Renungan Atas Jalannya Pembangunan

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Apakah yang dapat kita renungkan dari pertandingan Bayern Munchen vs Porto itu? Bagi penulis tidak kalah menariknya adalah bagaimana merefleksikan kemampuan mengubah strategi itu atas jalannya pembangunan nasional kita. Refleksinya bermula dari kenyataan bahwa keadaan kita saat ini tidak demikian menggembirakan.
Penghasilan ekspor kita menurun drastis, sedangkan kita justru sedang memerlukan dana lebih besar lagi untuk menghadapi tuntutan pembiayaan pembangunan dalam Pelita V dan VI nanti. Kalau tidak disediakan, jadwal waktu tercapainya titik tinggal landas menjadi tidak terpenuhi. Juga diperlukan dana valuta asing dalam jumlah semakin besar untuk menutup kewajiban cicilan utang-utang luar negeri kita selama ini. Kalau tidak dilakukan cicilan secara baik, kepercayaan luar negeri kepada kita akan hilang Berarti semakin seretnya penanaman modal luar negeri di sini, di samping semakin sulitnya mencari bantuan luar negeri untuk program-program pembangunan selanjutnya. Saat ini saja, pembiayaan cicilan utang-utang luar negeri sudah merupakan beban sangat berat. Satuan perbandingan kewajiban cicilan terhadap penghasilan ekspor maupun cadangan valuta sudah mendekati angka indeks 40 Pada lazimnya angka indeks perbandingan itu dikenal dengan sebutan debt service ratio (DSR), sudah mengharuskan penjadwalan kembali utang-utang luar negeri kita. Kita masih bisa bertahan untuk tidak berbuat demikian, karena kepercayaan luar negeri masih cukup untuk memperoleh utang-utang baru, guna melunasi kewajiban cicilan yang ada. Tetapi ini namanya sudah memasuki tahap tutup lobang gali lobang Sifatnya sudah membahayakan perkembangan ekonomi.
Tahap seperti yang dilalui itu sebenarnya hanya untuk sementara, yaitu untuk menunggu kenaikkan penghasilan ekspor. Namun justru hal itu tidak tampak di ufuk langit, karena kemampuan menaikkan jumlah ekspor hampir-hampir tak ada. Biaya produksi sangat tinggi tidak membuat kita mampu bersaing di pasaran dunia. Juga kita kurang persiapan di sektor-sektor lain yang mendukung ekspor. Belum lagi mental pengusaha kita yang belum sepenuhnya siap untuk bersaing. Kesemuanya itu terkait sangat erat dengan besarnya angka korupsi dalam berbagai bentuk yang sudah sedemikian sulit untuk dikendalikan.
Juga dengan sikap pemerintah yang selalu memberikan perlindungan kepada sementara sektor usaha kita yang membuat para pengusaha kita (termasuk Manajer Koperasi) menjadi terlalu manja. Mereka menuntut terlalu banyak fasilitas yang justru membuat mereka tidak mampu bersaing karena tidak melecut efisiensi usaha. Sementara beberapa fasilitas pokok yang benar-benar diperlukan justru tidak diberikan.
Dengan demikian tidak terlihat kemungkinan penghasilan ekspor kita dapat segera naik. Akhirnya kita menjadi sangat bergantung kepada penghasilan ekspor komoditi mentah belaka yang harganya secara umum terus-menerus merosot di pasaran dunia. Masa depan tampak suram dunia ekonomi tampak gelap dan kita bagaikan didera oleh lingkaran setan buruknya situası perekonomian yang kelihatan seolah-olah tidak mungkin kita tembus. Kesimpulannya tentu adalah kita gagal melaksanakan pembangunan dan justru mundur kebelakang Benarkah demikian?
Kalau hanya diambil tolok ukur di atas memang demikian kesimpulannya. Tetapi kalau tolok ukurnya justru tidak demikian kuantitatif masalahnya akan menjadi lain. Dengan demikian, kita harus melakukan kajian ulang atas jalannya pembangunan nasional kita guna memperoleh sudut pandangan yang lebih mengenai sasaran.
Jelas sekali kita masih memiliki sumber-sumber daya kita sendiri yang selama ini tidak bijaksana kıta daya gunakan. Kita belum pernah benar-benar sederhana terutama di tingkat lapisan menengah dan atas masyarakat kita. Upaya menggalakkan pemutaran uang masih kita tekankan pada penyediaan kebutuhan konsumtif masyarakat belaka.
Harus dicari pola pendayagunaan sumber-sumber daya kita secara produktif dalam ukuran optimal. Tidak bisa lagi kita hanya menghitung suksesnya pembangunan dengan ukuran sekian gedung dan pabrik yang didirikan atau sekian kilometer panjangnya jalan yang dibuka. Segala capaian kuantitatif haruslah dihitung besarnya biaya yang dikeluarkan untuk itu yang laiımnya disebut dengan istilah perbandingan biaya dan hasil (cost benefit ratio) juga dan dari ukuran beberapa banyak bagian yang dipikul pemerintah dan beberapa yang dipikul oleh swadaya masyarakat.
Jika ini yang dijadikan titik tolok timbul pertanyaan masih cukupkah swadaya masyarakat kita untuk menunjang pembangunan nasional kita. Jawabnya tanpa ragu-ragu adalah masih cukup besar. Pola konsumsi masyarakat, pola swakarsa dan swakarya masyarakat (seperti membuat rumah peribadatan atas biaya sendiri) dan lain-lain aspek kehidupan masyarakat menunjukkan masih besarnya kemampuan melakukan swadaya itu oleh masyarakat kita.