PRD, Proyek Adudomba

Sumber Foto: https://twitter.com/wahyususilo/status/1285756492423913472

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Ini bukan pembedahan peristiwa 27 Juli. Sebab versi saya berbeda dengan yang lain. Termasuk mengenai soal PRD (Partai Rakyat Demokratik). Saya tahu PRD digerakkan oleh sekelompok orang yang berada di sebuah organisasi Islam. Sehingga sebenarnya saya menganggap Pem-PKI-an PRD itu hanya alasan pemerintah untuk bisa dilakukan tindakan terhadap mereka yang terlibat. Termasuk para pemrakarsanya, yang dari organisasi Islam.

Kalau diumumkan dari organisasi Islam, kawatir ribut. Karena itu diumumkan saja PKI. Itu paling gampang. Kalau sudah PKI, semua masuk. Tidak ada pembedahan terhadap peristiwa itu, sebab saya tahu dari dalam dan dari luar. Membedah dari dalam tidak bisa dilakukan terbuka. Budaya politik kita belum memungkinkan hal itu.

Hanya saja, dalam pandangan saya, PRD sesungguhnya proyek dari luar, yang dimasukkan dalam PDI untuk mengadudomba PDI dengan ABRI. Dan itu sudah berhasil. Buktinya, terjadi Peristiwa 27 Juli.

Peristiwa itu membuktikan adanya sasaran yang tercapai. Namun, sasaran berikut yang berjangka panjang nampaknya masih belum jelas hasilnya. Yaitu mematahkan Megawati Soekarno Putri secara total, ternyata belum berhasil. Dan mengokohkan posisi Soerjadi selaku Ketua Umum produk Kongres Medan, ternyata juga tidak bisa berdiri. Masih menggandol terus kepada ABRI.

Dalam analisa politik, jelas sekali, bahwa ini adalah proyek yang hasilnya setengah setengah. Proyek semacam ini pantas saja ditunggangi banyak pihak yang merepotkan ABRI. Ini karena ada penunggangan-penunggangan yang tidak karu-karuan. Di antaranya oleh PRD, SMID, Yayasan Pijar, dan — di beberap tempat juga — MPRK (Majlis Pemulihan Kedaulatan Rakyat) ikut menggelar poster.

Semua itu LSM-LSM sempalan (Semplinter NGO’s). Yaitu yang tidak mengikuti alur LSM umumnya. Mereka berusaha membuat jalur sendiri. Yaitu membikin ramai-ramai. Itu di semua hal, sudah sejak 1992.

Saya selaku Ketua Kelompok Kerja Forum Demokrasi sudah terus menerus mengingatkan teman-teman LSM: Supaya, hati-hati terhadap sikap sok jago, sok pahlawan, yang dibuat oleh kelompok-kelompok LSM sempalan. Kalau LSM yang benar, kerjanya pembinaan politik dalam konteks perjuangan politik. Dalam konteks demokratisasi dilakukan dengan tenang, dengan tidak usah ramai-ramai.

Forum Demokrasi jelas-jelas menyatakan –sebagai wadah– bukan kelompok aksi. Melainkan kelompok refleksi. Kelompok yang melakukan pemikiran-pemikiran, mengolah informasi dan menyamakan pandangan di antara sesama para pejuang demokratisasi.

Karena itu, Anda tidak pernah mendengar bahwa FD membikin demonstrasi di sana-sini. Karena itu juga, oleh kelompok-kelompok sempalan ini, FD dianggap banci, dianggap sebagai kelompok omong-omong. Kelompok diskusi tidak lebih. Cacian itu kita terima dengan lapang dada, karena kita tahu, bahwa semua perjuangan politik, sebenarnya untuk mencapai hasil yang benar dalam jangka panjang, haruslah bersifat reflektif.

Akan tetapi, kelompok-kelompok sempalan tersebut beraksi. Gunanya menghadapkan Megawati kepada ABRI. Untuk sementara memang berhasil, karena ABRI sekarang ini emosinya lagi habis-habisan diarahkan kepada Megawati Soekarno Putri. Tapi saya rasa, dalam jangka tidak terlalu lama, ABRI akan menyadari, bahwa sikap demikian itu merugikan. Karena bagaimana pun dalam kenyataan, Megawati mempunyai dukungan luas di masyarakat. Jadi sebaiknya disantuni. Lebih baik diajak rembukan daripada diupret-upret. Kira-kira begitu.

Manajemen konflik politik modernlah yang harus dipakai. Bukan kuno, yang secara konfrontatif. Salah satu di antara kerugian yang timbul, sekarang pihak Megawati Soekarno Putri mengajukan gugatan di Pengadilan. Menuntut ganti rugi 50 miliyar kepada Letjen TNI Syarwan Hamid, sebagai Kasospol ABRI maupun sebagai pribadi. Itu karena Syarwan menyatakan, Megawati digunakan atau diproyek menjadi ekuivalen, atau bandingan dengan Qory Aquino dalam usaha –kata sana—menimbulkan people power, kekuatan rakyat di Philipina.

Megawati berkeberatan, karena ini berarti terlibat dalam upaya menggulingkan pemerintahan. Karena pople power dahulu menggulingkan pemerintahan, sedangkan Megawati tidak pernah melakukan hal itu. Karena itu, dia menuntut ganti rugi. Dan tuntutan ini secara hukum bagus sekali, karena kuat landasannya, sehingga bisa menyulitkan.

Saya sendiri juga terkena tuduhan. Pak Syarwan Hamid mengatakan, bahwa kalau Megawati akan dijadikan Qory Aquino, maka saya akan dijadikan Kardinal Shin yang mendukungnya. Tapi saya tidak akan menuntut, sebab saya tahu bahwa dia tidak kuat membayar.

Namun saya menantang: Kalau membikin bandingan atau kiasan itu harus hati-hati, sebab harus tuntas. Untuk itu dia harus berani menyebutkan, siapa Marcos-nya. Kalau tidak berani, percuma saja. Kintel podho karo aku. Seperti anak SD. nantang gelut, kalau diparani melayu.

Saya bloko begini, apa adanya, karena memang sudah ada kebiasaan tidak baik. Bahwa yang punya posisi itu, yang dibenarkan di koran. Kita tidak bisa membela dia. Karena itu saya ajukan tantangan saja, dari pada repot-repot, tidak bisa mendiskusikannya ke dalam artikel-artikel di koran. Padahal sebenarnya saya bisa saja membuat kolom-kolom, sebab saya juga kolumnis,

Seperti baru-baru ini, Kapuspen ABRI, Brigjen Amir Syarifuddin menyatakan kepada para wartawan, bahwa saya orang kiri, bahwa saya pernah menjadi anggota Partai Baath di Irak sewaktu saya sekolah di sana. Kedua, dalam pertemuan MUI dengan 61 Ormas Islam — anehnya NU tidak diundang — disebarkan pengumuman dari PRD, bahwa saya menerima hadiah Democracy Award.

Saya tantang dengan berpidato di muka umum di Situbondo, Bondowoso, Lontar Surabaya, Semarang, Tasikmalaya, Yogyakarta, dan di mana-mana. Bahwa saya menjadi anggota Partai Baath itu tidak mungkin. Sama dengan orang Amerika menjadi mahasiswa di Universitas Airlangga Surabaya terus menjadi anggota Golkar, tidak mungkin. Karena apa? Syarat menjadi anggota Golkar harus warga negara Indonesia. Sama saja anggota Partai Baath, itu harus warga negara Iraq. Saya bukan.

Sesimpel begitu, bekerja tidak teliti. Mengenai PRD, mbok ya dicek dulu, apa betul itu ada hadiah. Jangan-jangan itu cuma guyonannya anak-anak PRD. Wong pengumumannya saja pakai tulisan tangan. Tanpa dicek terlebih dahulu, terus disebarkan dalam Situasi emosional berkaitan dengan episode 27 Juli.

ABRI lagi kena howo amarah kepada PDI-Mega. Itu karena diadudomba oleh kelompok-kelompok yang mengirimkan PRD untuk memprovokasi setiap kali.

Saya yang paling dulu melaporkan kepada pihak Angkatan Darat melalui seorang Mayor Jenderal, bahwa masalah ini bukan soal PDI lawan ABRI. Ini ada provokasi dari luar yang mengadu domba PDI dengan ABRI. Hati-hati. Entoh pada saat ini saya juga digebuki beramai-ramai, bahwa saya PRD. Tapi biar saja, nanti pemeriksaan akan membuktikan bahwa tidak betul. Justru pihak-pihak tertentu di sebuah organisasi Islam, bahkan sekjennya sendiri, yang melakukan itu. Itu yang mbotohi PRD.

Sesungguhnya PRD itu ada dua arus. Arus pertama, dari pihak yang disebut tadi itu. Dan yang kedua dari eks organisasi non Islam. Berkumpul menjadi satu.

Tujuan besarnya: Agar Megawati jangan berkembang menjadi tokoh kuat yang akan dapat menyaingi dalam pencalonan Presiden Pasca Soeharto (Setelah Pak Harto tidak jadi presiden nanti kan ganti pemimpin). Dengan begitu dimaksudkan supaya Megawati tidak sampai kuat maju berlawanan dengan ketua umum organisasi Islam tadi. Jadi masalahnya menyangkut politik pasca Soeharto, tapi dikerjakan mulai sekarang.

Selain itu, ada ketakutan, kalau dibiarkan Megawati berkembang, akan muncul aliansi politik yang — bagi mereka — tidak memungkinkan mewujudkan angan-angan melakukan dominasi politik di Indonesia. Yaitu alinansi antara Islam tipe NU dan nasionalis tipe PNI.

Tahun 50-an ada aliansi semacam itu. Yaitu Kabinet Ali-Arifin. Ali Sastro Amijoyo dari PNI dan Zainul Arifin dari NU. Perdana Menteri dan Wakil Perdana Menteri. Karena itu, mereka takut yang itu muncul lagi. Karena itu dibuatlah proyek. Kalau PDI sudah dipukul, Megawati dihancurkan sehingga tidak mungkin muncul aliansi politik jangka panjang antara Muslim atau gerakan Islam tipe NU dan gerakan nasionalis tipe PNI.

Sasaran ketiga di dalam lingkung organisasi tersebut: Kalau sampai di biarkan Megawati berkembang kekuatannya, PDI akan mengalahkan PPP. Dalam Pemilu mendatang PDI bisa menjadi nomor dua, dan PPP menjadi nomor tiga. Organisasi Islam tersebut mempunyai banyak anggota di Golkar maupun di PPP. Ini bisa pecah. Yang di PPP bisa protes keras kepada kawannya di Golkar, kenapa kamu kok hanya mengurusi yang di Golkar, saya sampai kalah. Jadi menghindarkan perpecahan di dalam tubuh mereka. Karena itulah, dibuat cara-cara seperti ini.

Di pihak lain, ada juga dari yang selama ini mempunyai pangkalan-pangkalan politik tertentu. Yaitu kelompok agama minoritas yang — selama ini — mempunyai pangkalan di dalam sistem politik: Menguasai Golkar, menguasai PDI dan sebagainya. Tapi, dalam tahun-tahun terakhir ini — sebagai kekuatan — sudah habis.

Sebagai kekuatan politik, mereka ingin supaya terjadi pergolakan. Kalau terjadi pergolakan atau perbenturan, maka politik akan ditata kembali di mana mereka bisa muncul kembali sebagai kekuatan politik yang tangguh. Karena itu mereka mengirimkan orang-orangnya untuk masuk. Lewat PRD juga. Karena dalam LSM setiap orang boleh masuk.

Jadi dari Islam dan Katolik masuk, lalu mengacau nasionalis yang tidak agama. Itu sudah terjadi dan berhasil.

Sekarang setelah tertangkap basah, teman-teman dari organisasi Islam tersebut cuci tangan, dengan cara menuduh bahwa PRD ini artinya PKI. Tapi dipeka-ikan juga tidak bisa, karena PRD memang tidak ada PKI-nya.

Boleh saja siapa pun berpidato begitu, tapi PRD, Budiman Sujatmiko itu bukan PKI. Dia — menurut bapaknya — orang Muhammadiyah. Bapaknya ngomong bahwa dia Muhammadiyah, bukan PKI.

Akhirnya sekarang ini yang dijlomprongkan lebih jauh orang Katolik. “Ini mbelani (PRD),” atau, “ini digunakan orang Katolik,” dalihnya. Kebetulan, memang aktivis PRD banyak yang Katolik, dari alur yang satunya tadi. Pangkalan politik yang sudah kalah itu.

Politik itu rumitnya di sini. Sebenarnya, kalau ABRI tenang, membacanya dengan teliti, tidak akan ada ribut-ribut, tidak akan ada pertumpahan darah, tidak akan ada apa-apa. Tapi karena keburu emosional, kena diadu. Ini tragedi besar. Bahwa ABRI yang begitu kuat, ternyata akhirnya juga tidak tahan terhadap proyek-proyek pengadudomba.

Alhamdulillah, ABRI akan diadudomba dengan NU tidak bisa. Sampai hari ini tidak bisa. Itu karena NU sifatnya sabar. Kalau ada apa-apa klarifikasi dulu, lalu bertemu dengan ABRI, dijelaskan, lama-lama akan hilang sendiri kesalah fahaman. Itu maziyahnya NU.

Inilah latar belakangnya sehingga saya –mohon maaf– tidak bisa menjelaskan PRD terperinci dan mendetail. Tapi dari penjelasan saya tadi kira-kira sudah cukup dimengerti. Apa itu organisasi-islamnya, kita juga sudah tahu. Terus kelompok politik minoritasnya dari mana, sama paham lah. Tidak usah dikemukakan. Itu termasuk la tas alu ‘an syai’in tubda lakum tasu’kum (Al-Ma’idah 101). Jangan tanya macam-macam hal, nanti kalau diketahui tambah tidak enak kamu.

***