Perbandingan Selalu Diperlukan
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Buku ini adalah hasil membandingkan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) di negeri kita, dan UMNO (United Malays National Organization). Walaupun selama ini hubungannya sangat pincang, akibat salah pengertian antara kedua negara dalam beberapa hal, tapi terasa kebutuhan akan sebuah perbandingan antara kedua partai itu. Beruntunglah kita memperoleh jawaban dalam bentuk disertasi Effendy Choirie saat mengambil program doktoral di Universitas Malaya (UM) Kuala Lumpur.
Dalam disertasi tersebut, yang diterbitkan dalam bentuk buku ini, kita memperoleh sedikit banyak pengetahuan tentang kedua partai tersebut. Dengan demikian, kita lalu dapat membandingkan antara keduanya. Umpamanya saja, tentang asal yang berbeda antara keduanya. UMNO, mendasarkan diri pada nasionalisme atau asas kebangsaan. Sedang PKB adalah sebuah partai politik yang berangkat dari ajaran agama Islam. Walau demikian, karena PKB berasal dari lingkungan Nahdlatul ‘Ulama (NU), maka dengan sedirinya nasionalisme juga memberikan warna yang sangat mencolok dalam kehidupan partai tersebut.
Inilah hal yang menyamakan dan sekaligus membedakan PKB dari UMNO. Ini disebabkan oleh perbedaan sangat tajam dalam sejarah berdirinya kedua partai tersebut. UMNO lahir dari perjuangan Tunku Abdul Rahman Putra yang kemudian menjadi orang pertama (perdana menteri) dalam Malaysia merdeka. Sedangkan PKB lahir dari Nahdlatul Ulama (NU), yang visinya sangat diwarnai oleh persaudaraan antara HOS Tjokroaminoto dan KH. M. Hasyim As’yari. Pihak pertama mempunyai menantu Soekarno (di kemudian hari, akrab dipanggil Bung Karno) proklamator kemerdekaan Indonesia.
Dalam serangkaian diskusi di Surabaya menjelang tahun-tahun 1920-an, ketiga tokoh itu berbicara tentang pentingnya nasionalisme bagi gerakan agama seperti NU, yang baru akan lahir beberapa tahun kemudian (tahun 1926). Dalam pembahasan demi pembahasan, menjadi jelas bagi HOS Tjokroaminoto dan KH. M. Hasyim As’yari, bahwa Islam dan nasionalisme harus didialogkan, untuk mencapai pengertian ‘yang benar’.
Ternyata, baik UMNO maupun PKB, memilki kecenderungan yang sama, walaupun antara asal keduanya berbeda. Hasil-hasil penelitian ini akan membuktikan anggapan benar atau tidaknya hal itu di masa depan. Sebuah perbandingan akan menjadi sangat menarik sebagai bahan kajian seperti itu.
*****
Nah, baik Tjokroaminoto dari Surabaya maupun KH. M. Hasyim As’yari dari Pesantren Tebu Ireng (Jombang) adalah keluarga dari Ki Kasan Besari (mungkin dalam bahasa Arab berasal dari nama Ki Hasan Basri), yang lumpuh dan memperoleh tanah perdikan di Tegal Sari (Ponorogo). Tokoh ini adalah guru Ronggowarsito dari Klaten, yang aslinya adalah santri Pondok Pesantren dengan nama Burhanuddin. Dari perkawinan Ki Kasan Besari dengan istri yang berasal dari kota Solo, penulis artikel ini ketahui ada dua orang keturunan, yaitu Isnaeni dari PNI yang mendeklarasikan fusi Partai Demokrasi Indonesia, kini PDI Perjuangan. Dan Dr. Haryadi Darmawan, mantan Ketua Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI). Nah, Kyai Hasan Harun, yang lebih dikenal dengan nama Ki Ageng Basyariah di Sewulan, sepuluh kilometer di selatan Madiun, merupakan salah seorang dari keturunan Ki Kasan Besari tersebut.
****
Dari diskusi-diskusi antara HOS Tjkroaminoto, keluarganya yang bernama KH. M. Hasjim As’yari dan menantunya Soekarno, datanglah kesadaran. Kesadaran terpenting dari mereka bertiga, adalah tingginya kepelbagaian atau pluralitas yang dimiliki bangsa ini.
Ini akan terbukti kalau kita mengingat bahwa Kerajaan Buddha Sriwijaya di Sumatera Selatan atau Lampung menyerang pulau Jawa melalui Pekalongan dan dari sana mengalahkan Kerajaan Hindu Kalingga di Pegunungan Dieng (sekarang menjadi bagian dari Kabupaten Wonosobo), untuk kemudian mendirikan Candi Borobudur di dekat Muntilan. Ketika kemudian timbul kerajaan Mataram Hindu Buddha di Prambanan, maka kita sebagai bangsa menjadi bertambah kaya pluralitas budaya dan agamanya. Sewaktu kaum Buddha dan Hindu yang fanatik menyerang Prambanan, maka di bawah pimpinan Mpu Sindok kerajaan itu dipindahkan ke Kediri Jawa Timur. Setelah Raja Dharmawangsa memimpin kerajaan itu, mereka berkembang menjadi kerajaan yang kuat dengan ibukotanya, mula-mula di Kediri kemudian di Daha. Ketika Raja Airlangga berkuasa, lalu percampuran Hindu Budha itu berpindah ke Singasari, kemudian ke Majapahit. Di semua tempat itu, mereka menamakan diri kaum Bhairawa. Di Majapahit, mereka harus menerima kerjasama dengan tokoh-tokoh Islam, seperti Raden Wijaya yang dilindungi oleh Angkatan Laut Tiongkok, yang sudah muslim itu dengan berpusat di Terik (mungkin menunjuk kepada pusat Tarekat) dekat Krian di Jawa Timur.
*****
Susunan bangsa kita memang sudah aneh, kira-kira belasan tahun yang lalu, bangsa kita terdiri dari 88% beragama Islam. Dari sisanya 88%, ada tiga puluh lima juta orang warga beragama Islam yang menjalankan ajaran agama mereka secara utuh, dan mereka dinamai kaum syari’ah. Jadi, yang tersisa adalah 55% penduduk yang dikatakan muslim, namun sangat minim menjalankan syari’ah yaitu lahir dengan diadzani, mengalami penyunatan atau pengkhitanan, dan kalau meninggal dunia dikuburkan dengan di bungkus kain kafan. Kelompok ini yang merupakan mayoritas bangsa, dikenal juga dengan kaum abangan. Kalau mereka yang menerapkan ajaran Islam secara utuh adalah kaum syari’ah, maka kelompok abangan ini termasuk juga didalamnya orang-orang beragama pra-Islam, dinamai kaum Kejawen dalam budaya Jawa, kaum Sunda Wiwitan dalam masyarakat Sunda, dan kaum daerah Batak disebut Parmalim.
Demikianlah sejarah berbunyi. Dan tampak bahwa kesadaran akan pluralitas budaya dan agama yang sangat tinggi, mendasari kehidupan kita sebagai bangsa dan negara saat ini. Ini sudah ada lebih dari tujuh abad yang lalu, ketika Mpu Tantular di awal Kerajaan Majapahit mengumandangkan Bhinneka Tunggal Ika, yang artinya berbeda-beda namun tetap satu juga.
Tantangan kita sebagai bangsa dan negara pada saat ini, adalah membangun kehidupan yang mengacu pada kenyataan sejarah tersebut. Kalau kita ‘lari’ dari kenyataan ini, maka akan hancurlah sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara kita. Kenyataan seperti inilah yang harus senantiasa kita ingat.
Kita justru tidak boleh ‘menghindari’ kepelbagaian ini, kalau ingin memelihara keseimbangan hidup sebagai bangsa dan negara, bukan?