Sosialisasi Nilai-Nilai Demokrasi

Sumber foto: https://news.republika.co.id/berita/pnfkqa377/cerita-mahfud-md-soal-perjuangan-demokrasi-gus-dur

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Berbicara tentang sosialisasi nilai-nilai demokrasi, pertama-tama yang kita lihat adalah apakah nilai-nilai demokrasi itu sendiri? Kedua, adakah nilai-nilai demokrasi itu terlaksana dengan baik di negara kita? Apakah komponen-komponen dari masyarakat kita, unsur-unsur masyarakat kita sudah melaksanakan demokrasi?

Jawabnya tentu berbeda-beda. Karena unsur masyarakat itu bermacam-macam. Kalau begitu harus diketahui unsur mana yang sudah melaksanakan demokrasi pada ukuran yang jauh dan mana yang masih pada ukuran dini. Kemudian apakah kendala-kendala dari pelaksanaan demokrasi? Kemudian kalau kita sudah tahu tentang itu semua, baru bagaimana kondisi demokrasi itu sendiri dan sosialisasi nilai-nilainya. Jadi kondisi yang kita harapkan dari demokrasi itu sendiri dan nilai-nilai yang mendasari nilai demokrasi.

Karena tadi ada permintaan dari Cak Masyhur Amin supaya ada juga beberapa yang disampaikan kepada Pengurus Wilayah (PWNU DIY, ed.), maka saya masukkan di tengah-tengah masalah ini.

Nilai-Nilai Demokrasi

Demokrasi itu sendiri ada yang sifatnya pokok dan ada yang sifatnya derivasi atau lanjutan dari yang pokok itu. Nilai demokrasi yang pokok adalah kebebasan, persamaan dan musyawarah atau permusyawaratan. Menurut Syeh Ali Abdurraziq, inti demokrasi adalah kebebasan, keadilan dan syura.

Syura atau permusyawaratan sendiri itu kadang kala dianggap demokrasi. Hal itu benar, kalau dilihat dari bentuk. Bentuk demokrasi bisa berupa syura, ada yang lainnya, yaitu sistem syura yang sudah dikembangkan lebih jauh, misalnya MPR, parlemen dll. Tapi itu bukan nilai. Nilai demokrasi bukan hanya syura. Di dalamnya ada nilai dasar, namanya kebebasan Kebebasan itu artinya kebebasan individu dihadapan kekuasaan negara. Atau dengan kata lain, ada keseimbangan antara hak-hak individu warga negara dan hak kolektif dari masyarakat. Ini inti dari suatu masyarakat modern.

Yang kedua adalah keadilan. Landasan dari demokrasi itu keadilan, dalam arti terbukanya peluang kepada semua orang, dan berarti juga otonomi atau kemandirian dari orang yang bersangkutan untuk mengatur hidupnya, sesuai dengan apa yang dia ingini. Jadi masalah keadilan menjadi penting, dalam arti dia mempunyai hak untuk menentukan sendiri jalan hidupnya, tapi harus dihormati haknya dan harus diberi peluang dan kemudahan serta pertolongan untuk mencapai itu. Itu namanya keadilan.

Yang ketiga, nilainya itu nilai syura. Artinya bentuk cara kita memelihara kebebasan dan memperjuangkan keadilan itulah namanya syura. Jadi permusyawaratan itu bukan demokrasinya sendiri. Permusyawaratan itu untuk apa. Yaitu untuk menjamin kebebasan warga negara, untuk mengembangkan kebebasan. Yang kedua, untuk menegakkan keadilan. Jadi karena itu walaupun di negeri kita sudah ada MPR umpamanya. Masih bisa dipertanyakan Apakah MPR sebagai bentuk syura di negeri kita, telah mampu melaksanakan demokrasi atau telah menumbuhkan nilai-nilai syura, nilai permusyawaratan dalam berdemokrasi dalam kehidupan berbangsa kita. Ukurannya adalah apakah dia melaksanakan keadilan dengan baik, dan apakah ada kebebasan di negeri kita.

Jadi ini caranya mengukur syura itu sudah demokratis atau belum. Bisa saja terjadi syura itu tidak demokratis. Seperti umpamanya di Libia, al-Jamahirriyyah itu artinya ke-massa-an rakyat. Rakyat sebagai massa itu dianggap sebagai tolok ukur adanya demokrasi. Adanya jamahirriyyah, maka jamahir-jamahir yang macam-macam itu akan mengambil keputusan-keputusan di tempat masing-masing. Pertanyaannya adalah, apakah jamahirriyyah yang begitu banyak bisa memperjuangkan keadilan? Mana buktinya? Kedua, apakah mereka juga mampu menegakkan kebebasan kebebasan berbicara, kebebasan berasosiasi/berkumpul dan untuk berpindah tempat atau freedom of movement.

Dilihat dari sini, kita tahu bahwa nilai-nilai demokrasi yang sudah dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, sebetulnya pada level kedua ini, yaitu: bentuk permusyawaratan. Dan syura sebagai nilai itu sendiri akan dilanjutkan lebih jauh. Kalau yang namanya perwakilan itu seperti apa? Dipilih langsung oleh rakyat atau tidak. Kalau oleh rakyat, maka apakah wakil-wakil itu ketika dicalonkan juga di-pilih oleh rakyat.

Seperti di Amerika, itu jelas, calon partai bisa setiap orang mencalonkan dirinya untuk menjadi calon partai. Lalu diadakan pemilihan pendahuluan, untuk menentukan mana yang terbanyak memperoleh dukungan di dalam partai, berarti dia yang akan menjadi calon partai. Bill Clinton itu kan dianggap nol, tadinya. Tapi ternyata yang lain mundur, atau mengundurkan diri, atau sama sekali tidak mau muncul. Seperti Gubernur Mario Como, Senator Bredly itu tidak mau maju. Ada yang maju tapi dia tidak bisa, seperti bekas Gubernur Paul Sunkas atau Senator Bob Carry itu semua kalah oleh Bill Clinton di dalam pemilihan-pemilihan pendahuluan, yang sebenarnya urusan intern Partai Demokrat.

Pemilihan pendahuluan atau premieres itu yang menentukan bahwa rakyat itulah yang mendukung atau menentukan calonnya. Sesudah itu calon dari partai, yang satu itu, diadu lagi. Jadi dua kali beradu sebenarnya. Kita tahu bahwa Presiden Bush kemarin untuk menjadi calon Partai Republik ditentang sengit oleh Patt Bucanon. Akan tetapi kemudian Bush menang dalam perebutan di negara-negara bagian. Jadi di sini sistem perwakilannya menjadi dua tahap, dipilih oleh rakyat.

Tapi ada juga yang satu tahap, seperti di Indonesia. Penetapan calon, rakyat tidak diikutkan. Pokoknya tahu-tahu calonnya nangkring (muncul, ed.). Terus didukung oleh rakyat. Dukungannya pun bisa berupa perorangan, maupun kelompok.

Syura sebagai bentuk pelaksanaan demokrasi yang bermacam-macam itu membawakan beberapa nilai lain. Yaitu nilai keterbukaan proses politik. Artinya, kalau pencalonannya itu melibatkan rakyat, ya ada proses keterbukaan. Jadi ada sesuatu yang tidak bisa ditutupi lagi. Di sini ada nilai tambahan, nilai terusan derivative value dari nilai syura, yang pertama tadi menentukan bentuk demokrasinya. Di sini keterbukaan merupakan bagian inti atau bagian inherent sebagai penerusan nilai syura itu. Kemudian ada nilai lain, yaitu nilai accountability, nilai pertanggungan jawab. Calon yang dipilih melalui dua tahap tadi betul-betul calon yang dikenal rakyatnya, karena dikenal calon rakyatnya maka dia bertanggung jawab kepada rakyatnya secara langsung. Wakil-wakil rakyat yang sebenarnya seperti di Amerika, Belanda dan Inggris. Dia harus memperjuangkan kepentingan nasional, disamping kepentingan rakyat di daerah pemilihannya. Bila rakyat minta jembatan, ya diberi jembatan dan biaya untuk jembatan ya untuk jembatan. Ini namanya accountability. pemberian tanggung jawab, atau sikap bertanggung jawab kepada para pemilihnya langsung.

Lalu yang lain dari nilai terusan ini adalah keterbatasan wewenang. Wewenang orang yang menjadi wakil dari rakyat, eksekutif maupun legislatif ada batasnya, tidak diberikan kepada dia semua. Nilai keterbatasan wewenang ini yang merupakan penerusan juga dari bentuk demokrasi, dikenal manakala manusia telah memahami dan mengikuti pembagian pemerintahan. Atau wewenang itu dari pembagian antara legislatif, eksekutif dan yudikatif. Jadi beberapa nilai terusan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari nilai dasar demokrasi, yang namanya syura.

Dalam Islam nilai dasar yang namanya kebebasan, keadilan dan syura tadi harus diwujudkan dalam bentuk yang jelas. Yaitu dalam arti persamaan, musyawah bainannas, persamaan antar manusia. Cuma sekarang dalam Islam mempunyai dua pandangan sebenarnya. Di satu pihak kita mengakui penerimaan orang satu derajad, karena di muka Allah semua sama, Inna akramakum indallahi adqakum. Atau kalau mau spesifik kongkret, perlakuan aparat pemerintahan kepada warga negara itu harus adil, obyektif, pejabat dengan rakyat harus sama. Kesadaran terhadap nilai terusan ini misalnya munculnya hadist yang artinya Kalau Fatimah binti Rasul sampai mencuri, tentu akan saya potong tangannya. Ini menunjukkan bahwa beliau (Rasul) berkeras memegang teguh aturan mengenai persamaan kedudukan di muka hukum, walaupun tentu kedudukan Fatimah sebagai anak atau sebagai ahlul baits itu tidak bisa disamakan dengan yang lain di mata beliau.

Kedudukan Fatimah di mata Allah tentu berbeda, dibandingkan dengan orang lain. Allah tentu punya ukuran sendiri tentang kedudukan Siti Fatimah. Dia dilebihkan dari yang lain. Kita tidak tahu klaimnya orang syiah. Dia (Fatimah, ed.) dilebihkan dari yang lain-lain. Itu sesuatu yang menarik, karena faham Sunni berkata al-asyra al-mubassyarah bil jannah itu tidak masuk Fatimatul binti Rasul. Menurut kita al-asyra al-mubassyarah bil jannah itu adalah Khulafaurrasyidin ditambah 6 orang lagi.

Orang Syiah menganggap bahwa yang al-mubasyarah bil jannah itu justru Siti Fatimah. Jadi di sini kita melihat bahwa orang Islam itu pandangannya tidak sama mengenai nilai-nilai terusan. Mengenai masalah persamaan itu sebenarnya sudah tidak sama, dalam nilai-nilai demokrasi. Jadi secara teologis/aqidah, persamaan itu adalah persamaan diantara umat manusia pada dasarnya, dan di muka undang-undang yang dibuat manusia dalam mengatur kehidupannya. Adapun secara akidah, secara moral itu tidak sama dari orang ke orang. Karena itulah maka ada kata-kata Inna akramakum indallahi adqakum. Pokoknya ukurannya adalah ukuran manfaat, asas manfaat yang membedakan orang dari orang lain, yang lebih bermanfaat yaitu yang lebih utama.

Jadi kita sudah melihat, bahwa nilai-nilai terusan itu berbeda-beda, yang umumnya adalah nilai-nilai terapan. Kita melihat bahwa di dunia Islam baik nilai dasar maupun nilai terapan sangat kurang dijunjung. Kebebasan itu sendiri pertama-tama oleh faktor historis telah ditiadakan oleh para penguasa sejak kerajaan Islam, atau sejak dinasti Ummayah. Saya tidak berbicara tentang zaman Khulafaurrasyidin. Di situ ada beberapa faktor, pertama keterbukaan atau kebebasan berbicara itu hampir-hampir tidak dijamin dari dulu hingga sekarang, atau kalau dijamin ya dalam bentuk yang sangat sumir-lah. Artinya sewaktu-waktu pihak pemberi ijin bisa mencabut ijinnya. Kita melihat juga bahwa nilai kebebasan di sini lain. Disamping sisi yang pertama tadi, yang mempersoalkan jenis-jenis. Tapi ada juga yang begini, kebebasan itu memang diperkenankan, tapi bisa dibatalkan oleh Islam sewaktu-waktu. Dengan kata lain kebebasannya itu relatif. Kalau itu yang terjadi, kebebasan itu menjadi relatif, sehingga tidak bisa dijagakan akan selamat untuk seterusnya. Bisa saja terjadi proses yang akhirnya membalikkan hal itu. Kita lihat pada timbulnya pemerintahan Islam di Iran. Mula-mula mereka mengumandangkan kebebasan, Imam Khomaeni itu malah meletakkan kebebasan sebagai salah satu diantara keputusannya. Tapi begitu dia naik menjadi penguasa, sebagai waliyyul faqih maka dia sendiri menghilangkan kebebasan. Jadi dengan kata lain, atas nama kebebasan maka mereka melakukan pekerjaan yang pada akhirnya akan menggusur atau menggantinya dengan kemutlakan dari pandangan Islam, ini suatu contoh.

Jadi kita melihat di sini, bahwa situasinya itu adalah himpitan atas masalah kebebasan ada kendala besar untuk mewujudkan kebebasan, baik dari pandangan historis maupun pandangan politis. Apalagi dari pandangan keagamaan, ini juga demikian. Artinya kebebasan itu tidak boleh mutlak dalam pandangan agama atau dalam pandangan teologis. Karena kalau mutlak nanti manusia bisa mengklaim dirinya sama dengan Tuhan. Oleh karena itu kebebasan tidak boleh mutlak, harus ada batasnya. Ini membawa kita pada suatu soal, bahwa kalau begitu unsur-unsur pelaksana demokrasi, yaitu masyarakat bisa saja sambil mereka mendukung demokrasi, menyatakan demokrasi, tapi perilakunya justru menghambat demokrasi. Karena mereka mempunyai wewenang untuk melakukan hal itu.

Pelaksanaan nilai-nilai demokrasi, untuk kalangan muslim telah terjadi dialog. Kadangkala bersifat intensif; perkembangan dari nilai-nilai dasar demokrasi itu lalu menjadi ditentukan oleh bentuk-bentuk yang dikembangkan oleh orang Islam. Jadi umpamanya saja di Iran. Iran itu tidak ada yang mempungkiri bahwa demokrasi secara serius dilaksanakan pemerintah. Buktinya sehari-hari di Iran, yang namanya Perdana Menteri harus siap dicaci maki di parlemen. Parlemennyapun pilihan rakyat, jadi punya hak yang sama. Presiden dapat dipanggil oleh parlemen untuk diminta pertanggungan jawab.

Dari kenyataan ini maka muncul satu elite. Elite yang bisa saja suppressive atau menekan, atau sifatnya istidadiyah atau ijbaar terhadap kaum muslimin jenis-jenis tertentu. Ini sudah dianggap demokratis karena merupakan wakil sebagian besar dari organisasi Islam. Jadi kita tidak bisa mengatakan tidak patut.

Jadi kita sudah melihat bahwa kompleksnya masalah atau rumitnya masalah itu menunjukkan adanya proses yang saling mempengaruhi antara nilai dasar dengan kelembagaan yang telah ada. Nilai dasar menganjurkan proses musyawarah bila tanpa persyaratan apapun, itu diterima. Tapi ditambah syarat yaitu dengan kata lain sering kali adanya pihak atau kelompok yang mempunyai kelebihan makanan, kelebihan kebutuhan apapun, kelebihan kebebasan, itu bisa dibuat kompensasi kepada yang memerlukan. Itu berarti dibutuhkan adanya pihak ketiga. Pihak ketiga ini yang sulit sekali dimainkan, atau dicarikan. Jadi kita melihat kaitannya lalu menjadi panjang. Hal yang semula itu hanya seorang, mendapatkan akibat atau menjadikan obyek dari proses yang dinamakan demokrasi. Padahal dia tidak tahu apakah demokrasi sudah dilaksanakan atau belum.

Kita melihat, hubungan antara nilai dasar dengan pelaksanaan dari proses demokrasi itu sendiri membawa keinginan kita untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kita, itu membawa kita kepada skala prioritas. Sekarang masalahnya adalah seperti di Indonesia, karena kebutuhannya adalah stabilitas, kebutuhannya adalah menerapkan dan mensukseskan program pembangunan yang diturunkan dari atas, lalu juga untuk mengurusi friksi-friksi antara kelompok Islam dengan kelompok yang lain, maka ini semua menjadi pengertian masyarakat Islam tentang demokrasi itu berbeda-beda.

Jadi kita melihat bahwa adanya pelaksanaan yang tidak imbang, adanya pelayanan –treatment– yang tidak sejajar melalui berbagai lembaga formal kepada pihak-pihak yang nantinya mendapatkan pembenaran teoritik dengan commons sense, dengan akal sehat. Jadi kita melihat di sini, dengan adanya beberapa kemungkinan. Bahwa kalau orang itu betul-betul demokratis, tidak gampang untuk memecahkan suatu dilema. Jadi di sini lalu muncul pada level berikutnya, bisa melakukan interaksi dengan lembaga, yang memberlakukan orang-orang itu. Jadi ada semacam proses yang tidak pernah berhenti. Kita lihat saja Kopkamtib kita yang sekarang Bakortanas, ambil kasus HKBP. Ini kita bicara tentang kebebasan tentang nilai dasar demokrasi, yang namanya proses musyawarah, kebebasan dan keadilan. Sangat tidak adil bahwa HKBP tanpa hujan, tanpa angin disuruh mengganti Ephorusnya. Ditinjau dari aspek keadilan dan kebebasan, maka adalah hak orang HKBP untuk menunjuk Nababan sebagai Ephorus dan juga dia ini dipilih melalui syura, dengan bentuk Sidang Raya atau Godam atau Sinode Godam. Maka pemerintah setelah lama tidak bisa menjebol itu secara persuasif, dengan membela satu kelompok kecil yang kalah, maka pemerintah mundur lagi, karena ada perlawanan. HKBP mampu mengorganisasikan perlawanan-perlawanan secara baik, tanpa harus konfrontasi, atau tiada konflik terbuka dengan pihak pemerintah. Akhirnya, ya seperti yang kita lihat sekarang ini.

Jadi di sini kita bisa melihat pertumbuhan pelaksanaan demokrasi. Secara makro ada ukurannya sendiri tentang berhasil-tidaknya, tetapi secara mikro walaupun berhasil harus tarik-dorong. Jadi ada proses saling tarik-menarik. Kita sudah melihat dari sini, betapa proses demokratisasi itu merupakan sesuatu yang merupakan bagian essensial, walaupun tidak terstruktur di dalam. Teologia demokrasi, aqidahnya demokrasi, ismenya demokrasi itu tidak menyebut selalu, tapi tetap harus ada pilihan-pilihan, baik tentang bentuk pernyataan yang bebas, maupun tentang pemikiran-pemikiran yang sudah jelas, untuk dilanjutkan dengan pemikiran-pemikiran lain.

Dengan melihat ini, kita menjadi tahu, bahwa nilai-nilai demokrasi itu sebetulnya tetap hidup walaupun dalam masyarakat kita yang seperti ini, orang jarang mengkritik pemerintah dsb. Tapi nilai-nilai itu tetap hidup. Karena nilai-nilai demokrasi itu ternyata secara tepat dapat diantisipasikan, sehingga bisa digunakan cara-cara persuasi, cara-cara bertukar pendapat dsb. Jadi jangan seperti sekarang ini, dua musuh berlawanan, satu di seberang hutan sana, satu di hutan sini. Ini bahayanya adalah masing-masing tidak tahu apa yang menjadi bagiannya, mesti mau mengambil yang lebih besar.

Jadi kita sudah bisa melihat di sini, bahwa kaitan antara pelaksanaan demokrasi dengan ketiga prinsip tadi sangat erat, maka bisa kita katakan bahwa pandangan mengenai masalah hubungan antara sistem kekuasaan dengan demokrasi, diutarakan dalam cara bentuk demokrasinya. Kemudian yang kedua dalam arti proses yang tidak pernah tuntas, atau perubahan-perubahan yang tidak pernah habis. Thaghoiyyurot bidunil intiha’ itu terjadi terus dan ini kalau diambil dari hukum sejarah, ya wajar-wajar saja. Orang berkata pemerintah itu tidak demokratis, karena dia pemerintahan Islam. Pertanyaannya kapan itu tidak demokratis. Sebab ternyata pemerintah Iran itu sekarang lain dengan waktu Khomaeni berkuasa. Sekarang umpamanya, memperbolehkan orang melakukan hal-hal tertentu yang tadinya tidak boleh. Tinggal lihat substansial atau tidak, essensial atau tidak. Kalau essensial, ya perubahannya essensial. Dia akan menentukan kebebasan yang akan terjadi. Itu juga dia akan menentukan mengenai bentuk lanjutan dari proses syura yang dipakai. Jadi dengan melihat kepada nilai-nilai demokrasi dalam penerapan-penerapan yang serba kemungkinannya tadi, maka kita sekarang tinggal melihat bagaimana negeri kita.

Pelaksanaan Demokrasi

Di negeri kita demokrasi sudah ada, paling tidak kelembagaannya sudah jalan, yaitu adanya parlemen, ada MPR, DPR, DPRD Tingkat I, tingkat II, juga ada lembaga-lembaga yang dibentuk pemerintah yang tidak ada di Undang-undang Dasar, bisa diundangkan, seperti Parpol dan Golkar. Atau sama sekali tidak ada undang-undangnya, tapi dibiarkan hidup, karena hanya peraturan saja. Contohnya BP4 dalam soal perkawinan. Itu sebetulnya sudah pelaksanaan demokrasi. Apabila keluarga terancam kepunahan, maka yang bersangkutan dipanggil, atau diminta lapor ke BP4. Di sana ditanyai sejelas-jelasnya, diusahakan agar bisa dipertemukan kembali, dst. Itu menunjukkan bahwa sebetulnya demokrasi dalam bentuk yang primer ada Tidak bisa seorang suami mencerai istri semaunya. Ini faktor keadilan, yang nanti dirumuskan dalam proses keadilan, proses hukum.

Ukuran Demokrasi

Demokrasi dalam proses perorangan di masyarakat, yang terjadi hanya karena kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya teknis dan individual, tidak bisa dijadikan tolok ukur, walaupun dia sendiri kerja demokratis. Tolok ukur yang digunakan haruslah, apakah negara menjamin dan melaksanakan pemberian jaminan-jaminan dasar atau hak-hak asasi manusia. Islam mengenal beberapa jaminan dasar, antara lain:

1. Jaminan akan keselamatan fisik seseorang. Jadi tidak boleh dikenakan sanksi badani, tanpa ada prosedur hukum yang jelas, atau proses pengadilan.

2. Jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama (fi salama-til aqidah).

3. Jaminan dasar yang menyangkut jaminan dasar keutuhan rumah tangga. Sebab kalau tanpa jaminan dasar, maka dengan mudah rumah-tangga itu akan hancur dari dalam, atau dihancurkan dari luar. Saya baru datang dari Penang, ada cerita Maria Manado yang diambil oleh Sultan Johor. Suaminya didatangi, disuruh menceraikan, meskipun minta uang berapa. Padahal itukan ada masalah dengan keutuhan keluarga. Tapi suaminya senangkan, dibayar mahal. Maria Manado juga senang karena dia juga jadi kaya, dan Sultannya senang karena punya istri yang namanya Maria Manado. Inikan suatu proses yang sah-sah saja, bagus-bagus saja. Pertanyaannya apakah ini boleh, dan sesuai dengan demokrasi?

Cerita lagi tentang penyanyi Mainun atau Maicun, yang oleh seorang Sultan, kalau tidak salah Kedah, mau dilamar. Umurnya baru 19, Sultannya sudah 66 tahun. Jadi terlalu jauh jaraknya, sehingga si artis ketakutan, kebetulan artis Indonesia. Dia tidak mau. Karena tidak mau, kemudian diusir dari kerajaan di negeri bagian itu, dan terpaksa dia pindah di kawasan federal, yaitu Kualalumpur.

Ini cerita tentang bagaimana pelaksanaan dari sudut sehari-hari, yang kelihatannya itu sederhana, tapi mengandung arti yang tinggi, mengenai masalah apasih ukuran tentang adil, bebas dan prosesnya baik, sudah benar apa belum? Kelihatannya kok benar, si suami ya untung, si Maria Manado ya untung. Sukarela karena ada uang dan prosesnya baik, hatinya berbicara terbuka. Tapi apa yang benar itu yang seperti itu? Proses demokrası itukan tidak hanya yang besar-besar saja. Kalau kita sudah melihat yang kecil-kecil seperti itu, demokrasi belum berjalan. Kemudian pertanyaan kita adalah apakah jaminan-jaminan dasar tentang kesucian rumah tangga, masih adakah jaminan dasar keluarga, masyarakat, individu dijamin oleh kesepakatan kolektif?

4. Jaminan terhadap keselamatan hak milik. Seseorang tidak bisa dipaksa untuk melepaskan harta benda mereka. Kecuali sekarang ada peraturan umum, kalau untuk kepentingan umum boleh diganti, seperti di Saudi Arabia. Sekarang ini di sana belum ada masalah, karena tiap kali pemerintahnya mau bikin proyek perluasan, tanah akan diganti dengan harga yang berlipat-lipat dari harga pasar. Oleh karena itu, rakyat senang saja. Andaikan nanti Saudi Arabia kekuatan keuangannya untuk berbuat demikian sudah habis, apa yang bisa diterima rakyatnya. Seperti di Indonesia, Panitia Penetapan Harga Tanah pernah menetapkan harga ganti rugi tanah sebesar Rp 300,- per meter persegi. Itu kan harga tiga batang rokok.

5. Jaminan terhadap keselamatan akal (diambil dari beberapa tulisan H Abdurrahman Wahid, ed.).

Menurut prosedur itu sudah wakil rakyat yang membuat, dengan cara accountability, dengan pertanggungan jawab Tapi karena itu aturan untuk kepentingan umum, ukuran kepentingan umum itu apakah boleh merugikan kepentingan individu, ini akan menjadi masalah lagi Jadi posisi-posisi kita, keadaan-keadaan kita sehari-hari ternyata problematik Jaminan-jaminan dasar yang diberikan mengenai hak keselamatan fisik orang, mengenai keyakinan, keutuhan keluarga, pemilikan harta benda dan keselamatan profesi, secara asasi memang telah terlaksana. Artinya rakyat sudah bisa melakukan kon-trol terhadap pemerintah. Namun permasalahannya, bisakah seluruh masyarakat melakukan kontrol atau koreksi terhadap pemerintah. Karena koreksi merupakan bagian dari proses keadilan. Tanpa koreksi tidak ada keadilan, karena tidak mungkin adanya kompensasi. Sedangkan pengertian dari kompensasi adalah arti asal dari keadilan.

Persoalannya adalah, keadilan yang dalam bentuk kompensatoris itu bisa dirasakan oleh rakyat atau tidak? Ternyata tidak. Karena kompensasi itu tidak cocok dengan penilaian rakyat, seperti yang saya katakan tentang tanah tadi. Rakyat ini dikurangi kebebasannya. Ada orang tidak boleh berpidato, ini kan mengurangi kebebasan untuk menyampaikan informasi. Kompensasinya tidak wajar, atau kurang. Yaitu kurangnya informasi yang tepat dan benar, yang diselenggarakan oleh pemrintah. Dengan kata lain, kalau kita mengambil tolok ukur keadaan demokrasi kita saat ini, kita katakan belum sepenuhnya demokratis. Atau mungkin masih baru dalam tahap awal dari proses kehidupan yang demokratis. Karena prinsip kebebasannya itu dikebiri, dikurangi dengan begitu banyak peraturan, yang peraturan itu melanggar prinsip atau acuan terusan/terapan dari nilai dasar keadilan, kompensasi atau berbalasan. Jadi dengan kata lain, keadilan tidak dipenuhi. Ada dalam suatu bentuk keadilan itu sikap kompensatoris dari pemerintah, namun tidak tercapai.

Kita sudah bisa melihat kondisi kita mengenai masalah demokrasi, yang cukup rawan. Artinya demokrasi belum bisa dikatakan berjalan secara baik, secara kontinyu atau memiliki momentum untuk gerak sendiri, demokrasi masih tersendat-sendat. Walaupun dalam kenyataan sehari-hari, itu wilayah yang cukup tersentuh oleh kebebasan, keadilan dan syura.

Warga negara mau membangun sekolahan silahkan, tidak ada yang melarang, mau membuat toko silahkan. Itu kan sudah kebebasan. Kebebasan berusaha, kebebasan menyelenggarakan pendidikan. Kemudian prosesnya dijamin melalui undang-undang, diatur melalui perundang-undangan. Kalau sekolah dinamakan Yayasan, kalau toko dinamakan PT. Itu ada perlindungan-perlindungan untuk menjaga keadilan, dan prosesnya melalui syura. Orang membuat toko harus ada ijin berdirinya dari pemerintah, yang diangkat oleh DPRD umpamanya. Pada level lokal, sebetulnya sudah ada demokrasi, tapi sifatnya tidak kompensatoris. Atau ketika dia dilaksanakan, ada kompensasi yang tidak mencapai ukuran yang dianggap adil oleh masyarakat. Kompensasi itu, bukannya menyangkut masalah uang. Umpamanya saja orang tidak boleh mengkritik presiden. Jika salah kritik, maka hukumannya begitu keras. Ini kan tidak mencapai keadilan atau ukuran keadilan lainnya, tidak kompensatoris. Artinya hukuman atau sanksi yang diberikan tidak sesuai dengan kesalahan yang dilakukan.

Jadi kita melihat bahwa proses demokratisasi di negara kita masih dalam taraf seperti itu. Hanya muter saja, tidak keluar-keluar, sampai nanti ketemu suatu terobosan, baru demokratisasi kita mencapai taraf lebih tinggi. Usaha untuk mengadakan terobosan-terobosan ini memerlukan dukungan masyarakat, agar dianut banyak orang Dengan demikian, nanti bisa ditawarkan sebagai desakan yang kuat dari masyarakat, dan dengan demikian bisa tawar menawar dan kalau perlu ya ditegakkan dengan keadaan disiplin kekuasaannya. Upaya mendirikan, menegakkan demokrasi dalam konteks proses yang secara kompensatoris itu adalah kebebasan yang diberikan itu memang benar ada dan prinsip syura berlaku dengan baik, pendapat orang kecil juga didengar, maka upaya kearah itu, terobosan menghasilkan tercapainya masyarakat yang demikian ini adalah proses demokratiosasi. Dengan kata lain proses demokratisasi itu merupakan satu-satunya jalan untuk mencapai demokrasi. Proses demokratisasi adalah proses pertama-tama memperkenalkan nilai-nilai dasar dari demokrasi, yang menurut Ali Abdurraziq menyangkut: kebebasan, keadilan, persamaan dan syura. Bisa juga kebebasan apa saja, yang nilai dasarnya itu. Kemudian juga nilai-nilai yang terusan, seperti apa yang saya katakan tadi.

Sosialisasi Nilai-Nilai Demokrasi

Kalau kita ingin mengembangkan demokrasi, kita harus mensosialisasikan nilai-nilainya. Nilai-nilai demokrasi itu yang lebih dulu harus disosialisasikan, ditunjukkan pentingnya kepada rakyat. Sekarang masalahnya bagaimana caranya mensosialisasikan nilai-nilai demokrasi tsb.

Ada beberapa cara, pertama, diupayakan untuk menerapkan kepada rakyat, kepada masyarakat umum tentang pentingnya nilai-nilai dasar demokrasi untuk kepentingan mereka. Ini merupakan pendekatan normatif, langsung tunjukkan ini-ini-ini. Orang Islam itu kan begitu. Islam itu dakwahnya billisanil maqal, tauhid langsung laa ilahaillallah Muhammadurrasulullah. Kedua pendekatan empirik, pendekatan yang sifatnya membangun kesadaran tentang nilai-nilai demokrasi dari praktek pengalaman. Rakyat diajak untuk mengorganisasikan diri, diajak untuk membiasakan diri melakukan kerja-kerja kolektif, kerja jama’i dengan memberlakukan nilai-nilai demokrasi di dalamnya. Umpamanya LSM melakukan Usaha Bersama (UB), ini lembaga pra-koperasi. Itu sudah proses demokratisasi. Karena didalamnya itu ada komponen yang paling penting, rakyat memahami dan melaksanakan sejumlah nilai atau melaksanakan dulu baru memahami, sama saja, yang pokok terwujud nilai-nilai demokrasi bersama nilai-nilai terusan.

Ini dua pendekatan yang dipraktekkan, learning by doing, belajar sambil melaksanakan. Di pihak lain, yang sifatnya normatif tadi, ada juga sifatnya yang pembudayaan. Pembudayaan itu adalah suatu proses dimana orang itu melakukan kerja sebetulnya, yaitu pemaparan dan ajakan-ajakan, tapi dia tidak mengatakan saudara harus adil, saudara harus musyawarah. Dia mengajak, menunjukkan contoh, tidak dibuat normatif, tapi dibuat berdasarkan contoh-contoh. Bisa audiovisual, bisa juga audio (mulut) saja. Jadi pendekatannya pengenalan. Orang diajak untuk mengenal nilai-nilai demokrasi, dengan tidak usah menyebut itu nilai demokrasi dan tidak usah membangun proyek dari bawah. Tunjukkan saja bahwa ini penting untuk rakyat.

Jadi umpamanya di Kedungombo. Di Kedungombo itu terjadi proses yang ketiga, yaitu pengenalan. Di Kalicode, Romo Mangun juga melakukan hal yang sama, begitu juga dengan Usaha Bersama (UB) yang saya contohkan tadi. Pengurus NU yang berpegang teguh pada aturan main, kalau milih cabang, maka yang memilih adalah ranting dan MWC, lalu wilayahnya tidak usah ikut-ikutan menentukan yang jadi pemimpin. Wilayah tidak usah melepaskan proses pemilihan, ditunggu saja, dan tidak usah mempengaruhi. Dia ini tidak pidato tentang demokrasi, tapi dia membiarkan demokrasi dilaksanakan.

Demokrasi di NU

Menurut saya NU ini organisasi yang demokratis, saking demokratisnya, sehingga tidak jelas sosoknya. Artinya maunya kita itu secara kolektif apa sih? Hasil Muktamar, Munas tidak dilaksanakan, tidak ada yang menanyakan, apalagi protes. Ini kan tidak jelas sosok demokrasinya. Jadi kita melihat bahwa di sini ada suatu proses perkembangan demokrasi di NU, yang punya satu ciri yang baik, yaitu cirinya orang tidak dipaksa. Adakalanya diajari tentang hal-hal yang sebetulnya demokratis. Hormatilah orang tua, sayangilah yang muda dst. Itu sebetulnya nilai terusan yang sifatnya demokratis. Sebab orang-orang yang menghormati yang tua dan menyayangi yang muda, tentu menolak penguasaan yang tua terhadap yang muda. Dan menolak anarki pemberontakan yang muda pada yang tua, dan mencari titik temu. Ini kan demokrasi.

Ada yang memberi contoh sendiri. Dalam setiap musyawarah, umumnya Rais Syuriah melakukan musyawarah. Perkara nanti dia metenteng karepe dewe (sesukanya, eds) itu kan soal lain. Tapi prinsip musyawarah dipakai, termasuk di dalam prinsip musyawarah adalah dalam pemilihan pengurus. Pimpinan NU benar-benar dipilih, terlepas dari semua hal, tapi dia dipilih dan secara teoritik bisa diganti. Artinya bisa diajukan keberatan terhadap orang yang sudah dipilih, guna memungkinkan munculnya alternatif terhadap yang dipilih itu. Jadi kalau demikian, NU sebetulnya sudah demokratis dari satu sudut, dari sudut lain masih banyak yang harus dibenahi, atau dengan kata lain NU belum sepenuhnya demokratis. Contohnya pandangan itu selalu dikemukakan sesisi, artinya pak Yai itu kan tidak boleh metenteng. Ini kan tidak demokratis.

Ini ada cerita; Kiai Mashuri, bapaknya Aziz Mashuri, itu bacaannya tidak begitu jelas, tapi sebetulnya nggloyor juga tidak. Oleh karena itu para rakyat dan ulama semua juga mau diimami dia. Suatu ketika ada seorang kiai yang menjadi makmum mengatakan, ini groyok, tidak boleh jadi imam, sehingga akhirnya terus terjadi konfrontasi. Dalam arti, karena semua tidak mau ikut, maka si makmum (kiai) tadi tidak mau ikut shalat Jum’at. Ini kan tidak demokratis, karena dia pakai ukurannya sendiri. Sebetulnya tidak boleh begitu, dia harus ikut shalat Jum’at, perkara sah dan tidak sah, serahkan kepada Allah. Jadi urutannya seperti itu. Sah atau tidak sah tidak dapat ditetapkan sekarang. Lain kalau sudah qot’i, seperti daging babi, itu sudah lain. Itu kita tidak bisa ikut orang, kalau memang ini babi, kita tidak usah makan, kalau semua makan, kita tidak.

Jadi ada hal-hal yang memang masih bisa dinegosiasikan. Untuk itu kalau kita memang demokratis harus bersabar menunggu dan mengikuti, perkara itu dalam anggapan kita sah dan tidak sah, itu soal lain. Praktek-praktek yang tidak demokratis seperti ini sering terjadi. Kemudian sikap apriori yang lain, cukup banyak di NU, yang menunjukkan tidak demokratis. Apalagi karena apriorinya, lalu orang terus enggan, kan ada Rais Syuriah dan Ketua Tanfidziah,

yang begitu juga ada. Itu kan tidak demokratis. Jadi wajah NU sendiri pada umumnya demokratis, tetapi dia belum sepenuhnya demokratis. Apalagi kalau ditarik, NU belum memperjuangkan rakyat kecil dalam persoalan kompensasi atas tanah, soal penggusuran dan belum lagi yang lain-lain. Maka menurut saya NU ini cukup demokratis, akan tetapi secara keseluruhan dia tidak berjuang untuk demokrasi secara langsung. Yang ada día hanya membiasakan diri untuk melaksanakan demokrasi secara intern di lingkungannya sendiri.

Saya rasa ini yang penting untuk diperhatikan, karena bagaimanapun juga tuntutan demokrasi di manapun tetap berjalan. Kalau NU masih tetap seperti sekarang, tidak punya agenda bagaimana tentang demokrasi, saya khawatir dibelakang hari NU yang justru akan tertinggal oleh perkembangan. Jadi kita belum bicara mengenai masalah dasar, batas nilai demokratis yang bertentangan dengan nilai agama, dengan aqidah ada juga. Nilai terusan itu misalnya saja, menurut undang-undang negara, semua warga negara ini sama, laki-laki atau perempuan, sedangkan aqidah kita itu begitu. Artinya dengan kata lain, NU tidak harus membenahi aqidahnya, dan itu harus ada kejelasan. Suatu misal sikap terhadap non muslim, sikap terhadap wanita, dan sikap terhadap kelompok politik tertentu. Ini harus menjadi rangsangan bagi kita untuk memikirkan lebih jauh tentang masalah itu.***