Santri Tanpa Shalat
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
DALAM pengembaraan rohani saya selama dua tahun terakhir, banyak saya jumpai hal-hal aneh. Bukan karena super natural, tetapi karena situasi kulturalnya. Salah satu di antaranya adalah pertemuan dengan seorang tokoh lokal dari kalangan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang kita sebut saja mbah X. Tinggalnya di sebuah tempat yang cukup jauh dari ibukota kabupatennya, tetapi di jalur utama lalu-lintas propinsi, di Jawa Tengah.
Pertemuan dengan mbah X itu diminta olehnya, karena keinginannya untuk bertemu. Saya gunakan kesempatan ketika berkunjung ke daerah itu, untuk mengunjunginya pula. Tentu secara incognito karena belum tahu apa maksudnya. Ternyata, yang diingini hanya sekedar bertemu saja, untuk keperluan sambung rasa, katanya. Dibahasakannya saya sebagai saudara (sedulur, dalam bahasa daerah). Dihormatinya saya secara sungguh-sungguh, disediakannya apa yang dapat ia sediakan.
Kemudian saya diajaknya ke pesanggrahannya, yang terletak hanya empat ratus meter dari rumahnya. Pesanggrahan itu ternyata adalah bekas kuburan (menurut visi santri seperti saya) seorang pangeran dari Majapahit. Bekas peninggalan (atau petilasan, dalam bahasa Jawa) dari bengkel pembuatan senjata-senjata sakti Majapahit dahulu.
Agak mengherankan, memang. Mengapakah ia mengajak saya ke tempat “sangar” seperti itu? Dan herannya lagi, mengapakah tempat itu tidak terasa sangar bagi saya, bahkan membawakan kesejukan hati yang luar biasa? Dari sudut fisik, mudah keterangannya. Tempatnya di perbukitan. Dengan sungai jernih yang mengalir di bawah petilasan. Juga arsitektur bangunan dengan ventilasi sangat baik. Tapi saya rasa yang lebih menyejukkan adalah sikap mbah X sendiri. Tampak kesucian jalan hidupnya, kejujurannya kepada Tuhan yang diyakininya sepenuh hati. Dalam sikapnya yang mencintai sesama, tidak pernah berbicara buruk tentang orang lain, bahkan senantiasa mengajak kita untuk senantiasa mawas diri.
Tetapi itu semua tidak berbicara apa-apa kepada saya, hingga saat saya tahu bahwa ia mencintai kaum santri. Di tengah masyarakat lokal yang sepenuhnya NU, Mbah X tidak mengasingkan diri dari umat sekitarnya. Ia membantu berdirinya sekian langgar/surau dan masjid di daerah-daerah sekitarnya. Minimal dengan ‘mewakafkan’ jam dinding dan lain-lain ornamen. Pada waktu acara Maulid Nabi Muhammad juga hadir di surau, sebagaimana layaknya seorang santri tulen.
Yang membedakannya dari penduduk sekitar adalah kenyataan bahwa ia tidak pernah bersembahyang atau mengerjakan shalat. Timbul pertanyaan, haruskah ditolak partisipasi mbah X yang menjadi ‘santri tanpa shalat’ itu? Haruskah ia ditolak dari lingkungan santri setempat, hanya karena ia tidak mau shalat? Sampai di manakah seseorang dapat diukur santri dan bukan santri?
Yang lebih-lebih membuat saya pusing adalah penjelasannya tentang mengapa ia tidak shalat. Katanya, ia dahulu adalah santri pondok pesantren Tebuireng (!), yang ditugaskan oleh KHM Hasyim Asy’ari untuk menjaga petilasan Majapahit tersebut. Sebagaimana semua santri Tebuireng, ia juga bershalat. Sampai kemudian ia mimpi didatangi ‘pemilik petilasan’, yang hanya mengizinkan mbah X bertugas di tempat itu jika meninggalkan shalat. Demi kesetiaan kepada cita-cita mengabdi guru semaksimal mungkin, mbah X merelakan kewajiban agama yang satu itu.
Tidak penting apakah mbah X benar atau salah. Juga tidak penting benar mengusut masalah itu secara kelembagaan agama, karena santri tanpa shalat yang satu ini sudah demikian integratif hidupnya dalam kehidupan masyarakat setempat. Menyatu dalam perbedaan, dan berbeda dalam sikap menyatu. Yang penting bagi saya adalah kesadaran, betapa tipisnya batas-batas antara sesama keyakinan agama, dan antara keyakinan agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.