Salah Faham Terhadap Sebuah Faham

Sumber Foto: https://saudara.org/2018/12/18/wujudkah-konsep-negara-islam/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Dr. Muhammad Al-Bahy adalah salah seorang tokoh pemikir Islam terkemuka di abad ini. Kajiannya tentang aliran-aliran pemikiran dalam Islam, sangat mempengaruhi pemikiran cendikiawan muslim di seluruh dunia. Al-Janibul Ilahi Minat Tafkiril Islami (Sisi-sisi Ketuhanan Dalam Pemikiran Islam) adalah karya utamanya yang sangat mengagumkan. Pantaslah kalau ia kemudian diserahi beberapa jabatan penting secara berturut-turut di lingkungan Al-Azhar di Mesir. Termasuk saya sendiri adalah pengagum karya utamanya di atas.

Namun, tak ada gading yang tak rekat. Hadith ‘al-insan ma- hallul khata’ wan nis-yan (manusia adalah tempat kealpaan dan kesalahan). Dan retaknya gading di diri Dr. Al-Bahy adalah dalam bukunya, al-Fikrul Islami Al-Hadith Wa silatuhu Bil Isti’maril Gharbl. Diterjemahkan oleh Su’adi Sa’ad dengan judul Pemikiran Islam (Pustaka Panjimas. Jakarta, 1986, 372 halaman, tanpa indeks), buku tersebut menunjukkan sisi polemitik yang justru lemah dari pemikir terkemuka itu.

Yang lemah dari buku Dr. Al-Bahy itu adalah argumentasinya menentang faham, bahwa Islam tidak menentukan konsep yang pasti tentang negara. Dr. Al-Bahy melakukan beberapa kesalahan mencolok, terutama dalam melakukan generalisasi. Dari generalisasi yang salah, tentu akan muncul pula kesimpulan yang salah. Ini alami dan sama sekali tidak aneh, bahkan ia logis saja, sesuai dengan tatanan logika menurut filsafat mana pun.

Dr. Al-Bahy terlebih dahulu mencari asal-usul faham Islam tidak menentukan konsep negara itu pada pemikiran ateistik dan materialistik dari Barat. Memang faham Barat tentang hubungan agama dan negara, sudah jelas. Berdasarkan doktrin pemisahan negara dari agama, maka orang Barat memisahkan antara keduanya itu. Negara mengurus hubungan antara individu, sedangkan agama mengurus hubungan antara individu dan Tuhan. Dengan kata lain, negara mengatur masyarakat, agar hanya mengatur sisi spiritual dari kehidupan warga masyarakat.

Dan pengamatan sangat simplistik seperti itu Dr. Al-Bahy lalu menampilkan wawasan Islam tentang kehidupan. Bahwa Islam tidak memisahkan hubungan antar individu dengan Tuhannya. Karena itu, Islam tidak bisa lain harus mengatur urusan masyarakat, tidak bisa dibatasi hanya pada sisi spiritual dari kehidupan warganya belaka. Dengan kata lain, Islam berkepentingan dengan segala aturan (baik berupa undang-undang maupun bukan) yang mengatur kehidupan masyarakat. Dus, dilihat dari sudut ini, faham yang mendakwakan Islam tidak memiliki konsep tentang negara adalah pemikiran Barat, yang bertentangan dengan pandangan Islam.

Sudut Dr. Al-Bahy itulah yang salah. Saya penganut faham di atas, bahwa Islam tidak menentukan konsep baku tentang negara. Tetapi itu tidak berarti saya mengingkari bahwa Islam berperan dalam pengaturan hidup bermasyrakat. Melalui etika sosial (akhlaq masyrakat), Islam mampu mengarahkan kehidupan masyarakat, menuju sasaran dan tujuan yang diingini masyarakat Islam sendiri. Bukankah semua pemikir sepakat, bahwa Islam pada dasarnya bertujuan menegakkan keadilan, persamaan dan musyawarah? Kalau kesepakatan itu saja yang diterjemahkan sebagai tujuan bernegara, sudah jelas Islam berkepentingan dengan pengaturan kehidupan masyarakat melalui lembaga yang bernama negara.

Namun itu tidak berarti harus ada negara Islam. Setiap negara, jika bertujuan menegakkan keadilan, persamaan dan musyawarah, serta menampung wawasan inspiratif Islam tentang pengaturan hidup bermasyarakat, sudah memiliki keabsahan sebagai ‘negara yang baik’ menurut Islam. Menerima faham Islam bukan-konsep-negara bukan berarti menolak peranan Islam dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Contohnya adalah negara kita sendiri, Republik Indonesia. la bukan sebuah negara agama, melainkan negara yang menerima kehadiran dan peranan agama.

Marilah terus-menerus kita luruskan salah faham tentang faham yang dikemukakan di atas. Dengan itu kita menjaga kelestarian peranan Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi pada saat yang sama menguatkan konsep negara-bangsa (nationstate) yang kita anut bersama. Berkhidmat kepada agama, sekaligus mengabdi kepada negara. Bukankah itu tugas mulia?