Pluralitas Agama Dan Era Ketakpastian
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Saya telah membaca dan menginventarisir arti agama dalam ragam bahasa, baik dalam bahasa Sansekerta maupun dalam berbagai bahasa Indo-Semit. Semua pengertian agama tampaknya menuju kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang perintah-perintah Nya mesti dijalankan manusia. Karena sudah demikian halnya pengertian agama dalam buku yang ditulis intelektual muda Muslim Abd. Moqsith Ghazali ini, saya tak akan mengemukakan tanggapan lebih jauh karena dikhawatirkan akan mengusik pengertian-pengertian standar yang sudah ada. Moqsith Ghazali telah menjelaskan secara panjang lebar perihal pengertian agama dan problematiknya ketika menjatuhkan preferensi pada satu pemaknaan. Ia juga mengelaborasi secara rinci perihal pluralitas umat beragama dan bagaimana al-Qur’an persisnya Nabi Muhammad meresponnya saat itu. Itulah yang menjadi fokus buku ini.
Namun, yang coba dibahas dalam epilog ini adalah bagaimana hal-hal tersebut dipahami oleh manusia. Banyak sekali pemahaman-pemahaman agama yang dimiliki manusia, seperti banyaknya pengertian dan makna al-dîn, al-millat, dan al-Islâm dalam al-Qur’an. Entah berapa banyak, saya juga tidak tahu. Yang penting adalah bukan membahas pengertian agama itu sendiri, melainkan bagaimana manusia memandang, memaknai, dan menjalankan sebuah agama dalam kehidupan. Prof. Dr. Jan Romein, seorang sejarawan pada awal penyerahan kedaulatan kepada Indonesia, menulis sebuah buku yang berjudul Aera-Europa. Buku ini diterbitkan dalam bahasa Belanda dan akhirnya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit PT Ganaco di Bandung dengan judul yang sama. Romein juga menulis sebuah buku berbahasa Belanda bertitel In de Ban Van Prambanan, dipersembahkan pada salah seorang teman karibnya di Indonesia, Roeslan Abdulgani.
Dalam buku Aera-Europa, Jan Romein menyebutkan, bahwa beberapa abad sebelum Masehi, dunia pernah mengalami krisis kepercayaan. Kemudian datanglah beberapa orang yang berusaha mengatasi krisis kepercayaan tersebut. Hasilnya, terbitnya moralitas baru di kalangan umat manusia di kawasan Huang Ho dan Yang Tse Kiang di Tiongkok, lalu muncullah Konghucu dan Lao Tse. Di anak benua India, lahir Sidharta Gautama dengan membawa agama Budha di pinggiran sungai Gangga. Di Persia, muncul Zarathustra, yang kepada kita diperkenalkan terutama oleh Nietzsche. Di tepian sungai Nil (Mesir), lahir Fir’aun (Pharaoh) Akhnaton. Mereka semua mengajarkan moralitas, yang sebenarnya hanyalah berarti penguatan dan pelaksanaan kembali moralitas lama; manusia tunduk kepada Tuhan yang diwakili oleh raja di muka bumi, dan menerapkan kembali moralitas lama dari masa sebelum adanya krisis. Untuk itu, diperlukan bantuan berupa simbol-simbol lama dan profesi purba dalam pengaturan masyarakat, yaitu bertani atau bercocok tanam.
Yang menjadi pengecualian dalam hal ini adalah filsafat Yunani Kuno yang bersendikan rasionalitas. Jika kembalinya manusia kepada tata nilai lama menghasilkan apa yang disebut Jan Romein sebagai pola kemanusiaan umum pertama (Erste Allgemeine Menselijk Patron), maka kaum filosof Yunani Kuno mulai menggunakan rasionalitas, bukan moralitas. Dalam perkembangannya, rasionalitas dilanjutkan oleh perdamaian model Romawi (Pax Romana), hukum Romawi (Lex Romanum), Gereja Katolik, yang dilanjutkan oleh berbagai pihak melalui masa pencerahan (Aufklarung), abad logika (yang secara populer ditandai dengan ucapan Descartes, “Cogito ergo Sum“). Sementara pandangan Kant yang lebih kritis terhadap rasionalisme ala Descartes berujung pada munculnya ideologi-ideologi besar seperti sosialisme dan nasionalisme, yang juga berujung pada kekuatan sangat besar yang dimiliki Eropa. Akhirnya seluruh dunia tunduk pada Eropa dan Amerika. Periode ini, sekali lagi menurut Jan Romein, ditandai oleh kolonialisme Eropa dan Amerika Serikat yang memaksa sisa dunia untuk mengikuti jejak kolonialis itu. Lahirlah apa yang dinamai Jan Romein sebagai pola kemanusiaan umum kedua (Tiweede Allgemeine Menselijk Patron).
Sebagai akibat, maka muncullah krisis berikut, yaitu abad ketidakpastian, sebagai tanda dari abad ke-20 Masehi. Semua hal seperti kehilangan makna. Kita yang berada di abad ke-21 Masehi ini hidup dengan serba ketidakpastian (uncertainty) termasuk ketidakpastian agama-agama di hadapan berbagai tantangan. Nah, dapatkah pembaca buku ini mengembalikan kita kepada kepastian yang ada sebelum ini? Ini pertanyaan yang patut dijawab bersama. Dengan penelitiannya yang serius terhadap sumber-sumber otoritatif Islam, Abd. Moqsith Ghazali coba menghadirkan relevansi dan signifikansi agama-agama seperti Islam. Ia memastikan bahwa Islam yang bertunjang pada moralitas masih memiliki makna dalam kehidupan. Islam dengan pesan ethisnya coba dihadirkan kembali sebagai agama yang rahmat li al-‘alamin. Itulah jenis keislaman yang menjadi pokok perhatian penulis buku ini.