan sebagai pemberontak dari DI/TII padahal yang mendirikan Jenderal Sudirman.
Perubahan kata seperti itu harus dipahami mengapa dan bagaimana kata, ada sejarahnya, harus diketahui itu. Kalau dijadikan politik semua diartikan sepihak, ya silakan. Jangankan cuma DI/TII, presiden saja bisa dilengserkan. Berarti memperalat konstitusi semua. Mestinya kata-kata DI/TII adalah pemberontak yang dulu begini dan begitu, panjang keterangannya. Jadi tidak hanya pemberontak, titik. Nah, nanti kalau dijelaskan bahwa Kartosuwiryo memberontak karena itu dan itu, maka rakyat akan sadar penyebab pemberontakan sehingga masyarakat tidak salah paham.
Kesadaran itu penting, latar belakangnya apa sehingga (sesuatu yang tidak diinginkan) tidak terulang lagi. Pengertian merdeka dalam istilah OPM (Organisasi Papua Merdeka), dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) kan sudah berbeda dari aslinya, yaitu merdeka dari penjajah tetapi lepas dari Indonesia. Kita harus belajar menggunakan kata-kata itu secara serius.
Dalam bahasa modern sekarang ada yang disebut heroworship (penyembahan pahlawan) apa yang dikatakan oleh pahlawan itulah yang menjadi pendapat rakyat. Nah, oleh Imam Suyuti diubah atau dikembangkan menjadi ucapan “dinu ro’iyyah, ‘ala dini mulukihim” — agama rakyat itu tergantung pada agama raja-rajanya. Pada umumnya yang terjadi demikian. Dengan kata lain, elite itu sangat menentukan dan cara yang biasa ditempuh oleh elite, terutama merekayasa bahasa (language engineering).
Lihat saja sekarang ketika elitenya menggunakan bahasa semu (eufimisme), contoh yang ditangkap misalnya “diamankan”, harga dinaikkan katanya “disesuaikan” dan sebagainya. Jadi semua ikut. Nah, kalau bahasa elite ini kemudian menjadi bahasa semu seperti tadi, “meta language”, kalau kata Dr. Toeti Heraty Nurhadi. Maka yang terjadi adalah penyekatan komunikasi. Warga masyarakat tidak paham.
Coba kita renungkan kata-kata “memasyarakatkan ternak”. Nah, apa memasyarakatkan ternak itu? Kita akan bingung kenapa ternak kok dimasyarakatkan. Padahal maksudnya supaya masyarakat gemar ternak. Yang memasyarakatkan itu bukan ternaknya tetapi masyarakatnya (gerr…). Tetap, sudah terlajur bilang memasyarakatkan ternak, ya sudah untung. Kalau kita menternakkan masyarakatnya, ya tambah tidak karu-karuan. Ada lagi kata-kata “Masyarakatkan Hukum”. Lha, apa ya hukum sendiri itu yang dimasyarakatkan? Wong sudah bermasyarakat.
Maksudnya, hukum yang sudah diundangkan, sudah diformalkan maka seluruh masyarakat keputusannya diberikan kepada hukum, tidak peduli mengerti atau tidak, pernah mendengar apa tidak pernah, sama saja, dianggap sudah mendengar. Lha, maksudnya apa kok dimasyarakatkan? Pengertian hukum atau sebab-akibat dari pelaksanaan hukum itu yang perlu dimasyarakatkan, bukan hukumnya itu sendiri. Hukumnya itu tidak perlu dimasyarakatkan sebab undangnya sendiri sudah mengatakan demikian. Jadi, kemudian ada tiga kata “memasyarakatkan”, memasyarakatkan agama, hukum, dan ternak, ini mempunyai pengertian tersendiri padahal menggunakan kata yang sama. Inilah uniknya kata.
3. Globalisasi
Kembali kepada penyusunan kata. Sesuai kata “ghulam zaidin” (pembantu Zaid) misalnya, tak lazim dalam ilmu gramatika Arab, adalah entitas baru yang tidak berarti salah satunya dari dua kata penyusunnya pembantu dari Zaid.
Kita kembalikan kepada soal-soal besar seumpama globalisasi (Arab, al-‘aulamah dari kata ‘alam). Sebagai sebuah lafadl atau kata, globalisasi mempunyai artinya sendiri yaitu sesuatu yang sifatnya mendunia. Tetapi dia menjadi lafadl tersendiri ketika dimasukkan ke dalam sebuah susunan “globalisasi ekonomi”. Ini sudah berubah arti dari global yang semula. Karena pada kenyataannya, yang mendunia tadi tidak global, didominasi perusahaan besar. Sekarang, yang menentukan bukan alam, tetapi perusahaan-perusahaan besar, kalau kita ingin mengetahui masalah elektronika, tanya kepada Sony. Pesawat terbang kepada Boeing. Bukan TNC (Transnational Enterprise) karena segalanya ditentukan perusahaan-perusahaan besar lintas negara. Perusahaan itu memanfaatkan pemerintah dengan iming-iming pajak yang besar, sementara yang menjalankan mereka.
Kalau kita teliti, perusahaan-perusahaan itu juga menguasai negara. Globalisasi ekonomi dipersempit menjadi kepentingan-kepentingan perusahaan besar yang diperjuangkan oleh negara. Ini perubahan dari lafadl menjadi jumlah. Seharusnya ada perbedaan, sebagai hal yang bersifat peristilahan umum dan khusus. Itupun belum tentu setia kepada makna aslinya. Satu contoh, setiap tahun Indonesia membeli 700 ribu ton kedelai dari Cargo di Amerika. Sementara itu, Amerika membeli kedelai dari Argentina dan Brasil. Kenapa kita tidak membeli langsung dari Argentina dan Brasil?
Globalisasi sering diartikan penduniaan semua hal termasuk selera, sikap, dan apa saja. Telah terjadi penduniaan selera atau penduniaan selera baru oleh sejumlah perusahaan. Seperti Hoka Hoka Bento, makanan dari Jepang, Kentucky Fried Chicken, dan Mc Donald, makanan bermotto Amerika. Ada juga sereal yang dianggap sebagai makanan mendunia; seluruh dunia memakainya. Tetapi di balik penduniaan itu sudah dipunyai perusahaan-perusahaan besar seperti Amerika.
Maka lafadl (kata) itu kalah dengan kalimat atau jumlah (kata majemuk). Artinya, kalau sudah menjadi kalimat, mempunyai arti khusus yang harus dimengerti kalau tidak mau kejeblos. Apalagi negara-negara yang sering berbicara dengan seenaknya sendiri tentang globalisasi. Kalau kita ingin memberikan arti lain dari yang sudah umum dipakai itulah perjuangan kita.
Sekarang Thaksin Shinawatra Perdana Menteri Thailand ingin meletakkan definisi baru dari kata “ekonomi rakyat” atau “people economy”. Kaum Sosialis menganggap ekonomi rakyat itu ekonomi yang dikuasai negara sosialis. Tetapi Thaksin mengartikan ekonomi rakyat adalah ekonomi dimana pemerintah memberikan kredit murah kepada perusahaan kecil dan menengah (UKM), Small and Middle Business.
Berbicara tentang sistem pemerintahan global, pemerintah yang dipimpin Megawati tidak lihai dalam berpolitik. Pertama, hanya gara-gara takut bom, pemerintah menuruti keinginan Bush mengadakan pertemuan di pantai. Terlepas dari diadakannya pertemuan antara Bush dan pemerintah Indonesia di gedung atau di pantai, kesediaan pemerintah adalah bukti ketidakamanan Indonesia, bahwa memang para teroris berkeliaran di Indonesia. Kedua, kedatangan Bush ke Bali pada dasarnya hanya sekadar singgah (memantau) di Indonesia untuk menunjukkan bahwa Amerika adalah penguasa multilateral.
Keinginan ini terbukti pada saat penyerangan Bush ke Irak. Ia tidak mendapat ijin dari mayoritas negara-negara di belahan dunia. Rakyatnya pun meminta Bush menarik mundur pasukannya, kalau selama tiga bulan Bush tidak bisa menangkap Saddam, sebagaimana janji Bush sebelumnya. Kepopuleran Bush di kalangan rakyatnya pun sekarang kurang menjadi 5056, dulu 904. Namun, sosok Bush bahkan tidak mau mendengar berita dari TV, takut ada berita yang bukan-bukan, ada ajudan khusus yang memberi informasi kepada Bush.
Bush seharusnya sadar bahwa kekuasaan Amerika ada batasnya, ada yang lebih besar dari pikiran dia, yakni Allah. Segala sesuatu yang terjadi tidak semudah yang dibayangkan manusia, jika kekuasaan telah ada di tangan bisa dengan mudah begini dan begitu. Ini kaitannya dengan maksud, atau niat dan keinginan manusia yang tidak terbatas. Karena itu orang seperti saya melihat sekarang Bush menyerang Irak seenaknya sendiri, memasang pesawat F-18 Hornet, latihan di atas Pulau Bawean, dua kapal perang AS latihan di barat Natuna diiringi kapal perang Singapura hanya karena mau protes Megawati yang membeli Sukhoi (yang tidak dari Amerika).
Terserah Megawati beli apa, itu urusannya sendiri. Saya juga tidak cocok apalagi Sukhoi itu katanya per pesawat uang maharnya anaknya Megawati mendapat 5 juta dollar. Lebih-lebih tidak setuju dengan cara Bush memperlihatkan kekuasaannya dengan menginjak-injak kedaulatan kita. Itu Iho yang nanti dibalas Allah dengan caranya sendiri. Hanya saja, keyakinan yang harus ada di hati kita, tidak sembarangan saja kita marah atau protes! Bagi kita:
“thairan ababil, tarmihim bi hijaratin min sijjil”
(burung ababil yang melempar mereka dengan batu dari neraka).
Itu sebuah ayat yang sangat kuno tetapi harus kita perbarui pengertiannya terus-menerus. Al-quran itu isinya begitu:
“Ya ayyuhalladzina amanu kunu qawwamina bi al-qisthi”
(Wahai orang yang beriman tegakkanlah keadilan, keadilan zaman dulu lain dengan keadilan zaman sekarang).
Cara kita marah atau protes dulu dengan sekarang lain.
Ketika sebuah bom meledak di Riyadh pada November 2003 sehingga menyebabkan 20 orang meninggal, bom itu adalah jawaban atas pembentukan satuan militer 121 yang dikenal dengan pasukan Hunting (dari kata hunt, memburu) yang diumumkan oleh bala tentara AS di Irak. Saya katakan dalam pernyataan pers bahwa konstelasi atau penyelesaian persoalan dengan kekerasan malah menambah masalah. Maka pembentukan pemerintahan baru di Irak dinamai “Freedom” oleh Bush. Kekerasan akan melahirkan kekerasan.
Dulu awal Februari 2003 — sebelum invasi ke Irak — di Washington DC ada kongres internasional. Ada Islam, Kristen, dan lain-lain. Waktu itu saya mengatakan bahwa kalau ada penyerbuan atas Irak dan Saddam Hussein tidak tertangkap dalam 3 bulan, mau tidak mau rakyat Amerika akan marah dan menuntut tentara Amerika segera ditarik mundur dari Irak. Berarti juga pemerintahan harus dinegosiasikan di antara pemimpin Saddam Hussein dan kelompok yang katanya bebas itu. Kalau tidak ya dinista oleh rakyat, menyebabkan perpecahan di antara klub-klub atau orang-orang yang bebas itu. Sebagian orang-orang yang bebas ini adalah Sunni. Bush mengatakan, mereka menginginkan sebuah pemerintahan yang dipimpin oleh orang yang berasal dari Suku Kurdi. Perkembangan selanjutnya, Amerika malah mendirikan sebuah parlemen yang didominasi orang-orang Syi’ah sampai 60%. Maka parlemen mengangkat Ja’far (pejabat Baru) sebagai pemimpin Irak. Jadi, ada dua kepemimpinan, sementara pemerintahan Saddam Husein masih ada. Ini kan keterlaluan. Maka tidak mudah menyelesaikan masalah seperti itu. Saya juga minta waktu itu agar perdamaian di Irak juga dikaitkan dengan penyelesaian konflik Israel-Palestina. Dua-duanya belum tercapai juga sampai sekarang.
Kita tahu bahwa kata itu penting dalam bekerja dan dalam menyelesaikan masalah, kata itu sangat menentukan.
4. Membentur Huntington
Beberapa tahun yang lalu saya diundang oleh Yomiuri Shimbun, Koran terbesar di dunia dengan oplah 12 juta eksemplar per hari, terbit di Tokyo dalam bahasa Jepang. Saya berbicara dari kacamata Islam mewakili komunitas Muslim. Ada Chang Heng Chi, Direktur Pusat Kajian Asia Tenggara yang berkedudukan di Singapura, dari sudut Konfusianisme/ Kong Hu Chu serta Profesor Aoki dari Osaka University, sebagai pembicara yang melihat dari sisi agama Shinto. Saat itu yang menjadi moderator adalah John Howard bekas Perdana Menteri Australia, saya lupa yang lain-lain. Saya juga tidak ingat yang lain-lain, tetapi saya masih ingat omongan saya… (gerrr….).
Saya katakan kepada Huntington:
“Profesor, saya terpaksa tidak menerima teori Anda tentang Clash of Civilization. Mengapa?
Karena ratusan ribu kaum Muslimin di dunia setiap tahun belajar di Barat. Walaupun mereka kelihatannya cuma belajar teknologi, belajar administrasi, belajar kedokteran, dan lain-lain, bukan mustahil jika mereka hanya mengambil ilmunya saja, tanpa mengambil sedikitpun budaya Barat. Hakikatnya, mereka mau tidak mau harus mengambil kultur atau kebudayaan Barat juga. Namun mereka tidak mungkin menjadi Barat seratus persen. Karena itu harapan Anda untuk membaratkan mereka itu tidak betul. Contohnya, saya ini memakai celana, kemeja, dasi, sepatu, pergi ke gedung bioskop, segala macam. Semuanya dari Barat. Tetapi di rumah, saya tetap seperti yang dulu. Saya tidak doyan babi, tidak minum minuman keras, judi, dan seterusnya. Lho, saya bukan barat seratus persen. Tetapi kalau Anda menganggap saya musuh Barat, ya lucu. Saya mengikuti modernisasi tetapi tidak mengikuti westernisasi. Kemarin saya naik pesawatnya orang Barat. Saya katakan, kalau dilihat dari atas, hutannya itu sama saja, pohon akasia, pohon jati, pohon meranti, semuanya kelihatan sama, hijau. Padahal sebenarnya banyak pohon yang berbeda-beda, ada yang rendah ada yang tinggi, ada yang berdaun lebat ada yang jarang, dan lain-lain. Anda terlalu banyak melihat perbedaan pohon-pohon dan tidak mau melihat hutannya. Anda tidak melihat cara hidup mereka secara keseluruhan. Nah, itulah yang Anda lihat sebagai perbedaan antara Islam dan yang lain-lain. Dari situ Anda melihatnya salah, dan Anda memakai ukuran ganda, double morality. Itu tidak boleh dalam ilmu pengetahuan.”
Kemudian, saya katakan juga kepada Sang Profesor:
“Ada grup Yahudi ultra ortodoks yang sangat kuno, yang setiap hari Sabtu melempari mobil yang lewat di Yerussalem dengan batu. Karena menurut mereka, hari Sabtu dan Sabath itu tidak boleh bekerja. Mereka beranggapan bahwa menyetir itu bekerja – saya sendiri juga bertanya-tanya, yang namanya melempar itu kan sudah bekerja. Mereka memang aneh sekali. Tetapi Anda pun akan berkomentar bahwa meskipun mereka tetap anak-anak kita juga, anak-anak peradaban Barat. Namun sebaliknya, ketika ada kelompok anak-anak Muslim yang melakukan hal-hal yang tingkatannya kurang dari itu, komentar aneh yang Anda keluarkan adalah, mereka fundamentalis, ekstrimis, militan, Islamis, dan tetek bengek seolah musuh Anda. Bukan anak kita. Padahal mereka sebenarnya sekadar tidak mau seperti Anda, hanya berbeda saja, sedangkan orang Islam sendiri berbeda-beda, maksudnya bahasanya juga berbeda-beda, jangan dianggap sama. Cara pandang Anda yang berbeda, double morality yang Anda pakai inilah yang menyebabkan kelemahan dari tesis Anda.”
Saat itu tidak ada yan berkomentar.
Huntington sendiri tidak bisa menjawab. Ia memang berbicara ngalor-ngidul, tetapi tidak menjawab. Sampai pada saat istirahat makan siang, sang moderator, John Howard, yang beragama Kristen mengatakan kepada saya:
“Kalau dalam bahasa tinju, maka Profesor Huntington sudah di-KO oleh pukulan-pukulan lawan.”
*****