Kata Pengantar: Postra di NU?

JAKARTA, 17/7 – HARLAH PBNU KE-85. Ribuan warga Nahdatul Ulama (NU) memadati Stadion Gelora Bung Karno saat peringatan Hari Lahir PBNU ke-85, Jakarta, Minggu (17/7). Dalam peringatan tersebut diramaikan dengan parade Budaya Islam, devile Banser, atraksi Pencak Silat Pagar Nusa, dan dihadiri oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono beserta sejumlah pejabat dan menteri KIB II. FOTO ANTARA/Yudhi Mahatma/ss/pd/11

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Dalam buku ini, predikat Post-Tradisionalis (Postra) dipakaikan kepada siapa saja yang menginginkan perubahan dalam diri Nahdlatul Ulama (NU). Ini tentu saja merupakan persoalan tersendiri yang harus segera diselesaikan. Karena dalam riwayat berdirinya NU ada sebuah aspek yang sama sekali tidak disinggung-singgung oleh Dr. Rumadi, penulis buku ini, yaitu dialog antara agama Islam dan nasionalisme. Dialog tersebut telah ada semenjak sebelum NU itu berdiri.

Dalam kegairahan penulis, buku ini untuk mengangkat apa pun yang bernafaskan ‘penyimpangan’ dari tradisionalisme lama, lalu terjadi sebuah keinginan untuk menganggap hal itu sebagai kebangkitan kaum santri yang kita perlukan di masa ini. Sikap ini untuk menunjuk Post-Tradisionalis sebagai sebuah hakikat ‘kebangkitan’ NU, terus terang saja menjadi sangat berbahaya karena mudah ditunggangi.

Padahal juga terjadi ‘kebangkitan’ pihak lama untuk memperkuat tradisi itu, termasuk dalam NU, sebagai reaksi atas sikap menolak tradisi. Sikap ini bukannya menyajikan Postra, melainkan lawannya. Contoh paling gampang dalam hal ini adalah pemunculan orang seperti KH. Ma’ruf Amin dan KH. Sahal Mahfudz. Mereka bukannya membuat NU ‘melawan’ tradisionalisme, melainkan justru mengokohkan tradisionalisme, tapi dalam bentuk ‘penyesatan’ atas pihak-pihak lain yang ‘mengambil’ tradisionalisme itu sendiri. Bagaimana kita akan menerangkan sikap Majelis Ulama Indonesia yang dengan mudah menganggap orang lain sesat? Bukankah dengan demikian, ternyata terjadi formalisme agama yang justru ditentang dari awal oleh NU sendiri? Hal inilah yang tidak diterangkan oleh penulis buku ini. Ini bisa menjadi dorongan untuk menganggap semua orang NU sebagai Post-Tradisional.

Jadi jelaslah, bahwa di NU juga terjadi pengingkaran atas terjadinya dialog kreatif antara ajaran agama Islam di satu sisi dengan kaum nasionalis di pihak lain. Lalu, orang-orang seperti Bung Karno akan kita letakkan di mana, padahal temannya berdialog, seperti KH. M. Hasjim Asy’ari dan umumnya kiai NU tidak dianggap? Lalu, Syarikat Islam cabang Mekkah yang terlahir tahun 1913, dan yang kemudian mengilhami sekian upaya untuk meneguhkan tradisionalisme agama, tetapi juga membuat agama lepas dari kebekuan, akan kita namai apa? Apa yang dilakukan H.O.S Tjokroaminoto dan menantunya Soekarno, dengan KH. M. Hasjim Asy’ari dari PP Tebuireng Jombang, beserta sepupunya KH. A. Wahab Chasbullah, kemenakannya Ahmad Joyosugito (pendiri Gerakan Ahmadiyah di negeri kita), anaknya KH. A. Wahid Hasjim, dan sepupunya KH. A. Kahar Mudzakir (yang kemudian menjadi anggota PP Muhammadiyah) lalu dianggap apa?

Di sinilah, kita harus berhati-hati dalam menentukan penilaian terhadap mereka yang di belakang hari mejadi ‘Ulama NU’. Memang bukanlah sesuatu yang mudah untuk mengikuti perkembangan sebuah organisasi seperti NU selama berpuluh-puluh tahun. Dialog kreatif antara NU dan semangat kebangsaan, bukanlah sesuatu yang mudah untuk dijelaskan. Ketika NU sebelum berdiri, dibentuk Majelis Tasywirul Afkar (Gerakan Pemikiran), dan sebelum itu Nahdlatul Tudjdjar (Kebangkitan Ekonomi), Nahdlatul Wathon (Kebangkitan Tanah Air), kemudian diikuti oleh Muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin. Itu semua memberikan bekas mendalam pada NU, yang kita tidak tahu sekarang dapat dinamakan Post-tradisionalisme atau bukan?

Dalam Muktamar Banjarmasin, NU memutuskan tidak menjadi kewajiban agama untuk mendirikan “Negara Islam”. Hal itu sendiri sudah merupakan sesuatu yang mengherankan, yang sampai sekarang kita tidak tahu menamainya apa. Di Banjarmasin itu lima orang tokoh menolak kesimpulan Muktamar tentang tidak wajibnya mendirikan Negara Islam. Mereka tetap pada pendirian bahwa Negara Islam harus didirikan. Kemudian mereka berbalik pantat setelah tahun 1950. Mereka lalu menerima kehadiran Negara Republik Indonesia yang tadinya mereka tolak. Bahkan, mereka lalu menjadi ‘Pahlawan Pancasila’ dan pada intinya menganggap Presiden Republik Indonesia adalah pemegang pemerintahan yang sah dengan kekuasaan efektif yang sementara (waliyul amri al-dlaruri bisy syaukah). Berapa lama sementaranya? Untuk selama-lamanya, yaitu sampai kiamat. Dikatakan untuk sementara karena persyaratan Presiden Republik Indonesia tidak sama dengan persyaratan pemegang pemerintahan. Hasil Munas Ulama di Medan tahun 1957 inilah yang jarang dipakai untuk menimbang sikap NU.

Jelaslah, dengan uraian di atas bahwa penggunaan istilah Post-tradisionalisme memerlukan kesediaan untuk menggunakan bahan yang ada secara keseluruhan. Tetapi, buku ini sangat berharga, karena ia menunjukkan bagaimana sebuah proses besar sedang terjadi di lingkungan NU. Apa pun namanya, ia tetap merupakan sesuatu yang sangat menarik bagi kepentingan kajian kita akan perubahan-perubahan yang terjadi di kalangan umat Islam di negeri kita. Apa pun namanya, buku ini menyajikan dengan sangat menarik bagaimana kalangan ulama tradisional mereaksi tantangan-tantangan dari dalam dan luar lingkungan sendiri. Itulah hal sangat penting yang dapat kita tarik dari buku ini.

Proses lahirnya NU adalah akibat dari perkembangan sejarah yang ada, dan bukannya penyebab perubahan-perubahan yang terjadi. Inilah jasa besar penulis buku yang ada di tangan pembaca.