Satpam Juga Mampu Berbuat Banyak

Sumber Foto: https://pesantren.id/progresivitas-nu-2-gus-dur-ikon-progresivitas-8560/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

AMANAH No. 58 (23 Sept. s/d 6 Okt. 1988) mengulas lelucon saya, bahwa NU sekarang berfungsi bagaikan Satpam. Terlihat dalam ucapan itu ketidak setujuan penulisnya (ataukah majalah AMANAH sendiri) atas cetusan pengamatan tersebut. Wajar saja, ada yang tidak setuju. Nabi pun ditentang orang, apalagi hanya seorang ketua ormas saja.

Namun, perkenankanlah saya mendudukkan permasalahannya. Mungkin agar penulis ulasan tersebut merasa plong. Juga warga NU. Juga pemerintah kita. Karena, kalau dilepaskan dari konteksnya, ucapan saya itu memang cukup ‘mengerikan’. Ada masalah membuat kortsluiting listrik pabrik, ada persoalan furstrasi, dan sebagainya.

Ucapan itu saya tujukan kepada warga NU sendiri, yang masih punya ambisi macam-macam, dan memiliki persepsi NU dapat (atau bahkan harus) menjadi penyalur ‘aspirasi warga’. Biasanya berarti minta kapling sekian kursi legislatif atau eksekutif. Kalau tidak keduanya, ya dengan nilai tukarnya, alias fasilitas tidak wajar di bidang ekonomi. Kepada mereka itulah saya arahkan ucapan saya Keinginan bermacam-macam itu dapat mengacaukan suasana, dan merusak perimbangan kekuatan politik yang ada.

Karenanya, NU perlu ‘disatpamkan’ ikut menjadi pengaman republik tanpa langsung menjadi pengaturnya. Mungkin, sekali lima tahun ikut membuat GBHN. Mungkin dimanfaatkan menjadi juru penerang. Mungkin juga disapa sekali-sekali kalau bertemu, pokok nya secara protokoler diatur sekorek mungkin. Tetapi, secara substansial NU harus menyadari dirinya hanya berfungsi suplementer di negeri ini. Sama saja seperti yang lain-lain, dari MUI sampai keanggotaan kelompok-kelompok kerja di Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional (Wanhankamnas).

Apakah ini suara frustrasi? Bukan, ini adalah realita yang harus dimengerti, agar tidak ada harapan berlebih terhadap diri sendiri. Ini adalah ajakan menjadi muslim yang jujur terhadap sejarahnya sendiri tanpa menyesali siapapun. Perlunya? Agar kita dapat merumuskan kerja yang harus dilakukan.

Seorang anggota Satpam tidak selalu harus di pabrik, la bertugas hanya 8 jam sehari. Sisa waktunya, digunakan hidup berkeluarga, bertetangga, dan mengembangkan pengabdiannya sendiri. Sebagai anggota Satpam, dapat saja la mengembangkan agama, mengabdi kepada lingkungan masyarakat setempat, maupun melakukan apa saja yang dapat disumbangkan bagi kepentingan orang banyak. Kehadirannya dalam ‘konteks nonpabrik’ mungkin lebih mempunyai makna, ketimbang kehadirannya dalam pabrik.

Nah, NU juga dapat berkiprah banyak. Yang terbanyak tentu di luar konteks pemerintahan. Ini adalah pemikiran yang konsekuen dengan penataan politik dan kemasyarakatan saat ini. Bidang politik formal adalah urusannya Orpol-Parpol. Bidang pemerintahan urusannya eksekutif. ABRI juga bisa bertugas di kedua tempat itu, Nah, wajar saja kalau ormas lebih memilih bidang di luar pemerintahan, karena memang itu bidang yang dikuasainya.

Kalau dalam konteks seperti ini, tentunya paling banter hanya satu predikat dapat diberikan kepada NU tahu diri Bukan sangkaan kemungkinan membakar pabrik melalui kortsluiting listrik. Siapapun di negeri ini tahu, bahwa NU tidak berwatak demikian, dan tidak bisa main listrik.

Ada sebuah keuntungan dengan menjadi anggota Satpam. Kalau pabrik bangkrut, manajemen yang disalahkan, bukan sang Satpam Kalau pabrik untung besar, ia turut diberi bonus (belum pernah saya mendengar bonus hanya diperuntukkan bagi pemimpin perusahaan saja). Memang tidak bakal kaya, tetapi memadai untuk ‘sangu ngibadah’, bekal beribadah.