Saya Bisa Bikin “Ikatan Cendekiawan Sosialis Indonesia”
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Bagaimana pendapat Anda tentang rencana pembentukan ICKI?
Tergantung pada orientasinya. Kalau cendekiawan menempatkan diri sebagai bagian dari kekuasaan atau ingin menguasai sistem pemerintahan, itu ada serdadu atau birokrasi di sana. Apa mereka mau melepaskan begitu saja. Apalagi, kalau masuknya itu tanpa ada kejelasan posisi-posisi mana saja yang harus ditempati.
Maksudnya?
Ya, posisi sebagai pendukungkah, oposankah atau sebagai transformatorkah, sebagai pemelihara status quo-kah. Inikan nggak jelas semua. Akhirnya rebutan nggak karu-karuan. Dulu ijo royo-royo, sekarang kebangsaan.
Anda pernah mengatakan adanya indikasi sikap sektrarianisme ketika ICMI lahir. Bagaimana dengan ICKI?
Kebangsaan yang sempit sama sektariannya lho dengan agama atau yang lain. Orang Serbia itu apa tidak sektarian. Sampai mengadakan etnic etnis-etnis. Itu semua apa namanya kalau tidak sektarian.
Bagi Anda, perlukah cendekiawan membentuk ikatan-ikatan formal?
Cendekiawan itu kekuatannya pada pikiran bukan pada organisasi. Inti kecendekiawanan itu apa sih? Pemikiran dan kearifan. Orang yang berpikir dan arif memahami segala sesuatu serta menempatkan diri. Puncak dari kecendekiawanan itu ya, orang seperti Romo Mangun di satu pihak yang praktis ke bawah tetapi juga pemikir di awang-awang seperti Sudjatmiko.
Kalau kita berbicara politik itu kan ada aspirasi dan kesadaran. Orang sering mencampuradukkan antara aspirasi dan kesadaran. Aspirasi politik itu apa? Rebutan tempat? Kalau kesadaran itu, bagaimana politik itu berfungsi baik untuk kepentingan bangsa dan negara. Kesadaran berpolitik menghasilkan LBH, Walhi, Juga menghasilkan koran yang bebas. Itu kesadaran berpolitik. Nah, mari kita membikin jaringan untuk mengembangkan kesadaran politik bukan aspirasi politik. Harusnya kita mengarah ke sana.
Ada yang menganggap Anda mendukung kehadiran ICKI?
Itu karepnya (maunya) siapa. Saya kan ngomong, bahwa wawasan kebangsaan itu amat penting. Sehingga setiap upaya untuk mengembangkan kecendekiawanan yang berwawasan kebangsaan perlu didukung. Bukannya saya mendukung Ikatan cendekiawan kebangsaan. Apa urusannya. Kurang pekerjaan apa.
Jika Anda diajak untuk bergabung?
Saya tidak mau. Karena pada dasarnya saya tidak berorientasi memasuki sistem kekuasaan. Itu bukan orientasi saya sih. Kalau saya mau masuk yang begituan, ngapain saya bikin forum demokrasi. Ngapain saya di NU. Mendingan saya di PPP saja. Mungkin sekarang saya sudah menjadi ketua Umum dan Wakil ketua DPR/MPR, ha… ha… (Gus Dur tertawa lepas). Tapi saya terlalu cinta pada bangsa ini untuk sekadar main-main dengan kekuasaan. Ada yang lebih diperlukan oleh bangsa ini, daripada sekadar para politisi.
Apa itu?
Pemimpin-pemimpin yang mengembangkan diri secara dimensional. Termasuk dimensi hetrogenitas.
Ada yang menganggap, berdirinya ICKI menandakan terjadinya pergeseran pendulum politik di tingkat elit?
Bisa saja dari sudut politik praktis begitu. Tetapi, saya beranggapan, itu terlalu prematur.
Maksudnya?
Memang ada pergeseran apa? Belum tentu. Kalau hanya sekadar netralisasi ekses bisa saja. Pada dasarnya tidak ada pergeseran karena ini semua sudah dipikirkan. Kalau ini nanti terlalu jauh ke kanannya ya kita ke kiri sedikit.
Masih berada dalam desain besar?
Iya.
Mungkinkah ICKI dapat dijadikan sebagai watchdog seperti yang dilansir oleh Alamsjah?
Sebenarnya bisa kalau dia berperan begitu. Tetapi saya sangsi. Dengan dia masuk ke dalam sistem kekuasaan, apakah dia bisa menjadi anjing pengawas. Anjing pengawas itu harus mempunyai satu hal, yaitu impersonality, sikap tidak memihak. Obyektivitaslah. Sikap itu harus ada. Yang salah dibilang salah. Apa mampu ICKI berbuat dan berfungsi begitu. Itu pertanyaan saya. Dengan lebih dulu ketuanya cari menteri gitu saja sudah kelihatan. Ini kan hanya sekedar penjinakkan gerakan kaum nasionalis saja.
Tapi Komnas HAM dulu juga disangsikan, tetapi akhirnya mereka banyak berbuat?
Komnas HAM dibikin tidak untuk memasuki sistem kekuasaan. Tetapi upaya sistem kekuasaan untuk memecahkan dilema-dilema yang dihadapinya di bidang hak-hak azasi manusia. Jadi itu sudah lain lagi. Ya, sama seperti Universitaslah. Perguruan tinggi itu dibentuk pemerintah bukan untuk memasuki sistem kekuasaan. Makanya dosen-dosen bebas ngomong, berpendapat dan berpikir Tergantung sasaran yang ingin dicapai.
Pembentukan ICKI tidak berarti mundur ke belakang?
Kalau saya tidak melihat ini mundur ke belakang dalam arti munculnya aliran-aliran. Wong itu sekadar sintesis saja. Tetapi kemundurannya itu terletak dalam emosi-emosi dan afinitas yang ditimbulkannya. Nah, di sini tergantung kalau mampu mengembangkan wawasan baru itu luar biasa dan bagus. Itu yang saya sangsikan. Wawasan kebangsaan yang baru itu kan terkait langsung dengan proses demokratisasi. Apa yang mampu dikerjakan oleh ICKI. Yang jelas ICMI tidak.
Mengapa cendekiawan cenderung masuk ke dalam sistem kekuasaaan?
Itu karena tersumbatnya sistem kekuasaan. Tenaga-tenaga kreatif, pemikir-pemikir orisinal itu kan ingin mewujudkan pemikiran mereka dan lain sebagainya tidak ada jalan karena semuanya sudah dikendalikan oleh pemerintah. Daripada sulit-sulit ambil jalan pintas saja masuk dalam sistem kekuasaan untuk mengadakan perubahan-perubahan. Dikiranya gampang.
Bukankah motif mewujudkan gagasan itu positif?
lya. Tadinya begitu. Tetapi lama-lama motifnya, mempertahankan atau menumbangkan kekuasaan. Tinggal begitu saja.
Munculan organisasi cendekiawan seakan juga menebar adanya kerancuan paham? Bagaimana Anda melihatnya?
Setelah sekian lama aliran itu mengalami proses de-aliranisasi politik, maka sekarang ini ada keinginan untuk menampung kebutuhan-kebutuhan afinitif (pengikat, red) atau keinginan afinitas (mengikatkan diri, red) aliran. Nah, ketika keislaman dijadikan sebagai ideologi subtitusi Islam dan kebangsaan dijadikan sebagai ideologi substitusi Nasionalisme, maka yang terjadi adalah kerancuan. Masak kok Habibie menjadi pemikul lambang Islam walaupun lambang substitusi,… masak kok Alamsjah hendak jadi pemikul lambang kebangsaan meskipun lambang substitusi. Itu kan bingung karepe dewe (bingung sendiri, red). Kalau begitu, saya yang ketua umum PBNU ini, bisa juga bikin Ikatan Cendekiawan Sosialis Indonesia, disingkat ICSI…he…he…he.
Bagaimana makna subtitutifnya itu?
Artinya menurut alur pemikiran sistem kekuasaan wawasan kebangsaan yang kalau dipegang orang seperti Siswono atau Sri Sumantri bisa menjadi sesuatu yang berbahaya karena dia memikul subtansi aliran. Atau Islam katakanlah langsung diwakili orang, umpamanya saja seperti AM Saifudin, Mahbub Junaedi, orang-orang yang menginginkan Partai Politik Islam. Ketimbang begitu, lebih baik dipegang Habibie yang lebih nasionalistik.
Dengan kata lain, organisasi cendekiawan itu sendiri mengalamai eksperimentasi, dijadikan, lahan vaksinasi. Jadi, dicari supaya kecenderungan aliran-aliran, kecenderungan aliran-aliran, kecenderungan primordial ditampung alur-alur pemikiran yang tidak asli aliran tapi subtitutif. Sama dengan minum teh tidak dengan menggunakan gula asli tapi dengan gula sakarin, gula sintetis.
Kita sudah tidak perlu kuatir dia akan menjadi ideologi kalau sudah begini. Makanya, bagi saya sekarang, ICMI itu sudah tidak berbahaya lagi. Dia sudah tampak, oh dia hanya sekadar aliran Islam sintetis.
Maksudnya, ada pencairan politik aliran?
lya. Tapi sayangnya, sudah dipenuhi muatan-muatan emosional, sarat kecurigaan antar golongan sudah semakin membesar. Itu sayang. Itu namanya dolanan dengan biaya mahal.
Makna kemunculan ICKI itu sendiri?
Lagi-lagi, ingatan cendekiawan dikaitkan dengan upaya memasuki sistem kekuasaan. Di ICMI kayak gitu, di ICKI juga gitu.
Ada anggapan erosi kebangsaan?
Menurut saya, yang mengalami erosi itu semangatnya, tetapi kalau wawasannya mengalami perluasan Artinya, kebangsaan kita sekarang ini tidak lagi hanya sekadar membesarkan nama Indonesia, membesarkan masa lampau. Minimal sudah dipengaruhi oleh spektrum persamaan nasib negara berkembang, Jadi, wawasan kebangsaan sudah menjadi wawasan gerakan non-blok dan seterusnya itu. Dunia ketiga, negara miskin. Dengan kata lain, wawasan kebangsaan kita sebenarnya di hadapkan pada kemapanan kapitalistik.
Apakah berdirinya ICKI ini bukan reaksi atas lahirnya ICMI?
Tidak. Karena seperti yang saya katakan, kalau ICMI itu digunakan sebagai wahana untuk sekadar memasuki sistem kekuasaan dan ICKI ternyata juga begitu, ya sudah. Masalahnya sudah tidak serius lagi. Tidak merupakan ancaman serius bagi semangat kebangsaan kita atau semangat keagamaan kita. Ternyata mok ngono-ngono tok (cuman begitu-begitu saja).