Pergumulan Elite dan Egalitarian
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Kasus pengunduran diri Pak Idham, yang cukup “mengguncangkan” warga NU itu, masalahnya kompleks sekali. Tidak bisa dilihat semata-mata dari personalia yang terlibat. Kita tak bisa menarik kesimpulan hanya dari letupan peristiwa sekarang ini. Sebab hal itu menyangkut soal mekanisme dan watak organisasi NU sendiri, dalam konteksnya dengan perjuangan politik. Tapi, itulah politik. Seperti kata pepatah, politik adalah “seni dari segala yang mungkin”. Nah, wajah NU sekarang ini pun, tak terlepas dari hal ini. Sedihnya, NU sekarang ini masih saja getol menggumuli politik.
Konflik interen NU sebenarnya hal yang wajar saja. Secara mekanis, hal itu juga terjadi pada organisasi-organisasi lain yang sudah mapan. Jadi, suatu proses yang alami semata. Konflik itu berpangkal pada perbedaan persepsi antara kelompok elite dan kelompok egalitarian. Kelompok elite lebih berpegang pada hukum-hukum agama, sementara itu kelompok egalitarian menginginkan pengerasan kembali terhadap aturan-aturan dan pedoman organisasi.
Kecenderungan menerapkan egalitarianisme ini nampaknya cukup kuat. Kalau ini diabaikan, maka yang terjadi adalah pelapisan elite agama akan rusak. Oleh karena itu perlu ada semacam “pagar” perimbangan.
Kenyatan seperti ini, sekali lagi, tidak hanya terjadi di lingkungan NU saja. Di Muhammadiyah juga ada Bahkan di kalangan HMI pun jelas kelihatan. Selanjutnya, apabila dalam pergumulan itu ternyata kelompok elite kalah, maka postur organisasi modelnya jadi semacam GUPPI atau MDI. Di sini, yang memimpin adalah kelompok egalitarian.
Isthikarah
Sekarang ini kami sedang mencari upaya agar konflik tidak berkepanjangan, apalagi kalau sampai menimbulkan perpecahan di tubuh NU. Diusahakan untuk mencari “jalan tengah” sehingga tercapai titik-temu yang mengenakkan pihak-pihak yang berselisih. Sulitnya, untuk mencari kebijaksanaan “jalan tengah” itu banyak bergantung pada soal prosedur. Kunci pemecahannya terletak pada penyelesaian yang tidak menurunkan martabat ulama dan Pak Idham sendiri. Kalau tidak bisa, maka sesuai dengan tradisi dan watak NU, ya kita lakukan istikharah — mohon petunjuk dari Allah!
Bagaimana dengan Amin Iskandar? Dia hanya menerima “tandzir” (sanksi) semata. Kedudukannya dinyatakan sebagai orang yang tak disukai dalam organisasi. Ia tetap boleh menggunakan haknya sebagai anggota DPR dan warga NU. Ini perlu saya jelaskan untuk menghindari kesan seolah-olah Pengurus Harian Syuriah PBNU telah menjatuhkan ”hukuman” kepadanya. Padahal, kami hanya memberikan sanksi semata. Tidak lebih dari itu (Syaf).