Perjuangan Kata

Sumber Gambar: https://www.fokusmuria.co.id/lifestyle/pr-3102687645/humor-gus-dur-tentang-jenis-jenis-setan

Oleh: K.H. Aburrahman Wahid

Orang tahu belum tentu mengerti, orang mengerti jangan-jangan tidak tahu. Contoh, dalam pemilu, seorang tukang becak mengerti kalau memilih A negara akan semrawut, lain memilih B. Inilah yang disebut mengerti, padahal ia tidak pernah baca. Contoh lain, Ta’mir masjid mengerti untuk masjid digunakan majelis pengajian dan belajar, padahal ia belum pernah belajar apa itu barokah.

Seorang penulis cerita anak-anak, artikel Koran, dan interview kelahiran Jerman, ibu Sholihah dari Turki, pernah bercerita:

“Dulu di Sivas, Turki, 37 intelektual Turki berkumpul membahas sesuatu. Tiba-tiba di luar ada yang melaporkan kepada seorang muballigh lokal bahwa ada di antara 37 intelektual itu yang ateis. Spontan muballigh tadi menyuruh membakar tempat pertemuan itu. Semuanya meninggal. Bagaimana Jerman bisa berbaik sangka pada Islam?”

Saya mengatakan kepada Ibu Sholihah:

“Harus dibedakan, banyak orang Islam yang tahu tetapi tidak mengerti. Muballigh tadi tidak mengerti bahwa dia berkewajiban melindungi sesama. Dia hanya tahu dari buku yang dia baca bahwa ateis itu harus diperangi.”

Mendengar jawaban saya, Ibu Sholihah lantas menangis. Sebelas tahun ia mencari jawaban itu.

Sekadar contoh. Memang sepertinya remeh. Tetapi pemecahbelahan kata seperti itu penting untuk mengalihkan kesalahan orang dalam memahami kata, selain daripada repot-repot memperdebatkan sebuah arti sebuah kata. Ada banyak cara berjuang melalui kata.

1. Menundukkan Kata

Misalnya saja Ibnu Hisyam mengatakan kitabnya (qothr al-Nada) sebagai lelucon (nukat). Maksudnya bukan banyolan, tetapi beliau hendak mengatakan bahwa nahwu bukan satu-satunya yang harus dipelajari untuk menuju ke Allah. Ada yang juga bisa dikatakan sebenarnya ilmu seperti tafsir atau ilmu tafsir dan hadits atau ilmu hadits. Tidak semena-mena mengatakan ilmu yang dibidangnya paling penting dibanding semua.

Imam Syafi’i mempunyai cara lain dalam memperjuangkan kata. Ceritanya panjang, satu Bani Tamim, orang-orang Hijaz sering memperdebatkan cara melafadlkan kata. Misalnya saja, Bani Tamim melafadlkan amsi (artinya, kemarin), orang-orang Hijaz melafadkan amsa dan sebagian dari Bani Tamim melafadlkan amsu – kalau bahasa saja sudah berbeda apalagi masalah politik.

Memang orang Arab itu sudah dari dulu pecah belah. Bagi bangsa Arab, peperangan suku atau kabilah itu sangat penting, karena itu sangat menentukan. Nah, Imam Syafi’i tidak peduli orang-orang Arab pecah belah tidak karu-karuan dalam meng-i’rob (melafadlkan kata). Kata mana yang dipakai apalagi bagaimana cara melafadlkannya tidak penting. Bacanya boleh macam-macam, tetapi ia mengatakan kepada mereka, maknanya harus begini dan begitu.

Ada lagi cara Imam Syafi’i yang canggih. Dia katakan bahwa dia ikut orang-orang Bani Hudzel dalam memakai kata, tidak menciptakan makna sendiri. Kerendahan hati ini justru yang membuat banyak orang mengikutinya. Kemudian yang terjadi adalah makna yang dibuat oleh Bani Hudzel adalah makna yang diterima oleh seluruh bangsa Arab.

Jadi, sebenarnya yang berjasa dalam hasil ini adalah Imam Syafi’i sejak 1200-an tahun yang lalu. Dari sini kita juga bisa melihat penting sekali arti kerendahan hati seseorang dalam membungkus peran yang besar dari orang itu sendiri. Karena-nya, kita seharusnya melihat segala macam permasalahan dari segi apa atsar atau pengertian yang dikembangkan oleh orang yang terkemuka di dalamnya. Yang terpenting, Imam Syafi’i tidak mau “dipermainkan” oleh kata, terutama cara baca.

Untuk kita, ketika al-Quran mengatakan bahwa orang-orang yang ‘alima al-Quran wa ‘alamahu,  yang mengerti al quran dan mengajarkan itu bukan mengajar tok, juga mengajarkan arti-artinya harus ada. Artinya, yang dulu itu “ya“, yang sekarang juga “ya“.

Namun, ada dongeng tentang suka duka seorang kyai mengajarkan cara membaca al quran yang benar kepada muridnya. Kyai mengajar Li-iila fi quraisyin ilafihim rihlah al-sitai wa shoifi. Ini cara membacanya dalam ilmu tajwid jika diwaqafkan, kata terakhirin berbunyi shoif tanpa i, sedangkan santri melihat dalam al quran itu ada harakatnya jadi ia membaca “rihlatas sitai washoifi.” Sang kyai mengatakan “wasshoif!” dan santri itu masih tetap mengatakan “wasshoifi“, sampai tiga kali. Kyai tidak sabar langsung menutup mulut santri sebelum berkata “i“. “Ya bagus begitu, bukan wasshoifi” kata kyai. tetapi setelah bibir santri dibuka huruf “i“-nya masih keluar: “fi” masih tersimpan, antara otak dan mulut sambung. Mulutnya boleh dibungkam, tetapi otaknya tidak.

Jadi yang terpenting di sini kita harus melihat bahwa kandungan al quran dan hadits lah yang sangat penting. Karena itulah, Imam Bukhari dan Imam Muslim sampai berjalan puluhan ribu meter untuk menetapkan hadits mana yang shohih, mendapat dari al-Quran dan hadits mana yang hasan. Karena kualitas dari hadits sangat penting dalam memahami maknanya. Kalau santri sekarang ditanya, ini hadits apa? Jawabnya hadits Husain, karena ada Hasan kan ada Husain (gerrr…).

Begitulah, Imam al-Ghazali mengajak kita Ihya ‘Uluum al-din, menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama. Kemudian duduknya ilmu nahwu itu di mana? Yaitu untuk membantu kita mengerti bahasa Arab dengan benar. Dalam mengetahui letak dari kegunaan al-Quran, hadits, tafsir, dan seterusnya, kita butuh dengan nahwu, balaghah, sembarang kalir.

2. Pentingnya Kata

1). Wandering Santris

Asal mulanya, NU mempunyai tradisi wandering santris atau al-thullab al-mutajawwilin atau santri keliling (pengembara intelektual?).1 Ciri dari wandering santris itu adalah persaudaraan di antara mereka, satu sama lain saling kenal karena pernah bertemu di beberapa pondok selama dua bulan, setengah tahun, sampai setahun. Dulu juga ada tradisi kawin dari santri. Lha, perubahan-perubahan besar terjadi. Santri sekarang menetap di satu tempat, mondok, sampai tingkat Aliyah. Setelah itu ya sudah, pulang atau pindah ke kota kuliah di IAIN.

Jadi, di sini menghadapi kenyataan sejarah bahwa wandering santris-nya hilang. Orang bisa belajar dari awal sampai akhir tidak nyinggung-nyinggung pesantren lain.2 Dalam pada itu kitab-kitab yang dipakai semua pesantren sama. Orang belajar nahwu mula-mula kitab Jurumiiah. Kalau fikih kitabnya Safinatunnajah, begitu seterusnya. Tidak ada keistimewaan satu sama lain. Semua sibuk mempelajari semua kitab dari semua disiplin ilmu dan semua tidak peduli dengan perkembangan pesantren lain.

Selain itu, kitab yang dipelajari itu-itu saja, diulang-ulang, dibolak-balik, sampai rusak kertastnya. Padahal dulu, setiap kitab hanya dikenali sekali. Setelah itu lainnya dibaca sendiri. Seharusnya ada banyak kitab yang dipelajari para santri. Di tafsir saja, kalau kita melihat Tafsir Munir dan Tafsir Jalaalain sampai kepada Tafsir Thobari yang 30 juz itu, sudah berapa puluh tafsir yang ada. Nah, apakah tugas kita membaca semua tafsir itu? Menurut saya kok ya tidak. Tetapi melihat perbedaan-perbedaan yang ada dalam kitab-kitab tafsiran itu. Misalnya, di tafsir itu ada ini, di tafsir B tidak ada tetapi yang ada itu, dan seterusnya. Tugas kita masih panjang, kalau betul-betul kita ingin mengembangkan ilmu agama Islam yang tradisional, daripada mengulang-ulang atau menghafal kitab-kitab itu. Setidak-tidaknya kita dapat mengambil barakahnya tradisi wandering santris.

Kalau sudah begitu kita bisa mengatakan modernisasi. Modernisasinya dilakukan dalam bentuk apa? Adakalanya dalam bentuk pengajaran-pengajian kitab kuno akan tetapi semua keterangan-keterangannya baru, tetapi tetap direfleksikan pada sejarah. Karena itu, menjadi tugas sebenarnya bagi orang-orang santri yang ingin, ya katakanlah, ekuivalen atau persamaannya di tempat luar yang intelektual untuk memahami hidup ini dari sudut ilmunya melalui kenyataan-kenyataan yang berbeda sama sekali.

2). Institusionalisasi Budaya

Jadi, sejak zaman dulu, para ulama kita selalu mengadakan pendekatan secara budaya tradisional tidak terlalu keras dan tidak langsung melarang sesuatu yang kelihatannya tidak sesuai dengan al quran-hadits. Misalnya seperti yang dilakukan Imam Kholil bin Ahmad, guru Imam Syibawaih yang menjadi pemuka ahli nahwu.2 Yang dicatat di sini, al-Kholil jenggotnya putih, seperti kiai lah, tetapi pada saatnya yang diajarkannya adalah ilmu ilmu Yunani kuno. Dalam ilmu Yunani kuno, agama-agama itu sama sekali tidak dianut. Ada fisika, ekonomi, politik, segala macem itu. Apakah al-Kholil bukan kiai? Tradisi ulama semacam itulah yang harus kita ikuti. Biar tidak main bom-boman seperti di Bali.

Tetapi pendekatan budaya saja juga tidak bisa jalan. Contohnya tidak jauh-jauh, Imam Kholil bin Ahmad mengajar di Masjid Bashroh tanpa mempunyai lembaga apa-apa. Akhirnya hilang begitu saja tidak membudaya, tidak ada yang kenal. Jarang yang mengetahui bahwa dia adalah seorang ensiklopedis. Semua itu karena tidak ada institusinya.

Jadi, keseimbangan antara budaya (tsa’qofah) dan institusi (muasafah) itu sangat penting sifatnya, dan yang sanggup membawa “keaslian” Islam di Indonesia adalah para ulama yang melakukan pendekatan budaya dengan institusi itu. Maka jika Imam Athoillah al-Sakandari dalam Syarhul Hikam mengatakan: “Jangan kau jadikan guru, orang yang tingkah lakunya tidak mendekatkan kamu kepada Allah.” Maksudnya adalah ulama yang begini ini. Kalau tidak, ya, “nahdloh la yumkin,” artinya tidak bangkit. Ini yang dianjurkan.

Pertama-tama yang diajarkan Atho’illah al-Iskandari, adalah “kuburkan dirimu dalam pintu kekosongan”. Artinya, jangan punya pamrih, simbol itu tetap simbol, bermacam-macam model harus tetap jalan, tetapi tidak punya pamrih. Beliau yang mengatakan la tashab, jangan mengharapkan imbalan. Benih-benih Nahdlatul Ulama itu sudah ada dalam Syarhul Hikam, yaitu sesuatu yang sifatnya (mem)budaya. Tetapi oleh para ulama kita khususnya dua orang yaitu almarhum KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dan KH. Abdul Wahab Hasbullah dijadikan institusi, dilembagakan menjadi Nahdlatul Ulama. Jadi, dua-duanya (institusi dan budaya).

Sebenarnya asal usul Muhammadiyah juga berasal dari background yang sama. Pada waktu Muhammadiyah lahir tahun 1912 di Yogyakarta, kata Kyai Hasyim: “Ahmad Dahlan adalah teman mengaji saya di tempatnya Mbah Sholeh di Ndar Semarang. Sama-sama mempelajari kitab Syarhul Hikam.” Maka asal-muasal Muhammadiyah adalah Syarhul Hikam juga sebagaimana NU. Ini yang jarang diketahui.

Dari sini wajib kita “mengamankan” budaya kita, institusionalisasi budaya. Tetapi juga buktikan berarti institusi itu segala-galanya. Nomor satu adalah kebudayaan. Adanya ISHARI (Ikatan Seni Hadrah Republik Indonesia) tidak berarti rebana atau terbangkan bergantung sepenuhnya pada ISHARI. Seharusnya ISHARI yang bergantung pada rebana, kita berziarah ke kuburan juga tidak ada institusinya, seperti ini yang oleh John Ekskrom dari Kanada diistilahkan “happening” atau kejadian.

Ini penting sekali. Tiap tahun dua kali, saya tidak tahu tanggal berapa itu, di Masjid Agung Pasuruan semua ISHARI se-Jawa Timur datang beberapa ratus truk. Mereka main rebana masing-masing, sekali main 15 grup, bengok-bengok karepe dewe, sewa-sewa truk, bawa nasi bungkus sendiri, beli seragam, dan sewa tempat sendiri. Tidak ada yang mengundang, tidak ada pengumuman, mungkin juga tidak ada organisasinya. Itu namanya “happening”.

Saat acara Khaul Sunan Bonang saya dua tahun yang lalu pergi ke sana. Tiga ratus ribu orang datang tanpa diberi tahu tangganya, paling-paling panitia hanya memberi tahu saya untuk hadir. Hal seperti itu berjalan sampai 43 tahun lamanya semenjak Pak Kyai Hasyim Yusuf (al-marhum) Blitar memperingati pada tanggal itu. Ashar jamaah sudah datang kemudian pergi sholat di Masjid Sunan Bonang dan tidur di rumah orang-orang sekitar, dikasih makan. Setelah maghrib pergi ke alun-alun dan di sana sudah ada ratusan ribu orang. Panitia hanya menyediakan kursi, meja, makanan untuk para undangan. Kadang-kadang bahkan pembicaranya tidak ada. Itulah “happening”.

Contoh lagi. Sekarang ini setiap Jumat di maqbaroh (makam) Tebuireng tempatnya KH. Hasyim Asy’ari (al-marhum), Kyai Abdul Hakam sepupu saya, cucu dari Mbah Hasyim itu selalu memimpin tahilan sembarang kalir sampai 50 bis yang datang. Tidak ada yang menyuruh. Bis pertama terus langsung ke rumahnya Hakam, mengajak dia ke sarean (makam) minta dipimpin tahlilan. Itu “happening” juga.

3). Pribumisasian Islam

Saya mengetahui Islam via pondok pesantren, ulama. Pada pendapat saya bahwa dengan mempelajari dari berbagai buku dan lain-lain saya sampai pada satu kesimpulan, bahwa mempelajari Islam itu harus dari dua pendekatan, yaitu pendekatan budaya dan pendekatan institusional atau pelembaagaan. Pendekatan budaya, antara lain, halal-bihalal, terbangan (hadrah), tahlilan, tabarukan (berharap berkah), dan ngaji poosaan (pesantren kilat Ramadhan) orang NU. Itu semua adalah budaya. Salah satu keputusan Muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin adalah selama kita dapat menjalankan ajaran Islam tanpa negara, hambatan dari negara, maka tidak perlu ada negara Islam. NU waktu itu juga tidak mendapat jatah kursi.

Pendekatan institusional dimulai dari kata “Islam” itu sendiri, fa aslama,3 maka menjadi Islam. Tetapi bagi mereka yang ingin mendirikan negara Islam, pemahamannya lain. Meskipun asal dalilnya sama, tetapi pendekatan yang digunakan berbeda. Mereka yang mementingkan institusi, sekarang ini takutnya setengah mati, seperti yang disebut Samuel P. Huntington sehingga mengeluarkan statemen perbenturan budaya.

Oleh karena itulah yang dimaksud dengan kata pribumisasi Islam adalah Islam yang diartikan secara daerah perdaerah. Intinya tetap Islam, tetapi bentuknya bisa lain-lain. Di Arab sana, orang perempuan pakaiannya tertutup, seluruh tubuh ditutupi pakaian semua. Kita tidak tahu dalamnya seperti apa (gerrr…). Itu di Arab sana. Kalau di Indonesia, bentunya lain, pakaiannya kerudung, itu nggak apa-apa. Ini termasuk pribumisasi Islam. Jadi kita kalau mengartikan Islam jangan terlalu kaku.

4). Studi Kawasan

Karena itu, apa yang disebut dengan kajian mengenai kawasan Islam itu menjadi penting. Sebab dari situ akan bisa diketahui corak Islam dari suatu kawasan tertentu. Di Arab, wanita tidak boleh bersinggungan dengan pria. Kalau dibacakan ayat “au lamastum al-nisa” (batal wudhu-nya jika menyentuh perempuan),4 ya sudah. Tetapi di Indonesia lain. Para ulama, kyai sudah biasa diperbuti jamaah wanita yang minta untuk bersalaman, untuk diciumi tangannya. Mereka tenang-tenang saja. Karena para ulama di sini mempunyai pegangan kaidah fiqh, “al-umur bimaqashidiha.” Bahwa segala macam persoalan atau pekerjaan itu, tergantung pada niatnya. Mereka yang bersalaman itu hanya minta barakah. Para perempuan itu bersalaman bukan karena ingin merangsang kyainnya. Tidak mungkin?

Dunia Islam saya bagi menjadi enam. Pertama, Islam di masyarakat Afrika Hitam. Lho, jangan kira Islamnya orang Ghana, Maroko, dan Kenya itu sama dengan Islamnya orang Arab. Kedua, Islam di masyarakat Afrika Utara dan Arab. Ketiga, Islam di masyarakat-masyarakat Turki, Persi, dan Afgan mempunyai tradisi sendiri. Keempat, Islam di Asia Selatan seperti Bangladesh, Nepal, India, Pakistan, dan Sri Lanka. Kelima, Islam di masyarakat-masyarakat Asia Tenggara, itu juga lain. Keenam, ada minoritas Islam di negara-negara industri maju.

Saya bertemu dengan Fadimah (Fatimah), anggota parlemen Belanda sekarang. Ayahnya seorang Turki. Ia mengatakan kepada saya:

“Saya seorang Muslim — Muslimah kalau dia — tetapi tidak bisa lagi sama dengan bapak-bapak kami. Islam yang dibawa dari negara asal yang Arab, yang Turki, yang Pakistan, atau yang India. Kami harus membuat identitas baru, karena kami dilahirkan di Eropa. Bedanya, kami tidak bisa menjadi orang Eropa total, karena kami tidak makan babi, tidak minum-minuman keras.”

Jadi, memang seharusnya ada identitas Islam di masyarakat industri maju.

Dengan demikian, Islam tidak hanya apa yang ada dalam kitab tok. (Tetapi juga) apa yang ada dalam kenyataan hidup sehari-hari. Abu Bakar Ba’asjir yang melihat Islam itu sempit. Islam itu luas, ada proses reinterpretasi, proses penyesuaian. Akibatnya, muncul Kajian Islam Kawasan (Islamic Area Studies).

5). Pengislaman Terbatas

Kita melihat bahwa Islam mau dilihat sebagai institusi atau budaya. Kalau saya melihatnya lebih sebagai budaya, sementara institusi hanya sebagai alat, bukan Islam itu sendiri. Sebab selagi kita boleh berdoa, boleh menjalankan agama Islam, boleh mendasarkan segala sesuatu pada ajaran rukun iman yang enam itu, boleh menjalankan hal-hal yang baik untuk kita, mulai dari doa, ziarah kubur, halal-bihalal, silaturrahim (dan) memakai tahun Islam Hijriah, maka kita tetap Muslim, walau bagaimanapun juga. Itu yang penting. Tetapi di situ lah, Islam campur dengan keadaan setempat.

Inilah yang dahulu dilakukan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo, disebut sebagai “pengislaman terbatas”, tidak total. Yang dipakai hanya dua tetapi atsarnya sampai sekarang. Pertama, Prabu Aji Saka yang menciptakan Tahun Soko itu kan pra Islam. Kemudian tahun saka itu diislamkan oleh Sultan Agung dengan cara yang sederhana sekali, dimulai bulan Suro, Sapar, Mulud, Ba’da Mulud, Jimawal, Jimakhir, Rejeb, dan seterusnya. Itu kan menjadi Arab semua. Cuma satu puasa bulan Ramadhan menjadi poso – karena kalau dijawakan bahaya, menjadi Ramelan (gerrr….) – dan juga banyak yang non-Muslim juga berpuasa. Juga bulan Besar (Dzulkijjah) karena di Arab ada penyembelihan besar-besaran dan hewan-hewan besar-besar dan banyak yang melaksanakan haji di sana. Jadi, habis besar kembali lagi ke awal lagi.

Kedua, Sultan Agung menerapkan hukum fiqh dalam pernikahan, perceraian, dan thalak, rujuk, pembagian waris juga menurut Islam, fiqh waktu itu. Padahal Islamnya raja Mataram hanya islam-islaman, wong dia kesenangannya tari bedoyo. Tari bedoyo itu terbuka, lha wong dulu padduranya kelihatan, biasa kok.

Nah, artinya bahwa ada tradisi lain di luar tradisi keraton, tradisi keraton itu yang mengatur Islam secara profan, tetapi dalam kenyataan hidup yang tidak pakai syara’. Terkenal sekali raja Mataram itu bahwa kalau ia habis kumpul dengan istrinya mestinya kan mandi besar, junub tho, tetapi tidak mau. Jadi, istilahnya mau kumpulnya, junubnya orang lain (gerrr…). Nah, itulah raja Mataram.

Maksud saya, di situ ada negara atau istana, ada manca negara atau luar istana. Ya, yang luar istana itu kita, pondok-pondok, padepokan, dan sekarang organisasi gereja, perkumpulan-perkumpulan (yang) lambat laun jadi LSM. Tradisi di luar tradisinya negara ini yang harus kita dukung.

6). Sejarah Spekulatif

Yang terakhir ini kita berbicara tentang “sejarah spekulatif”. Ada sejarah formal dan non-formal. Diterima atau tidak di perguruan tinggi wong nyatanya ada. Bagaimanapun juga, budaya formal yang materialistik positivistik dalam memahami sejarah itu sudah terlajur diinstitusikan dalam perguruan tinggi. Itu lho sebabnya. Tetapi yang non-formal ini tetap penting.

Ambil contoh. Ada cerita dari film, meskipun tidak bisa menjadi referensi di perguruan tinggi. Di Brasil itu bahasanya Portugis, agama Katolik ikutnya gereja Portugal. Lha, Peru ikut Hierarki gereja Spanyol berbahasa Spanyol. Di Amerika Latin cuma satu, Brasil saja penduduknya 180 juta itu bahasa Portugis. Nah, di dalam film-film itu pendeta-pendeta yang berbahasa Spanyol itu ditangkap … mati oleh pendeta Portugis dan dihukum mati, coba tho? Lha, masa kalau satu gereja satu panutan kok dihukum mati kan gak mungkin wong nggak salah apa-apa. Artinya apa? Orang-orang Katolik Portugal mendapati bahwa para pendeta Peru yang beragama Katolik itu mengeluarkan ajaran-ajaran yang tidak sama dengan yang mereka ajarkan. Karena tidak sama dianggap murtad. Karena murtad itu dihukum mati.

Tetapi sekarang sudah tidak lagi. Sudah ada komunikasi sedemikian rupa dan sudah ada konsili Vatikan II di bawah pimpinan Paus Yohanes 23 (tahun 1962-1965). Salah satu di antara keputusan yang saya hafal sampai sekarang:

“Kami para uskup, berkumpul di Vatikan, dengan ini menghormati hak tiap orang untuk mencapai kebenaran abadi, walaupun kami tetap yakin bahwa kebenaran abadi yang sesungguhnya hanya ada di lingkungan gereja Katolik Roma.”

Maka tidak cukup hanya mengambil dari perguruan tinggi. Sekarang saya ingin bertanya, mahasiswi UI yang jurusan sejarah, apakah mereka diajarkan buku sejarah dari Scott namanya Moral Farmer of The Southeast Asia, ya moralitas petani Asia Tenggara? Nggak ada pelajaran itu. Di situ dijelaskan, dari dulu orang tani itu ada yang namanya Islam, ada yang namanya Kristen. Pada dasarnya ya moralnya sama. Kalau tanahnya diserobot ya marah bangsanya begitu-begitu. Ada a farmer morality, moral petani, juga ada moralitas santri. Jadi semua itu sama, tidak perlu kita bedakan. Kita cari persamaannya saja. Tetapi ada bedanya. Lha, itu formal dan non-formal?

Di Indonesia, apa ada penjelasan resmi atau pelajaran mengenai pesantren? Tidak ada. Pesantren (berasal) dari suku kata shantri adalah – dalam bahasa Pali – orang yang menguasai kitab agama, kitab suci. Jadi, dulu orang tinggal di pesantren tempatnya para santri waktu itu kyai-nya Budha, memahami Tripitaka dalam bahasa Pali. Nah, ini dalam bahasa Sanskerta jadi sasra, sastri. Kalau dalam bahasa Pali kitab suci itu namanya sutra. Nah, sutra itu orang yang menguasainya namanya Santri. Islam datang, ahli-ahli kitab suci Budha itu lalu belajar pada masyayih tarikat, pada orang sufi. Mereka menjadi murid, namanya santri, tetap, tidak berubah. Seolah-olah itu istilah Islam padahal bukan. Bukan bahasa Arab. Tempatnya namanya pesantren. Selama ini orang, mendengar kata pesantren itu pikirannya langsung Arab, padahal kata pesantrennya itu bukan Arab. Lalu jadi Jawa, tempat di Jawa dimana santri hidup bersama kyai. Ya, yang dikatakan Jawa ini Islamic Boarding School.

Contoh sejarah spekulatif. Kenapa Raden Wijaya lari ke utara tidak lari ke Bromo dan Dieng, atau ke selatan misalnya Semeru (Komunitas Kejawen)? Padahal jarak Singasari dan tempat pelarian Wijaya, yaitu di pinggiran Sungai Brantas di Desa Terik hanya sekitar 100 km. Ini tidak ada hubungannya dengan pertentangan ambisi politik pribadi. Raden Wijaya menjadi raja sendiri menggantikan mertuanya. Kalau seandainya mau, ia bisa meminta raja untuk menjadi adipati Kediri. Spekulasinya, ia mendirikan kerajaan baru karena pertentangan agama. Raden Wijaya adalah orang Muslim dan tidak mau dasar pemerintahan berdasarkan ajaran Hindu-Budha. Apalagi dengan berdirinya keraton/kerajaan Majapahit di Desa Terik.

Terik berasal dari bahasa Arab Thoriq. Terik adalah daerah yang dikuasai oleh orang-orang tarekat dan dilindungi oleh angkatan laut Tiongkok yang angkatan lautnya Muslim. Raden Wijaya bukanlah menantu favorit, ia diam-diam menantu karena “terpaksa” sebagai aliansi politik militer antar orang tua. Kesimpulannya, Raden Wijaya adalah seorang Cina yang Muslim. Satu lagi yang perlu diingat, Raden Wijaya dan Kertanegara tidak saling serang karena posisi mereka sebagai menantu dan mertua, angkatan laut yang beragama Islam di bawah perlindungan Angkatan Laut Tiongkok. Spekulasi lebih jauh, jangan-jangan kata wi dalam nama Wijaya itu karena memang ia Cina — banyak sekali nama Cina semisal Ekaciptawijaya.


Catatan Kaki:

  1. Mula-mula Gus Dur bersama dengan adik perempuannya bersepeda pancal belajar Nahwu Jurumiyah kepada Muhibbah, kakaknya Tuti Alawiyah. Muhibbah ini putri pertama Abdullah Syafi’i, teman KH. Wahid Hasyim. Lalu pindah ke Yogyakarta. Di sana, tiap pagi Gus Dur ngaji kepada KH. Ali Maksum di Krapyak, naik sepeda selama tiga tahun. Nah, dalam pengajian-pengajian Nahwu itu, mulai sedikit berbeda dengan yang diajarkan Muhibbah. Lalu pindah ke Tegalrejo, Magelang, selama lebih kurang dua tahun setengah. Nah, di situ Gus Dur sampai pada al-Fiyah Ibnul Malik. “Saya menghafalkan Alfi yah, karena memang disuruh menghafalkan. Padahal sebenarnya tidak perlu dihaapal, hanya menghabiskan tenaga saja,” katanya. Setelah menghapal lalu pergi ke Pondok Nglerap Kebumen, selama dua bulan untuk mentahbis apakah sudah betul hapalannya. Kegunaannya sekarang, kata Gus Dur, salah satunya agar gam-pang mengingat. How to Memorize. Setelah itu, mondok di Tambak Beras, selama empat tahun. Di situ ngaji pada Kyai Fattah. Kalau siang hari ngaji kepada Kyai Masduqi. Tiap Selasa siang dan Jumat siang, Gus Dur ngaji di Denanyar, ke Mbah Bisri. Malam hari ngaji di Sambong. Pada waktu itu ngaji kepada Kyai Muhammad Baihaqi Zaenuddin. Setelah tamat dari Denanyar, mengaji kepada Kyai Idris Kamali di Tebuireng.
  2. Fenomena lain yang mendukung hilangnya tradisi “santri keliling” adalah adanya perkumpulan alumni pesantren ini dan itu. Niatnya baik, tetapi kemudian seakan-akan pesantren yang satu tidak ada urusan dengan pesantren yang lain yang lain, hanya mengurusi pesantrennya masing-masing. Lebih tidak menguntungkan lagi jika telah dikibarkan bendera-bendera partai yang berbeda pada pesantren-pesantren yang berbeda pula. Kalau sudah begitu, tidak sekadar tradisi “santri keliling” yang hilang. Bisa jadi pesantren satu bersitegang dengan pesantren lain gara-gara beda partai. Ini sudah terjadi.
  3. Imam al-Kholil bin Ahmad al-Ma’ani adalah salah seorang dari ahli ensiklopedi Arab yang terkemuka di abad II H/VIII M dan mempunyai banyak murid yang ahli di bidangnya masing-masing. Murid al-Kholil yang membidangi Nahwu adalah Imam Sibawaih, di bidang bahasa atau keindahan bahasa adalah al-Mu’allid yang mengarang kitab al-Kamil 4 juz, di bidang fauna ada al-Jahid dengan kitab al Hayawan 4 jilid, dan dalam hal waris terkenal sekali murid al-Kholil yaitu Ibnu Hisyam. Ibnu Hisyam ini juga yang membuat Thoriq al Ushul. Ada juga murid al-Kholil bernama Ibnu Sa’ad yang bercerita tentang kehidupan nabi dalam “Thobaqoh li Sa’ad” 10 jilid yaitu thobaqot-nya para sahabat. Ibnu Sa’ad mengimlakan (menuliskan) karyanya melalui Ibnu Ishaq yang kemudian nanti mempunyai murid bernama al-Hisyam yang mengarang kitab nahwu “Qathr al-Nada.
    Keistimewaan Imam Kholil juga bisa dilihat dari dua kitab agungnya. Satu, “Qomusul ‘Ain” 2 juz. Ini adalah kamus bahasa Arab pertama. Barang kali di Indonesia belum pernah diperjualbelikan. Begitu juga al-Kholil adalah peletak dari mitologi yang di tangan Khowarizm dinamai ilmu ‘arudl. Kalau kita baca syair “Fayatun, fayatun, mustaf’ilun”. Juga “Mafa-ilatun, mafa-ilatun, fa’uluhu”. Semua ini adalah ilmu ‘arudl yang terkenal sekali disebut “Wajh al-Arudl”.
  4. QS. 5:6