Seorang Santri Menilik Pendawa Baru
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Salah satu kesan umum yang harus ditolak adalah bahwa para santri tidak senang dengan wayang. Sejak kecil saya dibesarkan dalam tradisi cerita-cerita wayang, dan sejak usia sepuluhan tahun sudah menjadi penonton wayang kulit dan sesekali wayang orang. Ini diperkuat oleh kenyataan, bahwa para mubalig di daerah berbahasa Jawa selalu mempergunakan cerita atau tokoh-tokoh perwayangan sebagai rujukan, bahkan teknik berdalang juga digunakan dalam bertabligh/pengajian umum. Sosok kiai yang terkenal adalah Kiai Yasin Yusuf dari Blitar, yang sudah tiga puluhan tahun lamanya meragakan kemampuan menirukan dalang dalam beberapa episode dari lakon wayang yang berbeda-beda. Tentunya memang tidak mungkin mengharapkan para mubalig untuk mengikuti pakem secara setia, tetapi setidak-tidaknya pantulan budaya wayang telah merupakan salah satu unsur kehidupan kaum santri di Jawa.
Kisah Mahabharata maupun Ramayana sama-sama memperoleh sambutan hangat dari para penonton santri, karena persamaan-persamaan esensial dalam moralitas dan pandangan hidup. Ternyata, penyerapan mitologi Hindu dari India oleh budaya daerah Jawa telah memunculkan sosok nilai yang benar-benar merasuk ke dalam persepsi orang Jawa tentang kehidupan. Persepsi universal dari orang Jawa inilah yang diserap oleh kaum santri juga sehingga tidak ada penolakan berarti terhadap wayang sebagai manifestasi kultural budaya Jawa. Dalam budaya daerah Jawa, melalui tokoh-tokoh wayang, menampilkan sosok pergulatan rohani antara kebaikan dan keburukan, antara kebenaran dan kebatilan. Dengan kata lain, pertempuran dan konflik kepentingan yang terjadi antara para tokoh wayang, sebenarnya adalah pencerminan dari pergulatan antara kesadaran melawan kerakusan, penguasaan diri melawan hawa nafsu berlebihan, ketegasan sikap membela yang lemah melawan keangkaramurkaan, dan seterusnya. Hal yang sama juga dirasakan oleh kebutuhan dari kaum santri, sebagai bagian dari pengalaman keagamaan mereka. Stereotip tokoh-tokoh wayang lalu menjadi pendamping bagi mitologi kaum santri sendiri, dalam bentuk kisah para nabi dan sebagainya.
Demikian juga, ada sebuah sisi lain dari persamaan antara manifestasi kultural orang Jawa yang bernama wayang itu dan pola kehidupan keagamaan kaum santri. Pola pemukiman pondok pesantren di masa lampau, yang benar-benar masih tradisional, menampilkan situasi unik. Selalu ada pola masjid terletak di tengah-tengah komplek, dengan jalan masuk dari arah timur berhadapan, menghadap ke ruang kosong di tengah, yang ditandai dengan gunungan. Fungsi gunungan adalah sebagai tempat bagi pergumulan antara protagonis atau pihak-pihak yang melakukan dialog. Masjid yang berkedudukan di tengah kompleks pesantren (bila dilihat dari penampang utara-selatan) juga berfungsi sebagai tempat pergumulan antara kesempurnaan ilmu dan akhlak kiai melawan rohani para murid yang masih didominasi oleh hawa nafsu.
Hal itu merupakan simbolisasi dari perjuangan mereka yang telah mencapai kesempurnaan jiwa dan kepribadian. Dalam hal ini, kiai, untuk mengatasi dan mengarahkan serta menyempurnakan rohani mereka yang masih berada pada taraf aspiran (bahasa Arab: salikun, dari kata kerja suluk). Bukankah pergumulan yang terjadi di gunungan adalah pergulatan para ksatria yang telah mencapai kesempurnaan kepribadian, melawan ksatria yang masih terpengaruhi oleh kehidupan duniawi? Proses interaksi antara salik (aspiran) dan wasil (master) yang di kalangan bangsa-bangsa muslim lain tidak mendapatkan dimensi ruang, ternyata dalam kehidupan sufi di Jawa telah menjelmakan diri dalam tata ruang yang sangat dipengaruhi oleh pola pergulatan menuju plaza di depan masjid. Di utara atau selatan plaza itu didirikan rumah kiai, berhadapan dengan asrama para muridnya di seberang plaza, jelas sekali menampakkan pola penghadapan atau dialogis yang digunakan wayang dengan dua protagonis diletakkan terpisah seperti tokoh-tokoh wayang.
Terlepas dari kesamaan-kesamaan dari penyerapan di atas, tentunya tidak terhindarkan juga adanya divergensi nilai antara apa yang dikemukakan oleh wayang dan yang dianut oleh ajaran Islam. Dan kasus lakon wayang “Pendawa Dadu” adalah sebuah sudut yang menarik untuk mengamati perbedaan dan persamaan nilai, bersama-sama dengan unsur lain, dapatlah nantinya dibuat konvergensi baru atas nilai-nilainya yang dianut oleh masyarakat Jawa, antara kaum santri dan kelompok-kelompok lain di luarnya. Dari konvergensi kedaerahan itu, barulah diperoleh unsur-unsur yang baru bagi pembentukan sistem nilai umum bangsa kita di masa depan.
Perbedaan paling menyolok dalam hal ini ada dua hal: Pertama melakukan kerja berjudi itu sendiri, yang dalam ajaran Islam adalah larangan normatif yang tidak dapat diganggu gugat. Segala macam bentuk perjudian harus dilarang, tidak peduli apa pun motifnya. Pelanggaran terhadap larangan berjudi adalah pelanggaran moral dalam ukuran berat, bisa dianggap mempengaruhi nilai diri pelakunya, apakah masih patut diperlakukan sebagai seorang muslim atau tidak (dalam istilah keagamaan disebut fasik atau tidak); kedua, memberikan istri kepada orang lain, seperti dilakukan Prabu Darmakusuma atas Draupadi kepada Dursasana. Masalah keabsahan genealogis merupakan pertimbangan utama bagi larangan mutlak ini, karena dalam ajaran Islam persambungan keturunan (nasab) merupakan ukuran satu-satunya bagi pewarisan harta, sehingga Islam tidak mengenal sistem adopsi anak dengan akibat hukum.
Dalam budaya daerah Jawa, judi bukanlah sesuatu yang dilarang, melainkan dijauhi karena akibat-akibatnya yang buruk. Walaupun terdapat persamaan dalam menolak akibat negatif dari judi, namun antara nilai budaya daerah Jawa dan ajaran Islam terdapat perbedaan yang berangkat dari titik tolak pandangnya. Titik tolak pandangan Islam adalah titik tolak tekstual, karena Al-Qur’an melarang judi. Sedang titik tolak pandangan budaya daerah Jawa jelas tidak bersifat tekstual sama sekali. Sedangkan perbedaan pandangan mengenai penyerahan istri kepada orang lain juga ada antara budaya daerah Jawa dengan ajaran Islam. Bagi orang Jawa, masalah penyerahan istri tidak diperkenankan karena alasan moral semata. Sedangkan bagi ajaran Islam, masalahnya bersangkut paut dengan status hukum dari anak yang dilahirkan nanti, akan mengambil waris dari ayah yang mana.
Dengan melihat kepada perbedaan pandangan antara dua unit kehidupan bangsa kita itu, yang bagaimanapun juga telah terpilih menjadi satu entitas di bumi Nusantara ini, menjadi jelas bagi kita betapa berliku-likunya hubungan antara dua cara hidup kesantrian dan ke-Jawa-an yang kita miliki dewasa ini. Di satu pihak terlihat garis-garis persamaan antara keduanya, namun di pihak yang lain juga cukup banyak perbedaan yang muncul ke permukaan. Kebutuhan yang muncul dari kenyataan kompleksitas hubungan itu adalah penelusuran cara-cara untuk mencari titik-titik konvergensi antara garis-garis perbedaan di atas. Salah satu cara mencari konvergensi itu adalah dengan melihat hikmah “kejadian” itu sendiri. Hikmah utama yang dapat dipetik adalah pentingnya penekanan ketaatan asas kepada nilai-nilai moral. Betapa pun mulianya kedudukan seorang ksatria yang telah mencapai kesempurnaan kepribadian, ia tidak akan luput dari gangguan duniawi juga. Untuk menangkal kemungkinan negatif dari gangguan itu diperlukan keteguhan sikap untuk berpegang pada nilai moral yang sudah baku. Memperjudikan istri sendiri, tidak layak dilakukan oleh seorang yang memiliki kepribadian yang tinggi, terlebih oleh ksatria. Apalagi jika diingat kemungkinan fatalnya keadaan oleh kejadian seperti itu, seperti terlihat pada sumpah Draupadi untuk mencuci rambut dengan darah Dursasana, yang berarti akan semakin berlanjutnya permusuhan dan dendam kesumat di kemudian hari.
Hikmah lain yang dapat ditarik adalah pentingnya pembedaan cara-cara untuk mencapai tujuan luhur dan cita-cita mulia. Tujuan seluhur apa pun tidak dapat membenarkan cara yang salah dan kemungkinan berakibat fatal, seperti berjudi. Sasaran yang sarat dengan nilai luhur harus diperjuangkan melalui tahap-tahap perjuangan yang jelas, dengan hasil yang dapat diperhitungkan, sehingga kemungkinan keberhasilannya dapat terjamin. Dengan cara untung-untungan, seperti berjudi, cita-cita luhur tidak akan dapat diwujudkan. Ini berarti mencukupkan diri pada perumusan tujuan luhur saja tidak dapat dibenarkan sama sekali. Harus ada pertalian langsung dan positif antara tujuan luhur dan cara-cara pencapaiannya. Ketinggian tingkat budaya Jawa dan nilai luhurnya ajaran Islam nampak berpadu dalam hal ini pada keutuhan antara hasil dan metode. Justru kata ksatria dalam wayang mencerminkan tipe ideal pencarian kebenaran melalui cara-cara yang benar pula. Jika diterjemahkan ke dalam strategi kontemporer, maka konvergensi nilai antara ajaran Islam dan pandangan budaya daerah Jawa itu akan menunjukkan sebuah kendala kuat atas kecenderungan semakin meluas untuk mencapai jalan pintas dalam upaya mencapai keinginan. Budaya pintas yang akan menghancurkan sendi-sendi pemenuhan capaian berurut melalui jenjang kehidupan yang “wajar”. Dari titik konvergensi ini dapatlah dikembangkan sebuah sikap hidup untuk menghargai ketekunan dan kerja keras, yang akan menjamin capaian yang tinggi mutunya dan benar-benar memenuhi kebutuhan di masa depan. Justru dalam konteks hidup yang konkretlah kebenaran merupakan panduan yang diwujudkan dalam bentuk etos kerja yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketekunan dan kerja keras seperti itu.
Pengorbanan adalah bagian inherent dari sikap hidup seperti itu, yang di masa lampau dilambangkan oleh berbagai bentuk pengorbanan oleh para ksatria untuk mencapai tujuan luhur dan cita-cita mulia. Dalam ajaran Islam, sikap pengorbanan seperti itu terwujud dalam asketisme kaum sufi yang mementingkan tingkat kedekatan dengan Tuhan (taqarrub ilallah), yang dalam budaya daerah Jawa dirumuskan dengan istilah manunggaling kawula lan gusti. Dalam pandangan serba asketik ini, manusia tidak boleh memisahkan diri antara kepentingan hidupnya dari moralitas yang dianutnya. Dengan kata lain, kalau ingin dekat selalu dan sadar akan keagungan Tuhan, manusia harus memberikan pengorbanan berupa kesediaan menjauhi hal-hal yang memisahkannya dari Tuhan. Pengorbanan itu dicapai manakala manusia sudah tidak menganggap kepentingannya sendiri sebagai satu-satunya ukuran capaian, dan mampu menyesuaikan sasaran-sasaran hidupnya dengan capaian yang tidak lagi egoistik itu. Kejujuran sikap, toleransi, dan sifat-sifat terpuji lainnya akan muncul dari asketisme seperti itu. Dari sejumlah catatan singkat di atas, bahwa lakon “Pendawa Dadu” mampu merangsang pemikiran seorang santri untuk mencari hikmah yang dalam dari kehidupan.