Tantangan Dalam Pelaksanaan
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Menurut pemikiran yang terjadi saat ini, seperti yang sudah diramalkan orang terlebih dahulu, akibat dari “hancurnya” pelaksanaan masyarakat komunistik, maka terjadi penolakan sangat besar terhadap ideologi tersebut. Jarang orang mau melihatnya lebih jauh seperti yang dilakukan oleh Milovan Djilas dalam bukunya “the new class”. Dalam tulisannya ia meramalkan, komunisme akan hancur karena ia mengabdi kepada kepentingan kelas pelaksana/aparatchik, yang merupakan birokratisasi sebuah partai komunis. Karena pendapatnya itu Djilas dikucilkan dari partai komunis manapun dan diisolasi oleh mendiang Josef Broz Tito, dari Partai Komunis Yugoslavia. Tetapi setiap orang yang jujur, termasuk tokoh Partai Komunis Cekoslovakia, Alexander Dubcek . Karena ia berani menentang birokrasi partai komunis Uni Soviet, akhirnya ia pun dibuang dari jabatan PM Cekoslovakia, dan kembali menjadi pengawas hutan di negeri itu, hingga matinya kira-kira seperempat abad yang lalu.
Pengamatan Djilas ini sebenarnya juga sudah didahului oleh sebuah pengamatan. Lain dari Antonio Gramsci, seorang teoritikus komunis Italia yang meninggal dunia tahun 1927. Ia mengajukan kritik pedas kepada gerakan komunis waktu itu, yang kehilangan spiritualitas dan wajah kemanusiaan. Inilah yang akan mengakibatkan runtuhnya komunisme. Dalam pendapatnya kepada seorang tokoh partai komunis di Italia, Enrico Berlinguer, pada akhir tahun 60-an, ia seringkali menyebutkan, bahwa “paham komunisme yang tidak berwajah kemanusiaan”. Karena itu, ia menyerukan agar paham itu mengembalikan wajah kemanusiaan kepada dirinya, dalam bentuk kerohanian yang kreatif .
Sekarang komunisme, sebagai ideologi harus mengembangkan wajah seperti itu kalau ingin laku di mata para pemilih, dan memperoleh dukungan suara yang besar dalam pemilu yang diselenggarakan tahun-tahun terakhir ini. Di negara-negara seperti Hongaria, pencarian wajah manusiawi itu berbentuk keharusan mengajukan gagasan dan langkah yang benar, bagi kepentingan rakyat kebanyakan. Dikombinasikan dengan keasikan partai-partai yang berideologi/ pandangan politik lain yang berbeda, yang juga disertai sikap mementingkan diri sendiri, maka kepercayaan orang banyak kembali diraih partai komunis di negeri itu. Sudah tentu kenyataan itu meresahkan orang banyak, dan membuat partai komunis tanpa ideologi lama berkuasa kembali, dan dengan sikap mereka yang “demokratis”, masih sejalan dengan sikap “untuk kritis”.
****
Apa yang disebutkan diatas itu, ternyata tidak hanya “dimonopoli” oleh kaum komunis belaka, karena banyak kelompok nasionalis maupun gerakan-gerakan Islam yang juga mengidap penyakit yang sama: mengukur orang lain dengan apa yang diperbuat sendiri, dan tidak memperhatikan kepentingan rakyat banyak. Contoh dari sikap ini di kalangan kaum nasionalis adalah pandangan sempit yang mencurigai sikap negara-negara lain terhadap Indonesia, seperti penolakan pemerintah kita terhadap sikap Australia yang mengajak kedua negara untuk melupakan masa lampau dan berkonsentrasi pada kerjasama dengan Indonesia bagi kepentingan masa depan . Sikap tidak mempercayai posisi Australia ini, jika tidak melihat dengan “kacamata obyektif” berarti meninjau masalah tersebut dengan kacamata kearifan.
Sudah tentu kejujuran merupakan syarat penting bagi penerimaan semua aspirasi politik oleh rakyat. Tanpa kejujuran itu, maka sistem yang akan dihasilkan dalam kenyataan dapat berisi KKN, karena tidak adanya pengawasan dan kedaulatan hukum. Ini berarti juga tidak akan terjadi demokratisasi, karena hal itu bergantung kepada adanya kedaulatan hukum relatif penuh dan persamaan perlakuan bagi para warga negara di hadapan undang-undang. Karenanya, diperlukan kedaulatan hukum itu, karena ketiadaan demokrasi akan membuat sistem politik yang timpang, padahal justru ketimpangan itulah yang tidak diingini dalam sebuah negara modern.
Islam juga menolak ketimpangan tersebut, sehingga ia sebenarnya berpotensi menegakkan demokrasi. Banyak sekali aspek-aspek kehidupan yang mendorong Islam untuk menumbuhkan demokrasi dalam kehidupan sebuah bangsa dan negara . Ketundukan kepada hukum, keadilan (berarti penolakan ketimpangan) dan persamaan hak para warga negara, adalah sekelumit potensi yang dimiliki Islam untuk demokrasi. Tanpa demokrasi, Islam hanya akan berarti penguasaan sebuah kelompok atas masyarakat kebanyakan, dan dengan demikian kemakmuran dan keadilan tidak akan tercapai. Itulah sebabnya, mengapa selama ini tidak dapat ditegakkan sebuah masyarakat yang mementingkan kesejahteraan rakyat dalam sebuah tatanan sosial oleh Islam.
****
Jelas bahwa uraian diatas bahwa aspek pelaksanaan menjadi sesuatu yang sangat menentukan bagi semua jenis pemerintahan. Kenyataan ini memang disadari oleh sebagian kecil para aktivis gerakan-gerakan yang mewakili mereka tetapi ternyata mayoritas berpendapat lain. Kenyataan sejarah inilah yang membuat sulitnya demokrasi terwujud di mana-mana. Tidak ada jalan lain bagi negara-negara seperti itu, demokrasi ditegakkan secara berangsur-angsur. Contoh yang paling menarik adalah, Republik Rakyat Tiongkok. Para pemimpin Tiongkok, sejak beratus-ratus tahun belakangan ini, memiliki obsesi penolakan terhadap terurainya kesatuan negara tersebut. Karenanya, ketika para mahasiswa mengemukakan gagasan negara federal belasan tahun yang lalu, para pemimpin Tiongkok menjadi takut kepada gagasan tersebut. Maka dimunculkanlah beberapa Tank di lapangan Tiannamen untuk berhadapan dengan para mahasiswa itu, yang fotonya tersebar sangat luas di selururh dunia.
Nah oleh “Media Barat”, digambarkan sebagai sikap menentang demokrasi dari para pemimpin Tiongkok. Memang itu adalah tindakan tidak demokratis, tetapi tidak benar adanya anggapan bahwa mereka menentang demokrasi. Yang benar dalam anggapan penulis, mereka melaksanakan proses demokratisasi, secara bertahap. Sudah tentu harus ada akomodasi terhadap sikap-sikap tidak demokratis dalam bernegara. Tetapi yang terpenting, demokrasi itu masih tetap menjadi tujuan bagi sesuatu negara. Secara berangsur-angsur kebebasan demi kebebasan diberikan kepada rakyat, dalam sebuah proses berjangka sangat panjang. Kalau demokratisasi penuh tercapai setelah ratusan tahun lamanya di “negeri-negeri barat”, maka hal seperti itu juga berlaku masyarakat-masyarakat dan negara-negara lain.
Jelaslah bagi kita semua, menegakkan demokrasi bukanlah kerja yang mudah, memerlukan ketaatan asas/ konsistensi dalam pelaksanaannya. Sesuatu yang dirumuskan dalam prinsip, dapat saja berjalan dalam jangka panjang, dan harus dicapai secara bertahap. Ini adalah kenyataan sejarah umat manusia, karenanya kita harus mengingat kenyataan ini, kalau kita dapat melihatnya sebagai sebuah proses yang memakan waktu sangat lama. Karena itu, dalam menilai sebuah gagasan, mau tidak mau kita harus memperhatikan pelaksanaan gagasan itu sendiri dalam pelaksanaannya. Sikap tidak memperhatikan hal ini, hanya akan menghasilkan “pandangan verbal“ saja, yang tidak menyentuh kenyataan yang ada. Sederhana, namun sulit dilaksanakan, bukan?