Syukur Tidak Bisa Memanjat Sendiri

Sumbar Foto: https://nxejt.crystalchiseler.top/eyes-robot/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Ada banyolan dalam bentuk tanya-jawab. Pertanyaannya: Mengapakah kita selalu memanjatkan syukur kepada Allah? Jawabannya: Karena syukur tidak bisa memanjat sendiri. Banyolan gila, tetapi setidak-tidaknya menyentuh salah satu sisi kehidupan beragama kita.

Kita selalu melahirkan rasa syukur. Ada rasa syukur terhadap sesama manusia, untuk hal-hal tertentu yang kita peroleh dari orang lain itu. Ada rasa syukur kepada Allah, Zat pemberi kehidupan bagi kita. Melahirkan rasa syukur adalah perbuatan mulia, karena hal itu merupakan apresiasi akan situasi kita sendiri.

Manusia diberi kekuatan dan kelemahan, kelebihan dan kekurangan. Kita bersyukur dengan adanya kekuatan dan kelebihan tersebut, karena dengan keduanya itu manusia mampu mengemban amanat kesejahteraan kehidupan alam seisinya. Namun, kita juga bersyukur atas kekurangan dan kelemahan itu, karena dengan demikian kita mengetahui batas kemampuan manusia. Mungkinkah makhluk yang tidak mengenal kekurangan dan kelemahan dirinya melaksanakan tugas menyejahterakan alam seisinya?

Namun, kekurangan dan kelemahan dirinya juga yang membuat manusia seringkali tidak mampu melihat konteks melahirkan rasa syukur itu secara menyeluruh. Kita seringkali melahirkan rasa syukur dengan kerendahan hati yang berlingkup terbatas. Bahkan sering sangat terbatas. Syukur karena memperoleh rezeki yang tak terduga sebelumnya. Syukur atas keberhasilan meraih suatu sasaran. Syukur atas penghargaan yang diterima dari orang lain. Dan demikian seterusnya.

Kita bisa meningkat satu anak tangga, termasuk sedikit orang yang senantiasa bersyukur atas kehidupan itu sendiri. Tidak perlu ada yang istimewa kita capai. Atau anugerah dan karunia yang tak terduga sebelumnya. Bahwa kita masih bisa menjadi manusia baik di tengah deru kehidupan yang serba gegap gempita. Sudah patut kita syukuri. Bahwa kita masih waras di tengah zaman edan, lebih- lebih patut disyukuri. Berarti kita memiliki kekuatan untuk mengubah keadaan dalam jangka panjang.

Akan tetapi berapakah di antara kita yang mampu bersyukur karena telah membuat orang lain bersyukur? Bersyukur dengan uluran tangan kita. Bersyukur atas penghargaan kita kepada martabatnya yang hakiki selaku manusia, tidak pandang bulu perbedaan etnis, bahasa, agama budaya, status maupun golongan antara kita dan dirinya?

Rasa syukur yang terakhir ini sulit dicapai karena ia bersumber dari kecintaan mutlak kepada sesama manusia. Sedangkan yang mencintai sesama manusia secara mutlaklah yang benar-benar mencintai Allah.

Alangkah besar kandungan firman Allah: Kalau kalian bersyukur (kepadaku), niscaya. Kutambah (pemberian nikmatKu); tetapi Kalau Kalian ingkari (kenikmatan itu), niscaya Azabku sangat pedih (la-in sakartum la azidannakum wa la-in kafartuminna adzabi lasyadid).