Sebuah Catatan Etnografis
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
BAHARUDDIN Aritonang berasal dari Tanah Batak. Dia berasal dari daerah selatan Batak yang umumnya beragama Islam. Berbeda dari orang-orang Batak yang berasal dari utara dan beragama Kristen, hampir-hampir tidak ada catatan etnografis tentang orang-orang Batak dari daerah Mandailing ke selatan hingga sampai perbatasan Sumatera Barat itu. Karenanya, penggambaran bagaimana orang-orang Batak berpuasa mempunyai arti sangat penting bagi kita. Setidak-tidaknya untuk mengetahui secara lengkap perbedaan-perbedaan antara orang-orang Batak dari daerah Mandailing dan orang-orang Batak dari sebelah utara. Inilah sebabnya mengapa penulis merasa penting untuk sekedar ”memperkenalkan” keseluruhan catatan yang dibuat oleh Aritonang tersebut. Dengan demikian, sedikit banyak kita memperoleh kelengkapan pengertian tentang orang-orang Mandailing itu. Yang cukup menarik dari deskripsi Aritonang itu adalah kenyataan bahwa catatan-catatan itu bersifat lengkap. Dimulai dari penggunaan marpangir sebagai tradisi menyambut Ramadhan.
Kita sudah mengetahui bahwa catatan etnografis tentang bagaimana santri Jawa berpuasa. Dalam pandangan mereka berpuasa artinya melaksanakan sebuah ”kerja” yang dinamai tirakat. Kata tirakat ini ternyata sebanding secara penuh dengan istilah ”ibadah”. Jadi orang berpuasa adalah orang bertirakat yang sama artinya orang beribadah. Nah, kita jadi ingin tahu adakah orang Mandailing juga demikian memandang orang berpuasa itu.
Dari tulisan Aritonang itu kita lihat bagaimana orang-orang Mandailing di waktu kecil menilai berpuasa adalah sesuatu yang dianggap penting. Sampai di mana arti penting itu? Bagaimana pula penilaian mereka di masa kini? Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi sesuatu yang justru ingin kita ketahui dari catatan etnografis karya Aritonang ini. Hal ini menjadi sangat penting karena kita juga ingin mengetahui apakah pengertian berpuasa di kalangan orang-orang Mandailing turut berubah bersamaan dengan perkembangan zaman?
Kita tahu,orang-orang Mandailing yang tinggal di perkotaan dan dididik secara ”non-Islam” seperti kehilangan tradisi mereka. Contohnya, tokoh kita Adnan Buyung Nasution dan Todung Mulya Lubis. Mereka seperti ”lepas” dari tradisi ke-Batak-an mereka. Karenanya, deskripsi orang Mandailing secara tradisional seperti dibuat oleh Aritonang dalam bukunya ini menjadi sesuatu yang sangat penting bagi kita. Dari hal itu kita dapat mengerti, sampai sejauh mana tradisi marpangir itu berkembang di kalangan orang-orang Mandailing sendiri. Sementara yang kita tahu hanyalah perkembangan orang-orang Mandailing ke arah modernisasi, tetapi kita tidak tahu titik berangkat mereka. Lalu bagaimana kita akan mengetahui sejarah apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi nantinya dengan tradisi tersebut. Tentu saja, hal seperti ini dapat saja terjadi atas semua tradisi yang membentuk bangsa kita.
Namun, apa yang terjadi pada masyarakat Mandailing menjadi sangat menarik. Karena ia adalah sebuah perkembangan dari masyarakat yang demikian tradisional menjadi masyarakat yang serba modern. Inilah pentingnya arti sebuah kajian etnografis, yang membuka mata kita akan pengaruh-pengaruh yang kita jalani sebagai bangsa. Berbedakah atau justru sama saja dengan tradisi-tradisi yang demikian banyak berserak pada begitu banyak masyarakat di negeri kita? Inilah salah satu kegunaan kajian etnografis, apalagi ”mengemukakan” kandungan etnografis dalam sebuah suku atau bangsa yang sangat kaya akan variasi. Hal-hal terlihat yang kita anggap sebagai penampilan modernisasi, ternyata kalau diteliti adalah bagian perubahan-perubahan di masa lampau.
Kita dapat ambil sebagai contoh, apa yang terjadi pada hukum Islam/fiqh. Beberapa abad yang lampau para ahli fiqh merumuskan dalam adagium yang sangat terkenal, yakni tasharruf al-imam ‘ala alra’iyyah man’uthun bi al-maslahah. Artinya, kebijakan dan tindakan seorang pemimpin atas rakyat yang dipimpin langsung terkait dengan kesejahteraan rakyat mereka.” Nah, pada masa itu istilah keadilan dan kemakmuran itu digantikan oleh kesejahteraan sehingga kita lalu harus yakin bahwa kebijakan dan tindakan seorang pemimpin atas rakyatnya harus terkait langsung dengan kesejahteraan mereka. Bukankah keadilan dan kemakmuran adalah istilah yang digunakan oleh UUD 1945? Kita lihat sekarang bahwa masalah kesejahteraan atau keadilan dan kemakmuran menjadi bagian integral dari proses demokratisasi. Di sinilah lalu kita dapati bahwa di masa lampau maupun di zaman sekarang masalah ini adalah titik pangkal bagi upaya demokratisasi.
Dari apa yang diuraikan di atas, jelas bahwa proses demokratisasi terkait langsung dengan kehidupan kita sebagai bangsa dan negara. Tanpa demokratisasi,kita tidak akan dapat mencapai tujuan agama, yaitu negara yang baik yang diberi pengampunan oleh Allah (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur). Tujuan ini terdapat dalam sejarah tiap bangsa dan negara, tidak hanya di kalangan kaum santri (muslimin yang melaksanakan dengan konsekuen ajaran-ajaran agama mereka) belaka. Nah, kalau hal ini diakui, kita lalu jadi tahu, begitu banyak persamaan bahwa apa yang kita perjuangkan di negeri kita dari masa lampau hingga ke depan adalah sesuatu yang kelihatan mudah dan segera tampak di mata. Tetapi kenyataan sederhana menunjukkan bahwa banyak ”tujuan-tujuan” yang dikaitkan dengan pertumbuhan bangsa ini sudah diutarakan oleh manusia untuk kehidupan mereka sendiri. Jadi, lambat laun ia akan merasa bahwa kemerdekaan penuh yang dihasilkannya adalah wajar-wajar saja, bukan?