Tri Matra Pondok Pesantren (Wawancara)
Sekarang Baru Sebagai Lembaga Pendidikan
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Berikut Wawancara Romadlon dari Aula dengan Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid saat berlangsung Munas RMI:
Baru kali ini, Munas RMI didatangi Presiden, Wakil Presiden hingga para menteri. Ini menurut Anda pertanda apa?
Pertama, pernyataan itu tidak benar. Munas ketiga di Watucongol Muntilan Jawa Tengah, lima tahun yang lalu dibuka oleh Wakil Presiden Soedarmono dan diisi oleh para Menteri. Hanya jumlahnya nggak kayak gini. Ya, saya nggak tahu persis, itu urusan ketua panitianya, atau pimpinan RMI-nya kok membuat parade Menteri. Mengapa kok istimewa? Mungkin karena di Jakarta mudah jangkauannya.
Apa ada arti penting dari fenomena itu?
Sekedar pengakuan yang semakin nyata dari semua pihak, termasuk pemerintah bahwa pondok pesantren mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan bangsa. Jangan ditaruh terlalu jauh. Nanti jatuh sakit lho?
Apa bukan karena ada usaha menarik pesantren untuk mendukung pihak tertentu?
Woo… nggak-nggak. Saya ndak yakin. Saya yakin niatnya nggak begitu. Karena, acara ini kan didesain oleh panitia, dan pimpinan RMI. Itu semua isinya ndak semua Golkar lo Munas ini. Tentu mereka tidak terima kalau ini diseret ke Golkar saja. Maka saya nggak yakin.
Tapi Golkar ingin berpihak ke NU, karena NU ini kan potensial, besar.
Kalau umat NU dicapai dengan cara begini, maka salah tembak. Umat NU sebagaimana umat-umat lain, seperti umat Muhammadiyah, umat Kristen, umat Banteng, dan umat sembarangkaur itu. Semuanya berfikir mengenai pemerintahan, nanti pemilu mendukung yang mana, itu berdasarkan pertimbangan prestasi. Bukan gebyar-gebyar sebangsa begini.
Ada isu untuk mencapai itu, sebaiknya sekretariat RMI dipindah di Jakarta. Apakah itu bukan suatu usaha untuk mendekati pusat pemerintahan?
Ndak-ndak. Saya nggak yakin itu. Karena apa? Mereka melihat bahwa banyak urusan pondok pesantren yang terkait dengan lembaga pemerintah itu secara fungsional. Jadi bukan ingin dekat atau tidak dekat. Ini supaya efisien saja. Juga dengan lembaga-lembaga pendanaan di luar negeri yang ada di Indonesia. Yakni beberapa Yayasan, seperti yayasan Asia, Ford, Rabithah Alam Islami, dan sebagainya. Karena semuanya di Jakarta, maka akan lebih gampang jangkauannya. Itupun sebetulnya masih harus kita pikirkan matang-matang. Jangan begitu saja.
Kalau dipindah ke Jakarta apakah daerah lain juga mendukung?
Ndak tahu saya. Itu kan urusannya Munas. Saya nggak cenderung yang mana, nggak. Bagi saya sama saja. Kalau sudah pasang faximile meskipun berada di daerah aslinya Gus Noer di Berasan Banyuwangi ya sama saja. Masing-masing ada kekuatannya dan ada kelemahannya.
Beberapa kiai menghendaki agar RMI otonom. Apa tanggapan Anda?
Ya, silakan saja. Nggak apa-apa, nggak ada masalah. Di lingkungan NU ada tiga jenis organisasi. Ada yang namanya badan otonom, itu anggotanya perorangan. Ada yang anggotanya lembaga seperti madrasah-madrasah, sekolah-sekolah NU, masuk ke dalam lembaga pendidikan Ma’arif. Lalu ada semacam Lajnah, ini nggak ada anggota-anggota. Semacam komite tetap.
Kalau RMI ingin menjadi badan otonom bisa saja, tapi harus diubah namanya. RMI adalah Rabithah Maa’ahidil Islamiyah, Ikatan Pondok-Pondok Pesantren, merupakan organisasi yang beranggotakan lembaga. Kalau mau, ganti saja dengan Rabithah Ahlil Ma’ahidil Islamiyah (RAMI), Ikatan Pengasuh Pengasuh Pondok Pesantren.
Anda jangan menganggap bahwa kalau RMI itu otonom lalu ada perubahan mendasar. Itu hanya beberapa segi saja. Organisatoris masalahnya. Bukan masalah politis.
Kalau maunya agar RMI independen terhadap NU?
Kalau RMI menghendaki keluar dari NU, maka NU akan membuat organisasi sendiri. Bisa saja namanya Rabithah al-Ma’ahid al-Nahdiyah, Lho, Tarikat Muktabarah kan begitu, tidak mau mengikuti PBNU dan kemudian memisah dari PBNU. NU saat itu masih di PPP, maka mereka masuk Golkar. Kita pun lantas membuat tarikat nahdiyah. Independensi yang dimaksud selama ini, RMI terikat dengan NU.
Proses pemilihan Ketua RMI kan ditentukan oleh PBNU. Bisakah mekanisme ini diubah?
Saya masih belum bisa berbicara, karena sekarang RMI masih lembaga. Ini Munas lembaga. Paling tidak, RMI hanya memberi rekomendasi kepada Muktamar NU untuk menetapkan RMI diubah, katakanlah menjadi RAMI. Bisa itu. Nah, baru Munas RMI kali ini seperti itu dan disetujui oleh Muktamar NU, itu bisa memililh pengurus sendiri.
Harapan Anda terhadap Munas RMI?
Ya mudah-mudahan, Munas menemukan keputusan yang mampu menatap peranan dan fungsi pesantren di masa depan secara baik.
Apa yang dimaksud dengan peranan dan fungsi pondok pesantren itu?
Seharusnya pondok pesantren atau RMI di masa depan bisa mempetakan tiga macam fungsi dari dirinya. Pertama, sebagai lembaga pendidikan. Kedua, sebagai community learning centre, sebagai pusat di mana masyarakat menggarap kehidupan melalui kegiatan kemasyarakatan yang bermacam-macam. Ketiga, pesantren sebagai bagian dari gerakan Islam. Ketiganya harus menjadi agenda sekaligus sebagai matra pondok pesantren. Saat ini pesantren baru sebagai lembaga pendidikan saja.
Hal lain yang harus dilakukan pesantren?
Pesantren harus sanggup melakukan keseimbangan yang tepat. Antara kebutuhan mempertahankan akar-akar hidup dan perubahan-perubahan yang dilakukan di dalamnya. Jangan sampai perubahan yang dilakukan di dalamnya mengancam akar-akar kehidupan. Semacam otoritas kiai jangan terancam. Tapi harus ada perubahan. Ini bagaimana caranya. Itu ndak gampang. Memang ndak gampang tapi harus dilakukan. Yang mampu dan kuat adalah mereka yang dapat memecahkan masalah yang nggak gampang. Dan saya yakin pondok-pondok pesantren akan mampu melakukan hal itu.
Dulu aja sudah kok. Ketika pondok-pondok pesantren di Pilipina Selatan, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, dan Indonesia dihadapkan pada sistem pendidikan Barat yang namanya sekolah yang lain menolak sekolah. Tapi justru di Indonesia pesantren menerima sekolah. Akibatnya apa, Malaysia pondok pesantren tidak dimasuki orang. Memang sekarang ini zaman ijazał Diploma, itu nggak ada diplomanya. Mengapa nggak dimasuki orang. Yang tinggal adalah pesantren sebagai zawiyah, sebagai tempat beribadah, kholwah tarikat. Orang-orang tua saja isinya.
Di Indonesia juga cukup banyak. Tapi, mayoritas pesantren punya sekolah. Atau setidak-tidaknya kalau tidak punya sekolah, mengefisienkan kurikulumnya. Dulu tidak pakai kurikulum sekarang memakai. Itu cara memelihara yang baik dari yang lama. Itu kata Pak Harto. Dan mengambil yang lebih baik dari yang baru. Ketika Pak Harto mengucapkan itu, hadirin kan bertepuk tangan. Itu artinya apa. Mereka setiap hari menghayati. Saya percaya pesantren punya kemampuan untuk itu. Kok mudah sekali percaya itu. Wong produksinya seperti saya, Nur Cholis Madjid, Kafrawi, dan sebagainya.
Anda mengatakan bahwa pesantren sekarang lebih cenderung untuk dijadikan sistem komando secara kolektif?
Bukan pesantrennya. Tetapi keputusan-keputusan pesantren diambil secara kolektif. Kiai-kiai yang masuk di pesantren itu lalu mengembangkan cara-cara kolektif dalam mengambil keputusan di antara mereka. Bukan di dalam pesantrennya an sich. Tetapi, kepemimpinan pesantrennya itu lalu yang sifatnya individu harus dikokohkan dalam bentuk kelembagaan. Jadi ada struktur ketua, wakil ketua. Ada yayasannya-lah. Kolektif di situ dilembagakan. Contohnya, di Amerika sangat individual sistem kepemimpinannya. Apa katanya Presiden. Termasuk Indonesia.
Nampaknya sekarang ini karisma kiai kalah dengan karisma mubaligh. Contohnya Zainuddin MZ. Benarkah itu?
Ndak benar itu. Ada tempatnya sendiri-sendiri. Untuk urusan sehari-hari, mempelajari anaknya masak mubaligh yang ngurusin, ditinggal pergi terus ha… ha… ha
Bagaimana komentar Anda terhadap rencana Pak Ud menggugat pengarang buku Primadosa?
Itu haknya Pak Yusuf. Dan cukup seorang sajalah. Itu barang kecil. Artinya tidak imbang masalahnya dengan energi.
Tapi kan isinya mendiskreditkan Pak Harto
Lha kalau mengenai isinya yang terlalu mendiskreditkan Pak Hartolah gampangannya, kalau diewer-ewer tambah orang ingin tahu apa itu isinya. Hasilnya malah negatif. Kalau Pak Yusuf mau ribut sendiri ya monggo. Tapi energinya orang banyak jangan habis pada soal-soal begitu. Tidak imbang gitu lho, barang gombal terlalu banyak yang ngurusi kayak tidak ada pekerjaan saja.
Jadi cukup satu orang saja?
Cukup seorang dan sudah mewakili kita semua. Lha yang lain bisa digunakan untuk yang lebih bermanfaat. Jangan kita semua ikut bereaktif. Terlalu reaktif. Ada begini saja bereaktif. Tenang-tenang saja banyak yang harus dikerjakan. Cukup satu orang saja, nanti hasilnya bagaimana kita lihat.
Komentar Anda terhadap isi buku Primadosa bagaimana?
Sebetulnya, hal-hal yang mendiskreditkan Pak Harto itu sudah ditulis sejak tahun 70-an awal. Tidak ada yang tahu. Karena diramaikan, sehingga semua banyak yang tahu. Menurut saya akibatnya tidak begitu baik. Orang jadi ingin tahu dan mencari.
Yang baik bagaimana seharusnya?
Yang lebih baik ya lupakan saja. Memang tuduhannya tidak masuk akal. Apa yang disebut-sebut itu barang yang tidak masuk akal. Saya dari dulu bahan-bahan yang gituan selalu mendapat. Contohnya dari Ben Anderson, Wert Haim, Utrach, dari dulu mengulang-ulang hal yang sama. Itu saya anggap sampah, ya saya buang. Apalagi kalau kita naikkan ke tingkat arsip ya rugi kita. Kalau kita mau menolong Pak Harto lebih baik kita lupakan saja.
Tidak perlu dipersoalkan, saya sendiri malah kaget kok malah Pak Harto sendiri yang mempersoalkan. Lebih baik diam saja. Wong saya setiap hari difitnah, itu saya biarkan ya ndak ada apa-apa. Hilang sendiri.
Ketika ramah-tamah dengan Presiden tentang buku Primadosa apa komentar Bapak Presiden?
Saya tidak memperhatikan. Karena saya duduk bersama Pak Zainuddin MZ yang posisinya agak jauh dengan Presiden.
Ketika selesai menabuh beduk, kelihatannya Pak Harto berjabat tangan lama dengan Anda. Apa pesan Pak Harto?
Oh nggak ada. Saya bilang terima kasih, atas pengarahan dan amanat beliau serta membuka secara resmi. Itu saja. Beliau jawab ya bagus-bagus. Artinya Munasnya itu lho, pembukaaannya berjalan lancar. Orang tua datang apa tidak boleh anaknya mengucapkan terima kasih.
Bagaimana komentar Anda terhadap pidatonya Pak Harto?
Baik. Artinya Pak Harto mendudukkan secara proporsional pesantren dalam kehidupan bangsa kita.
Ada yang menarik?
Sebenarnya ndak ada yang baru. Tetapi caranya merangkaikan bagaimana beliau memahami pondok sedang mengalami perubahan. Termasuk perubahan fungsi ketika beliau menyebut itu lho, Asshiddiqiyah punya program pengentasan kemiskinan. Pak Harto ternyata mengetahui. Saya juga ikut surprise. Barang cilik beliau juga tahu. Ya Alhamdulillah.
Itu kan karena di situ ada peran Probosutejo?
Ya saya tidak berfikir seperti itu. Saya berfikir secara umum. Bahwa banyak Pondok pesantren yang berbuat seperti itu. Dan jenisnya macam-macam. Tapi beliau kok tahu juga. Terus terang sebelum orang banyak bicara seperti itu, lebih dulu saya tahun 1974 melakukan usaha itu dan dimaki-maki orang. Di sini terbukti ada sindikasi (pembenaran). Itu kan manis toh. Kita bikin sesuatu kemudian dimaki-maki lalu dibenarkan oleh orang banyak. Dua puluh tahun baru tahu hasilnya. Yang menikmati orang lain.
Memang penyampaian ide Anda itu mestinya belum waktunya?
Makanya nasib saya memang begitu terus ha..ha..ha. Gus Noer (Muhammad Iskandar, Red.) tidak tahu urusan itu, kini dia yang dapat. Pawakan orang, begitu itu. Ada yang merintis jauh sebelumnya dimaki-maki, ada yang melaksanakan kemudian dipakai. Yo wislah. Enak kok. Yang penting harus saling mendukung.