Pudarnya Rasa Kemanusiaan, Lahirnya Kekerasan
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Fenomena reaktif emosional yang kini kuat melekat dalam pola sikap dan tindakan masyarakat, menjadi warna dominan yang mengundang rasa prihatin dan tanda tanya dari banyak kalangan. Sudah demikian pudarkah rasa dan jiwa kemanusiaan kita terhadap sesamanya? Atau, tidak ada lagikah bentuk sikap atau pola reaksi yang lebih bijak, terhadap persoalan yang dihadapi?
Tentu tidak mudah untuk menjelaskan ini semua. Rumit dan pelik. Itulah mungkin kata yang bisa dicomot secara serampangan untuk merumuskan segala reaksi emosional yang kini menggejala dan menjadi “budaya baru” dalam masyarakat kita.
Yang pasti, kecenderungan untuk bereaksi balik secara kekerasan itu, demikian mudah menyembul kepermukaan. Tidak hanya pada masyarakat di perkotaan, tapi juga di daerah. Bukan hanya berlangsung dalam kehidupan masyarakat, tetapi juga di lingkungan para penegak hukum dan petugas keamanan pun begitu mudah berlaku serupa. Berikut ini tengara salah satu budayawan kita, H. Abdurrahman Wahid yang biasanya dipanggil Gus Dur, tentang soal itu.
Secara kultural, bagaimana kita harus menjelaskan sikap reaktif masyarakat terhadap problem sosial saat ini?
Ada semacam kondisi tersumbat terasa meliputi kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat tidak tahu bagaimana harus mengartikulasikan pendapat, pikiran, gagasan dan reaksi-reaksi secara rasional dan proporsional. Salah satu sisi yang paling penting dari artikulasi semacam itu yang wajar, yang sehat adalah, adanya komunikasi yang timbal balik. Baik antara pemerintah dengan masyarakat, maupun sesama warga masyarakat; antara satu kelompok dengan kelompok yang lain.
Ketersumbatan inilah yang mengakibatkan, bukan hanya komunikasi vertikal antara masyarakat dan pemerintah yang terganggu, tetapi juga horisontal antara sesama warga masyarakat, atau kelompok-kelompok yang ada. Karena itu lalu ukuran-ukuran dan format-format yang digunakan untuk mengartikulasikan pemikiran, pendapat dan gagasan itu menjadi sulit dicari titik temunya, antara apa yang ada terdapat di kalangan sesama warga masyarakat. Sehingga akhirnya yang muncul, atau yang menyembul keluar, itu yang paling mudah dibaca, paling mudah dirasakan, paling mudah dimengerti orang lain, dan itu adalah emosi.
Jadi kalau anda sekarang ini beremosi, itu karena anda mengetahui persis bahwa, kalau saya membuat reaksi emosional, orang lain akan paham. Dan terserah tujuannya untuk apa, mau bikin takut orang lain, mau sekedar bereaksi negatif atau apa sajalah. Tapi yang pasti, orang lain akan tahu semuanya melalui emosi anda tadi.
Nah, semakin lama, itu pun tidak banyak hasilnya, tidak banyak gunanya. Jadi kalau ajakan-ajakan emosional untuk mencari sesuatu yang wajar, yang sehat, juga tidak banyak dampaknya. Karena apa? Karena, emosi itu kan, tidak artikulatif dalam arti rinci. Dia merupakan gumpalan perasaan yang meledak dan keluar sewaktu-waktu.
Akibatnya lalu ya, tiap kali ada reaksi emosional terhadap sesuatu. Maka yang timbul adalah reaksi balik dari orang lain lagi. Sehingga terjadilah eskalasi reaksi yang emosional itu. Dan akhirnya, dalam skala yang masif, reaksi emosional itu menimbulkan tindak-tindak kekerasan.
Mungkin Gus Dur bisa lebih merinci bentuk-bentuk reaksi emosional dari masyarakat?
Kita lihat saja dari misalnya, mudahnya sekarang ini orang gebukin maling. Di zaman saya kecil dulu enggak gitu, kalau ada maling yang kepegang, mesti diserahin ke lurah, lho. Saya gedean dikit, kira-kira SMP-SMA, itu maling udah dipermak. Tapi sekarang, maling bisa mati, lho.
Di satu daerah di Indramayu, Jawa Barat, ada dua orang polisi dari Cirebon yang sedang melakukan penyelidikan terhadap rumah seseorang yang disangka mencuri di tempat lain. Si-orang yang rumahnya diselidiki itu sebenarnya tidak mencuri. Dan dia tahu kalau dia sedang dicurigai dan rumahnya dikiterin polisi. Tapi dia enggak ngerti mau bereaksi kayak apa. Jadi satu-satunya jalan yang paling sip buat dia, secara emosional lalu dia berteriak; maling- maling… maling…!
Dia yang semula dicurigai polisi, balik menuding dua orang polisi itu sebagai maling, akhirnya dua polisi itu dipegang beramai-ramai oleh rakyat. Satunya mati karena digebukin rakyat. Bagaimana ini? Polisi kok, mati digebuki rakyat karena disangka maling? Kan enggak masuk akal, gitu lho? Kesadaran dan nurani kemanusiaan kita terganggu, antara percaya dan tidak. Tapi dalam kenyataan, itulah yang terjadi.
Orang mati karena pacaran juga ada. Bagaimana dia pacaran di rumah seorang gadis, lalu ada yang sirik terus berteriak; mesum! O… enggak pake’ nanti dulu. Langsung saja diambil ramai-ramai sama rakyat, terus kepalanya dibenemin ke selokan, apa enggak mati?
Kalau menurut Gus Dur, kenapa kecenderungan itu semakin menguat, dan apa implikasinya jika dibiarkan terus berlangsung tanpa upaya pemecahan yang sifatnya struktural?
Begini. Itu ada eskalasi, rakyat akan semakin sulit untuk diatur. Tapi jangan juga lantas rakyat yang semata-mata disalahkan. Ya, mereka memang enggak ngerti maksudnya yang nyuruh gini, nyuruh gitu, itu apa? Nah, kemudian aparat main tabok. Mula-mula masih bisa mengatasi keadaan, tapi lambat laun, ya.. dilawan. Dan perlawanan itu makin lama, makin keras lagi.
Seperti yang sekarang ini terjadi, jumlah penembakan terhadap penjahat oleh polisi, sudah sangat besar sekali. Hampir dalam sekian hari sekali ada penjahat yang tertembak. Ini sungguh mengganggu kesadaran dan naluri kemanusiaan kita. Timbul pertanyaan saya, kenapa ini semua tindak kekerasan ini harus terjadi? Kenapa keadaan kita sekarang ini menjadi sangat mudah membuat orang bersikap dan berperilaku kekerasan. Polisi begitu mudah main tembak terhadap penjahat. Sebaliknya, penjahat begitu mudah membunuh masyarakat yang menjadi korban kejahatan atau yang ia curi. Dan kepada polisi pun, kalau kepepet, mereka melawan. Dulu kan, nyerah!
Tapi, kita juga tidak bisa menyalahkan mereka seratus persen. Keadaan lah, yang telah memaksa mereka untuk bertindak seperti itu. Mereka enggak bisa lagi mengartikulasikan kenapa mereka begini, dan kenapa harus begitu. Atau, kenapa mereka harus mengambil jalan seperti itu.
Karena penjahat-penjahat itu tidak bisa mengartikulasikan kenapa mereka mengambil jalan pintas menjadi penjahat. Dan para polisi juga, mungkin karena sudah jengkel, tidak tahu lagi cara yang efektif untuk membasmi kejahatan. Maka masing-masing mengambil jalan pintas yang untuk saat itu, mungkin dianggap yang terbaik. Tapi ini kan, enggak bener. Adalah tugas kita semua untuk memikirkan dan mencari solusi yang terbaik agar keadaan ini tidak semakin liar.
Dalam pandangan Gus Dur, apakah budaya kekerasan yang sekarang sedang berkembang itu, sudah demikian mengkhawatirkan sehingga harus menjadi agenda nasional?
Bisa iya, bisa tidak. Tergantung dari sisi mana melihatnya. Sebenarnya, kalau kita mau melihat lebih jauh, dan bersedia lebih kritis lagi membedakan keadaan. Apa yang kita bahas tadi itu, belum seberapa.
Maksud Gus Dur?
Begini. Yang paling mengerikan saya adalah, sekarang kesadaran primordial itu sudah tumbuh menjadi pola laku mereka. We and them. Ini kami, harus berhadapan dengan mereka. Sebagai contoh yang sekarang menggejala, agama.
Betapa sekarang ini kecurigaan-kecurigaan pada orang beragama lain itu, sangat besar. Muter aja gitu. Kemudian juga rasial, atau etnis. Itu juga sangat mudah. Lihat saja, betapa sekarang ini isu tentang pri-non-pri, muncul lagi kepermukaan. Kecurigaan itu semakin besar. Padahal pada saat yang sama, bangsa ini tengah mengalami proses integrasi yang sangat positif dan sangat baik.
Perkawinan antar suku sekarang ini kan, sudah enggak jadi problem. Sudah umum di mana-mana. Bahasa ibu, sekarang ini mau dipakai atau enggak, ya… enggak ada masalah. Anaknya orang Jawa di Jakarta, banyak yang masih bisa bahasa Jawa, tapi juga banyak yang enggak bisa. Tapi itu kan, sudah enggak masalah.
Dilihat dari ini semua, saya khawatir bahwa kalau prosesnya itu satu arah saja enggak apa-apa, artinya ya… segregatiflah. Masalahnya akumulatif di belakang. Tapi kalau dua arah begini kan, susah. Di satu pihak integrasi, tapi di lain pihak juga terjadi proses kemandekan. Ini yang harus kita cermati.
Kebetulan juga sekelompok pemikir, ya… birokrat, ya,, orang profesi, merasa perlu mengartikulasikan unek-unek mereka – katakanlah kelas menengah santri, wah… unek-unek mereka keluar; selama itu tertinggal, karena itu harus dikejar. Caranya; pihak lain juga harus menyadari, dan mengalah.
Artikulasi seperti ini, mendorong sikap-sikap untuk mudah sekali bertindak secara sepihak, dan terlalu mudah melihat keuntungan dalam jangka pendek. Ini karena yang satunya itu mayoritas – jumlahnya besar, yang satunya minoritas. Yang terjadi itu bukan hanya sekedar miskomunikasi, tapi lebih-lebih lagi, ada rasa takut. Di pihak yang jumlahnya kecil itu ada ketakutan.
Ini saya rasakan. Saya kan, tanya sana-sini. Ya… orang-orang minoritas ketakutan dengan suara yang kayak begitu itu. Padahal, suatu bangsa itu tidak akan tumbuh baik manakala dasarnya itu ketakutan. Dulu saya menolak pendekatan stabilitas yang digunakan, yang modalnya itu nakut-nakutin orang aja. Bahwa dengan DI/TII, pokoknya segala macam bentuk yang selama ini dianggap sebagai momok-momok.