Peta Politik Orde Baru: Sebuah Pengantar

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Dalam dua dekade terakhir ini, demikian berlimpah produksi teori yang tumbuh-berkembang dan berlomba memberi nama jenis otoriterisme yang sedang berlangsung (jaman Orde Baru, red) di negeri ini. Orang membuat model dan skenario, mencoba memprediksi berdasarkan variabel-variabel ekonomi-politik, kemana arah dan akhir otoriterisme itu. Tidak satupun yang sukses. Pertarungan ideologis, pertengkaran akademis yang terus berlangsung untuk menerangkan perangai Orde Baru, yaitu antara mereka yang menelusuri lewat jalur persitensi budaya, dan mereka yang memintasnya lewat jalur negara dan kelas, tidak juga mampu menambah pengertian kita tentang peta politik.
Biarkan retorika teoritis ini menjadi lahan para pakar comperative politics, yang gemar memberi nama dan menjenis-jeniskan rejim, mengatur terminologi, dan bersiap-siap dengan berbagai varian. Apabila eksplanasinya keliru, yang paling menjengkelkan adalah mendengar mereka mengembalikan seluruh kebuntuan argumentasi pada konsep “kekhususan sejarah”.
Sebagian orang menganggap bahwa kesalahan ada pada teori-teori yang tidak emansipatoris. Diperkenalkanlah jenis-jenis teori kritis yang diakui bahwa di dalam metodologinya terkandung dan melekat konsekuensi emansipasi. Kompleksi-tas jenis teori ini biasanya bernaung di bawah paradigma “de-isme” dan “post-isme”. Di dalam bentuknya yang paling matang, barangkali diwakili oleh feminisme, karena di situ ditelanjangi secara habis-habisan konspirasi antara modernitas, rasionalitas, kapitalisme dan, ini biangnya, phallago-sentrisme.
Persekongkolan inilah yang dianggap menyembunyikan ketidakadilan. Tetapi bila diperiksa secara teliti, kompleksitas teori yang tampak cerdas dan progresif ini, sebetulnya juga merupakan suatu bentuk eskapisme akademis saja.
Di sana, demokratisasi dan emansipasi diandalkan dicapai melalui suatu revolusi kultural di tingkat mode of thought, yang intinya adalah suatu dekonstruksi total cara kita berbahasa. Bahaya dari cara berfikir ini adalah bahwa tempat di mana politik dibicarakan, di mana parameter demokratisasi memerlukan ukuran konkret dan pijakan awal agar seluruh kerusakan dapat diperbaiki, sudah tidak dapat dipercaya lagi. Suatu politik postmodernisme, bila konsekuen, akhirnya menjadi suatu strategi politik yang nihilisme.
Memang harus dikatakan juga bahwa bukan fungsi teori untuk membuka simpul politik. Teori politik akan menyusul kemudian untuk memberi nama bagaimana cara simpul itu dibuka. Namun demikian, tetaplah diperlukan keterangan secukupnya untuk memastikan suatu strategi demokratisasi, agar kita tidak kehilangan arah dalam belantara politik.
Sementara itu, ada kegairahan di masyarakat dalam membicarakan soal-soal politik, karena samar-samar merasakan adanya simpul-simpul ketegangan intra elite yang diharapkan dapat menjadi faktor dinamik bagi suatu reformasi politik. Tetapi sebatas mana ketegangan itu mempunyai arti reformatif, dan reformasi macam apa yang dimaksudkan, serta seberapa luas kegerahan sosial itu beredar dalam masyarakat, sungguh tak pernah dihitung dengan tuntas. Sebagian karena kita tidak mempunyai termometer politik untuk mengukur suhu sesungguhnya (karena pers yang begitu bertanggung jawab), dan sebagian lagi karena keragu-raguan para aktivis demokrasi untuk mendefinisikan situasi. Kecerdasan yang kalah oleh bayangan kekerasan dan imperasi moral yang takluk oleh kooptasi material adalah penyakit-penyakit kronis yang mungkin menyebabkan keragu-raguan tersebut.
Regimentasi Orde Baru
Oleh karena itu, diskusi politik, lebih baik kita mulai dengan sesuatu yang real sebagai soal politik. Agar tidak tumpang-tindih dan melebar ke mana-mana, dalam uraian ini saya batasi saja dalam dua perkara. Pertama, soal legitimasi Orde Baru; dan kedua, soal politik militer. Soal-soal lain tentang politik Indonesia, hanyalah turunan dan perluasan dari perkara ini.
Membicarakan masalah pembangunan politik Orde Baru, harus dimulai dengan memastikan bahwa yang dimaksud adalah membicarakan soal ketangguhan Orde Baru terus menerus berkuasa. Ini harus segera dieksplisitkan sebelum kita disesatkan oleh kecanggihan para pakar dalam berteori akhir-akhir ini, yang mencoba-coba memperlihatkan adanya kemajuan substansi dalam praktek keterbukaan politik di Indonesia, dengan merujuk, misalnya, pada apa yang terjadi di PDI, Golkar, Petisi 50 dan yang lainnya.
Soal ketangguhan di atas, untuk mudahnya kita nama-kan saja dengan dengan regimentasi. Yang saya maksud regimentasi adalah strategi dasar Orde Baru dalam menjalankan pengendalian politik secara lengkap, sistematis, sentralistik, dan dengan itu membangun legitimasinya. Sekedar catatan, ada konsep yang cukup komprehensif untuk menjelaskan soal regimentasi itu. Misalnya saja yang diperkenalkan oleh Michel Foucault, yaitu teori tentang govermentality atau govermental rationality. Melalui konsep ini hendak dilihat seluruh koneksi aktivitas pemerintah di dalam mempengaruhi, membentuk, mengarahkan, dan mengawasi, baik hubungan-hubungan privat antar orang dan kelamin, hubungan dalam lembaga-lembaga masyarakat, dan terutama hubungan dalam politik.
Wilayah pengawasan interkoneksi ini (techniqiues of power) mencakup seluruh institusi sosial ekonomi yang ada, seperti sekolah, pabrik, dan penjara. Tetapi saya kira konsep ini terlalu mewah untuk sekedar menjelaskan techniques of power Orde Baru, yang kita sebut dengan regimentasi di atas.
Karena, bagi Foucault masih diandaikan adanya suatu wilayah transaksi civil society yang sepakat untuk melihat kekuasaan sebagai sesuatu open strategic game, di mana hubungan kekuasaan itu bersifat reversible, sehingga kekuasaan itu omni present, selalu terbuka peluang counter politics dari masyarakat. Bila seluruh misteri ketangguhan Orde Baru itu kita redusir ke dalam satu soal, yaitu relasi sipil-militer, maka pertanyaannya adalah berlakukah prinsip open strategic game dan reversibility of power relation itu?
Dilihat secara pragmatis, Orde Baru adalah sebuah konstruksi kekuasaan yang dibangun di atas dasar uang minyak, hutang luar negeri, dan yang paling penting adalah kepatuhan militer. Secara ideologis, Orde Baru sesungguhnya sebuah konstruksi psikis yang dengan sengaja terus menerus memelihara alam bawah sadar traumatiknya: pemberontakan komunis, demokrasi liberal, gerakan separatis, dan negara Islam. Melalui kombinasi prestasi ekonomi dan trauma historis inilah Orde Baru mencapai legitimasinya. Namun legitimasi sesungguhnya tidak dicapai secara hegemonis, dalam arti kekuasaan itu diterima secara sukarela tanpa perlu dipaksakan melalui kekerasan. Sebaliknya legitimasi ala Orde Baru dikawal secara amat ketat dan diamankan secara sistematis melalui serangkaian strategi regimentasi, seperti pembatasan partai, litsus calon anggota parlemen, larangan oposisi, indoktrinasi ideologi, dan teknik-teknik intelejen lainnya.
Tetapi yang paling berbahaya adalah usaha penyera-gaman pikiran berdasarkan indoktrinsasi ideologi, karena di sana terselip bahaya totalitarianisme. Lepas dari kritik atas koheren atau tidaknya hubungan antar sila dalam Pancasila, satu-satunya kesaktiannya adalah bahwa Pancasila merupakan satu solusi politik untuk menjamin fakta pluralitas masyarakat, termasuk juga pluralitas politik. Dengan demikian, secara ontologis, status Pancasila itu sesungguhnya lebih rendah dari fakta pluralitas masyarakat Indonesia. Tugas Pancasila adalah justru menjamin pluralitas itu dan bukan sebaliknya menghomogenisir masyarakat, seperti pada akhirnya yang terjadi, apabila dijadikannya sebagai prinsip tunggal penentu etika individu.
Bahaya dari kekeliruan logika seperti ini adalah bahwa suatu pemerintahan dapat menjadi totaliter, karena mengidentikkan dirinya dengan dasar negara, memberi tafsir tunggal atasnya, dan memakainya untuk mendefinisikan lawan politik. Setiap kritik yang diajukan pada pemerintah, dapat ditafsirkan sebagai ancaman atas konstitusi. Dan siapapun dapat dibekuk berdasarkan UU Anti-subversi yang sangat ampuh
Sebagai catatan teoritis, menurut sosiologi Gramcian, harus dipastikan bahwa hegemoni Orde Baru tidak dicapai melalui suatu war of position dalam rangka demistifikasi, melainkan sebaliknya, dimenangkan oleh kombinasi indoktrinasi dan represi. Meminjam analisa Habermas, dipandang dari tesis the logic of industrial rationality, Pancasila hanyalah ideologi latar belakang (hinterground ideologie) yang berfungsi memback-up jenis ideologi lain, yaitu pembangunan, yang di dalamnya terkandung suatu zweckrationalitat, yaitu target. Jenis ideologi seperti ini sama sekali incontestable, karena sasarannya adalah sukses. Akibatnya adalah suatu penyebaran hegenis saja akan tidak memadai menjamin sukses itu, karena akan selalu ada kecerdasan (validity claim) yang mampu menemukan sampah yang disembunyikan di bawah karpet pembangunan. Oleh karena itulah, sebuah proyek regimentasi tidak akan pernah sukses tanpa mempraktekkan politic of exclusion, yang bentuk ekstrimnya adalah represi militer.
Hubungan Sipil dan Militer
Soal kedua yang menjadikan sumber ketangguhan sekaligus kemacetan politik di Indonesia adalah hubungan sipil dan militer. Bahwa militer Indonesia sudah berpolitik sejak masa awal perjuangan kemerdekaan adalah fakta yang tak terbantah. Tidak adanya organisasi militer yang monolitik ketika itu menyebabkan terbukanya kesempatan interaksi antara sipil dan militer, tentu dengan alasan strategis masing-masing. Tetapi asal mula sinisme militer terhadap politik sipil sesungguhnya baru muncul pada periode usaha pembentukan Demokrasi Terpimpin Soekarno.
Pemerintah sipil pada tahun-tahun awal kemerdekaan relatif diterima sebagai hal yang wajar. Beberapa pimpinan militer yang terpelajar, yang baru saja menyaksikan bahaya fasisme di Eropa, melihat soal supremasi sipil sebagai hal yang semestinya menjadi esensi negara demokrasi. Tetapi realisme politik di tahun-tahun berikutnya berbicara lain. Secara obyektif ada suasana indisipliner para panglima daerah yang menyebabkan terjadinya kekacauan-kekacauan. Secara obyektif pula ada kejengkelan Presiden Soekarno yang merasa tidak diberi peran dalam sistem politik liberal. Semua ini kemudian ditempatkan sebagai kelemahan sistem liberal. Maka sebelum sidang konstituante merampungkan tugas konstitusionalnya menyusun dasar negara, kekuatan-kekuatan anti demokrasi liberal lebih dahulu berhasil memproklamirkan sistem Demokrasi Terpimpin itu.
Adalah kecerdikan Jenderal A.H. Nasution sebagai pimpinan Angkatan Darat ketika itu untuk memanfaatkan tema Demokrasi Terpimpinnya Soekarno yang anti parpol itu dengan memperkenalkan konsep dwifungsi ABRI sebagai sarana untuk ikut dalam politik. ABRI dalam hal ini menyesuaikan dirinya sebagai golongan fungsional yang bersenjata, sejajar dengan strategi Presiden Soekarno yang ingin memberantas parpol dan menggantikannya dengan golongan-golongan fungsional, yang diperlukan untuk proyek mobilisasi massa dalam revolusinya. Cerita ini masih bisa diperinci, hingga berujung pada konsensus nasional yang memberi jatah pengangkatan ABRI di legislatif.
Dengan kata lain, konsep dwi fungsi ABRI itu sebetulnya lebih merupakan hasil suatu strategi politik situasional, ketimbang sebagai suatu doktrin perjuangan yang berakar sejak perjuangan kemerdekaan. Yang lebih penting sekarang adalah memeriksa kembali apakah konsekuensi dari politik gayung bersambut antara Presiden Soekarno dan pimpinan Angkatan Darat ketika itu yang kemudian dimanfaatkan lagi menjadi konsensus nasional di masa Orde Baru itu.
Keputusan atau kenyataan masuknya militer dalam politik ini, ternyata membawa konsekuensi yang rumit bagi upaya mempraktekkan dalil-dalil bernegara secara benar dalam politik Indonesia masa kini. Pertama, keikutsertaan ABRI dalam parlemen akan menyulitkan suatu pemilihan presiden yang bebas, karena seorang calon presiden yang merasa didukung oleh sebuah angkatan bersenjata, dengan sendirinya merasa tidak aman, karena akan mempersepsikan kegiatan dukungan itu sebagai ancaman. Ini adalah konsekuensi dari hadirnya suatu kekuatan politik yang bersenjata di lembaga sipil, yaitu bahwa paling tidak secara psikologis akan melumpuhkan persaingan bebas.
Kedua, bahwa ABRI sebagai kekuatan politik-tidak mungkin menjalankan fungsi keduanya, yaitu pengawasan politik secara efektif terhadap presiden, karena secara hirarkhis garis komando, presiden adalah panglima tertinggi ABRI. Ini sekaligus berarti bahwa bila ABRI sendiri sebagai angkatan bersenjata, karena prinsip kepatuhan itu, tidak dapat secara efektif mengawasi kekuasaan, apabila mengharapkan fungsi itu dijalankan oleh sipil. Bila esensi politik kita pahami sebagai sesuatu yang testable dan contestable, maka segera kita mengetahui bahwa kita sedang terkunci dalam kekonstitusionalistikan.
Jadi dengan logika yang sederhana saja sudah sangat kentara simpul-simpul mana yang seharusnya dibuka agar isu keterbukaan yang begitu sering dikemukakan pemerintah, tidak sekedar menjadi sahut-sahutan di ruang tertutup. Perkara inilah yang saya kira lebih menjelaskan mengapa regimentasi menjadi permanen di Indonesia. Kita mengerti bahwa fungsi kehadiran ABRI dalam politik itu adalah hasil dari satu konsensus yang disepakati sipil, tetapi dalam perkembangan sejarah selanjutnya, di mana pengetahuan demokrasi masyarakat semakin baik sehingga ada tuntutan akan reformasi, soal-soal tersebut pada saatnya akan menyulitkan para pelaku konsensus itu sendiri.