Persaingan di Bawah Justru Lebih Hebat
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Persaingan antar elite di dalam tubuh pemerintah negara mana pun di dunia akan selalu terjadi. Faktor-faktor penyebabnya bukanlah karena persoalan keterbatasan dana anggaran. Tapi inti masalahnya sangatlah kompleks. Elite sendiri mempunyai watak bersaing antar sesamanya untuk menguasai sumber-sumber dana dan pengendalian kekuasaan. Di negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Soviet pun terdapat persaingan antar berbagai kelompok. Misalnya antar kelompok Reagan dan pimpinan Senat dalam tubuh Partai Republik. Pimpinan tertinggi pemerintahan Uni Soviet dikuasai antara kelompok Politbiro, kelompok jenderal industrialis, dan kelompok penentu kebijaksanaan politik luar negeri.
Di negara kita pun terdapat kelompok elite yang bersaing. Ini merupakan hal yang wajar, sebab sesungguhnya pemerintahan suatu negara terbentuk karena hasil persaingan antar kelompok elite. Ada kelompok yang berhasil membentuk pemerintahan, dan ada kelompok yang gagal dan berada di luar pemerintahan. Dari titik ini lalu muncul pengandaian: apakah pemerintah yang terbentuk itu diterima semua pihak ataukah ditolak? Kalau semua kelompok menerima pemerintah, maka sebenarnya persaingan itu justru berfungsi sebagai dinamisator. Tapi bila pemerintahan ditolak oleh sebagian besar kelompok maka persaingan itu dapat naik derajatnya menjadi konflik.
Dalam perjalanan sejarah Republik Indonesia selama 40 tahun, pemerintah sebenarnya terdiri atas berbagai kelompok seperti nasionalis, agama, moderat, dan lain-lain. Sifat pemerintahan sangatlah luas partisipasinya. Di dalam tubuh pemerintahan terjadi persaingan. Begitu pula antar kelompok dalam pemerintahan dan kelompok di luar pemerintahan. Tetapi persaingan kepentingan (interest) tidak sampai meningkat menjadi konflik terbuka antar elite yang memandekkan segala-galanya. Semasa perang gerilya dan perang kemerdekaan persaingan antar kelompok dapat dikendalikan karena kita menghadapi musuh yang sama: kolonial Belanda yang ingin menjajah kembali. Waktu itu kemerdekaan RI terancam bahaya. Kelompok-kelompok elite bersatu menghadapinya.
Bagaimana persaingan antar elite dan sifat pemerintahan kita sekarang? Saya melihat situasi dekade 1980-an berbeda dengan keadaan 1970-an. Masalah konflik antar elite tidaklah setajam dugaan kita selama ini. Ada semacam kesediaan pemerintah untuk mengakomodir perbedaan paham yang luas dan lebih jauh dari situasi tahun 1970-an. Pemerintah ingin memelihara stabilitas keadaan politik dan mengusahakan agar seluruh masyarakat memberikan dukungan penuh dan seluas mungkin. Tujuannya satu: mempersiapkan kerangka tinggal landas pada Pelita VI mendatang.
Penerimaan asas tunggal pada dekade 1980-an dapat dijadikan ukuran dalam penilaian ini. Asalkan kita secara formal menyatakan menerima asas Pancasila, maka kita dibebaskan untuk mengambil sendi atau ciri masing-masing organisasi/kelompok masyarakat. Nahdlatul Ulama menerima asas Pancasila sebagai salah satu sendi. Tetapi di sendi lain, keimanan NU adalah agama Islam. Contoh terakhir adalah Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), yang menyatakan diri menerima Pancasila sebagai asas organisasi. Tetapi keimanannya tetap agama Katolik, sedangkan cirinya adalah kemahasiswaan. Sendi ideologis, organisatoris, dan kultural ini perlu kita amati dalam dekade 1980-an. Dan kesediaan organisasi-organisasi kemasyarakatan untuk menerima sendi kultural saat ini sungguh di luar dugaan. Ini sulit untuk diterima bila persoalannya berkembang pada masa panas dekade 1970-an.
Beberapa faktor dapat kita anggap sebagai alasan kenapa masyarakat Indonesia sekarang mau menerima sendi-sendi ideologis Pancasila tadi. Faktor pertama adalah kedewasaan elite dan anggota masyarakat dalam bernegara dan berbangsa. Faktor kedua adalah suatu kesadaran masyarakat bahwa secara ekonomis negara kita sedang menghadapi cobaan-cobaan yang gawat. Pendapatan negara dari sektor minyak dan gas bumi anjlok luar biasa. Sedangkan sektor non-migas yang diandalkan sebagai alternatif ternyata belum berkembang. Faktor lain adalah momentum tinggal landas pada Pelita VI. Ditambah sikap pemerintah yang akomodatif, maka pada dekade 1980-an ke depan, konflik antar elite tidaklah sehebat perkiraan kita.
Pusat Kekuasaan dan Pemberi Legitimasi
Selain terdapat persaingan antar kelompok dalam suatu pemerintahan, sebenarnya di negara mana pun juga, termasuk Indonesia, selalu akan tumbuh pusat-pusat kekuasaan (power centers). Pusat kekuasaan muncul dengan sendirinya karena efektivitas pengambilan keputusan dalam jangka panjang pada bidang tertentu. Ini wajar dan normal terjadi di dalam pemerintahan.
Di Indonesia umpamanya secara formal ada kelembagaan muncul pusat kekuasaan bidang keamanan, administrasi kenegaraan, penentu kebijakan ekonomi dan birokrasi atau kepegawaian. Pada dekade 1970-an muncul istilah “teknokrat” sebagai pusat kekuasaan yang merancang pembangunan ekonomi secara nasional. Pusat kekuasaan ini akan ada terus. Siapa pun orangnya dan apa pula sebutannya tidaklah penting. Pusat kekuasaan penanggungjawab keamanan juga merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan lagi. Kelompok ini bertanggung jawab di bidangnya dan akan terus berusaha seefektif mungkin dalam menjalankan fungsinya. Di bidang administrasi kepegawaian atau pamong praja juga berkembang pusat kekuasaan yang lain. Dan di bidang administrasi kenegaraan, kita mengenal Sekretariat Negara sebagai pusat kekuasaan. Di pusat-pusat kekuasaan inilah berbagai kebijaksanaan diputuskan.
Tetapi apakah pusat-pusat kekuasaan itu berdiri sendiri? Ternyata tidak demikian, sebab di luar pusat kekuasaan itu masih terdapat berbagai kelompok masyarakat yang besar. Peranan mereka selalu harus diperhitungkan dalam kehidupan kenegaraan. Dari kelompok-kelompok ini minimal harus dimintakan dukungan setiap saat. Proses kenegaraan tampaknya juga tetap berlangsung di luar pusat kekuasaan formal. Kelompok di luar ini bukanlah pusat kekuasaan melainkan pusat pemberi legitimasi kepada pusat kekuasaan. Umat Islam misalnya tak dapat dianggap sepele, sebab umat sering diminta untuk mendukung kekuasaan.
Dalam kehidupan kenegaraan akhir-akhir ini, penerimaan asas Pancasila merupakan persoalan fundamental yang dikonsultasikan lebih dulu kepada kelompok Islam. Begitu pula soal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) apakah akan tetap sebagai partai Islam atau partai terbuka. Dalam konsultasi tadi terjadilah proses tawar-menawar (bargaining). Prosesnya tidaklah sekasar perkiraan orang: Anda harus begini kalau diberi itu.
Selain persoalan fundamental, ada beberapa hal umum yang dikonsultasikan dulu kepada umat Islam. Sifatnya tepa selira. Di sini ada proses memberi dan menerima. Dalam kehidupan politik nasional pencalonan jabatan legislatif juga ditanyakan dulu kepada kelompok masyarakat di luar pemerintahan. Tatkala Chalid Mawardi diusulkan menjadi duta besar, saya ditanya apakah setuju dengan pengangkatan itu? Saya sebenarnya dapat saja menolak memberikan pendapat dengan alasan bahwa hal itu adalah urusan eksekutif. Tapi karena Chalid Mawardi adalah warga NU maka logis kalau saya perlu menjawab pertanyaan itu. Pemerintah telah mempertimbangkan keputusan itu dari berbagai faktor, bagaimana untung-ruginya. Kami sebagai warga NU juga telah memakluminya dan tahu bagaimana nilai tawarannya.
Proses tawar-menawar di tingkat daerah biasanya terjadi pada saat pemilihan calon gubernur. Permintaan dukungan dari umat Islam ditanyakan calon kepala daerah itu melalui PPP. Dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) juga demikian. Proses tawar-menawar ini dapat diibaratkan sebagai barter. Tapi kita tidak secara terbuka menyebutkan “kami minta diberi ini kalau Bapak diangkat nanti”. Biasanya tawaran itu tak terucapkan. Kalau nanti terpilih, kami harapkan pejabat itu tahu diri dan ingat kepada kami. Tidak perlu diberi jabatan tertentu kepada salah seorang dari antara kami, tetapi fasilitas dan kemudahan bagi kepentingan umat Islam secara keseluruhan yang kami harapkan.
Memang masih sulit diharapkan bagaimana bentuk formal tempat pemerintahan meminta dukungan dari umat Islam setelah PPP menjadi partai terbuka. Hanya saja perlu diingat, bahwa proses politik sebenarnya tidak mempedulikan jalur formal atau non-formal. Pokoknya siapa yang dianggap efektif memegang kendali, dialah yang dihormati. Efektif-tidaknya jalur yang kita pilih sangat tergantung pada kepentingan-kepentingan (interest) yang hendak dicapai. Tentu saja masalah-masalah yang sensitif berbeda cara penyampaiannya dengan persoalan biasa.
Apakah dengan adanya pusat-pusat kekuasaan itu tidak membahayakan pemerintah? Sebagian besar orang tampaknya melupakan kenyataan, bahwa di antara pusat-pusat kekuasaan itu sesungguhnya selalu berlangsung suatu rekonsiliasi. Mereka pun melakukan proses tawar-menawar. Bagi saya, fungsi disintegratif dari adanya pusat kekuasaan itu hanya bersifat potensial. Untuk dapat terwujudkan secara aktual dari adanya persaingan antar pusat kekuasaan itu, saya kira, sangat tergantung pada banyak faktor. Sampai saat ini tidak terjadi konflik elite yang berarti karena ada beberapa pengamannya. Dalam skala makro, kini telah tumbuh sikap saling menghargai, rasa pengertian mendalam, dan integrasi penuh dalam kehidupan nasional sebagai satu bangsa. Juga situasi politik cukup kondusif dan meminta masyarakat untuk lebih membaurkan diri. Dalam skala mikro, ternyata kepentingan-kepentingan berbagai kelompok elite dapat dirundingkan dalam forum rapat. Di sana terdapat proses untuk menahan diri agar kepentingan kelompok dan perbedaan paham itu tidak saling bertabrakan sehingga membahayakan negara. Dengan kata lain, di antara mereka berlangsung suatu dialog yang mengimbau, bila Anda ingin berperan dalam proses kehidupan negara dan pemerintahan, maka Anda tak boleh membiarkan pemerintah terguling. Hal-hal semacam ini berlangsung pula di pemerintahan Soviet yang kita anggap elite-elitenya sudah terintegrasi penuh tetapi kenyataannya mereka mempunyai kepentingan sendiri. Di sini memang berlaku pepatah, “pencegahan terbaik adalah kalau tergantung pada kepentingan masing-masing”.
Persaingan Ekonomi Tingkat Bawah
Dikaitkan dengan persoalan ekonomi, persaingan atau konflik antara pengusaha besar muslim dan besar Cina untuk masa 20 tahun ke depan, saya duga tidak akan mengkhawatirkan. Malahan mereka konon menjalin suatu mata rantai kerjasama. Tetapi persoalannya menjadi lain bila kita menengok di tingkat bawah. Justru di tingkat inilah terjadi persaingan keras antara saudagar Cina dan saudagar santri muslim. Ini terjadi menyeluruh di berbagai daerah. Karena intensitas persaingannya tinggi sekali dan jumlah mereka besar, perlu dicari pencegahannya agar tidak menjurus kepada konflik terbuka sebagaimana yang terjadi beberapa waktu yang lalu. Untuk itulah menurut saya, pengusaha-pengusaha besar keturunan Cina perlu memberikan perhatian dan perlakuan yang sama terhadap pedagang-pedagang santri yang tergolong berkemampuan rendah ini. Jangan seperti sekarang, hanya pedagang kecil Cina saja yang didukung oleh pengusaha berskala besar, karena beranggapan pedagang santri adalah saingan mereka.
Yayasan Prasetya Mulya saat ini tampaknya telah siap mencetak tenaga-tenaga bisnis profesional. Sementara itu tradisi dagang warga keturunan Cina begitu mendukung bagi terus lahirnya pedagang-pedagang baru di kalangan mereka. Mereka sanggup untuk merintis dari tingkat bawah – mulai berpakaian celana kotor, makan bubur dan kangkung – dan akhirnya menjadi pengusaha besar. Di sini masalahnya adalah kultur dan tidak sekadar diploma MBA (master of business administration) yang diperoleh dari yayasan itu.
Kita memang dapat menyekolahkan tenaga-tenaga kita untuk memperoleh tingkat pendidikan yang sesuai bagi perkembangan bisnis modern. Misalnya nanti telah lahir manajer-manajer muslim lulusan lembaga pendidikan bisnis. Tetapi mereka harus ditempa lagi melalui jalur pengalaman untuk menjadi matang. Kenapa demikian? Sebab kita belum mempunyai tradisi atau kultur dagang itu. Menumbuhkan tradisi semacam itu di kalangan santri secara umum masih sulit. NU sendiri belum dapat berbuat banyak, karena saat ini sedang sibuk menata diri di dalam tubuh organisasinya. Minimal yang bisa kita lakukan adalah mencoba memetakan persoalan, memahami usaha-usaha kecil dan memberikan latihan dan pendidikan kepada beberapa ribu tenaga di bidang usaha kecil. Kita menitikberatkan pada penyiapan man power untuk bidang praktis atau proyek rintisan. Sebetulnya hal ini telah banyak dikerjakan oleh banyak kalangan. NU sendiri hanya tinggal menawarkan kepada warga NU di berbagai daerah dan teman-teman di luar NU. Jalur yang kita pilih adalah pesantren atau pendidikan wiraswasta lainnya. Ini kita kerjakan untuk menjaga diri secara kultural dan kompetitif agar mampu bersaing dengan kelompok lain.