Ulama dan Pembinaan Kesadaran Lingkungan

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Kesadaran lingkungan adalah sesuatu yang sangat sulit untuk ditanamkan dan dikembangkan. Kalau hanya sekadar rumusan-rumusan formal yang disampaikan secara normatif masih bisa dilakukan dengan mudah, namun hasilnya tidak akan membekas pada perilaku sehari-hari yang menunjukkan tinggi tingkat kesadaran itu sendiri. Sebuah kerangka moralitas yang bersifat normatif memang akan mendorong orang untuk berperilaku tertentu, tetapi wawasan normatif itu sendiri tidak akan berkembang menjadi sesuatu kesadaran yang berkelanjutan, yang diperlukan untuk upaya pelestarian lingkungan dan tercegahnya pencemaran lingkungan.
Sebuah pendekatan lain yang tidak hanya bersifat normatif haruslah dikembangkan, guna mendorong tercapainya kesadaran lingkungan di kalangan generasi muda. Ulama sebagai panutan umat Islam akan dapat berperan serta dalam proses itu melalui pendekatan yang dimaksud. Namun, itu baru akan terjadi apabila para ulama sendiri telah memiliki kesadaran akan pentingnya lingkungan dan mutlaknya pencegahan perilaku yang menyebabkan pencemaran lingkungan. Haruslah diakui, bahwa justru di kalangan ulama sendirilah kesadaran akan lingkungan itu belum berkembang.
Dengan demikian, terjadilah sebuah proses “lingkaran setan” antara langkanya kesadaran lingkungan di kalangan ulama dan kewajiban ulama membina kesadaran tersebut di kalangan generasi muda. Langkanya kesadaran lingkungan di kalangan ulama ini adalah bagian dari masalah umum tipisnya kesadaran sosial di kalangan mereka, dan kondisi kemalasan berpikir yang sudah sejak berabad-abad lamanya diidap oleh para ulama secara kolektif.
Akibat dari tekanan berlebih (overstressing) “pada aspek normatif” dari kehidupan umat, para ulama kehilangan kemampuan meneropong kehidupan dan kehilangan pijakan pemikiran keagamaan mereka pada realitas kehidupan. Sebagai akibat, mereka juga lalu kehilangan kerangka pemikiran kemasyarakatan di luar hal-hal yang bersifat normatif. Dengan hilangnya pijakan pada realitas kehidupan itu, para ulama tidak mampu memahami proses pertumbuhan masyarakat dengan baik dan dengan sendirinya gagal melakukan antisipasi terhadap perubahan-perubahan sosial yang terjadi. Lebih jauh, hal itu berakibat pada hilangnya kemampuan kontemplatif yang diperlukan untuk melaksanakan refleksi yang jernih atas jalannya kehidupan masyarakat. Manifestasi utama dari kondisi ini adalah tegarnya “bahasa hukum agama” dan sangat sedikitnya “bahasa kemanusiaan” dalam pelayanan mereka kepada umat.
Kecilnya peranan wawasan konseptual dalam kehidupan umat, sebagai akibat dari langkanya dimensi kontemplatif dalam pemikiran kaum ulama itu, adalah sebab utama dari kecilnya kesadaran lingkungan di kalangan ratusan juta jiwa kaum muslimin yang ada sekarang ini. Tanpa wawasan kemasyarakatan yang benar, bagaimana mungkin orang memiliki kesadaran lingkungan? Inilah pertanyaan pertama yang harus dihadapi apabila kita ingin melihat peranan ulama dalam menanamkan dan menumbuhkan kesadaran lingkungan di kalangan generasi muda.
***
Islam tidak mengenal sistem kependetaan dan hirarki keagamaan yang independen. Karenanya, lembaga keagamaan di kalangan kaum muslimin (termasuk lembaga keulamaan) selalu berkembang sesuai dengan kondisi sosial yang dihadapi umat pada suatu masa. Di satu pihak, hal ini mencerminkan fleksibilitas sikap hidup umat dalam menghadapi berbagai tantangan zaman. Hal itu tercermin antara lain dalam kemampuan umat untuk menyelesaikan tantangan modernisasi yang dibawakan oleh peradaban Barat tidak hanya secara politis, melainkan juga melalui responsi budaya yang berskala massif. Melalui penyerapan nilai-nilai baru yang membawa kemajuan dengan tidak kehilangan akar-akar keimanan mereka, umat Islam ternyata mampu mengembangkan pola dialog yang dinamis dan bergairah dengan proses modernisasi yang datang dari peradaban Barat itu.
Dengan demikian menjadi jelas bagi kita bahwa upaya mendorong peranan ulama dalam menanamkan dan mengembangkan kesadaran lingkungan di kalangan generasi muda haruslah dikaitkan dengan kebangkitan pemikiran kontemplatif dan wawasan konseptual di kalangan kaum ulama sendiri. Adalah sia-sia belaka upaya untuk membuat rumusan muluk-muluk tentang pandangan Islam mengenai lingkungan hidup dan sejenisnya, yang dibuat oleh orang-orang di luar lingkungan ulama sendiri. Dalam upaya seperti itu, apa yang dinamakan kesadaran internal ulama sendiri tidak muncul melalui proses penyerapan, dan dengan demikian sepi dari dinamika pergulatan pemikiran para ulama sendiri. Dengan hanya dipersenjatai “materi penyadaran lingkungan”, ulama hanyalah akan menjadi juru penerang yang membeo belaka kepada pelaku-pelaku lain dalam proses pembangunan kita, dan tidak memiliki otonomi penuh dalam berperan. Jika hal itu terjadi, maka proses ‘pengembangan kesadaran lingkungan’ seperti itu, yang dikemas dalam bungkus-bungkus normatif, hanya akan tersaji bagi “upaya penyadaran” yang tidak memiliki makna apa-apa bagi generasi muda.
Karenanya, dengan mempertimbangkan uraian di muka, dapatlah disimpulkan bahwa penumbuhan dan pengembangan kesadaran lingkungan di kalangan generasi muda umat Islam harus merupakan bagian dari pergumulan internal kaum ulama sendiri, untuk mencari format peranan yang pas bagi diri mereka dalam proses pembangunan yang berintikan transformasi sosial secara besar-besaran di semua bidang kehidupan. Sisi mikro dan makro dari pemikiran tentang proses pembangunan, sisi struktural dari perubahan sosial yang diinginkan, sisi partisipasi masyarakat dan batas-batas wewenang pemerintah dalam proses membangun, sisi kepastian hukum dan perluasan wawasan etika, kesemuanya itu adalah tonggak-tonggak yang harus digunakan dalam proses berpikir dan berefleksi oleh para ulama itu. Kesadaran lingkungan sebagai butir pemikiran haruslah diproyeksikan kepada sisi-sisi tersebut, apabila diinginkan terjadinya proses saling menyerap yang baik antara kaum ulama dan generasi muda muslim yang menjadi umat mereka.