Percakapan dengan Abdurrahman Wahid: Membela Kebebasan Beragama

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Abdurrahman Wahid Abdurrahman Wahid, pendiri WAHID Institute dan Ketua Dewan Syura DPP PKB. Mantan Presiden RI (1999-2001) ini sekarang menjadi Presiden Kehormatan pada International Islamic Christian Organization for Reconciliation and Reconstruction (IICORR), London dan Anggota Dewan Penasehat Internasional pada International and Interreligious Federation for World Peace (IIFWP), New York.
Melaksanakan syariah adalah wajib, tetapi oleh masyarakat dengan tanpa kekerasan, bukan negara. Jadi, menerapkan negara Islam sama sekali bukan kewajiban. Sebab jika formalisasi syariah dipaksakan oleh negara, akibatnya seperti negara kita ini yang tidak menghargai heterogenitas warganya. Padahal, nilai-nilai Islam yang tinggi, yang mendesak untuk terus diimplementasikan adalah perjuangan untuk keadilan, kemakmuran, persaingan dalam kebaikan, pembelaan terhadap rakyat, perlindungan terhadap minoritas, apapun bentuknya, serta ketiadaan hubungan (formal) antara Islam dan negara. Dari sini akan dengan sendirinya mengandaikan sekularisme. Maka, negara tidak boleh memaksakan syariah di Masyarakat yang heterogen.
Menyadari masih belum tuntasnya bangsa ini dalam mengatasi sengitnya tarik-menarik pola hubungan negara dan agama, bagaimana pandangan Gus Dur perihal hubungan ideal antara negara dan agama?
Saya ini orang NU (Nahdlatul Ulama). Jadi, saya mengikuti keputusan-keputusan di NU. Saya membiasakan diri untuk tidak berpikir lain. NU pada 1935, sepuluh tahun sebelum proklamasi kemerdekaan, mengadakan muktamar ke-9 di Banjarmasin. Waktu itu ada dua buah pertanyaan. Pertama, wajibkah bagi seorang Muslim mempertahankan kawasan Hindia-Belanda yang notabene, waktu itu, diperintah oleh non-Muslim (Belanda)? Jawabannya adalah wajib. Sebab di kawasan ini dulu pernah ada kerajaan Islam. Karena adanya kerajaan Islam itu, maka otomatis setelah dipegang orang lain pun, kaum Muslimin di sini masih ingin menerapkan ajaran Islam. Sebaliknya, kalau kawasan ini dipegang oleh orang lain (non-Muslim), berbeda dari yang memerintah sekarang, maka ada kemungkinan terdapat pelarangan untuk melaksanakan syariah. Karena itu kawasan Hindia-Belanda tetap wajib dipertahankan. Ini diambil dari kitab Bughyat al-Murtasyidîn.
Kedua, wajibkah adanya negara Islam untuk dapat melaksanakan syariah? Jawabannya tidak wajib. Untuk melaksanakan syariah memang wajib. Tetapi apakah dalam melaksanakannya harus dengan memakai negara Islam atau bukan, itu terserah. Prinsipnya adalah asal syariatnya bisa berjalan. Itu tugas ulama untuk melaksanakannya, tetapi tanpa kekerasan. Berangkat dari pengertian tidak wajib adanya negara Islam, maka otomatis mengandaikan sekularisme. Jadi, pandangan NU dari awal sejak 1935 telah membolehkan sekularisme, walaupun sesungguhnya tidak sekular. Tidak sekular di sini dalam pengertian masih menjalankan syariah. Ini berarti tidak sepenuhnya sekular.
Sekularisme sebetulnya bisa dilihat dari dua sisi: satu, sekularisme minimal seperti didorong oleh NU; kedua, sekularisme maksimal, di mana tidak ada urusan dengan agama sama sekali. Kewajiban kita sekarang adalah membawa masyarakat kepada syariah. Kalau syariah sekarang belum merata, maka harus diratakan terlebih dahulu. Namun begitu harus digarisbawahi di sini negara tidak lantas membuat aturan formal syariah.
Pada masa awal kemerdekaan, tokoh-tokoh NU terlibat perdebatan tentang dasar negara, yang di dalamnya ada klausul kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya. Apakah ini bukan berarti NU tidak sekular?
Syariah itu adalah intinya. Saya percaya syariah untuk diterapkan, tapi oleh masyarakat, tidak perlu oleh negara. Karena kalau dipaksakan oleh negara, akibatnya seperti negeri kita ini yang tidak menghargai heterogenitas warganya. Negara tidak boleh memaksakan syariah di masyarakat yang heterogen.
Dalam kerangka NU, bagaiamana supaya negara bisa melindungi hak sipil dan menjamin kebebasan sipil?
Dalam konteks seperti ini, agama hendaknya kita lihat dari dua arah. Pada satu sisi, agama dipandang sebagai ajaran yang baku, seperti rukun Islam, rukun iman dan sebagainya. Tetapi, agama bisa juga dilihat dari sudut yang maksimal, yaitu ajaran Islam yang serba meliputi berbagai segi, termasuk moralitas atau akhlak. Semua itu bisa dijalankan oleh masyarakat sendiri, bukan negara. Sebab negara ini milik bersama. Orangnya bermacam-macam, baik dari segi agama, etnis maupun yang lainnya. Karena itu saya mengambil posisi, pertama, harus melindungi minoritas, apapun bentuknya. Kedua, menggalakkan dialog antar-agama. Sebab dialog tersebut akan melindungi minoritas dari segi (minoritas) keagamaan.
Konteks perlindungan minoritas itu tetap dilakukan oleh negara?
Oh iya, tentu saja melalui negara dan sikap masyarakat itu sendiri.
Kalau melihat tindakan kelompok orang yang menyerang kelompok lain, misalnya kasus Ahmadiyah, apa pendapat Gus Dur?
Tindakan semacam itu tidak boleh. Hal tersebut merupakan bentuk pemaksaan kehendak. Dalam hal ini saya membagi bentuk reaksi kaum Muslimin, sepanjang sejarah, terhadap tantangan yang datang dari luar menjadi dua. Salah satunya adalah reaksi-reaksi kultural. Budaya NU dan Muhammadiyah itu lahir dari model reaksi yang sama, yakni reaksi kultural. Bedanya cuma sedikit. Yaitu dari abad kelima Hijriyah yang bertepatan abad ke-11 Masehi. Waktu itu ada keputusan para ulama bahwa ziarah kubur itu boleh. Lalu jadilah NU. Sedangkan bagi ulama lain berpendapat bahwa ziarah kubur itu dilarang. Kemudian berdirilah Muhammadiyah.
Kalau soal model sekularisme yang diterapkan oleh negara Muslim, kira-kira yang patut diterapkan model yang seperti apa, apakah seperti yang digagas Kemal Attaturk di Turki?
Di negara-negara Muslim, pemerintahan militer berkuasa begitu lama, termasuk di Turki. Itu kesulitan pertama dalam konteks sekularisme di negeri-negeri Muslim. Baru sekarang partai yang berbasis sipil, Justice and Development Party, menguasai dua per tiga kursi parlemen di bawah pimpinan Moh. Rajab Thayyib Erdogan. Dalam hal ini sebenarnya mereka mengikuti kita.
Kesulitan kedua adalah adanya orang yang mengartikan Islam dari sudut institusi. Di negeri kita ada tiga tahap cara melihat Islam dari sudut institusi. Pertama, tahap di mana Piagam Jakarta dihapuskan. Sutan Syahrir dari PSI dan Kasimo dari Partai Katolik begitu berterima kasih. Saking senangnya mereka segera mendukung berdirinya Departemen Agama. Ini namanya “sekularisasi Departemen Agama”. Lalu pada tahun 1973 mereka mendirikan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Tahap kedua adalah ketika parta-partai Islam melihat kebutuhan untuk memodernisir diri. Misalnya mereka mulai memakai komputer dan sebagainya. Hal ini terjadi tidak saja pada partai-partai Islam, tapi juga semua gerakan Islam. Hal inilah yang mengakibatkan institusionalisasi yang berlebihan.
Tahap ketiga, ketika Soeharto melihat kekuasaannya mulai goyang pada akhir 1980-an. Dalam kondisi seperti inilah lalu dia mendukung kebradaan ICMI. Nah, ICMI itu sendiri institusi.
Tentang hal ini ada satu lelucon. Suatu saat ada seorang Pastur yang bekerja di kantornya, persis di samping gereja. Lalu datanglah drakula. Si Pastur langsung mengacungkan rosario. Drakula tetap saja maju ke depan. Pastur itu ketakutan. Takut lehernya digigit dan darahnya dihisap. Dia lari keluar lewat pintu samping ke halaman gereja. Tapi drakulanya terus mengikuti. Jaraknya kurang lebih dua meter. Akhirnya tidak ada jalan lain lagi bagi Sang Pastur kecuali masuk ke dalam gereja. Sambil menggigil ketakutan ia naik ke atas altar. Di sana ada salib yang besar sekali. Dia angkat salib tersebut hingga keringatnya bercucuran. Setelah berhasil mengangkat salib itu, ia sodorkan ke hadapan drakula yang terus membuntutinya. Harapannya agar drakula tersebut ketakutan dan lari. Tapi, apa reaksi drakula itu. Dengan nada meledek ia berkata, “Nggak takut!! Saya tidak takut karena sudah masuk ICMI!!!”
NU sebagai institusi civil society dalam sejarahnya pernah dikritik lantaran terlalu akomodatif terhadap kekuasaan. Sebenarnya relasi yang ideal antara masyarakat dan negara itu bagaimana?
Pertama-pertama, NU periode sekarang ini tidak dapat dijadikan ukuran. Karena Hasyim Muzadi cenderung tidak jujur dan ikut arus yang ada di dalam masyarakat saja. Masyarakat mau kanan, dia ikut ke kanan. Masyarakat mau ke kiri, dia akan ke kiri. Di antara konsekuensinya adalah saya sekarang ini tidak boleh menjadi anggota PBNU sama sekali.
Kedua, NU jadi terputus dari tradisinya. Yakni tradisi para pendirinya dulu dan orang-orang setelah mereka yang merupakan orang-orang yang lebih mementingkan aspek budaya. Artinya, tidak pentinglah menjadi pegawai negeri. Mereka bangga menjadi “bukan” pegawai negeri. Kakek saya atau ayah saya menjadi menteri tanpa menjadi pegawai negeri. Bahkan saya menjadi presiden tanpa menjadi pegawai negeri.
Sekarang hampir semua ketua NU pada tingkat provinsi “bergaya” pegawai negeri. Inilah kenyataan yang terpenting. Maka, menurut saya, ke depan yang harus dibenahi dan dikerjakan adalah NU-nya terlebih dahulu. Bukan siapa-siapa. Sebab, bagaimana mungkin kita menghilangkan hal-hal yang negatif bila dia sendiri negatif. Jadi, katanya, ada persetujuan antara Din Syamsuddin dengan NU – dalam hal pemberantasan korupsi. Itu menurut saya hanya persetujuan di atas kertas saja. Yang penting sebenarnya bagaimana kondisi setiap harinya. Hasyim Muzadi adalah seorang teman. Makanya saya bilang kepadanya, “Sampeyan ini ke sini (kantor PBNU) kok kayak Sumaker.” Schumacher dalam logat bahasa Jawa (sumaker). Yaitu, sugih macak kere (kaya tapi bergaya miskin). Dia mem punyai Jaguar, tetapi ke sini dia naik taksi. Nah, bagaimana mungkin dapat mengembangkan masyarakat sipil dan membersihkan masyarakat bila hidup penuh kepalsuan.
Bagaimana dengan peran kaum muda NU?
Kecuali PBNU, semuanya berjalan dengan baik. Lihat saja sekarang anak-anak muda NU, semuanya aktif memperkuat dan memberdayakan masyarakat sipil.
Bagaimana respon Gus Dur melihat kecenderungan sebagian masyarakat yang menjadikan Islam sebagai hukum formal di negara kita?
Jika dalam praktiknya mereka bertentangan Undang-Undang Dasar (UUD ’45), tindakan itu tidak diperbolehkan. Sebulan sebelum saya lengser, sidang kabinet dihadapkan pada pertanyaan tersebut. Jawaban saya, “nama” itu tidak penting. Boleh saja suatu aturan dinamakan undang-undang syariah, peraturan syariah, atau apa saja di suatu provinsi, kabupaten, atau kotamadya. Tapi kalau ada bagian-bagian yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, saya langsung membatalkannya. Dalam hal ini, siapa yang menetapkan? Yang punya otoritas untuk menetapkannya adalah Mahkamah Agung. Kita tinggal menerapkannya saja.
Selain keinginan untuk menerapkan perda syariah, ada juga beberapa kalangan yang mengangkat isu khilafah. Bagaimana pandangan Gus Dur?
Saya tidak setuju. Khilâfahitu buatan manusia, bukan perintah Tuhan. Jadi, firman Innî jâ‘ilun fî al-ardli khalîfah (Aku menjadikan khalifah di atas bumi) sama sekali tidak dimaksudkan sebagai perintah untuk mendirikan negara Islam atau khilâfah.
Di Indonesia hubungan antara negara dan agama memang tergolong unik. Apakah ada tipe ideal tertentu sehingga kita perlu mencontoh negara lain?
Tidak perlu. Ambil contoh sekarang di Indonesia. Di sini para kiai bebas bersalaman dengan perempuan. Setiap hari paling tidak ada satu bus orang yang bersalaman dengan saya. Dari satu bus itu, separuhnya adalah perempuan. Kenapa bisa demikian? Seolah-olah kita tengah mempraktikkan kaidah fikih yang berbunyi: al-umûru bimaqâshidihâ (semua perkara tergantung pada maksudnya). Jadi kalau maksudnya adalah untuk memberi hormat, maka bersalaman itu bermakna penghormatan. Sebab tidak mungkin perempuan setengah bus atau malah kadang lima bus semuanya minta dinikahi. Itu tidak mungkin. Salaman itu adalah bentuk penghormatan. Justru dalam hal yang semacam ini Indonesia patut dijadikan contoh.
Bagaimana dengan sekularisme, seperti di Prancis, yang melarang symbol-simbol agama di wilayah publik?
Itu saya kira hubungannya dengan institusi negara atau institusi publik. Itulah konsekuensi bernegara sekular seperti Prancis. Setiap negara mempunyai sejarah dan tradisinya masing-masing. Kalau memang sejarah Prancis sampai pada kesimpulan untuk menerapkan aturan itu, silakan saja.
Pernah kira-kira sepuluh tahun yang lalu saya diundang oleh The Yomiuri Shimbun, yang waktu itu merupakan koran terbesar di Jepang, bahkan di Dunia, dengan oplah sekitar 2 juta per hari. Saya diundang untuk berbicara dengan Prof. Dr. Samuel Huntington, Chang Hai Chi (Direktur ISEAS, Singapura, yang sekarang menjadi Dubes di Washington DC), serta Profesor Auchi dari Universitas Osaka.
Saya dianggap sebagai perwakilan Islam. Saya berkata kepada Samuel Huntington, “Profesor, Anda ini ahli dalam membedakan pohon Kristen, pohon Yahudi dan pohon Islam. Anda sampai pada kesimpulan tentang Clash of Civilization. Tapi mungkin ada baiknya juga, sekali-sekali, Anda melihat hutan secara keseluruhan, jangan hanya pohon-pohonnya. Dalam kon-teks kaum Muslimin, memang ada kaum Muslimin yang berbeda dengan Barat. Ini yang Anda angkat menjadi Clash of Civilization. Tapi, apakah Anda tidak melihat ratusan ribu anak muda Muslim yang belajar di negara-negara yang berteknologi maju. Padahal mereka bukan hanya mempelajari teknologi dan ilmu pegetahuan modern, tapi juga budayanya. Mereka setelah pulang, seperti saya ini, menjadi seperti orang Barat: memakai jas, dasi, dan sepatu. Tapi jangan dianggap saya ini orang Barat. Karena saya tak pernah meminum alkohol setetes pun. Saya juga tidak memakan daging anjing dan daging babi. Saya juga tidak pernah melakukan hubungan seksual di luar pernikahan.”
Bagaimana sikap yang tepat terhadap pemahaman puritan dan gerakan radikal dalam agama yang notabene menantang gagasan pribumisasi Islam Gus Dur?
Berkembangnya pemahaman keagamaan yang seperti itu bagi saya adalah proses edukasi. Yang jelas, yang hendaknya perlu dikedepankan adalah bahwa kita tidak boleh menggunakan kekerasan. Selebihnya terserah pada pendirian kita masing-masing. Saya pernah berkata kepada teman-teman di JIL (Jaringan Islam Liberal), kenapa Rizieq Shihab itu marah kepada Anda? Menurut saya, Anda itu kurang setengah kata, yang kalau disertakan kata itu, tentu dia tidak akan ada apa-apa (marah) dengan JIL. Coba dalam singkatan “JIL” itu ditambahkan kata-kata BAB, sehingga menjadi “JILBAB”, tentu merka akan senang.
Jadi, memang Islam yang besar ini dipahami secara berbeda-beda oleh para pemeluknya. Itu tidak masalah. Tapi perbedaan pemahaman itu tidak boleh merusak persaudaraan sesama Muslim. Baru saja ada seorang yang berpemahaman Islam keras, Ahmad Sumargono, datang ke saya sebagai sesama Muslim. Perbedaan itu tidak apa-apa.
Ada yang berpandangan, terutama kalangan umat Islam yang konservatif, bahwa ide kebebasan harus dicurigai. Dalam pandangan Gus Dur, bagaimana kebebasan dan liberalisme itu sendiri seharusnya dipahami?
Liberalisme hendaknya dipahami dalam konteks sejarahnya. Di Amerika Serikat sendiri, sejak awal kemerdekaannya, Thomas Jefferson telah menegakkan hak hak individu sebagai prinsip yang harus dijamin. Tapi Alexander Hamilton, menteri keuangan yang pernah menjadi saingannya Jefferson, sebaliknya lebih menekankan atau justru setuju terhadap hak-hak negara bagian. Padahal negara bagian itu adalah konsensus. Tarik menarik antara kedua model pemahaman tersebut sampai sekarang masih terjadi. George Bush pro terhadap negara bagian; sementara John Kerry setuju terhadap hak-hak individu. Jadi, kita harus memahami konteks sejarah itu. Tidak bisa dipukul rata bahwa liberalisme itu jelek.
Penolakan terhadap liberalisme lebih karena dianggap sebagai benih dari kapitalisme, bagaimana Gus Dur melihat upaya penentangan terhadap liberalisme dengan mengidentikkannya terhadap model ekonomi kapitalisme?
Memang benar bahwa kadang-kadang liberalisme dipakai oleh orang untuk tujuan tertentu. Hanya saja tujuannya berbeda-beda. Tujuan yang ada dalam liberalisme seharusnya terkait dengan moralitas. Liberalisme harus terkait dengan perbaikan nasib orang banyak. Dan sikap tidak berpihak kepada kesejahteraan rakyat, sebenarnya justru dimiliki oleh orang yang agamanya kurang.
Jadi kita sebagai kaum Muslimin seharusnya tidak berhenti di tingkat “merek” saja, misalnya salat lima waktu, tetapi juga harus berjuang untuk keadilan. Al-Qur’an mengajarkan kita untuk berbuat seperti itu. Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmanû, kûnû qawwamîna bi al-qisth (Wahai orang-orang beriman, jadilah kalian orang-orang yang menegakkan keadilan). Ayat lain juga menegaskan: “Walâ talbisû al-haqqa bi al-bâthili wataktumû al-haqqa wa antum ta‘lamûn (Janganlah kalian samakan yang benar dengan yang salah, dan janganlah kalian menutupi kebenaran, padahal kalian tahu).”
Kita harus melihat ini semua dengan arif. Tidak bisa diambil ukuran-ukuran umum. Di antara salah satu hal yang memusingkan kita adalah dengan adanya globalisasi, nilai-nilai menjadi mendunia. Saudara-saudara kita yang berpandangan Islam formal mengalami ketakutan. Takut akan kalah dalam persaingan global. Karena takut mereka kemudian menolak untuk lebih mementingkan nilai-nilai Islam, ketimbang aspek normatif. Padahal, nilai-nilai Islam yang tinggi, yang mendesak untuk terus diimplementasikan adalah perjuangan untuk keadilan, kemakmuran, pembelaan terhadap rakyat, persaingan dalam kebaikan, serta ketiadaan hubungan (formal) antara Islam dan negara.
Tentang hal ini Cak Nur seringkali mengambil dasar dari al-Qur’an, yakni surat al-Baqarah: “Mâ afâ’allâhu ‘alâ rasûlihi min ahl al-qurâ fa-lillâhi wa-li-rasûlih, wa li-dzî al-qurbâ wa al-yatâmâ, wa al-masâkîni, wa-bni al sabîli kay lâ yakûna dûlatan bayn al-aghniyâ’i minkum.” Artinya, apa yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya sebagai harta fai’, yang terkumpul dari penduduk negeri-negeri itu (yang bukan kaum Muslimin, tapi termasuk di dalamnya orang-orang Yahudi dan Kristen) adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di kalangan orang orang kaya saja di antara kamu.” Jadi, al-Qur’an sendiri menentang monopoli dan menjunjung tinggi keadilan dan pemerataan. Dan semua itu diselenggarakan bukan oleh negara, tapi kesadaran keagamaan masyarakatnya.
Liberalisme ditolak karena dianggap datang dari Barat, menurut Gus Dur, apakah liberalisme juga mempunyai akar dalam khazanah dan tradisi Islam?
Sebetulnya salah satu arti kata liberal itu sendiri adalah pilihan-pilihan. Mengejar pilihan masing-masing itu adalah makna liberal. Ilustrasi al-Qur’an tentang ketauladanan Rasulullah meniscayakan sikap liberal dalam pengertian itu (mengejar sesuai pilihan masing-masing). Laqad kâna lakum fî rasûlillâh uswatunhasanah (telah ada pada diri Rasul teladan yang sempurna). Bagi siapa ketauladanan itu? Li man Kâna yarjû Allâha wa al-yawm al-âkhira wa dzakara Allâha katsîran (Bagi orang yang mengharapkan ridla Allah, mengharap kebahagiaan di hari akhir [surga], dan senantiasa ingat akan kebesaran Allah). Mengingat-ingat kebesaran Allah bisa secara lafzhî, yakni wirid, ada pula yang berbentuk fi‘lî (perbuatan). Kalau hal ini tidak dimengerti dengan baik, maka yang terjadi adalah kerugian. Artinya, kebebasan memilih harus tetap didasarkan pada keridlaan Tuhan. Sebagaimana halnya sekarang ini terjadi perbuatan yang tidak bertanggung jawab, yakni penebangan pohon besar-besaran (illegallogging). Akibatnya, akar-akar yang dapat menyerap dan meyimpan air menjadi mati. Sehingga ketika terjadi hujan terjadilah banjir bandang; pada musim kemarau terjadi kekeringan.
Pilihan-pilihan telah dipampangkan di sini. Orang-orang yang berharap ridla Allah, berharap surga, senantiasa berzikir, maka dia akan menjadikan Rasul sebagai percontohan yang sempurna. Sebaliknya orang yang tidak mengharapkan itu semua, bisa saja tidak mengambil Rasulullah sebagai suri tauladannya.
Dalam beberapa kesempatan mencuat kritik yang dialamatkan kepada para pembaharu atau pemikir Islam belakangan, yang berupaya melakukan liberalisasi pemikiran Islam, dianggap terlampau dihegemoni oleh model pemikiran Barat dan sebaliknya cenderung megesampingkan kekayaan tradisi-tradisi Islam itu sendiri. Bagaimana pandangan Gus Dur seputar ide keagamaan atau bagaimana menerjemahkan pribumisasi Islam dalam konteks sekarang ini?
Memang, upaya menerjemahkan agama dalam masyarakat seharusnya tidak menyingkirkan tradisi. Masyarakat Indonesia akan tidak siap dengan cara seperti itu. Namun demikian, pluralisme merupakan keharusan bagi masyarakat Indonesia yang majemuk ini.