Sastra, Agama dan Politik
Bagaimana kaitan sastra, agama, dan politik? Agama sebagai sumber aspirasi bagi perlawanan kultural terhadap kekuasaan yang menindas, politik harus digunakan untuk mencegah agama dari kecenderungan eksklusivistik yang akan menurunkan derajat manusia saja.
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Politik seringkali dirumuskan sebagai “seni mencapai apa yang mungkin tercapai” (the art of thepossible). Sepintas lalu, tampaknya tidak ada yang mutlak tetap atau absolut dalam politik, seperti nyata dari ungkapan yang populer kalangan kaum politisi “tidak ada lawan tetap atau kawasan tetap dalam politik, yang ada hanyalah kepentingan tetap.” Kita juga sangat terpengaruh oleh eratnya hubungan antara politik dan kekuasaan. Sedangkan kekuasaan, seperti kata Lord Acton, cenderung membuat orang menjadi korup. Kesan kita politik adalah sesuatu yang korup, minimal sebagai kebangkitan moral (moral corruption) di kala kepentingan sesaat lebih diutamakan dari kesetiaan kepada prinsip-prinsip keluhuran moral itu sendiri.
Namun kita akan salah sangka kalau menganggap politik hanya ‘kekotoran perilaku koltektif masyarakat di kala memperebutkan kepentingan’ saja. Tanpa politik tidak ada kemerdekaan sesuatu bangsa. Begitu pula, sekali kemerdekaan direbut atau dicapai, dengan politik-lah ia dipertahankan dan diisi. Sudah tentu ketiga kerja itu hanya akan sempurna, kalau diletakkan dalam pola integratif dengan bidang-bidang lain, seperti kebudayaan, agama, ilmu pengetahuan, tata pemerintah, dan sebagainya. Tetapi pencapaian, penjagaan dan pengisian kemerdekaan tak akan terjadi tanpa politik. Karenanya, seperti kita mendiang Presiden John F. Kennedy, patut pula politik dirumuskan sebagai kerja paling mulia, “politics in the most nonorable profession”.
Dalam tarikan antara praktek kehidupannya yang serba kotor dan fungsi ideal-historisnya yang serba mulia itulah bersumber dua tuntutan yang saling berlawanan dari dunia politik atas sastera. Politik, jika dilepaskan dari acuan hubungannya dengan sistem kekuasaan, pada umumnya menampilkan ‘tema perjuangan’ sangat mulia, seperti memperjuangkan persamaan hak bagi semua warga negara tanpa memandang warna kulit, memperjuangkan demokrasi dalam arti hak mengutarakan pendapat sebebas-bebasnya, menegakkan keadilan dalam memberlakukan hukum secara tuntas da tidak berpihak, dan mempertahankan hak-hak kelompok minoritas dari persekusi atau perlakuan tak manusiawi dari pihak mayoritas. Sisi mulia dari politik ini mengajukan tuntutannya sendiri kepada sastra, ia harus turut memperjuangkan tegaknya demokrasi dalam artian penuh.
Sastra tidak boleh berpangku tangan menyaksikan pembungkaman dan pemasungan kreativitas, seperti juga ia tidak boleh berpangku tangan melihat penindasan berlangsung di depan matanya. Sastra tidak boleh berdiam diri melihat persekusi atas kelompok minoritas, seperti juga ia tidak boleh membisu di hadapan pencaplokan harga kekayaan bangsa oleh segelintir warga masyarakat saja. Sastra harus mengekspresikan gairah akan kemerdekaan politik, namun juga kemerdekaan hukum, kemerdekaan agama dan kemerdekaan ekonomi.
Di pihak lain, sistem kekuasaan yang ada di sebuah negara cenderung untuk mengutamakan ‘stabilitas keadaan’ sebagai bagian terpenting dari konsolidasi kemerdekaan politik yang dicapai dengan susah payah. Konsolidasi itu sendiri dirumuskan sebagai upaya yang sangat diperlukan, kalau skisma politik berlangsung secara sangat berkepanjangan, baik skisma ideologis seperti yang kita alami sekarang maupun skisma kultural seperti yang menghantui banyak negara di benua Afrika saat ini.
Sistem kekuasaan akan menganggap pemantapan eksistensi dirinya sendiri sebagai bagian terpenting dari upaya konsolidasi seperti itu. Dengan sendirinya semua aspek lain dari kehidupan berbangsa harus tunduk kepada ‘kenyataan’ ini, dengan akibat munculnya ‘kebutuhan’ untuk mengabaikan sementara waktu ‘kemewahan politik’ yang berwujud proses demokratisasi kehidupan masyarakat secara tuntas dan menyeluruh. Padahal semua kerja mulia untuk menjamin kebebasan penuh untuk mengutarakan pendapat, mempertahankan keadilan hukum yang tuntas dan menjaga eksistensi kepentingan kelompok minoritas termasuk dalam apa yang dirumuskan sebagai kemewahan politik itu!
Tidak heranlah kalau sastra oleh sistem kekuasaan yang sedemikian itu dituntut untuk tidak mengacaukan keadaan dan untuk melupakan saja (minimal buat sementara waktu), aspirasi yang hanya ‘berfungsi atributif’ belaka dari tuntutan akan keadilan, kebebasan dan persamaan. Kalau sastra tidak mau tahu diri dan tetap saja ‘mengacaukan keadaan’, dengan sendirinya sistem kekuasaan akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menertibkan kehidupan sastra.
Dalam keadaan demikian pembenturan tidak dapat dihindarkan antara sastra dan sistem kekuasaan yang ada. Dengan sendirinya sastra akan dipaksa oleh keadaan untuk melakukan pilihan antara kerja meneruskan perjuangan secara heroik dengan melancarkan kritik-kritik, tajam terhadap keadaan, seperti dilakukan Sholzenytsin dan kawan-kawannya di Uni Soviet atau melakukan perlawanan dalam bentuk parsial dan tidak langsung menghadapi diri kepada tembok-tembok kekuasaan. Pilihan antara pendekatan radikal dan pendekatan gradual dalam perjuangan terus dilakukan oleh tiap-tiap pengarang.
Hubungan antara sastra dan agama juga demikian. Di satu pihak, agama mengharapkan sastra untuk turut mengekspresikan kebutuhan manusia kepada ketinggian ‘derajat kemahklukan’ yang optimal. Sastra diminta untuk mengungkapkan keharusan total yang dirasakan sewaktu manusia menyadari kebesaran dan keagungan hidup di alam duniawi ini. Secara transedental, la yang Satu itu menyatakan diri dalam pemberian hak penuh kepada manusia untuk memainkan peranan terpenting dalam kehidupan jagad raya. Konsep filosofis dari Ketuhanan seperti ini memberikan tempat bagi peranan manusia dalam menyejahterakan alam dan seisinya, sebuah tugas mulia yang memerlukan rasa tanggung jawab di pihak manusia sendiri.
Namun, atau justru karena itu, la yang Satu itu menyatakan diri juga dalam fungsi immanen, ketika la dirumuskan sebagai Tuhan, dan bahkan lebih nyata kalau Ketuhanan itu diberi bentuk konkret, seperti Allah, Yesus, Yahwe, Budha, dan seterusnya. Bentuk konkret dari Ketuhanan yang immanen itu adalah sisi yang paling menyentuh getaran sukma manusia, dan sastra tidak henti-hentinya berusaha merekam dan mengabdikannya melalui berbagai pola. Immanensi Tuhan inilah yang mengajukan tuntutan tersendiri pula kepada sastra, ia tidak boleh hanya berperan mengekspresikan ketinggian derajat kemahklukan manusia, melainkan juga harus menjaga agar manusia berada pada ‘jalan yang benar’.
Ini berarti manusia harus tunduk kepada norma-norma agama yang menyatakan diri di dalam pola perilaku yang sudah disahkan oleh agama, kesusilaan, kesopanan, dan ‘kesucian hidup’. Tarikan berlawanan antara spontanitas dan ekspresi Ketuhanan dan tuntutan normatif adalah inti dari hubungan antara sastra dan agama. Apapun tema yang diambil oleh sebuah karya sastra, mau tidak mau akan diukur dengan kedua kriteria kepatuhan di atas, kalau diserahkan kepada agama untuk menilainya. Dalam pandangan agama, antara spontanitas keharusan rasa ber-Tuhan dan keserasian normatif dapat dilerai, dan sastra pun harus mengikuti pola serupa.
Sudah tentu tuntutan yang bertentangan itu, kalau di lihat dari sudut pandangan sastra, membawakan akibatnya sendiri pada karya-karya yang diciptakan. Mungkin keharuan total dari pengalaman kerohanian ketika menemukan Tuhan diekspresikan secara total dan dengan spontanitas optimal, jika harus tunduk kepada kendala-kendala normatif? Ini adalah persoalan abadi para sastrawan. Hanya sedikit yang mampu menjembatani antara spontanitas berkarya dan kedudukan normatif kepada ‘tolok-tolok ukur keagamaan.”
Dihadapkan kepada tuntutan saling bertarikan dari dunia pootik dan dunia agama ini, sebenarnya sastra dapat melepaskan diri dari pemasungan kreativitas dirinya sendiri, dengan jalan meletakkan hubungan ketiga bidang tersebut kedalam sebuah konfigurasi baru sama sekali. Sastra akan menemukan dirinya sendiri dalam ‘melayani’ sebuah proses untuk menjalin hubungan konkret antara agama dan politik dalam konteks yang baru. Konteks itu adalah mewujudkan peranan agama sebagai sumber inspirasi bagi perlawanan kultural terhadap sistem kekuasaan yang menindas, sedangkan di pihak lain politik harus digunakan untuk mencegah agama dari kecenderungan eksklusivistik yang akan menurunkan derajat manusia saja.
Dalam pertalian seperti itulah akan berlangsung proses integrasi antara sastra, agama dan politik dalam sebuah pola yang kreatif dan sekaligus memiliki watak pembebasan manusia dari kunkungan yang membelenggu realisasi dirinya sebagai makhluk yang mulia. Memang tidak dapat dihindari masih adanya pertentangan mendasar antara berbagai tarikan yang dikemukakan di atas, namun juga tampak nyata bahwa peranan sastra dalam kehidupan kedua bidang itu adalah peranan kontruktif, kalau diletakkan dalam ‘kerangka pembebasan manusia’ seperti itu.