Pidato Presiden Republik Indonesia Kyai Haji Abdurrahman Wahid Pada Pembukaan Kebaktian Tahunan Nasional (KTN) XXXVII Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia (YPPII)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Bapak Octavianus sebagai tuan rumah,
Para Bapak-Bapak pimpinan berbagai gereja dan kelompok agama yang ada di sini,
Bapak Para Menteri, Bapak Gubernur, serta Muspida Tingkat I dan Ketua DPRD, Bapak Bupati serta Muspida dan Ketua DPRD Tingkat II
Para hadirin dan hadirot sekalian,
Saya baru pertama kali ini datang kemari walaupun sudah lama mendengar apa yang dikerjakan oleh Pak Octavianus. Beliau merupakan contoh dari orang yang berjuang untuk kepentingan sesama melalui agamanya. Kalau kita semua berpikir dan bekerja seperti itu maka menjadi umat beragama adalah suatu yang merupakan karunia Tuhan. Hanya sayangnya saat ini kita lihat di berbagai tempat di negeri kita masih ada orang yang memahami agama secara salah, memahami agama secara sepihak dan secara sempit. Karena itu bagaimanapun juga lalu menjadi kewajiban kita bersama untuk mencari pemecahan bagi masalah itu. Sebagai seorang warga negara tentu saja kita tidak boleh hanya berdiam diri, berdiam diri melihat kenyataan bahwa bangsa kita tengah ditantang oleh kesalahpahaman yang sangat besar. Ini semua bermula dari kesalahpahaman di dalam memahami konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Ada kalanya ini berbentuk penafsiran sempit mengenai Pancasila sebagai sebuah produk yang hanya membenarkan diri sendiri dan menyalahkan pihak lain. Padahal Pancasila merupakan sebuah titik temu dari berbagai pengalaman-pengalaman pribadi yang bermacam-macam. Karena itu Pancasila lalu digunakan untuk memenangkan pihak sendiri karena kita memang dangkal memahaminya.
Saya berbicara begini pada semua pihak, di pihak teman-teman Kristianipun ada yang keliru pandangan menganggap tadinya bahwa dekat dengan Pak Harto bisa dipakai untuk membesarkan agama mereka. Ini kan kesalahpahaman yang sangat besar bahwa agama Kristen itu membutuhkan pemerintahan untuk dapat tegak di bumi ini. Kita semua tahu bahwa justru agama Kristen ketika dikejar-kejar dari saat kelahirannya hingga saat ini dimulai dari pengejaran oleh orang-orang Romawi sampai ke saat-saat sekarang ini justru semakin berkembang. Saya tidak usah menyebut nama lembaga mana tapi ada yang berpikir begitu, ada pula dari golongan Islam yang salah memahami agama mereka seolah-olah agama itu adalah suatu yang ideologis, artinya paham politik, sampai hari ini masih ada yang demikian. Menurut saya ya agama itu adalah pandangan seseorang yang tidak terkait dengan negara. Negara berdiri di atas semua agama, tidak hanya satu agama saja. Akibat dari kesalahpahaman ini sudah kita lihat terjadinya bermacam-macam proses di negeri kita sampai hari ini. Bahkan apa yang terjadi di Ambon, di Aceh dan di Irian pun merupakan petunjuk daripada kenyataan yang demikian, bahwa salah pengertian dalam hubungan antara agama dan negara masih demikian luas. Seolah-olah agamanya hanya hidup kalau diberi belas kasihan oleh negara dan seolah-olah negara itu adalah alat satu agama untuk memenangkan diri terhadap agama-agama yang lain. Ini sebuah kesalahan besar yang harus dikoreksi oleh bangsa kita dan koreksi ini harus dijalankan dengan sungguh-sungguh karena kalau generasi kita, generasi saya, generasinya Pak Octavianus tidak mampu menyelesaikan masalah ini dengan baik maka malapetaka yang akan kita wariskan kepada anak cucu kita.
Pada suatu ketika, saya pulang ke rumah dan seorang anak saya yang sedang sekolah di SD menanyakan kepada saya, “Pak …, saya sebangku sekarang dengan seorang kristen. Saya tertawa tapi hati saya menangis, menangis, kenapa harus jadi masalah ini?” Saya sejak kecil tinggal di Tebuireng. Beberapa ratus meter dari rumah saya ada sebuah gereja Katolik, saya sering bermain-main di situ dan sampai hari inipun saya lihat bahwa tidak ada masalah apa-apa. Seperti halnya juga saya sebagai seorang santri, yah mungkin ya karena situasinya tidak memungkinkan untuk belajar budaya Jawa yang sebenarnya dengan berterus terang maka terpaksa sembunyi-sembuyi nonton wayang. Sehingga baru belakangan saja saya berani berterus terang bahwa saya ini seorang penonton wayang yang, eh.. apa itu namanya yang adiktif yang nyandu dengan wayang. Teman saya dalam hal ini Pak Gubernur, itu sama-sama senang wayang. Itupun kadang-kadang masih disalahpahami bahwa wayang ini adalah yang terbaik di dunia, dan itu juga salah, memandang rendah yang lain hanya karena kita senang wayang, ini juga salah besar.
Beginilah kita lihat kesalahpahaman yang demikian mendasar masih hidup di dalam masyarakat kita, karena itu untuk menuju kepada sebuah penyelesaian yang memuaskan tidak bisa lain kecuali kita harus mendidik diri sendiri, mendidik keluarga kita, mendidik masyarakat kita, dan mendidik segala pihak yang terkait dengan kehidupan kita bahwa Undang-Undang Dasar kita menghormati semua agama tanpa kecuali, memberikan kebebasan yang seluas-luasnya. Ini adalah kebesaran dari ideologi kita Pancasila. Dia merupakan kompromi, kompromi politik dari berbagai pihak sehingga akhirnya yah suatu yang sangat lucu, namanya Pancasila, bahasa Sansekerta, jadi katakanlah berasal dari agama Hindu, tapi tiga dari lima sila, itu mencerminkan ajaran Islam, sedangkan penerapannya juga demikian. Jadi di sini kita melihat bahwa kita berasal-usul macam-macam, berbeda-beda tetapi bermuara pada sebuah kompromi politik yang akhirnya itu menjadi landasan hidup kita bersama. Saya tidak tahu apakah cara memandang yang demikian itu benar, tapi saya rasa pada saat ini dapat kita pakai untuk menyelesaikan masalah-masalah kita. Tapi ini berarti pula adanya keharusan kita untuk saling belajar, karena proses mendidik adalah proses belajar, belajar seumur hidup.
Salah sebuah hadist Nabi mengatakan: “Ut lubul ‘ilma wal law bissin“, carilah ilmu pengetahuan kalau perlu hingga ke negeri Cina. Negeri Cina waktu itu untuk dijalani ya hampir-hampir tidak mungkin dari negeri Arab sana, karena tidak ada kendaraan dan perjalanan melalui gurun pasir dan sebagainya. Jadi agama yang saya yakini agama Islam, itu meletakkan arti penting daripada perbedaan pandangan. Kalau orang disuruh belajar sampai ke Cina mencari ilmu pengetahuan, pengetahuan apa tentu bukan pengetahuan Islam, karena Islam waktu itu belum ada di Cina. Nah ini kita bisa melihat bahwa dalam agama yang saya yakinipun perbedaan itu diakui dengan baik, berarti kita harus belajar satu sama lain tidak bisa lain. Belajar satu sama lain berarti kita berlapang dada, berlapang dada artinya kita harus mampu melihat kenyataan-kenyataan sejarah yang ada. Saya ambil sebuah contoh yang mungkin terasa agak pahit bagi sejumlah teman-teman Katolik bahwa ketika De Loyola mendirikan Sarekat Yesuit sebenarnya dia menerapkan ajaran gurunya yaitu Usman Al Heidry seorang ahli tarekat dari Afganistan. Sebab kalau kita bandingkan jelas sekali ajaran Al Heidry itu bagaimana dan ajaran Yesuit itu bagaimana, yaitu mempertemukan antara intuisi dan logika secara berimbang. Ini keistimewaan dari orang-orang Yesuit. Nah tentu sesuatu yang pahit bagi teman-teman Yesuit untuk menyadari bahwa Al Heidry memberikan peranan kepada guru mereka, kepada pendiri dari aliran mereka. Tapi ini harus kita lakukan sebagaimana halnya juga bagi kaum pengikut tarekat harus mengakui kenyataan bahwa Maimonides, seorang Yahudi memberikan pengaruh sangat dalam kepada para ahli Tasawuf Islam, kepada para pendiri aliran-aliran Tasawuf itu. Inilah namanya sejarah manusia, saling belajar satu sama lain sehingga dengan demikian tercipta dalam jangka panjang sebuah peradaban dunia yang luas yang memiliki keunikan karena dia bisa satu tetapi juga berisi ragam-ragam yang sangat besar.
Diversity in Unity, Bhinneka Tunggal Ika, ini keyakinan saya karenanya kita melihat bahwa perkembangan agama di Indonesia yang sudah demikian banyak agama yang ada di sini masih belum menunjukkan hal yang menggembirakan masih terus menerus memperjuangkan orang-orang yang ditolak atau diingkari hak-hak mereka beragama seperti halnya kaum Konghucu, hanya kaum Ahmadiyah, hanya kaum Aha’i, dsb. Karena itu saya melihat bahwa apa yang dilakukan oleh Pak Octavianus di mana secara sederhana tiap tahun hanya berkumpul, kelihatannya hanya berkumpul tapi berkumpul dari bermacam-macam aliran dan pikiran memahami Tuhan dengan cara masing-masing tetapi dengan satu tekad yaitu mencari kebenaran, maka kita melihat pengalaman itu memberikan bekas yang sangat mendalam seperti yang kita rasakan hari ini. Karena itu saya dengan gembira datang kemari, datang kepada Pak Octavianus (tepuk tangan meriah). Sebagai seorang Muslim saya datang di muka seorang Katolik (maksudnya Kristen) dengan penuh kerendahan hati menyapa beliau. Sebagai seorang Jawa yang jumlahnya begitu besar dengan orang dari Rote yang jumlahnya sekian kecil itu. Tapi itu tidak penting semua karena yang terpenting adalah Pak Octavianus telah membuktikan diri menjadi warganegara yang sebenarnya dari negeri ini. Apapula tadi, saya diberi buku oleh beliau pandangan mengenai Pancasila, terus terang ini masalah yang rumit sekali.
Saya masih teringat ketika Pak Harto menyampaikan masalah gagasan tunggal, ide apa namanya ideologi tunggal atau azas tunggal Pancasila. Saya waktu itu bersama-sama dengan Romo Sastrapratedja dibantu oleh Pak Ukirsari dan Pak Wiladi Rudiarga itu mencoba mencari rumusan yang tepat. Pada waktu itu wakil di gereja Katolik itu menerima kami adalah Mgr. Hardjosumarto waktu itu menjadi Uskup Purwokerto semasa hidup beliau. Nah di situ kita berbicara bergulat bolak-balik di mana saling belajar satu sama lain dengan segala kejujuran. Kalau kami yang Islam memang agak mudah karena memang Islam itu agama hukum. Karena itu, ya rumusannya itu mudah sekali menyangkut ideologi karena ideologi kaitannya dengan pandangan hukum, tidak begitu berat, tapi saya merasakan betul waktu itu betapa sulitnya bagi kaum Kristiani. Nah, akhirnya alhamdulilah semua teratasi dengan baik. Waktu itu, ya terus terang saja kaum Katolik tidak bisa mencari rumusan yang pas. Nah itu akhirnya ya hanya kata-kata “dalam terang sinar kasih Yesus Kristus kami berazas Pancasila.” Itu sangat sumir hubungan yang ada itu, yah kekuasaan atau kemampuan dari Pak Sastrapratedja doktor kita ini ya baru di situ ya apa boleh buat. Sekarang alhamdulilah setelah sekian lama, katakanlah 15 tahun lebih saya mendapat buku dari Pak Octavianus: “Hubungan Pancasila Dan Orang-Orang Kristiani”. Bagi saya ini merupakan sesuatu yang sangat berharga. Mungkin jauh lebih berharga daripada kalau saya diberi emas. Harta benda bisa kita cari tapi pikiran tidak mudah diperoleh ini pengalaman hidup yang disublimkan di dalam rumusan-rumusan yang kelihatannya gampang tapi sebenarnya mencarinya sangat sulit. Karena itu proses saling belajar harus diteruskan, saya bergembira bahwa hanya 4 bulan setelah terjadi kerusuhan-kerusuhan di Situbondo di sini ada Romo Benny yang menjadi saksi, Romo “bandel”, kakinya sudah patah masih terus-terusan mengurusi Tuhan. Nah ini 4 bulan setelah terjadi itu maka dibuat sebuah bazar di Situbondo yang di dalamnya para santri dan para kyai bercampur aduk dengan para teman-teman Kristiani. Saya tidak tahu mungkin juga ada yang Konghucu dan segala macam itu juga menikmati atau sebuah kejadian yang unik yang dibuat untuk menolong orang lain. Setelah itu saya dengar bahwa di Jalan Mawar No. 12 disediakan apa acara untuk mempelajari komputer, menggunakan komputer, istilahnya itu komputerisasi bagi kalangan pesantren oleh GKJW dan Gereja Katolik setempat. Rasanya kalau bahasa Jawanya itu ‘mongkok’ hati kita, artinya sangat gembira walaupun ya saya sendiri harus bagi waktu karena NU sedemikian banyak orangnya sehingga harus saya ladeni semuanya sehingga tidak bisa ke tempat-tempat saudara-saudara Kristiani yang lain. Bahkan akhirnya Romo, teman-teman Romo seperti Romo Yansen, Romo Haryoko waktu wafat sayapun tidak menengok ke sana, tidak sempat datang.
Tidak apalah karena semua tahu bahwa kita semua berniat sama. Jadi karena itu para hadirin dan hadirot saya merasa bergembira berada di sini dan saya yakin bahwa di masa depan lebih banyak lagi yang dapat kita perbuat sehingga pada akhirnya bangsa kita menjadi sadar benar bahwa ber-Tuhan itu merupakan sebuah rahmat kita sekalian bukan alat untuk memecah belah di antara kita. Karena itu para hadirin dan hadirot sekalian dengan ini saya nyatakan bahwa Kebaktian Nasional yang diselenggarakan oleh Yayasan Pekabaran Injil yang dipimpin Pak Octavianus dibuka dengan resmi, mudah-mudahan semuanya berjalan dengan lancar dan membawa hasil yang memuaskan.
Assalamualaikum Wr. Wb (tepuk tangan meriah)
Batu, Kamis 29 Juni 2000