Saling Menekan, Hasilnya Berbeda

Sumber foto: https://bolaskor.com/post/read/nostalgia-ketika-italia-hentikan-kejutan-bulgaria-di-piala-dunia-1994

Ulasan Piala Dunia 1994

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Pertandingan semifinal Piala Dunia 1994 menghasilkan dua buah pola menyerang yang sangat menarik untuk diamati. Baik Bulgaria maupun Italia menyadari pentingnya arti serangan yang bergelombang untuk menembus barisan pertahanan tangguh di pihak lawan. Di pihak Bulgaria tiga orang penyerang digelar di depan yaitu Letchov, Kostadinov dan Stoichkov. Walaupun Stoichkov ditempatkan di gelandang kiri sebagai pemberi bola, tetapi demikian tinggi daya jelajahnya sehingga ia selalu berada di depan. Belum cukup demikian, empat gelandang yang melapisi serangan dari belakang diperintahkan untuk tidak ragu- ragu membantu serangan. Karenanya dapat dilihat bagaimana lankov, Sirakov dan Balakov sangat rajin berpetualang ke depan dengan meletakkan Ivanov dan Tzvetanov sebagai penghubung vital antara garis belakang dan barisan penyerang. Bahkan pemain belakang Kiriakov juga sering berada di depan, guna memperkuat serangan Bulgaria.

Di pihak Italia sudah jelas sejak semula bahwa pelatih Sacchi menerapkan permainan bola menyerang dengan tempo yang tinggi. Menghadapi Bulgaria, ia tidak punya pilihan lain kecuali menggempur musuh habis-habisan dan memanfaatkan setiap peluang yang ada. Pertahanan Bulgaria yang sangat kokoh tidak cukup hanya digempur oleh dua ujung tombak Roberto Baggio dan Casiraghi, melainkan harus didukung oleh gelandang tipe menyerang seperti Donadoni dan Dino Baggio. Tidak cukup itu, barisan pertahanan pun harus ikut membantu serangan dan mengurung lawan. Kecemerlangan Benarrivo dan Mussi dalam memainkan peranan menyerang sambil tetap menyelamatkan daerah pertahanan, memberikan nilai lebih yang besar kepada tim Italia kali ini.

Bola menekan dimainkan oleh Sacchi sejak awal pertandingan, berbeda dari pertandingan-pertandingan sebelumnya. Ketika itu Italia senantiasa memulai pertandingan dengan hati-hati. Menghadapi Bulgaria, gempuran bertubi-tubi terus dilancarkan sejak peluit pertama kali dibunyikan wasit. Dengan demikian. Bulgaria tidak dapat mengembangkan serangan-serangannya dengan teratur, melainkan hanya menunggu serangan balik ketika serangan Italia digagalkan. Itulah sebabnya mengapa pemain bertahan seperti Kiriakov dapat sampai ke depan membawa bola.

Serangan-serangan menekan yang dilakukan dalam tempo tinggi, tetapi tanpa dibangun dengan cermat dari bawah hanya menghasilkan gerak-gerak acak para pemain depan yang tidak berujung pada kerja sama rapi di antara mereka. Karena itu, organisasi pertahanan Italia yang dikoordinasikan Maldini, dengan mudah dapat menyekat-nyekat para penyerang Bulgaria dalam wilayah penguasaan bola yang tidak bersambung satu dengan lainnya. Pertahanan zonal yang diterapkan tanpa kompromi, terutama oleh Costacurta, mampu meredam serangan bergelombang dari pihak Bulgaria itu.

Kejelian Sacchi membaca situasi, yaitu dengan mencegah serangan yang dibangun dari bawah, akhirnya membuat ketajaman serangan Bulgaria menjadi sangat menyusut. Bahwa Stoichkov memasukkan bola gawang Italia melalui tendangan penalti, merupakan bukti dari keberhasilan penerapan siasat Sacchi itu. Sebaliknya, dengan terus menerus menggedor pertahanan lawan, para pemain Italia dapat mencoba begitu banyak varian dalam serangan-serangan yang dilakukan mereka. Gol Roberto Baggio menunjukkan inisiatif penyerangan yang sangat bervariasi itu. Tidak banyak serangan yang pada tahap akhir dilakukan melalui dua sayap gantung, melainkan umumnya dialirkan dari bawah melalui umpan-umpan terobosan yang menggiurkan.

Kedua gol di menit ke-21 dan 26 itu memungkinkan Italia untuk kemudian mengatur tempo permainan sesuai dengan kebutuhannya. Walaupun tekanan Bulgaria senantiasa ditambah temponya oleh pelatih Penev, tetapi ketajaman serangan tim tersebut tetap tidak bisa muncul karena sifat reaktifnya terhadap gempuran-gempuran Italia atas pertahanan lawan. Dinamika permainan seperti inilah yang membuat pelatih besar seperti Sacchi mampu mendorong inisiatif tetap berada di tangan Italia sejak awal pertandingan.

Daya dobrak para pemain depan Bulgaria yang dalam pertandingan-pertandingan sebelumnya sering diumpani dengan operan-operan akurat jarak jauh, tidak dapat diselesaikan dengan baik oleh para penyerang depan. Pertahanan zonal yang fleksibel, dengan sesekali dikombinasikan dengan penjagaan perorangan (man-to-man marking) yang ketat, membuat para penyerang Bulgaria hanya menunggu peluang untuk mengambil keuntungan dari perebutan bola di depan gawang lawan.

Jadi, walaupun Penev dan Sacchi sama-sama menerapkan permainan bola menekan (pressure football) hasilnya tentu tidak sama.”

Penev ternyata tidak mampu mencarikan jawaban bagi hambatan berupa pemanfaatan dinamika permainan oleh pelatih Sacchi ini. Namun ia tidak perlu berkecil hati atas pernyataan itu, karena pada dasarnya ia memang tidak memiliki materi pemain sebaik kualitas para pemain Italia. Karenanya sepanjang pertandingan tampak Penev tidak murung, bahkan seringkali tertawa. Mungkin sebagai tanda kepuasan telah melakukan kerja maksimal dengan materi yang tidak imbang antara kedua kesebelasan itu. Memang masih diperlukan waktu bertahun-tahun untuk mematangkan para pemain Bulgaria, sebelum mencapai tingkatan “kesebelasan kelas dunia”. Selain harus membuat mereka bermain kompak, Penev harus pula memeratakan keterampilan individual yang dimiliki para pemain Bulgaria untuk dapat menembus barisan pertahanan yang kokoh seperti tim Italia. Tanpa skill yang seperti dimiliki lawan mereka dalam pertandingan semifinal itu, jangan berharap para pemain belakang Bulgaria seperti Ivanov dan Kiriakov dapat mengendalikan penyerangan barisan depan mereka seperti halnya dilakukan oleh Benarrivo dan Costacurta di tim Italia.

Dengan demikian terbukti, perjalanan panjang dari seorang pelatih tim nasional masih harus dilakukan oleh Penev. Bahwa ia telah mampu membuat para pemain Bulgaria saat ini demikian kuat dalam menekan pihak lawan, bukanlah sebuah prestasi yang mengecewakan. Tetapi masih lambatnya Balakov dan Letchkov dalam melepas bola menunjukkan belum optimalnya hasil yang dicapai Penev itu. Pada pihak Sacchi, perjalanan panjang dari posisi menjadi asisten pelatih tim nasional Vichini, untuk kemudian menjadi pelatih tim yunior nasional dan prestasi melatih kesebelasan AC Milan dengan sederetan gelar juaranya, membuat Sacchi memiliki kematangan yang dicapainya sekarang.

Jadi, walaupun Penev dan Sacchi sama-sama menerapkan permainan bola menekan (pressure football) hasilnya tentu tidak sama. Kehandalan Penev dibatasi oleh materi pemain yang masih sekelas di bawah para pemain Italia. Sedangkan Sacchi, antara lain dengan memanfaatkan hasil binaannya atas lima pemain AC Milan yang direkrutnya dalam tim nasional sekarang ini, mampu mengembangkan permainan bola menekan yang bervariasi banyak, dan dengan demikian memiliki lebih banyak peluang untuk memasukkan gol ke gawang lawan. Pelajaran cukup berharga bagi para pelatih kita di masa depan, bukan?