PKB = NU Plus

Sumber Foto: https://vinus.id/merajut-kembali-tenun-perjuangan-nu-dan-pkb/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Mendirikan demokrasi di negeri kita bukanlah suatu pekerjaan yang gampang. Ia bersangkut dengan orang, berbagai perasaan, sejarah, dan pikiran masing-masing. Tidaklah merupakan sesuatu yang aneh, bila ada pihak-pihak intern Nahdhatul Ulama (NU) ada yang berkeberatan dengan dijadikannya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai partai politik yang terbuka. Justru akan terasa sangat aneh, jika tidak ada yang mengajukan tentangan terhadap gagasan ini. Itu berarti, komunikasi intern di kalangan NU telah menjadi rusak, seperti yang terjadi pada partai-partai politik lain.

Keberatan utama terhadap gagasan ini, adalah kenyataan bahwa pendiri PKB adalah tokoh-tokoh NU dan sampai saat ini pun pimpinan PKB di mana-mana masih tetap dipegang oleh orang NU. Karenanya, tidak mengherankan jika ada keberatan seperti itu. Bahwa sebuah proses politik telah terjadi, sering tidak tertangkap oleh para pelakunya. Jika ada tokoh-tokoh yang ingin menerapkan idealisme politiknya, tentu ada juga yang terikat pada kenyataan-kenyataan yang ada.

Seperti biasa suara-suara yang kerap kali dilontarkan justru menyangkut kemurnian NU dari pengaruh-pengaruh lain. Yang menarik di sini kehadiran tokoh-tokoh Islam non-NU malah sering menjadi bahan pergunjingan dalam lingkungan partai tersebut. Sedangkan kehadiran tokoh-tokoh non-muslim tidak begitu menjadi persoalan. Dengan demikian terbukti, pertentangan intern (internal sibling) atas sebuah gerakan jauh lebih menyentuh daripada pertentangan antar-golongan/agama yang ada.

Selama ini, hal-hal yang dianggap sederhana, dan tidak memperlemah posisi PKB dapat diterima dengan mudah. Misalnya saja, tentang daftar kegiatan yang selama ini tidak dikenal NU dengan mudah dapat diserap oleh PKB bahkan yang sulit diterima kalangan NU sekali pun, dapat diterima jika disalurkan melalui PKB. Contoh dalam hal ini sederhana saja, seperti ketika rombongan Ulama Pasuruan dan Bangkalan datang ke rumah penulis di Ciganjur beberapa waktu yang lalu. Saat itu, penulis menyatakan, Mukernas PKB telah memutuskan bahwa partai politik tersebut adalah partai yang terbuka. Dan karenanya, kalau nanti muktamar memilih tokoh wanita sebagai Ketua Umum maka haruslah diterima dengan ikhlas. Salah seorang Kiai menyatakan: “Kalau begitu, kita harus menerima gender”, maka hal ini berarti telah terjadi perubahan yang sangat besar yang dengan mudah diterima di lingkungan partai tersebut.

Inilah yang sering tidak dipahami orang mengenai perbedaan antara sebuah ormas (organisasi massa), seperti NU dengan sebuah parpol (partai politik), seperti PKB. Dalam beberapa hal, ternyata proses transformasi dapat dilakukan dengan lebih cepat dan menyeluruh di lingkungan sebuah parpol. Biasanya baru setelah terjadi hal-hal yang tragis pihak NU sendiri akan melakukan perubahan-perubahan yang boleh dikatakan drastis pula. Dibentuknya sebuah tim lima, dimaksudkan dapat memberi harapan adanya pembersihan dalam tubuh PKB, selagi kita dapat membuat perkecualian dalam kasus PKB ini.

Bahwa ketidakjelasan perkembangan PKB justru akan membuat partai itu tidak lagi didukung oleh mayoritas bangsa dalam pemilu yang akan datang. Karenanya, kita tidak perlu ragu-ragu akan derajat perubahan yang dapat dilakukan dalam tubuh partai. Dalam hal ini, berlaku sebuah adagium yang sebenarnya sudah bersifat klasik: setiap perubahan akan lebih mudah dilaksanakan apabila hal itu dilakukan dalam sebuah parpol.

Inilah yang harus kita mengerti, bilamana kita menginginkan PKB dapat memenangkan pemilu di masa mendatang. Adanya sebuah usul agar PKB berasaskan Islam menunjukkan bahwa hal ini justru dikemukakan karena ketidaktahuan mengenai adagium tersebut. Dengan kata lain, kalau PKB kembali menjadi sebuah parpol agama, maka daya tariknya justru akan berkurang. Sebuah parpol yang memiliki basis massa pendukung yang heterogen, sebenarnya jauh akan lebih menarik daripada sebuah parpol yang hanya melandaskan diri kepada dasar-dasar pijakan yang sempit, seperti asas Islam. Kenyataan inilah yang harus diperhitungkan apabila kita ingin mengembangkan sebuah parpol, dan bukannya sebuah ormas.

Memang kini kaum muslimin militan tampak lebih besar daripada dulunya, tetapi itu pun terjadi hanya karena kemampuan mereka dalam berorganisasi yang lebih baik. Massa pen- dukung mereka dari dulu jumlahnya kecil, hingga tak perlu membuat kita gelisah. Dalam kenyataannya, bangsa kita justru menyukai heterogenitas aliran maupun pandangan. Dengan begitu, PKB haruslah mempertimbangkan kenyataan ini dalam pengembangan dirinya menuju masa depan bangsa ini yang lebih baik.

Karena itu, PKB haruslah memiliki basis massa pendukung yang lebih luas ketimbang NU, sebab parpol itu harus mampu merebut simpati golongan seluas-luasnya daripada ormas itu sendiri. Maka jelaslah, kalau NU saja sudah menyatakan diri berdasarkan Pancasila (dan, dengan demikian membuktikan adanya kemampuan untuk mempertahankan eksistensinya sendiri), maka sudah semestinya PKB memperluas jaringan pengikutnya. Oleh karenanya, tepatlah kalau di sini dikatakan, PKB = NU Plus di bidang politik, sedang NU = PKB minus di bidangnya sendiri.