Saya Enggak Ambil Pusing
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Banyak, kelompok ingin menggoyang Gus Dur. Salah satu indikasinya perseteruannya dengan mantan Presiden PPP, Idham Chalid. Puncaknya, Idham Chalid mengajak pengikut Tarekat An-Nahdliyah tak wajib masuk NU. Gus Dur sendiri tampaknya tidak resah dengan “goyangan” Idham Chalid ini. “Silakan saja keluar”, kata Gus Dur kepada Diyan Srikandini dan Titin Rosmasari. Berikut petikannya.
Pada Muktamar Tarekat An-Nahdliyah di Pasuruan, Jawa Timur, Idham Chalid menyatakan bahwa pengikut tarekat tak wajib masuk NU. Komentar Gus Dur?
Kalau dia keluar dari NU, ya jangan pakai nama Nahdliyah.
Maksudnya?
Kalau pakai nama Nahdliyah, kan, masih NU. Nahdliyah itu merupakan nama yang diberikan oleh Muktamar NU. Dalam Muktamar ke-25 NU di Semarang disahkan masuknya An-Nahdliyah. Ceritanya, kan, begini. Di NU, pada tahun 1950-an, didirikan Tarekat ALI-Mutabarah. Pada tahun 1970-an, pimpinan Tarekat Al-Mutabarah, Mustahim Romli, masuk Golkar. Sedangkan NU saat itu berdiri sendiri sebagai partai. Bahkan NU itu PPP Kan, mulai 1973, NU bergabung ke PPP. Yang turut ke Al-Mutabarah dianggap bukan lingkungan NU lagi. Maka, didirikanlah Al-Mutabarah An-Nahdliyah.
Perkembangan selanjutnya?
Sekarang perkembangannya tidak mulus. Ketika NU keluar dari khitah, Pak Idham tetap di PPP sampai sekarang. Dari dulu, Pak Idham di PPP Dia pura-pura saja di Golkar. Tulis saja. Tanpa tedeng aling-alinglah. Pak Idham membawa An-Nahdliyah ke PPP. Pada waktu NU kembali ke khitah itu, mereka enggak ikut. Enggak pernah. Sikapnya tetap “ber-PPP ria” sampai hari ini. Nah, sekarang mereka menyatakan keluar dari NU, ya silakan.
Jadi Pak Idham hanya menjadi jubah Golkar?
Pak Idham, kan, selamanya begitu.
Maksudnya?
Pak Idham itu begitu. Dia tidak mau jelas ke mana. Tapi, anak buahnya kebanyakan di PPP. Anak buah dia tidak ada yang di Golkar. Di PPP atau di tarekat. Tarekat yang di Golkar itu punya Kiai Romli, bukan punya Pak Idham. Itu sudah lama lepas dri NU secara organisatoris.
Posisi Pak Idham sebagai orang PPP sendiri?
Pak Idham itu sampai hari ini masih memimpin orang NU yang di PPP. Dengan dibersihkannya unsur-unsur yang dekat dengan orang-orang Matori Abdul Djalil, NU di PPP di sana itu diwakili oleh Pak Idham.
Mengapa baru sekarang An-Nahdliyah yang dipelopori Pak Idham ingin melepaskan diri dari NU?
Ya, biar saja. Kalau mereka keluar dari NU itu sebagai organisasi. Tetapi sebagai individu mereka tetap warga NU. Kalau mereka keluar, ya, silakan. Sebesar Pak Idham pun, kalau dia meninggalkan NU, akan tenggelam.
Apakah ini merupakan sikap pribadi Pak Idham yang selalu mau menggoyang Gus Dur?
Enggak usah su’udzon (berprasangka buruk, red) begitu. Tenang saja, tidak ada masalah apa-apa. Mereka mau keluar atau tidak, tidak ada masalah. Itu hanya oleh segelintir orang. Yang di Pasuruan juga tidak semua ikut mereka.
Jadi, keluar atau tidaknya An-Nahdliyah tak berpengaruh?
Tidak akan mempengaruhi eksistensi NU dan tidak mempengaruhi afiliasi anggota NU yang menjadi warga tarekat itu kepada NU. Mereka ke NU tetap, kepada tarekat juga tetap. Contohnya, saya sendiri. Saya adalah seorang anggota tarekat Naqsyabandiyah, melalui Kiai Haji Hasbullah dari Kebumen. Itu guru saya.
Adakah kemungkinan pernyataan keluar dari NU itu karena campur tangan pemerintah?
Enggak ada. Karena justru mereka itu PPP. Saya melihatnya mungkin elemen-elemen atau beberapa oknum-oknum pemerintah ataupun pejabat emang membantu Pak Idham. Ya, karena mereka sudah lama sekali berurusan dengan Pak Idham.
Pejabat itu siapa?
Yang dekat dengan dia saja. Gampang saja. Siapa yang membuka Muktamar itu?
Bagaimana dengan Pak Hartono (KSAD)?
Ya, itu. Yang datang, yang ngasih duit, ya, itulah.
Bagaimana hubungan Gus Dur dengan Pak Hartono?
Enggak ada urusan. Artinya, saya enggak ada masalah apa-apa. Kalau dia enggak mau atau tidak bisa menerima kebijakan saya, wajar-wajar saja. Semua pejabat pemerintah, di mata saya sama. Artinya, wajib saya menghargai para pejabat, sesuai dengan posisi mereka. Artinya, saya sudah melakukan apa yang harus saya lakukan dalam menghormati Pak Hartono. Bahwa beliau, umpamanya, salah paham dan sebagainya, itu urusan beliau. Bukan urusan saya.
Kapan perseteruan Gus Dur dengan Pak Idham berakhir?
Saya enggak ada urusan.
Jadi, apa sebenarnya masalahnya?
Mereka itu mengambil langkah-langkah untuk menjauhkan jamiah Tarekat Al-Mutabarah An-Nahdliyah dari NU. Dengan kata lain, melakukan upaya destabilisasi NU. Ya, biar saja. Ini tidak ada urusannya dengan sengketa. Kita tidak usah mencari-cari sebabnya apa. Itu masalah kepentingan.
Upaya menggoyang NU itu apa karena Gus Dur yang terpilih?
Saya juga enggak tahu. Saya enggak pernah ambil pusing. Karena apa? Karena mana penting. Sampai hari ini PBNU berjalan biasalah, berjalan lancar, kegiatan di daerah juga berjalan terus.
Soal restu pemerintah?
Kerja sama dengan berbagai lembaga pemerintah, kami enggak ada urusan.
Jadi, Gus Dur sudah diterima?
Lo, masalah diterima presiden atau tidak, itu bukan berarti PBNU tidak sah. Sebab, kalau begitu, banyak juga, kok, yang enggak diterima. Apakah Kadin sudah diterima? Jelas tidak. Dengan kata lain, kita tidak usah terlalu pusing dengan gangguan dalam dan luar. Dan mesti melakukan konsolidasi ke dalam. Ya, sudah, itu saja.
Soal cekal dari pemerintah? Ya, enggak apa-apa, orang saya ini pidato tiap hari di daerah. Tiap hari pengajian NU dimana-mana. Tidak ada gangguan. Kok, dianggap NU itu tidak direstui mereka, saya jadi bingung. Jadi, direstu atau tidak itu bukan soal lagi.
Tapi, masih saja ada pihak yang berusaha menggoyang Gus Dur…
Melakukan destabilisasi terhadap NU, ya, ada. Tapi, bukan karena saya. Sebenarnya begini. Itu dari orang-orang yang bersimpati atau mendukung ICMI. Saya selama ini terlalu terbuka menolak ICMI. Yang saya tolak itu sebenarnya bukan ICMI-nya, tetapi elemen-elemen fundamentalnya yang saya tentang. Dan mereka cukup kuat. Mereka terus menggunakan ICMI secara keseluruhan untuk melakukan destabilisasi. Kebetulan ada pejabat-pejabat yang bersimpati kepada ICMI. Terus mereka membalaslah dengan melakukan destabilisasi.
Soal kemunculan banyak kelompok di tubuh NU, seperti kelompok Cholid Mawardi, Abu Hasan, Shohib Bisri, Yusuf Hasim, dan Anshor, apa tidak mempengaruhi stabilitas NU?
Itu semua wajar saja. Chalid Mawardi punya kepentingan karena dia Golkar, untuk membawa massa NU ke Golkar. Kalau Abu Hasan, enggak tahu kepentingannya apa. Kalau KH. Shohib Bisri, itu paman saya sendiri. Dia berpikir bahwa dia mau dekat dengan Mbak Tutut melalui Pak Hartono. Silakan itu kepentingan dia. Kami juga enggak akan menahan dan kami enggak akan mengganggu.