Perbandingan Kepemimpinan

President John Kennedy chats with his guest, former Vice President Richard Nixon, during a White House conference on April 20, 1961 in Washington. The President during a conference lasting more than an hour, brought his opponent in the 1960 presidential election up to date on the Cuban situation and other problems. Nixon, in Washington to consult with GOP congressional leaders, was invited to the White House by Kennedy. (AP Photo/Harvey Georges)

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Sekitar 40 tahun lalu Raymond White menuliskan perbedaan kepemimpinan (leadership) Richard Nixon dengan John F. Kennedy. White menggambarkan kepemimpinan model Nixon sebagai kepemimpinan kepala kelasi (boatswain).

Nixon memimpin para kelasi di ruangan bawah untuk menimba air yang masuk akibat badai dan membuangnya ke laut. Sepanjang waktu badai berlangsung, dia harus siaga memimpin para kelasi untuk menjaga agar kapal mereka tidak dipenuhi air yang dibawa badai itu. Kalau mereka lupa sekitar 15 menit saja, kapal yang ditumpanginya akan tenggelam. Artinya, dia harus menjaga, dengan kepemimpinannya itu, agar keselamatan kapal laut mereka tidak tenggelam dalam perjalanan. Kepemimpinan seperti ini sangat diperlukan dalam berbagai bidang.

Tentu saja model kepemimpinan seperti Nixon itu berbeda dari kepemimpinan Kennedy. Kalau White menamai kepemimpinan Nixon sebagai kepemimpinan yang sibuk dengan hal-hal teknis, kepemimpinan Kennedy justru sebaliknya. Hal itu digambarkan White sebagai kepemimpinan nakhoda kapal di anjungan kemudi. Seorang nakhoda melihat laut luas di hadapan matanya. Ketika cuaca menjadi gelap, angin mulai bertiup kencang dan hujan mulai turun, sang nakhoda akan memerintahkan sauh dibuang ke laut untuk menahan agar kapal tetap berada di tempat.

Kemudian layar mulai digulung agar kapal laut itu tidak dibawa angin ke mana-mana. Sang nakhoda sendiri kembali ke kabinnya dan tidur di sana. Nanti, setelah bangun tidur, cuaca sudah baik, badai sudah berlalu dan angin sepoi-sepoi saja yang terasa, dia perintahkan sauh diangkat dari laut dan layar dikembangkan kembali. Kepemimpinan seperti ini tidak terlalu terpaku oleh rincian-rincian, melainkan lebih memerhatikan ke arah mana kapal laut harus diarahkan.

Contoh lain yang dapat dikemukakan di sini, terjadi ketika penulis masih menjadi santri di Pondok Pesantren Tambak Beras, Kabupaten Jombang. Tiap Jumat dan Selasa siang, sehabis zuhur atau sekitar pukul 1 siang hingga 4 sore penulis mengaji kepada kakek, KH. M. Bisri Syansuri di Denanyar, Jombang. Pada suatu ketika, seorang pemimpin lokal Nahdlatul Ulama (NU) menunggu dengan sabar hingga acara penulis mengaji selesai di waktu ashar itu.

Dia lalu mengatakan kepada Kiai Bisri bahwa dia mempunyai delapan orang anak dan berniat berkurban bagi mereka. Namun, uangnya hanya cukup untuk membeli seekor lembu. Padahal, sesuai ketentuan hukum Islam, binatang itu hanya dapat dijadikan kurban bagi tujuh orang anaknya. Kiai Bisri menjawab bahwa orang tersebut harus memilih satu dari dua hal: menunda kurban hingga tahun depan atau berkurban tahun ini, tetapi hanya untuk tujuh orang anak. Orang itu pun dengan mata kuyu dan muka sangat sedih segera meninggalkan tempat itu.

Kiai Bisri meminta kepada penulis artikel ini untuk membonceng orang itu ke rumah ipar Kiai Bisri, yaitu Kiai A. Wahab Chasbullah, rais am atau orang pertama NU. Penulis membonceng orang itu di atas sepedanya ke Tambak Beras, empat kilometer jauhnya. Di sana penulis menyatakan kepada Kiai Wahab bahwa orang itu disuruh Kiai Bisri untuk bertemu dengan sang ipar.

Orang itu lalu menyampaikan kepada Kiai Wahab hal-hal seperti dia kemukakan kepada Kiai Bisri. Kiai Wahab lalu bertanya apakah orang itu punya uang untuk membeli seekor lembu dan seekor kambing? Orang itu menjawab punya. Kata Kiai Wahab, lembu itu dapat dijadikan kurban untuk tujuh orang anak. Adapun kambing digunakan sebagai binatang ancik-ancik (alat untuk mencapai sesuatu yang tinggi) bagi anak ke delapan. Orang itu lalu sangat gembira dengan “pemecahan” seperti itu.

Dia keluar dari rumah Kiai Wahab dengan senyum gembira. Kiai Wahab telah memperlihatkan kepemimpinannya pada saat itu. Berkat kepemimpinan itulah dia membuat pengurus lokal NU tersebut sangat bergembira dan tentu merasa berutang budi pada Kiai Wahab seumur hidupnya. Sudah tentu kepemimpinan seperti itu memiliki dimensinya masing-masing. Hal ini terlihat ketika Bung Karno merencanakan pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong (DPR GR).

Kiai Wahab menerima gagasan itu karena NU adalah satu-satunya kekuatan politik formal gerakan Islam yang masih “bertahan” dalam dunia politik. Kalau gagasan itu ditolak, dalam DPR GR yang akan dibentuk itu tak ada wakil gerakan Islam. Karena itulah dia menerima gagasan Bung Karno. Ini bertentangan dengan iparnya sendiri, Kiai Bisri yang menjadi wakil rais am atau orang kedua dalam NU. Menurut Kiai Bisri, DPR yang dibubarkan Soekarno adalah hasil pemilu 1955.

Berarti, kalau mereka dibubarkan, sebagai gantinya lembaga perwakilan rakyat tersebut harus diisi oleh anggota hasil sebuah pemilu. Kiai Bisri dan Kiai Wahab bersikukuh dengan pendapat masing-masing, sehingga berbulan-bulan lamanya tidak ada keputusan tentang hal itu. Baru kemudian Kiai Wahab menyatakan secara formal bahwa dia menerima gagasan tersebut; begitu juga Kiai Bisri, tetap menolak. Hingga berakhirnya Demokrasi Terpimpin, dua orang itu menunjukkan kepemimpinan yang saling berlawanan, bukan?