Saya Menangisi Nasib Rakyat

Sumber Foto: ttps://alowarta.alonesia.com/khazanah-islam/73212600430/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Abdurrahman Wahid pernah mengatakan, pertemuan Menristek B.J. Habibie dengan Ali Sadikin di kediaman Jenderal (Purn.) A.H. Nasution “sudah diatur”. Ia pula mengatakan, tidak lama setelah Petisi 50 diundang ke PT. PAL, Habibie akan “dipotong”. Akibatnya, banyak kecaman terhadap Ketua Umum PBNU, yang terkenal suka bicara blak-blakan itu. Habibie dan Ali Sadikin agaknya tidak peduli dengan “analisa” tokoh yang panggilan akrabnya Gus Dur, itu. Setelah ke PT. PAL, kedua tokoh itu, yang akhir-akhir ini mendominasi berita Politik dalam negeri, berangkat lagi ke IPTN.

Episode “darmawisata politik” ditandai dengan peristiwa mengharukan yang disaksikan ratusan mata di IPTN. Ali Sadikin, yang dijuluki Gus Dur “hati nurani bangsa”, yang selalu bicara “menggelegar” dalam mengkritik pemerintah, tiba-tiba menangisi nasib Jenderal (Purn) Nasution. Akibatnya, keluarlah pernyataan resmi pemerintah, bahwa Nasution tidak pernah dicekal. Ini ditindaklanjuti dengan kunjungan empat pejabat tinggi pemerintah menemui Jenderal (Purn) Nasution, ketika bekas KSAD tersebut chek up di Rumah Sakit Gatot Subroto, Jakarta.

Bagi banyak kalangan, rangkaian peristiwa itu sangat menarik untuk diamati. Tapi tidak bagi Gus Dur. Masih ada persoalan yang jauh lebih penting dari semua itu, katanya. Berikut petikan wawancara wartawan Forum, Tony Hasyim dan Sudarsono, dengan Gus Dur.

Dulu Anda bilang Habibie akan “dipotong”, tapi kenyataannya tidak…

Dia sudah dipotong kan.

Mana, Dia jalan terus…?

Enggak, waktu saya ngomong itu kan belum ada pernyataan ABRI. Ali Sadikin bilang pokoknya rekonsiliasilah…. Terus dipotong oleh ABRI. Dan kata Habibie, Pak Harto bilang itu kawan, pejuang dan segala macam. Habibie membesar-besarkan itu. Lalu ABRI menjawab, tidak ada rekonsiliasi dengan kelompok Petisi 50. Ya, itu artinya Habibie dipotong.

Tapi, itu dalam arti, ABRI menganggap memang tidak pernah ada konfrontasi, buat apa ada rekonsiliasi?

Iya, iya. Itu kan bentuk lain saja. Kita kan tahu soal teknik-teknik mengubah situasi. Semua juga tahu, cekal itu yang memerintahkan siapa. Kan semua sudah tahu.

Cuma, enggak usah disebut namanya, gitu, lho. Kalau mau disebut, biar Pak Domo sajalah. Kan jadinya enak. Semuanya juga jadi enak, ya, kan.

Lalu, yang mencekal itu siapa?

Enggak bilang siapa-siapa, lah. Tapi menurut saya, semua ini penyelesaiaannya manis. Sudah enak, toh? Enggak ada yang mengaku bersalah, juga enggak ada yang mengakui bahwa itu kesalahan. Ya, sudah, bagus. Selesai dengan sendirinya. Bagi saya, masalahnya sudah selesai. Dengan kata lain, apakah dari sini mungkin timbul perbaikan? Ya, enggak. Wong enggak ada apa-apa, kok.

Maksudnya, tidak akan ada demokratisasi?

Bukan begitu. Maksudnya, masalah cekal yang sudah selesai dengan manis ini. Katakanlah ada pemulihan status atau pemulihan nama baik dari beliau-beliau itu. Yang mengaku bertanggung jawab Pak Domo, terserah yang salah siapa. Sudah selesai. Lalu apa kelanjutannya? Jangan dikira akan ada terusannya. Lagi pula kenapa harus ada terusannya, ya kan?

Khabarnya, ini bertujuan memojokkan Pak Benny….

Ada urusan apa Pak Benny dalam soal ini? Pak Benny dari dulu juga cuma aparat saja, kan. Semua juga cuma aparat. Dulu, kenyataannya memang ada perintah dari Pak Domo sebagai Wapangkopkamtib (Wakil Panglima Kopkamtib). Semua aparat, mau enggak mau, harus melaksanakannya. Apalagi dulu pak Benny belum Panglima ABRI, masih asisten. Ya, jadi menurut saya, apa urusannya sama Pak Benny? Saya enggak lihat itu. Enggak nyambung gitu, lho.

Pak Sayidiman dan Bang Ali menyatakan agar segera diakhiri pemerintahan dengan sistem “intel-intelan”. Apa konotasinya bukan Pak Benny?

Lha, intel itu, kan dari dulu juga sudah ada. Sejak Pak Nas juga sudah ada.

Pada masa Pak Nas dulu katanya tidak seperti itu. Setelah Ali Murtopo baru begitu….

Dari dulu, ABRI itu punya kebijakan teritorial. Sejak Koramil masih bernama BODM, tugasnya teritorial. Kalau suatu angkatan bersenjata melakukan pembinaan teritorial, otomatis dia memerlukan intel. Itu otomatis. Saya enggak akan mimpi bahwa intel bisa dihapuskan. Di Amerika, di mana check and balance sudah begitu tinggi, intelnya masih berperan. CIA itu juga besar, jangan dikira enggak. Saya merasa, kalau masalahnya dikembalikan kepada soal intel lawan yang lain-lain, kan tidak relevan. Sebagai orang yang berjuang di lapangan untuk kepentingan demokrasi, tentu saja saya keberatan dengan segala bentuk campur tangan pemerintah terhadap aktivitas masyarakat seperti sekarang. Tapi, itu enggak bisa hanya dikonsentrasikan kepada intel saja.

Tapi, banyak yang menimpakan kesalahan kepada Ali Moertopo. Menurut mereka, ini semua rekayasa Ali Moertopo, yang banyak memanfaatkan intel…

Ali Moertopo sebagai politikus, ya. Dia pergunakan semua. Bukan hanya intel, Golkar pun dia pergunakan. Sebagai politikus, ya, begitu. Ketika dia jadi menteri, Deppen juga dia pergunakan sepuas-puasnya. Wajar kalau politikus seperti itu. Jadi, saya enggak melihat sesuatu yang istimewa di dalamnya.

Anda melihat persoalannya sesederhana itu, tapi masyarakat kan tidak sebodoh itu. Mereka tahu masalahnya…

Ya, selama sistem pemerintahannya seperti ini, ya, selamanya rakyat digoblokin. Semakin kita percaya bahwa intel yang bertanggung jawab, ya, semakin goblok kita, ha ha … ha….

Ini tanggung jawab kolektif dari seluruh pemerintahan, bukan hanya intel. Jangan sebodoh itu, dong. Ini termasuk tanggung jawab Pak Nas, yang melahirkan sekian ketetapan MPRS yang mengebiri semua orang. Dari zamannya Pak Nas kan semua Ketetapan MPRS sudah direkayasa. Jadi, jangan mengungkit-ungkit soal rekayasa segala macam, deh.

Jadi, lebih baik sekarang dianggap selesai saja, begitu?

Ya, sebaiknya begitu. Kalau masih diperpanjang-panjang juga, misalnya, masalah ini dijadikan senjata untuk memerangi kaum intel, ya, saya rasa akan jadi kontraproduktif. Artinya, tidak begitu banyak hasilnya dan kita juga enggak bubar hanya karena beginian. Begitu, lho.

Kalau dianggap selesai, perjuangan Petisi 50 itu tidak ada hasilnya. Pengorbanan Pak Nas dan Bang Ali sia-sia saja…

Kenapa, sih, kita harus ngeributin Pak Nas saja? Kenapa kita hanya mau belain Pak Nas, Pak Ali Sadikin? Haji Muhidin digebukin, kakinya patah karena membela Tanah Merah, itu, dong!

Kenapa, sih, orientasi kita hanya kepada yang top-top saja. Jadi, maksudnya, kita tidak “adil” kepada rakyat?

Ya, justru karena itu. Sekarang, mari kita bekerja membangun kekuatan masyarakat dari bawah untuk bersama-sama dengan yang di atas mengubah keadaan. Karena kepincangan, yang diatas terlalu berkuasa, yang di bawah enggak punya kekuasaan sama sekali. Mari ini kita imbangkan, kita sama-sama bekerja supaya ada check and balance antara semua pihak, antara masyarakat dan pemerintah. Tujuannya ke sana, bukan saling tuding, ini intel, ini bukan intel….. Kalau mau begitu, Pak Nas juga ikut bikin intel. Wong yang bikin ABRI ini dia, kok. Bagaimana sih? Jadi, saya menolak kalau kita ini harus bercengeng-cengeng menangisi nasib Pak Nas, Pak Ali Sadikin segala macam itu. Kan, masih banyak masalah.

Kenapa kita cuma membela beberapa orang yang notabene itu sakitnya kayak apa. Di sini kegunaan dari episode Petisi 50. Jangan ditarik lebih dari itu, deh. Jangan mengharap macam-macam, sebab nanti akan kecewa sendiri.

Sebetulnya enggak ada apa-apa yang bisa diambil dari situ, kecuali yang itu tadi, soal fatsoen (sopan-santun, red) berpolitik itu. Sebab pemimpin-pemimpin kita dulu jauh lebih matang. Yang namanya Sjahrir, Bung Hatta, Sudirman, Soekarno, Ali Sastroamidjojo, Aidit, Alimin, Muso, itu semua kan secara ideologis berlawanan. Tapi, secara pribadi mereka dekat. Itu cerita Prawoto Mangkusasmito, Pemimpin Masyu-mi, yang untuk menyewa rumahnya dibantu Kasimo, pemim-pin Katolik. Dicarikan rumah, kalau kurang duitnya ditambah.

Saya mendambakan pemimpin-pemimpin kita memiliki kedewasaan seperti itu. Jangan kalau enggak suka sama orang, terus –istilah Buyung– dimatikan hak-hak perdatanya.

Tampaknya, Habibie jalan sendirian, enggak melibatkan ICMI…

Saya melihat, ada sesuatu yang menarik. Di Kompas disebut, jangan diributkan kunjungan Ali Sadikin ke IPTN. Ditegaskan pula, “hal ini dinyatakan oleh Kelompok Habibie.” Pertanyaan saya, apakah ada kelompok Habibie di luar ICMI ? Kalau ada, kenapa baru keluar sekarang? Apakah karena ICMI sudah tidak diperlukan lagi? Sebagai anak tangga, sudah selesai tugasnya, kita enggak tahu.

Kelihatannya?

Saya enggak tahu. Sejarah yang akan menjawabnya.

Ada yang mengatakan, sebenarnya Habibie tidak perlu membawa-bawa ICMI. Dengan membawa nama Pak Harto, dia bisa melakukan apa saja…

Sebetulnya begitu. Dengan kata lain, bukan dia yang perlu ICMI, tapi ICMI yang perlu dia. Lihat dari segi pembiayaan.

Kabarnya, kunjungan Menko Polkam, Menhankam, dan Panglima ABRI itu sengaja dilakukan untuk memotong Habibie…..

Saya sih, enggak sejelek itu persangkaannya. Menurut saya, ini untuk menghindari saling menuding. Kan Habibie terlalu ceroboh, dia lebih dahulu memberi tahu bahwa Pak Harto tidak mencekal. ABRI, ya terpaksa membantah bahwa mereka mencekal. Kalau berlarut-larut jadi enggak enak, bisa saling menuding.

Karena itu, beberapa katakanlah, orang-orang yang paling bertanggung jawab di lingkungan ABRI pada level tertinggi, Panglima ABRI, KSAD, Kasospol, dan ABRI yang ada dalam pemerintahan berpikir, sebaiknya itu semua dihindari, dengan penyelesaian manis seperti itu. Saya rasa itu baik.

Berarti Habibie dipotong lagi. Sudah mendapat peringatan Dengan bersuara seperti selama ini, Anda pernah ditegur supaya tidak bertindak lebih jauh…

Iya, memang. Ya, kalau orang seperti saya –karena sempit pikiran barangkali– enggak usah di-terusin deh, dari pada ribut lagi. Kecuali yang berpikiran panjang, saya enggak tahu ha..ha..ha..

Tapi, Ali Sadikin sendiri mengakui persoalannya belum selesai…

Maksud saya, untuk yang ini tidak selesai dengan saling menyalahkan, dengan intel atau apa. Sebab, ini masalah struktural. Selama struktur pemerintahan kita belum memungkinkan kontrol sosial dari masyarakat ya, akan terus begini.

Pernah bertemu Bang Ali setelah ramai-ramai ini?

Enggak pernah.

Sama Pak Nas?

Enggak juga.

Bagaimana pendapat Anda tentang Pak Nas dan Ali Sadi-kin?

Saya hormat kepada Pak Nas. Siapa, sih, yang enggak respek sama beliau. Perjuangannya begitu lama. Seluruh bukunya saya baca. Tapi, itu tidak membuat saya jadi bego: membetulkan terus. Ya, kalau dia benar, kita bilang benar, dong.

Juga kepada Bang Ali, saya kagum kepada beliau. Sekian lama dia kena cekal, hak-hak perdatanya diingkari. Tapi, kita boleh, dong, menyampaikan harapan, supaya dia konsisten. Gitu, lho. Ini kan harapan saya. Seandainya dia tidak memenuhi harapan, saya juga tidak berhak mengutuk apa-apa.

Kelihatannya ABRI mengikuti langkah Habibie…

Ya, itu tadi, untuk menghindari jangan sampai terjadi saling menuding. Gitu lho.

Melihat kondisi saat ini, yang penting sekarang apa?

Yang penting, bagaimana melestarikan upaya untuk memperkuat masyarakat agar bisa melaksanakan hak-haknya sendiri yang sekarang sudah terlalu banyak dicampuri dan diambil oleh pemerintah.

Contohnya?

Ya, banyak sekali. Dicekal, kita enggak boleh pergi ke mana kita mau. Kita bicara, koran enggak boleh muat. Apa itu? Saya sendiri pernah mengalaminya.

Oh, Anda pernah kena cekal juga?

Saya pernah enggak boleh diundang. PPP dilarang mengundang saya.

Kapan itu?

Menjelang pemilu lalu.

Pernah dicekal karena mengadakan Forum Demokrasi?

Enggak.

Forum Demokrasi belakangan ini sepi-sepi saja…

Ya, sepi-sepi saja karena belajar jadi demokrat kan tidak gampang.

Dengan bersuara seperti selama ini, Anda pernah ditegur oleh pemerintah?

Enggak pernah. Sudah dianggap gila barangkali. Yang penting, saya bersuara jujur.

Anda tidak dekat lagi dengan Pak Harto?

Ah, dari dulu saya juga enggak pernah dekat, kok. Saya ketemu presiden cuma berapa kali.

Bagaimana sikap Pak Harto terhadap Anda?

Sampai sekarang pun masih baik. Keluarga saya sakit dibantu oleh beliau.

Yang dirawat di RSCM sekarang ini?

lya. Makanya, kok, jadi ribut Pak Nas, Pak Dharsono diobatin semua jadi ribut. Waktu tahun 1991, saya sakit juga diobatin Pak Harto. Sekarang, saya diongkosi Pak Harto juga. Jadi, saya bingung, mengapa orang pada ribut soal hubungan-hubungan itu. Saya pernah tanya Pak Benny, urusannya apa, sih? Pak Harto itu punya kearifannya sendiri, punya cara kerja sendiri.

Berapa biaya yang ditanggung Pak Harto dalam pengobatan ini?

Ya, enggak tahu. Pokoknya, dibantu sepanjang urusan rumah sakit. Saya dapat surat dari Bina Graha. Bunyinya, Bapak Presiden berkenan membantu.

Kalau diundang Habibie ke PAL atau IPTN Anda mau?

Saya, sih, enggak suka dengan acara-acara simbolik begitu.

Sejak muncul ICMI, kabarya, Anda punya masalah dengan Habibie. Seharusnya kan Anda diundang juga…

Kenapa, sih? Saya jadi bingung. Saya enggak punya masalah dengan dia, kok.

Dulu Anda terus mengkritik ICMI…

Lho, saya kan enggak mau ikut. Kalau enggak mau ikut, ya, sudah dong, jangan cari masalah.

Simbol perjuangan demokratisasi sekarang apa?

Oh, banyak. Simbol perjuangan demokratisasi itu, misalnya, rakyat Kedungombo, rakyat Tanah Merah, dan Kampung Tapak, di Semarang sana.

Sekarang ini, suara dari Petisi 50 yang mengkritik pemerintah, kok, berhenti?

Enggak. Anggap saja mereka lagi libur. Jangan berburuk sangka, lah. Kita anggap saja lagi cuti.

Setelah ini, situasi politik bagaimana?

Enggak ada apa-apa. Tetap seperti dulu. Memang enggak ada apa-apa. Kenapa orang pada ribut?

Benarkah ada rebutan pengaruh antara Kelompok Habibie dan Kelompok Soesilo Soedarman?

Kita lihat saja. Kalau nanti yang dua ini yang naik, ya, sudah begitu sejarahnya.