Tentang Kata

Sumber Foto: https://mediajabodetabek.pikiran-rakyat.com/gaya-hidup/pr-1463627389/kata-kata-bijak-bahasa-melayu-sangat-menyayat-hati-cocok-untuk-dijadikan-caption-di-sosial-media?page=all

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Permulaan segala sesuatu adalah kata (logos). Dalam al quran Allah menjawab protes para malaikat atas penciptaan manusia yang bakal merusak bumi dengan mengajarkan kata kepada Adam; menamai benda satu per satu.¹ Kata-kata selalu lebih dulu dijelaskan secara serius. Kalau Anda membaca buku-buku, mula-mula sekian bagus isinya menjelaskan maksud dari kata-kata. Kacau balau bangsa kita sekarang inipun karena tidak bisa mewujudkan kata “kesejahteraan”, atau bahkan keliru memahaminya. Dalam UUD kita, kesejahteraan dirumuskan sebagai masyarakat adil dan makmur dalam keadilan. Jika salah satu kata saja tidak kita wujudkan, kita belum melaksanakan UUD.

1. Belajar Kata

Karena itu kewajiban kita belajar ilmu gramatika tidak bisa dianggap sepele, setiap kata harus dimengerti. Namun belajar nahwu (gramatika Arab), misalnya, juga tidak sederhana. Tidak sekadar belajar tentang pengertian-pengertian mana yang menjadi fa’il (subjek), mana yang jadi maf’ul (objek), mana yang menjadi fi’il (kata kerja), fi’il madhi (kata kerja lampau), fi’il mudhari’ (kata kerja sekarang), dan fi’il amr (kata kerja perintah). Dalam pembahasan fi’il amr nanti ada yang njelimet seperti kata “fa unfudzu” (maka lintasilah dunia itu) menjadi “la tanfudzuna” (kamu tidak akan bisa melintasinya). Fi’il Amr jatuhnya setelah la nahi (untuk larangan) dan setelah la naïf (untuk menegaskan pernyataan), masing-masing juga ada tempatnya sendiri-sendiri.2

Ada juga mengenai perbedaan cara baca. Dalam bahasa Arab ada beberapa perbedaan cara membaca. Ada Bani Tamim, Kuffah, dan Basrah. Semuanya mempunyai cara baca yang berbeda satu sama lain. Dulu, Madzhab Nahwu yang besar berada di Basrah dan Kuffah, padahal jarak dua tempat ini hanya sekitar 400 km. Kemudian Madzhab Nahwu pindah ke Mesir pada zaman Ibnu Hisyam pengarang kitab “Qatr al-Nada“. Ini menunjukkan bahwa dinamika yang ada waktu itu adalah dinamika antar suku dan kota, Basrah dan Kuffah, masih membicarakan Imam Farra’ Ibnu Hisyam berdasarkan pada kitab Imam Sibawaih dari Persi.

Sekarang semua itu sudah tidak berarti, orang Arab sudah menyatu sehingga dibaca seperti apapun tetap saja orang Arab. Apalagi dengan adanya perkembangan sejarah negara bangsa. Dr. Toha Husein,3 berpendapat bahwa kalau Bangsa Arab ingin maju, harus mengalami perubahan bahasa sosial yang didahului oleh perubahan bahasa. Artinya, perubahan bahasa atau perkembangan bahasa menjadi wahana perjuangan sosial. Beliau melihat bahwa sajak-sajak sebelum Islam (al-adab al-jahily) sudah menjadi pun- cak bahasa dan sastra Arab. Ada “al-mu’allaqah al-sab’ah“, sajak tujuh yang digantung di Ka’bah, karena setiap tahun orang-orang Arab mempunyai kebiasaan berlomba membuat sajak kemudian yang terbaik ditulis di atas kulit kambing dan digantungkan di Ka’bah. Selama 7 tahun berturut-turut sebelum Islam datang, ini ditradisikan. Kemudian sebagian Ulama memasukkan 3 sajak lagi, menjadi 10 sehingga disebut “al-mu’allaqah al-asyrah“.4

Yang tidak kalah pentingnya dalam pembahasan kata adalah kata yang digunakan harus wadla’ (mempunyai arti yang bisa dipahami). Wadla’ adalah kondisi atau persyaratan bagi adanya sebuah kata, secara teoretis. Artinya, setiap kata (lafadl) mempunyai pengertian sendiri-sendiri, ini yang harus kita ketahui. Lafadl adalah huruf yang dicetak kemudian mempunyai makna. Kitab itu juga mempunyai pengertian sendiri yaitu hanya sekadar buku berbahasa Arab yang dicetak dipakai orang yang memperdalam agama.

Kalau wadla’ ini tidak dipahami maka akan disalahpahami. Inilah yang dinamakan “muqtadl al-hal wa al-maqam“. Bahwa kata yang digunakan itu harus cocok dengan keadaan: bisa dimengerti atau tidak. Karena itu ada hadits mengatakan “Kallimu al-nasa bi qodri uqulihi” (Berbicaralah dengan orang lain sesuai pemahaman mereka).

Ada undang-undang yang membahas Home State Act di Amerika Serikat. Kata rakyat lain lagi, misalnya tanah adalah milik rakyat. Yang dimaksud dengan kata rakyat di sini adalah orang pendatang yang mengusahakan atau mengerjakan tanah, landerling people atau land person, orang yang mengusahakan sebidang tanah untuk usaha. Rakyat dalam pengertian ini jauh dengan pengertian-pengertian lain. Kalau Anda baca Home State Act 1860 di Amerika, tanah di Amerika sebelah barat begitu luas dan orangnya masih sedikit, siapa yang mau menggarap dipagari sendiri kemudian didaftarkan dan digarap oleh seseorang.

Ada guyonannya, ini nanti kaitannya dengan syarat penggunaan kata. Ada seorang petani Amerika didatangi petani Jepang yang tanahnya sempit. Kata orang Amerika: “Kamu tahu di sebelah sana, tanah saya sebelah barat ke timur luas sekali. Jadi kalau kamu berangkat pagi naik traktor dari barat sampai ke timur sana sampainya sore, saking luasnya.” Rupanya orang Jepangnya salah tangkap, menjawab: “Oh ya traktor kita juga kalau mogok mau parkir di situ.” Maksudnya lebar tapi dipahami lain oleh orang Jepang.

Kata juga menentukan jenis pekerjaan, tetapi juga jangan dibikin pusing oleh kata. Empat orang ribut mempertahankan keutamaan profesi masing-masing. Ahli agronomi merasa unggul karena awal mula hidup adalah mencari dan mengumpulkan makanan. Sementara arsitektur merasa lebih dulu karena menyiapkan tempat makanan butuh waktu dan teknik, arsitek lebih tahu itu. Ahli hukum beranggapan bahwa tempat dan ruangan sama dengan hak dan kewajiban adalah urusan hukum. Politikus berkata siapa yang bisa bikin semua itu kalau tidak politikus?

Bahwa semuanya, baik ahli nahwu, fiqh (hukum) dan lain-lain, mempunyai perannya masing-masing, bertujuan untuk mencari keridlaan Allah. Maka tidak benar menganggap diri sebagai ahli yang paling dibutuhkan. Al quran juga menyindir: “Kullu hisbin bima ladaihi farihun”.5 Dengan demikian, tidak ada lagi pakar ahli di bidang tertentu yang lebih unggul dari yang lain.

Ada satu lelucon, seorang ulama mengucapkan bismillahurrahmanurrahim (dengan harakat dlommah) saat naik perahu menyusuri sungai. Pengemudi perahu menyalahkannya, tetapi ulama tadi malah mengatakan: “Lho ini pentingnya nahwu, kalau nggak ngerti nahwu bisa kesasar.” Perahu terus melaju. Di tengah-tengah perjalanan perahu bocor. Pengemudi perahu berkata: “Syeh pernah belajar berenang? Sebentar lagi perahu tenggelam.” Syeh menjawab: “Belum.” Pengemudi perahu berkata lagi: “Berenang itu kadang-kadang penting, kalau saya tidak bisa nahwu kan hanya kesasar saja, tetapi Anda bisa mati karena tidak bisa berenang.”

Cerita ini diambil dari pelajaran bahwa ternyata pengetahuan tentang ilmu gramatika itu penting tetapi tidak sepenting jiwa manusia. Tidak ada yang bisa mengatakan dirinya ulama. Kalau ditanyakan, siapa yang harus dicontoh? Jawabnya ada dalam “uswatun hasanah” bukan “uswatun kamilah” yaitu orang yang mengharap ridha dan surga (kebahagiaan di akhirat) Allah dan berdzikir kepada-Nya. “Laqod kana lakum fi Rasul Allah uswatun hasanah. Liman kana yarju Allah wa al-yawma al-akhira wa dzakara Allah katsira.6 (Sesungguhnya yang telah ada pada diri Rasul Allah itu suri teladan yang baik bagi kalian yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah)”.” Dzikir dalam kaitan ini, bisa berupa lafdhi (ucapan) maupun fi’il, yaitu kehidupan yang berisikan kesadaran untuk beribadah kepada Allah dalam berbagai bentuknya.

2. Salah Paham

Kembali kepada syarat suatu kata yang digunakan harus bisa dipahami. Saya jadi ingat duta besar saya Pak Isman, pendiri Kosgoro. Mayor Jenderal itu dulu pernah mengatakan: “Kita harus begini” sewaktu di Kairo. Nah, kita kan jadi bingung siapa yang dimaksud dengan “kita”, karena kadang-kadang kata “kita” digunakan untuk seluruh masyarakat Indonesia. Di Kairo kadang-kadang kata “kita” untuk kedutaan besar Indonesia saja. Inilah kalau bahasa itu nggak jelas ya begini ini. Karena kepandaian melihat apa yang dimaksudkan dengan sebuah kalimat dengan susunan-susunan katanya tersebut menjadi sangat penting.

Kadang-kadang kalau pemahamannya keliru, maka keliru semuanya. Contohnya seperti kata “Goerge W. Bush”. W (Walker) jika disingkat seharusnya dibaca double u. Seperti kita ketahui bahwa w dalam bahasa Inggris itu seharusnya double u. Kemarin, Presiden Megawati menyambut presiden AS itu membaca teks yang ada tulisannya Presiden George W. Bush. W benar-benar dibaca dalam bahasa Indonesia we. Untung saja dia tidak bilang Presiden Wewe. Masa wewe ada dalam pidato.”7

Dulu juga ada kepala daerah (gubernur), istrinya baru belajar baca. Setelah dinyatakan selesai dalam pelajaran membaca, sang istri tadi pada suatu kesempatan diberi kehormatan untuk memberikan sambutan. Sambutan yang diberikan pada saat itu menggunakan teks. Saat diminta membaca teks pidato, ia gembira sekali, dan penuh percaya diri dia pun membacanya. Kebetulan teksnya tertulis “bapak2, ibu2, saudara2”. (Maksud dari teks tersebut adalah Bapak-bapak, Ibu-ibu, Saudara-saudara). Namun yang terjadi ternyata dengan santai dan tanpa merasa bersalah, dia membacanya: bapak dua, ibu dua, saudara dua.

Adakalanya kata-katanya benar namun pengertiannya yang disalahpahami. Kadang pengertiannya tidak jelas. Saya pernah ke rumah Almarhum KH. Hamid pada tahun 1970 di Malang. Beliau bercerita: “Saya ini orang Kota-madya kok dapat undangan dari Bupati. Ini bagaimana? Akhirnya ya sudah, saya datang saja, wong cuma mendengarkan saja.” Bupatinya pidato menggunakan teks yang ditulis. Ia memaparkan banyak hal tentang peran ulama dalam pembangunan jangka panjang lebar selama 30 menit. Di akhir pidato, pada bagian penutup, Bupati mengatakan: “Karena itu, para hadirin dan para ulama pun “dituntut” untuk mensukseskan pembangunan.” Kata Kyai Hamid yang tua itu, ini: “Lha iya, orang tua seperti saya ini salahnya apa, kok dituntut?”

Seorang kondektur bus yang asli Batak menarik ongkos uang seorang ibu yang asli Betawi. Si ibu membayar 200 rupiah. “Eh, 400 rupiah, Bu!” kata orang Batak tadi. “Nggak bisa. Biasanya saya bayar 200 rupiah. Kondektur kemudian mengatakan: “Ini lebaran, Bu!” (dengan logat Bataknya yang khas), maksudnya Lebaran. Si ibu dengan ketus menjawab: “Mau sempit kek lebar-an kek.”

Nah, pengetian-pengertian itu bisa berbeda untuk tiap-tiap orang tergantung dari cara dia memahami. Ini sangat penting. Kalau kesadaran semacam ini tidak kita miliki, akibatnya kita lalu menjadi musuhnya semua orang. Karena itu, dengan kata lain, kita juga harus “mpan Papan“, mengerti betul permasalahannya. Kita berhadapan dengan suatu kenyataan bahwa masyarakat itu bermacam-macam: masyarakat modern lain, masyarakat masa lalu, masyarakat awam lain dengan masyarakat dari perguruan tinggi, masyarakat kota lain pula dengan masyarakat pedalaman. Lalu ada masyarakat berdasarkan etnis, ada masyarakat Arab, masyarakat Tionghoa, masyarakat Jawa, masyarakat Sunda, masing-masing berbeda-beda. Caranya melihat masalah juga harus beda.

Mangkanya, seorang pemimpin yang baik pidatonya menggunakan istilah yang dapat dimengerti pendengarnya, juga sekaligus dimengerti oleh seluruh bangsa yang bermacam-macam. Tidak usah jauh-jauh, ambil ucapannya Bung Karno, membangun kembali dunia kita. Apa ya bola dunia itu sudah begitu rusak sampai harus dibangun dengan palu, gergaji, dan paku.

Ternyata tidak. Maksudnya adalah susunan masyarakatnya dan keseimbangan kekuasaan di dunia itu yang harus dibangun dan diseimbangkan. Gamal Abdul Nasser saat menjadi Presiden Mesir sering mengatakan “intaj, intaj“, maksudnya produksi. Produksi yang dimaksud adalah berkaitan dengan pabrik. Dia bangga sekali, tiap enam jam ada satu pabrik dibuka di Mesir. Lain halnya ketika kita mengatakan, produksi bangsa ini rendah sekali mutunya. Artinya, keseluruhan yang dihasilkan oleh bangsa ini, bukan pabrik saja.

Jadi kita melihat kalau orang bicara kira-kira apa yang dia maksudkan dari kata-katanya. Kalau bicara ‘a’ maksudnya begini, kalau bicara ‘b’ maksudnya begitu. Yang terpenting dari kata adalah pengertian kata itu. Kita ambil contoh yang lain. Ada satu gelas, diisi dengan air sepаruh. Kita bisa mengatakan, gelas ini hanya separuhnya saja diisi penuh dengan air. Bisa juga kita katakan gelas ini separuhnya kosong tidak diisi. Keduanya mempunyai maksud yang sama, tetapi penyebutannya lain-lain. Di sini lah, dibutuhkan negosiasi-negosiasi, perundingan-perundingan, untuk menyamakan persepsi dan pemaknaan atas suatu kata; mencari makna apa yang akan kita gunakan bersama pada suatu kata.

Seperti apa yang sering dikatakan “ud’u ila sabili rabbika bi al-hikmati wal al-mau ‘idloti hasanah wajadilhum bi allati hiya ahsan”, ajaklah ke “jalan tuhanmu” dengan hikmah. Artinya, dengan cara yang bisa diterima orang lain dan menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Kemudian “wa al-mau’idlotul hasanah”, tutur kata yang baik, “wa jadilhum bi allati hiya ahsan”, artinya, berdiskusi lah dengan mereka dengan baik, rasional, dan sebagainya.8

3. Debat Kusir

Israel terus-menerus bertengkar dengan Palestina. Nah, sekarang kita melihatnya dari pihak mana. Bagi orang Muslim, tentu mengatakan, telah terjadi pelanggaran bagi orang-orang Palestina. Akan tetapi bagi orang Israel, mereka akan mengatakan bahwa hal itu dilakukan untuk mengamankan mereka dari gangguan orang Palestina seperti serangan-serangan bom. Jadi, sebuah keadaan juga bisa diberikan makna yang lain-lain. Dengan tidak adanya negosiasi, maka pilihan kita hanya satu, yaitu berperang atau saling bertentangan dengan menggunakan kekerasan.

Di sini lah, kita perlu menyatakan makna atas suatu keadaan. Orang-orang Palestina yang meledakkan diri mereka, atau katakanlah mengganggu orang Israel, apa sebabnya? Mereka menjawab, karena wilayah kami di tepian barat digunakan oleh Israel untuk perkampungan mereka. Sementara orang Israel mengatakan bahwa ada Aretz Israel, Israel Besar termasuk di dalam daerah itu. Selama kedua belah pihak bersikeras pada penafsiran masing-masing, mereka tidak akan pernah bertemu. Karena itu akan perang terus. Inilah yang menjadi pokok persoalan di sana.

Kita dulu juga pernah memperdebatkan pemakaian kata “assalamu’alaikum” dan “selamat pagi”. Dahulu, Syukron Ma’mun menganggap bahwa saya telah mengubah assalamu’alaikum secara total, sampai suatu ketika dia pidato bahwa Gus Dur kalau sholat, ketika salam menggunakan ucapan “selamat pagi, selamat sore”. Padahal jelas saya katakan kepada majalah Amanah yang mewawancarai saya pada saat itu, bahwa assalamu’alaikum itu ada dua macam: ada dua budaya kaitannya dengan pemakaian kata dan ada yang hukum agama. Budaya itu bisa diubah-ubah.

Contohnya di Al-Azhar, para masyayikh, Guru Besar, kalau ketemu satu sama lain, ucapan salam yang mereka gunakan untuk saling menyapa adalah shabaahul khair, shabahus suruur (selamat pagi). Tetapi kalau sudah menyentuh hukum agama urusannya lain lagi. Katakanlah saya bermadzahab Imam Syafi’i mungkin dianggap agak kuno, pengertian atau ta’rif dari sholat itu adalah mayubtada’u bi takbirah al-ihram, sesuatu yang di-awali dengan membaca takbiratul ihram, yaitu Allahu Akbar, dan yukhtatamu bi al-salam, diakhiri dengan bacaan salam, assalamu’alaikum.

Mestinya juga ada ukuran-ukuran tertentu yang dimaksud dengan bahasa literer dan bahasa informal, bahasa yang sesuai dengan penggunaannya. Nah, kita diajak campur aduk tidak karu-karuan. Tetapi kita boleh mencatat itu hanya sebagai pengamatan. Yang penting ukuran itu harus ada dan ini yang kita tegaskan. Karena itu saya sangat bahagia bahwa bahasa nasional kita walaupun mudah ukuran-ukurannya jelas penting sekali diperhatikan. Bahasa Arab selama ini ukuran-ukurannya jelas kacau, terutama di Indonesia. Hal itu karena yang dipakai urakan adalah bahasa fushhah, bahasa formal. Nah, fushhah atau bahasa literer ini lain dengan bahasa yang kita gunakan sehari-hari. Bahasa yang berwajah dua, ini yang menentukan kaya tidaknya bahasa itu.

Ambil contoh, “Kereta api berjalan dari selatan, dari Depok ke arah utara.” Pertanyaan kita, “jalannya pakai apa?” Padahal dia kan lari, 60 kilometer satu jam. Secara berusaha memberi contoh bahwa pengertian-pengertian kita itu dibentuk oleh pemahaman kita akan sesuatu arti. Berjalannya orang ternyata lain dengan berjalannya kereta api. Karena pesawat terbang dinyatakan berjalan? Nah, semuanya tergantung pada pengertian-pengertian kita sendiri. Berjalan itu sudah berbeda-beda: jalannya sepeda, kereta api, dan pesawat terbang, lain dengan jalannya orang. Pengertian-pengertian yang dibentuk oleh suatu kebiasaan itulah yang sebenarnya harus kita mengerti sedalam-dalamnya.

Ada juga istilah bahasa prokem atau bahasa pasaran. Arab yang pasti ada bahasa prokemnya. Kalau orang Inggris mengistilahkan bahasa prokem itu dengan Pidgin English (Inggrisnya burung dara). Misalnya di Singapura pasti ada tambahan la: Don’t come la today, am not at home. La itu dari mana datangnya?

4. Tentang Sastra

Kita memerlukan sastra. Ada kata yang mempunyai arti pada derajat yang tinggi, ada kata yang mempunyai derajat rendah, dan ada yang istilah orang Jawa “kleseran” (asal bicara). Bagian yang kedua dari hal itu adalah reaksi. Reaksinya ini termasuk apa tidak? Kadang-kadang kita mau mengucapkan kata yang dapat menimbulkan reaksi yang dia inginkan, begitu lho.

Ini penting, sebab kalau tidak tahu hal itu maka bahasa Arab dianggap hanya begitu-begitu saja. Tidak ada tingkatan-tingkatannya. Di atas sudah disinggung istilah al-mualaqah al-sab’ah, sajak tujuh yang digantung di dinding ka’bah kepunyaan para penyair terkenal Ummruul Qois al-Kindi, Nabiqhoh al-Tibyani, ‘Arafat’, dan seterusnya. Di sini lah terlihat kemajuan abad dan sastra Arab masa sebelum Islam.

Seperti Ummruul Qois yang menulis tentang percintaan dan petualangan seperti berikut:

Afatim ma mahlan ba’daha tadalluli

Wa in kuntu qad ajma’ti sormi Faajmili

Wain taku god saatni kholiqatun

Fasuli siyabi min siyabiki tansuli

Wahai Fatimah pelan-pelan sedikit kalau mau mencabut cintaku

Kalau kau ingin mencampakkan aku lakukan dengan baik.

Kalau dari aku ada perbuatan yang tidak menyenangkan bagimu

Maka pisahkan bajuku dari bajumu yang berkumpul.

Terkadang dia merindukan seorang gadis yang jauh, perempuan-perempuan malam, dia gulat-gulit tidak bisa tidur. Maka dia mengatakan:

Bi Subhin (Adalah Waktu Subuh)

‘ala ayyuha al-lailu ‘ala anjali

bishubhin fama hasbaha

fika fi ansuli

Wahai malam yang panjang

Tidakkah kau akan tampak dengan subuh

Maka dia adalah subuh

Yang nampak pada dirimu

Terkadang gambaran alam itu luar biasa. Dia mengatakan tentang air di pegunungan pasir, dicucuri dari atas:

bifarrin mikarrin mutbirin mutbirin ma’an

bifarrin mikarrin kalmudi

shohro hattohu al-sailu min’ali

Pada waktu bersamaan naik turun,

ke depan ke belakang

Seperti halnya pegunungan pasir

yang ditimpa dari atas


Catatan Kaki:

1. “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman pada Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kalian yang benar.”

“Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

“Allah befirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda itu.” Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: “Bukankah sudah Kukatakan kepada kalian, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kalian perlihatkan dan apa yang kalian sembunyikan.” (QS.2: 30-33).

2. “Hai jamaah jin dan manusia, jika sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melaikan dengan kekuatan.” (QS. 55:33).

Ayat ini kadang disalahpahami, terkait dengan pemakaian kata “la” sebelum kata perintah yang berarti larangan atau pernyataan negatif. “La” dalam ayat ini sering diartikan larangan atau bahkan menakut-nakuti.

3. la mendapat gelar Doktor di Sorbone, Perancis. la buta tetapi dari kecil sudah pintar menghafal, sekali dibaca langsung hafal. Melalui berbagai macam jenjang, akhirnya dia pulang menjadi menteri Pendidikan di Mesir sekitar tahun 1950-1960-an di bawah Pemerintahan Gamal Abdul Naser.

4. Yang menjadi catatan sampai sekarang, orang-orang Arab masih sangat gandrung dengan sastra.

5. QS. 53:23

6. QS. 33:21

7. We we berasal dari kata wewe gombel, saudaranya vampire atau hantu yang menguasai wilayah Jawa. Fungsinya untuk menakut-nakuti anak kecil yang nakal.

8. QS. 16: 125