Tantangan Rachmat Subagya
Resensi Buku: AGAMA ASLI INDONESIA, Rachmat Subagya, Penerbit Sinar Harapan dan Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta, 1981, cetak ulang, xvi + 305 halaman, kepustakaan, tanpa indeks.
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
‘Kepercayaan’ diletakkan dalam kedudukan konfrontatif dengan agama-agama yang sudah mapan. Tidak dilihat kompleksitas hubungan dan percampuran. Buku Pater Bakker, sekaligus menyajikan kelengkapan informasi ethnografis. Lebih berupa hasil renungan.
BUKU ini karya tulis besar terakhir dari Pastor J.M.W. Bakker SJ. yang meng-‘asli’-kan namanya menjadi Rachmat Subagya, sebelum meninggal tahun 1978. Tetapi ia karya pengantar — ke arah pengenalan mendalam atas aliran aliran kepercayaan di Indonesia.
Sebenarnya, buku ini lebih merupakan kumpulan hasil pendalaman hal-hal yang dikaji penulisnya selama puluhan tahun. Dalam pengertian tersebutlah seharusnya dipahami penggunaan istilah ‘penelitian (bab Pendahuluan, hal. 8) yang digunakan penulis. Pada dirinya karya tulis ini baru berupa upaya permulaan untuk mengumpulkan, dalam sebuah karya tunggal, impresi yang diperoleh tentang “obyek penelitian”nya yang sangat luas ini.
Kesan impresionistik itu tampak nyata dalam keseluruhan buku. Dimulai dari struktur buku, yang bertolak dari konstatasi wajah utama dialog antara agama-agama dunia yang sampai kekawasan Nusantara dan aliran aliran kepercayaan yang telah berkembang sebelum itu. Dalam membuat konstatasi tersebut, dijelaskan mengapa berbagai aliran kepercayaan itu dimasukkannya kedalam kategori agama asli Indonesia.
Seperti dikatakannya sendiri, yang dimaksudkan dengan agama asli adalah “kerohanian khas dari satuan bangsa atau dari suku-bangsa, sejauh itu berasal dan diperkembangkan di tengah-tengah bangsa itu sendiri dan tidak dipengaruhi oleh kerohanian bangsa lain atau menirunya” (hal. 1). Dus sebuah penerapan anthropologis semata-mata atas fenomena, yang langsung didefinisikan sebagai agama. Padahal belum tentu perumusan seperti itu diterima oleh establishment agama-agama yang kini telah mapan di Indonesia.
Kesan impresionistik dari ‘kasus pemberian definisi’ di atas terletak pada cara sambil lalu yang digunakan penulis untuk menubuhkan ‘obyek penelitian’-nya: masalah sentral berupa perbedaan definisi agama justru tidak diberi tempat, tidak dibicarakan mendalam, Langsung saja dihadapkan “agama asli” itu kepada agama-agama dunia yang sampai kemari itu pun secara keseluruhan Jalan penggambaran konfrontatif. Benarkah kenyataannya konfrontatif seperti itu?
Kajian mendalam atas pola hubungan antara paham asli Jawa dan agarna. Islam, yang baru dilakukan atas satu dua aspeknya saja, ternyata belum menunjukkan kesimpulan konklusif seperti diperoleh Rachmat Subagya. Kajian Hisako Nakamura tentang pelaksanaan nikah, talak dan rujuk di lingkungan masyarakat Yogya, umpamanya, justru mengungkapkan apa yang semula dianggap sebagai ‘manifestasi Kejawaan ternyata adalah penampilan lain dari Hukum Islam’. Jadi ada proses saling memberi dan mengambil: bentuk luarnya Jawa, substansinya Islam. Sebuah proses tunjang-menunjang yang terjadi, bukan hubungan konfrontatif.
Jumat Kliwon
Hal-hal seperti itu wajar kalau tak begitu dimengerti Rachmat Subagya, karena ia harus bergulat dengan sikap defensif agamanya sendiri, Katolik. Sebuah bab tersendiri dijadikan sarana expose pendapat formal agama Katolik tentang upaya agama-agama lain untuk mencari kebenaran. Yaitu berupa cuplikan ensiklik Paus Paulus VI, yang masih juga memuat baris: “Agama kami meletakkan hubungan aktif dan autentik dengan Tuhan, di mana agama-agama lain tidak berhasil mencapainya, sekalipun mereka merentangkan tangan ke surga” (hal. 45).
Bahwa kaum muslimin dapat berdamai dengan unsur-unsur kepercayaan asli setempat, sambil tetap “mampu mempertahankan ke-Arab-annya” (hal. 19) tanpa mengalami ketegangan intern yang besar, tentu sulit dimengerti orang seperti Rachmat Subagya. Ia bahkan menganggap akan muncul atheisme baru sebagai produk akhirnya.
Orang santri seluruh Indonesia dengan mudah melakukan upacara perkawinan yang sarat dengan simbol kepercayaan asli. Sama mudahnya dengan santri Jawa menggunakan sistem kalender campuran Arab-Jawa, atau memberikan arti magis kepada ‘malam Jumat Kliwon’. Sedang integrasi unsur-unsur kepercayaan asli ke dalam peribadatan Katolik, masih harus dipersoalkan untuk diputuskan secara formal oleh gereja!
Ini tidak berarti semuanya berjalan licin, dalam hubungan antara agama Islam dan sistem kepercayaan asli di Indonesia. Melainkan membuktikan fatalnya penggunaan sebuah metode saja. untuk memahami kompleksitas hubungan antara “agama asli” dan agama-agama dunia yang sampai kemari, yang satu sama lain juga berbeda, seperti dipaparkan juga oleh penulis (hal. 26-27, juga 45-65).
Agama-Agama Asli
Sebuah kelemahan dasar dari karya ini adalah ketergantungannya pada karya-karya tulis pemikir kontemporer (seperti Hamka dan Rasjidi dari kalangan Islam). Gaya polemik mereka mengalihkan pandangan Rachmat Subagya dari keharusan melakukan penelitian lapangan atas sikap agama-agama dunia di sini. Padahal mayoritas pendapat kaum muslimin, umpamanya, justru terungkap hanya dari penelitian lapangan!
Ironisnya, Rachmat Subagya sendiri justru mem’proklamir’kan karyanya sebagai upaya mengisi lowongan pengetahuan di bidang (penelitian lapangan) ini’ (bab penutup, hal. 279). Penelitian lapangan dilakukannya hanya atas “agama-agama asli” saja, bukan atas agama-agama dunia yang datang ke mari.
Namun, walau secara keseluruhan karya ini masih berbau ’kumpulan tulisan-tulisan terpisah’, sangat menarik untuk dibaca. Dua hal membuatnya demikian: lengkapnya informasi ethnografis yang disajikan tentang “agama-agama asli di Indonesia”, dan tantangannya terhadap agama-agama dunia yang sudah mapan di sini agar merumuskan hubungan yang lebih matang, dewasa dan tidak sinkretik dengan “agama-agama” asli itu (hal. 243-50).
Meniru jejak Rachmat Subagya sebagai pemerhati tekun atas kepercayaan asli di negeri ini (terserah, akan dianggap agama atau bukan) sudah sangat sulit dilakukan. Apalagi menjawab tantangannya.