Sejarah Kekerasan Yang Selalu Berulang

Sumber foto: https://www.uito.org/2019/06/17/perang-pada-jalan-allah-demi-membela-islam/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Apa yang ditulis oleh Mohamad Guntur Romli dalam buku ini merupakan gambaran atas tindakan-tindakan yang tidak hanya berlaku di masa ini, tetapi juga merupakan penerusan dari sebuah tradisi dalam kehidupan kaum muslimin di mana pun mereka berada. Dari sekadar membahas berbagai macam gerakan, ia telah memperluas pengertian itu hingga adanya beberapa kelompok-kelompok “berhaluan keras” seperti, gerakan fundamentalis, gerakan militan dan gerakan radikal. Ia mencoba menguraikan latar belakang dari gerakan-gerakan itu dan, menemukan antara lain, gerakan-gerakan bersenjata sebagai varian dari gerakan-gerakan yang umumnya muncul akibat penolakan mereka terhadap kaidah dialog, dan keterbukaan: mereka mengklaim bahwa ajaran yang mereka anut paling benar. Tak jarang, menjadikan kebenaran Ilahi sebagai pembenaran.

Padahal, sikap seperti itulah yang membunuh sejarah, karena sebenarnya sejarah memiliki perkembangan sendiri. Sedangkan kebenaran Ilahi selamanya berada di luar sejarah, sehingga, tugas kita untuk mempertahankan kebenaran tersebut amatlah berat, dan tidak bisa main hantam. Bagaimana kita bisa “mempertahankan” kebenaran itu, sementara kita adalah manusia yang memiliki kelemahan-kelernahan fatal? Kita juga jangan pernah lupa, meskipun memikul tugas untuk “mempertahankan” kebenaran Ilahi itu, pada saat yang sama kita harus menjunjung tinggi perikemanusiaan. Pada spektrum ini kemutlakan hanyalah milik kebenaran Ilahi, sedangkan kita dituntut memiliki kemampuan untuk mempertahankan kemanusiaan. Di sinilah terjadi proses “tarik ulur” antara dua hal yang sama-sama mewarnai kehidupan manusia: kemutlakan kebenaran Ilahi dan relativitas kemampuan manusia. Selanjutnya terjadilah gerak dinamis yang tidak berkesudahan, bagaimana manusia mempertahankan keyakinannya, namun di sini yang lain dituntut mengakui kenyataan.

Dalam sejarah Islam, hal ini tampak jelas. Agama yang membawakan ajaran-ajaran yang kokoh, harus “berhadapan” dengan kenyataan dalam kehidupan para penganut ajaran itu sendiri. Hal inilah yang membuatnya sangat menarik, karena di situ kebenaran Ilahi yang sangat agung harus “berhadapan” pada objektifitas sejarah. Pengulangan demi pengulangan yang dibawakan oleh perbuatan manusia sering kita gunakan bagi ukuran satu-satunya, sehingga kita sering menilai tindakan manusia dari sudut itu saja. Padahal manusia yang relatif itu sebenarnya juga membawakan kebenaran Ilahi yang tidak akan berubah dari sudutnya sendiri. Lalu kita salahkan tindakan manusia yang serba relatif itu, sementara kita lupakan bahwa dari relativitas itu sendiri justru lahir sikap mempertahankan keagungan Tuhan.

Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar belum-belum sudah berbeda pendapat mengenai penggantian Rasululah Saw. Hal ini berarti, bahwa dari sikap mengagungkan Rasululah Saw. itu lahir dua pola pendapat, yang kemudian “dileraikan” oleh sikap saling menghormati di antara mereka. Tetapi tidak demikian halnya dengan pertentangan yang serba relatif antara Mu’awiyah dan Sayyidina Ali mengenai kekhalifahan. Dari pertentangan politik itu, lalu munculah dua faham yang masih mendominasi kehidupan kaum muslimin di saat ini, yaitu antara golongan Sunni dan golongan Syi’ah. Kalau kaum muslimin Sunni kemudian lalu menokohkan khalifah-khalifah itu, sedangkan orang-orang Syi’ah lalu menokohkan para Imam. Hal inilah yang sering membingungkan orang-orang di luar Islam. Padahal antara keduanya terjadi berbagai drama dalam kehidupan.

Kalau kita tinjau istilah “khalifah” itu sendiri, terjadi berbagai pengertian yang berbeda-beda dan demikian pula halnya dengan istilah “imam”. Ketika digunakan istilah Khalifah Hamid di dalam pemerintah Utsmaniyah/Ottoman, hal itu sudah tidak disertai lagi oleh persyaratan-persyaratan apa pun untuk menduduki jabatan tersebut. Khalifah Hamid sama sekali tidak mengerti ilmu-ilmu keislaman. Demikian pula halnya dengan keimaman dari Ayatullah Khomeini. Tiap orang mengakui, bahwa ia berada umpamanya, di bawah Ayatullah Zanzani atau almarhum Ayatullah Ja’fari. Demikian juga halnya dengan penguasa Iran sebelum Ayatullah Khomeini, seperti Syah Iran dan sebagainya. Di sini terdapat sebuah fakta kecil, yaitu antara kealiman dan kekuasaan tidak selamanya sejalan. Ini pula yang membuat Imam Khomeini menerima kolektivitas atau kepemimpinan kolektif para mullah dalam Khubligan (Dewan Agama) yang paling kuasa saat ini.

Apa pula setelah dalam perkembangan “ditetapkan” pimpinan-pimpinan lain atas bangsa dan negara, seperti raja dan presiden. Sedangkan lahirnya kekuasaan baru di Turki, memunculkan jabatan baru yang, pada mulanya, hanya dianggap sebagai jabatan “orang suruhan”, yaitu perdana menteri. Semula jabatan itu hanya terdapat di kalangan pemerintahan yang diwariskan oleh kerajaan Inggris Raya, seperti perdana menteri Malaysia. Dalam hirarki pemerintahan Inggris itu di samping perdana menteri ada sultan atau orang-orang lain yang sama. Baru di Turki sekaranglah Perdana Menteri Erdogan (baca: Ridwan) menjadi orang pertama, dan presiden/raja hanya jabatan protokoler belaka. Dengan melihat kepada kenyataan-kenyataan tersebut di atas, kita lalu sampai pada kesimpulan praktis yaitu bahwa sejarah kaum muslimin penuh dengan pengulangan-pengulangan. Secara bermain-main, dapatlah dikatakan sejarah kaum muslimin adalah sejarah pengulangan. L’histoire se repete, sejarah selalu berulang kali, dan tak harus menyebabkan tindakan-tindakan teror serta kekerasan. Mudah dipahami tapi amat sulit dipraktikkan bukan?