Umat Bertanya Gus Dur Menjawab: Sikap Beragama dan Berbudaya

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
BAB PERTAMA: SIKAP BERAGAMA DAN BERBUDAYA
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، نَحْمَدُهُ بِجَمِيعِ الْمَحَامِد كُلِّهَا عِدَّ الكَلِمِ، عَلَى جَمِيعِ نِعَمِهِ كُلِّهَا مَا عُلِمَ مِنْهَا وَمَا لَمْ يُعْلَمْ، وَنَشْكُرُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى أَيَادِهِ وَإِحْسَانِهِ مَا خَصَّ مِنْهُمَا وَعَمَّ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلامُ عَلَى سَيِّدِنَا وَحَبِيْبِنَا وَشَفِيْعِنَا مُحَمَّدٍ الْمَخْصُوصِ بِأَكْمَلِ الكَمَالَاتِ وَالشَّفَاعَةِ الْعُظْمَى مِنَ الْإِلَهِ الْأَكْرَمِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَحَمَلَةِ شَرِيعَتِهِ وَتَابِعِيْهِمْ عَلَى الْمِنْهَجِ الْأَقْوَمِ، عَدَدَ أَنْفَاسِ وَخَطَرَاتِ الْمَوْجُوْدَاتِ مَا جَرَى قَلَمٌ.
Segala puji bagi Allah swt Sang Pencipta Alam. Kami memuji-Nya dengan seluruh jenis sanjungan atas segala nikmat, baik yang dimengerti maupun yang tersembunyi. Maha Suci Allah swt, kami bersyukur atas nikmat tenaga dan atas kebaikan-Nya, baik yang khusus maupun yang umum. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan dan kekasih yang akan memberi kita syafa’at, yakni Muhammad SAW yang secara khusus mendapat kesempurnaan yang paling sempurna dan syafa’at yang paling agung dari Allah swt yang Maha Mulia, beserta segenap keluarga, sahabat dan para ulama serta pengikutnya di atas jalur kebenaran selama nafas masih berdesah, alam tetap bergerak dan sepanjang pena menari.
قال سم: إذا صَرَفَ العَبْدُ جَمِيعَ مَا أَنْعَمَ اللهُ بِهِ عَلَيْهِ فِي آنٍ وَاحِدٍ لَمَّا خُلِقَ بِهِ سُمِّيَ شكوراً وإِنْ صَرَفَهَا في أوقَاتٍ مُخْتَلِفَةٍ يُسَمَّى شَاكِراً.
Al-Imam ibn Qasim Al-Ubadi berkata, jika seorang hamba dianugerahi suatu nikmat oleh Allah dan ia menggunakannya untuk berbakti kepada-Nya saat itu juga, maka hamba ini dinamakan Syakur (orang yang banyak bersyukur). Jika ia menggunakannya untuk berbakti dalam beberapa waktu, maka ia dinamakan sebagai syakir (orang yang bersyukur).
Mengenai masalah bersyukur ini tentunya kita semua sudah tahu haditsnya yaitu “barang siapa bisa mensyukuri manusia maka ia bisa mensyukuri Tuhannya” (man yasykuru an-nas yasykuru allah-al-hadist) Hal ini juga erat hubungannya dengan ayat… jika kalian bersyukur maka akan aku tambahkan nikmatku dan jika kalian mengkufurinya maka ingatlah sesungguhnya siksaku sangatlah pedih…” (lain syakartum laaziidannakum walain kafartum inna ‘adzabı lasyadiid-al-ayat).
قال ع ش: وَيُمْكِنُ صَرْفُهَا فِي أٓنٍ وَاحِدٍ بِحَمْلِهِ جَنَارَةً مُتَفَكِّرًا فِي مَصْنُوْعَاتِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.
Syibro Malisi berkata dimungkinkan menggunakan kenikmatan pada satu kesempatan dengan membawa jenazah sembari berfikir tentang ciptaan-ciptaan-Nya”. Maha suci Allah.
Ini hanyalah ungkapan syekh Sibromalisi sedangkan yang lain mengatakan bahwa ini hanyalah budaya bukan agama Dari sini muncul permasalahan seperti tahlil karena ada yang melarangnya.
(فَائِدَةٌ): قَالَ بَعْضُ الْفُضَلاَءِ: صَلَاةُ الآدَمِيِّيْنَ عَلَيْهِ صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْمَلَائِكَةِ، إِذْ طَاعَةُ البَشَرِ أَفْضَلُ مِنْ طَاعَةِ الْمَلَائِكَةِ، لِأَنَّ اللَّهَ كَلَّفَهُمْ مَعَ وُجُودِ صَوَارِفَ، وَمَحَلُّ كَرَاهَةِ إِفْرَادِ الصَّلَاةِ عَنِ السَّلَامِ وَعَكْسِهِ فِي غَيْرِ مَا وَرَدَ فِي الْإِفْرَادِ وَفِي حَقِّنَا وَلِغَيْرِ دَاخِلِ الْحُجْرَةِ الشَّرِيفَةِ، قَالَ ابْنُ حَجَرٍ: وَلَفْظاً لَا خَطًّا فَلَا يُكْرَهُ الْإِفْرَادُ فِيْهِ. اهـ.
Berkata sebagian cendekiawan, “sanjungan yang diungkapkan oleh manusia terhadap nabinya lebih utama daripada yang diutarakan oleh Malaikat, karena ketaatan manusia lebih utama daripada ketaatan mereka. Sebab Allah mengamanatkan kewajiban atas manusia disertai adanya hal-hal yang dapat memungkinkannya untuk berpaling dari menunaikan amanat itu.
Membaca shalawat tanpa salam atau sebaliknya adalah makruh, kecuali dalam apa yang memang telah diriwayatkan seperti itu, dan ia makruh bagi kita (manusia), kecuali orang yang memasuki “al-hujrah al-syarifah (makam nabi)”. Menurut Ibnu Hajar” makruh dalam ucapan, bukan dalam tulisan”.
Disini kita berbicara tentang pandangan ulama, jangan menganggap bahwa shalawat tanpa salam itu makruh, karena itu semua hukumnya sama. Kadar keutamaan ungkapan shalawat yang diiringi salam melebihi yang tidak salam, walaupun sebenarnya shalawat tanpa dibarengi salam itu tidak jadi soal. Sebenarnya yang justru menjadi perhatian kita dalam masalah ini adalah apakah sebenarnya pengertian salam itu sendiri? agar kita mengerti pengertian salam di sini dalam arti apa? apa salam itu hanya sekedar ucapan atau sesuatu untuk menunjukkan keramahan.
Dalam hal ini saya memberi contoh kasus yang pernah merebak di masyarakat seputar pendapatnya tentang salam, “Bahwa
dahulu ada sebuah majalah Amanah yang pernah bertanya pada saya (gus Dur), apa pandangan saya tentang salam, maka saya katakan bahwa salam itu bisa dilihat atau didekati dengan dua aspek atau jenis perbuatan manusia. jika salam di pandang sebagai hanya sekedar budaya maka bisa saja di ganti dengan yang lain misalnya –assalamualaikum– di ganti dengan –shabahul khair atau masa’ul khoir– atau –shobahus surur– dan lain-lain. Tetapi kalau salam dalam arti hukum itu sudah tetap seperti dalam shalat karena shalat menurut madzhab syafii adalah “ma yubtadau bil ihrami wa yukhtatamu bissalam” ini ternyata dimuat hanya separoh oleh majalah Amanah sehingga saya dimarahin kanan kiri, tetapi saya mengambil sikap diam saja.
[فائدة]: قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِي رَحِمَهُ اللهُ: صَرِيرُ قَلَمِ الْعَالِمِ تَسْبِيْحٌ، وَكِتَابَةُ العِلْمَ وَالنَّطَرُ فِيْهِ عِبَادَة،ٌ وَمِدَادُهُ كَدَمِ الشَّهِيدِ، وَإِذَا قَامَ مِنْ قَبْرِهِ نَظَرِ إِلَيْهِ أَهْلُ الْجَمْعِ، وَيُحْشَرُ مَعَ الأَنْبِيَاءِ، وَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: «مَنْ إِتَّكَأَ عَلَى يَدِهِ عَالِمٌ كَتَبَ اللهُ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ عِنْقَ رَقَبَةٍ، وَمَنْ قَبَّلَ رَأْسَ عَالِمٍ كَتَبَ اللهُ لَهُ بِكُلِّ شَعْرَةٍ حَسَنَةً»، وَتَدَارُسُ الْعِلْمِ سَاعَةً مِنَ اللَّيْلِ أَفْضَلُ مِنْ إِحْيَائِهِ بِغَيْرِهِ، وَمُدَارَسَتُهُ أَفْضَلُ مِنَ الذِّكْرِ.
Hasan Al-Bashri berkata “tarian pena seorang ilmuan adalah tasbih, menulis dan berpikir tentang ilmu adalah ibadah, tintanya bagaikan darah syuhada. Ketika ia bangkit dari kuburnya, orang-orang melihatnya sedang dikumpulkan bersama Nabi Nabi bersabda, “siapa yang tangannya dijadikan sandaran oleh orang ‘alim, Allah mencatatnyo dengan setiap kesempatan (setara dengan) memerdekakan budak. Dan barang siapa mencium kepala orang alim, maka Allah mencatatnya dengan (nilai) yang setiap rambutnya adalah kebaikan Menghabiskan satu jam pada malam hari untuk ilmu adalah lebih baik dibandingkan menghabiskan malam tersebut untuk ibadah yang lain. Dan mempelajari ilmu lebih baik daripada dzikir.
Ini merupakan pandangan Imam Hasan al-Bashry seorang tokoh sufi yang masyhur. Pantas saja beliau berpendapat seperti ini karena memang beliau seorang sufi, ungkapan Hasan al-Bashry Ini merupakan manifestasi dari sebuah hadits “Thalabul ‘ilmi faridlatun ‘ala kulli muslimin –al-hadits” (menuntut ilmu merupakan keharusan bagi tiap orang Islam baik laki-laki maupun perempuan). Oleh karena itu, ilmu memiliki kelebihan dibandingkan yang lain. Tetapi pendapat ini berbeda dengan pandangan Imam Al-Ghazali yang mengatakan bahwa semua perbuatan itu tergantung niatnya. Di dalam Minhaj al-Abidin diceritakan ada orang yang menghafalkan al-Qur’an pada malam hari, begitu mendengar ada orang lewat, maka pembaca al-Qur’an tersebut memerdukan suaranya supaya enak di dengar Kemudian dia tidur, ditengah-tengah tidurnya ia bermimpi bahwa pahalanya telah hilang.
Mengenai masalah taqbil ro’si/mencium kening, Di Indonesia budaya ini tidak menyebar luas. Karena, di sini hubungan seseorang tidak diekpresikan secara fisik tetapi lebih secara diam atau duduk di depannya untuk mendengarkan, tetapi kalau di Arab ekspresi taqbil ro’si seperti inilah yang justru membudaya.
[فَائِدَةٌ]: حَقِيقَةُ الْفِقْهِ مَا وَقَعَ فِي الْقَلْبِ وَظَهَرَ عَلَى اللِّسَانِ، فَأَفَادَ العِلْمَ وَأَوْرَثَ الخَشْيَةَ، وَلِهَذَا قَالَ النَّوَوِي: إِنَّمَا لَمْ يَظْهَرْ عَلَى الْعُلَمَاءِ كَرَامَاتٌ كَالْعِبَادِ مَعَ أَنَّهُمْ أَفْضَلُ مِنْهُمْ لِمَا يَدْخُلُ عَلَيْهِمْ مَنَ الرِّيَاءِ.
Haqiqat Fiqh (pemahaman Agama) adalah apa yang terdapat dalam hati dan diungkapkan dengan lisan, maka ia pun memberikan lmu dan mewariskan rasa takut (kepada Allah ). Karena inilah al-Nawawi berkata, “sungguh tidaklah tampak keramat (kelebihan) pora ilmuan sebagaimana ‘Abid (ahli ibadah) padahal para ilmuan lebih baik dari pada para ahli ibadah. Hal ini dikarenakan mereka telah terjangkiti penyakit riya (suka pamer).
Ini semua hanya pendapat yang belum pasti karena ahlul ibadah itu punya pengertian lain, di dalam firman Allah –loqod koana lakum fii rasulillaahi uswatun hasanah liman kaana yarjullaaha wal yaumal akhir wa dzakarollaaha katsiro- (sungguh pada diri Rasulullah saw terdapat suri tauladan yang baik bagi orang yang mengharapkan ridla Allah dan balasan-Nya pada hari kiamat serta mengingat Allah dengan banyak berdzikir kepadaNya), lafadz –dzakurallaha katsira– ini ada yang memberikan makna “ingat” dengan artian agar seseorang mampu menyesuaikan ilmu yang ia kuasai dengan kehendak Allah Tetapi sebagian ulama’ memberikan makna lain. Dalam sisi yang lain “dzikr” di sini kaitannya bukanlah semacam itu dan artinya adalah murni mengingat Allah dengan banyak dzikir. Ini adalah dari satu sisi, sementara dari sisi yang lain dapat di persoalkan bahwa makna lafadz dzikır itu tidak hanya lafdzi, tetapi bisa juga maknawi yaitu dengan cara menyelaraskan kehidupan kita dengan kehendak Allah, misalnya menyelaraskan diri dengan lingkungan alam. Jadi kalau tidak memperhatikan lingkungan alam berarti kurang ingat kepada Allah, dan ini adalah salah satu yang harus dicamkan. Pada uraiannya ini saya menekankan bahwa dalam kehidupan umat Islam ada hal yang sangat penting yaitu bagaimana ia keluar dengan membawa rahmat bagi semua alam.
فائدة: ذَكَرَ الإمامُ الشَّعْرَانِي فِي الطَّبَقَاتِ عَنْ أَبِي الْمَوَاهِبِ الشَّاذِلِي قَالَ: إِثْبَاتُ الْمَسْأَلَةِ بِدَلِيْلِهَا تَحْقِيقٌ، وَإِثْبَاتُهَا بِدَلِيْلٍ آخَرَ تَدْقِيقٌ، وَالتَّعْبِيرُ عَنْهَا بِفَائِق الْعِبَارَةِ تَرْقِيقُ، وَمُرَاعَاةُ عِلْمِ المَعَانِي وَالْبَيَانِ فِي تَرْكِيبِهَا تَنْمِيقُ، وَالسَّلَامَةُ مِنْ اعْتِرَاضِ الشَّارِعِ فِيهَا تَوْفِيقُ
Al-Imam Sya’roni merilis dalam kitab al-Thabaqat bahwa Abu al-Mawahib al-Syadzali berkata, “menetapkan (afirmasi) suatu masalah beserta buktinya adalah Tahqiq (identifikası), sedangkan menetapkan masalah tersebut dengan bukti yang lain adalah Tadqiq (keseksamaan/ketelitian). Dan uraian atas masalah dengan ungkapan-ungkapan pilihan disebut Tarqiq (pelembutan). Menjaga kadar sastrawi suatu redaksi adalah Tanmıą (penghiasan), dan selamat dari tentangan syara’ adalah Taufiq (petunjuk).
Ini merupakan klasifikasi mengenai definisi tahqiq, tadqiq dan lain-lain menurut pendapat salah satu ulama (Imam asy-Sya’rany). Sebenarnya definisi-definisi tersebut sering digunakan seorang faqih ketika hendak menetapkan hukum permasalahan yang muncul agar tahapan-tahapan sebagaimana diperhatikan.
1. Ijtihad, Iftah dan Taklid
[فائدة]: قَالَ الْإِمَامُ الشَّعْرَانِي فِي زُبَدِ الْعُلُومِ وَالْمِيزَانِ: وَأَمَّا أُصُولُ الْفِقْهِ فَتَرْجِعُ إِلَى مَرَاتِبِ الْأَوَامِرِ وَالنَّوَاهِي الَّتِي جَاءَتْ فِي الكِتَاب وَالسُّنَّةِ، وَإِلَى مَعْرِفَةِ مَا أَجْمَعَ عَلَيْهِ الْأَئِمَّةُ، وَمَا قَاسُوْهُ، وَمِنْ طَرِيقِ بِالْاِجْتِهَادِ الْاِسْتِنْبَاطِ، وَيَجْمَعُ كُلٌّ مِنَ الْأَوَامِرِ وَالنَّوَاهِي مَرْتَبَتَيْنِ تَخْفِيفاً وَتَشْدِيداً، فَمَنْ وَجَدَ فِي نَفْسِهِ ضَعْفاً أَخَذَ بِالتَّخْفِيفِ، أَوْ قُوَّةً فَبِالْأَشَدِّ. وَجَمِيعُ أَحَادِيثِ الشَّرِيعَةِ وَمَا بُنِيَ عَلَيْهَا مِنْ أَقْوَالِ الْمُجْتَهِدِينَ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ لَا يَخْرُجُ عَنْ هَذَا.
Al-Imam Sya’rani mengungkapkan dalam kitab Zubad al-Ulum wa al-Mizan, “bahwa akar-akar fiqih bersumber kepada tingkatan tingkatan printah dan larangan yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits, juga terhadap pengetahuan tentang kesepakatan-kesepakatan para ulama terdahulu Hal-hal yang diqiaskan serta yang terlahir karena ijtihad melalui cara-cara istinbath. Segala ketentuan perintah dan larangan tercakup dalam dua tingkatan, yakni ringan dan berat. Siapa yang mendapati dirinya dalam kelemahan maka (hendaklah) ia menggunakan yang ringan, sedangkan yang mendapati dirinya sebagai orang yang kuat maka hendaklah mengambil yang berat. Segala hadits-hadits Nabi dan seluruh turunannya seperti perkataan-perkataan para mujtahid (pendapat-pendapat) tidak akan terelakan dari masalah-masalah ini hingga hari kiamat.
Permasalahan umat Islam sejak zaman dahulu berkutat pada masalah ini. Jadı dı dalam Islam semua bentuk ibadah dapat dibagi dua, ada yang ringan dan ada yang berat, ada yang khusus dan ada yang umum, ada yang serius dan ada yang tidak serius, yang serius itu artinya semuanya di jalankan, dan hal ini juga pernah dijalankan oleh para kiai-kiai zaman dahulu misalnya mbah kiaı Bisri Sansyuri, mbah kiai Abdul Wahab Hasbullah dan lain-lain. Akan tetapi mbah Kiai Wahab Hasbullah mempunyai pandangan lain yaitu apabila yang ringan bisa kenapa mesti mengambil yang berat?
Yang menarik di dalam hal ini adalah zaman dahulu pada tahun 1928 M, kial Faqih Mas Kumambang membolehkan kentongan di pakai untuk tanda waktu shalat dengan alasan dikiyaskan terhadap bedug.
[فائدة]: إذا أُطْلِقَ الْاجْتِهَادُ فَالْمُرَادُ بِهِ الْمُطلَقُ، وَهُوَ فِي الْأَصْلِ بَذْلُ الْمَجْهُودِ فِي طَلَبِ الْمَقْصُوْدِ، وَيُرَادِفُهُ التَّحَرِّي وَالتَوخِي، ثُمَّ اسْتُعْمِلَ اسْتِنْبَاطَ الْأَحْكَامِ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، وَقَدْ انْقَطَعَ مِنْ نَحْوِ الثَّلاثَمِائَةِ، وَادَّعَى السُّيُوطِيُّ بَقَاءَهُ إِلَى آخِرِ الزَّمَانِ مُسْتَدِلاً بِحَدِيْثِ: «يَبْعَثُ اللهُ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ» الَخْ، وَرُدَّ بِأَنَّ الْمُرَادَ بِمَنْ يُجَدِّدُ أَمْرَ الدِّيْنِ: مَنْ يُقَرِّرُ الشَّرَائِعَ ، وَالْأَحْكَامَ لا الْمُجْتَهِدَ الْمُطلَقَ، وَخَرَجَ بِهِ مُجْتَهِدُ الْمَذْهَبِ وَهُوَ: مَنْ يَسْتَنْبِطُ الْأَحْكَامَ مِنْ قَوَاعِدِ إِمَامِهِ كَالْمُزَنِيّ، وَمُجْتَهِدُ الْفَتْوَى وَهُوَ: مَنْ يَقْدِرُ عَلَى التَّرْجِيْحِ فِي الْأَقْوَالِ كَالشَّيْخَيْنِ لا كَابنِ حَجَرٍ وَ (م ر)، فَلَمْ يَبْلُغَا رُتْبَةَ التَّرْجِيْحِ بَلْ مُقَلِّدَانِ فقط،
Ketika term ijtihad digunakan secara mutlak (tanpa batasan, pen), maka yang dimaksudkan adalah ijtihad mutlak. Makna aslinya adalah upaya maksimal seseorang untuk meraih apa yang yang dituju, sinonimnya dalam bahasa arab adalah kata al-taharry dan al-tawakhkhi.
Kemudian makna ijtihad dipergunakan sebagai istilah penggalian hukum-hukum dari al-Qur’an dan al-Hadits. Sungguh masa ijtihad sudah putus sejak sekitar tahun 300-an hijriyah. Al-Suyuti menyanggah, menurutnya ijtihad berlaku hingga akhir zaman berdasarkan hadits “Allah mengutus pembaharu agama dalam setiap abadnya…” Sanggahan ini ditentang dengan argumen bahwa yang dimaksud dengan pembaharu agama adalah orang yang menetapkan hukum-hukum syara’ bukan mujtahid mutlak. Mujtahid madzhab (orang yang menggali hukum-hukum dari rumusan-rumusan imamnya) adalah sebuah pengecualian, sebagaimana imam Muzani. Bukan pula mujtahid fatwa (orang yang mentarjih beberapa ungkapan para imam seperti asy-Syaikhani (al-Nawawi dan al-Rafi’i). Ibnu Hajar dan al-Romli keduanya tidak mencapai maqom tarjih. Keduanya adalah Muqallid.
Di sini kita berbicara mengenai ijtihad, dalam lingkungan kita kalau ada orang yang berbeda dengan orang lain disebut berijtihad, nah di sinilah harus kita kembangkan bahkan di anjurkan akan tetapi hal ini sekarang malah menjadi tidak boleh, jadi kalau pimpinan sudah bilang A maka semuanya dianjurkan harus A dan kalau B maka harus B dan seterusnya. Hal ini terjadi misalnya di FPI (Front Pembela Islam). Jadi kita harus sadar betul bahwa di dalam kalangan kita ijtihad itu tidak ada masalah.
Kata-kata ijtihad itu ada yang mutlaq dan ada yang muqoyyad, tetapi kita harus ingat bahwa imam al-Sahrastani di dalam kitabnya –al-Milal Wa al-Nihal– di sana beliau berkata bahwa –layuqbalu ijtihadu mujtahidin ‘an khoshmihi– artinya “tidak di terima ijtihad dari seorang mujtahid mengenai masalah lawannya” jadi sejak dahulu antara Sunni, Syi’ah dan Mu’tazilah selalu berbeda pendapat. Nah di sini misalnya orang sunni tidak boleh ngomong tentang mu’tazilah demikian juga sebaliknya. Inilah batas-batas yang harus dipakai antar golongan dalam Islam.
Ada beberapa pemahaman dari sebagian orang bahwa ijtihad selalu ada yang disamping juga ada yang berfikir bahwa dirinya mampu ijtihad sendiri. Nah, sebenarnya perbedaan itu timbul karena perbedaan syarat-syarat yang harus dimiliki. Jadi kalau ada orang yang berpandangan bahwa hal-hal seperti ini sudah tidak di perlukan ijtihad lagi, maka hal ini namanya menutup ijtihad itu sendiri.
Dalam berijtihad, seseorang pertama-tama harus mengetahui hukum-hukum dan hafal al-Qur’an, akan tetapi hal ini harus ditolak karena kalau hal ini dipakai, maka syarat ijtihad menjadi berat namun ada juga yang berpandangan lain. Hal ini adalah jika ijtihad dilakukan oleh seseorang atau individu lalu bagaimana kalau kolektif atau jama’i? Nanti pada bagian akhir kitab ini akan membicarakan seputar masalah yang terjadi pada tahun 1935 yaitu ketika mu tamar NU di Banjarmasin –menetapkan bahwa tidak perlu adanya negara Islam untuk melaksanakan syari’at– nah hal seperti ini di namakan ijtihad atau bukan ? karena merupakan keputusan mu tamar
Kemarin mengenai MUI (Majelis Ulama’ Indonesia) yang telah mengeluarkan sebelas fatwa, yang termasuk di dalamnya tentang pelarangan Ahmadiyah tanpa membedakan antara Ahmadiyah Qodyan dan Ahmadiyah Lahore.
Hal ini ada yang mengatakan MUI telah melanggar konsep ijtihad dan ada yang menganggap bahwa konsep ijtihad tidak untuk hal-hal yang ada hubungannya dengan masalah Ahmadiyah (karena ketentuan agama mengenai masalah kenabian sudah final).
Di antara ulama’ ada yang menganggap bahwa ijtihad itu harus dilakukan, dan kedudukan ijtihad itu berada di atas segalanya bahkan hukum syara’ sekalipun, dan ini adalah yang menjadi dasar FPI untuk merekrut anggota. Saya sejak dulu itu percaya bahwa menjadi mujtahid itu sulit dan berat, oleh karena itu maka tidak gampang.
Pertama-tama harus kita jawab dulu apakah ijtihad kolektif itu termasuk ijtihad atau tidak, misalnya majelis tanwir di Muhammadiyah dan Syuriyah di NU dan apakah hanya mereka yang berhak memutuskan jawaban hukum-hukum agama dan persoalan ini tidak pernah berhenti dari dahulu sampai sekarang, makanya percuma saja kita ribut-ribut karena akan begitu-begitu saja. Maka yang paling penting kita harus menerima dengan lapang dada dan juga boleh kalau kita mempunyai pendapat sendiri.
Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa ijtihad tidak tertutup, akan tetapi tidak boleh ada yang berijtihad lagi karena tidak ada lagi orang yang memenuhi persyaratannya, maka kita harus mengerti dan taqlid. Nah pertanyaanya di sini adalah apakah taqlidnya itu taqlid buta ataukah taqlid dengan kritis dan berfikir juga hal ini bagi kita masih menjadi persoalan.
Ibnu Hajar, menurut sebagian orang, beliau adalah penutup para fuqoha’ artinya beliau adalah betul-betul menguasai masalah figh, tetapi kalau di dalam kitab ini musonnif memandang lain mushonnif hanya memandang sampai imam al-Nawawi dan iniam al-Rofi’i, dan di sini mencari mana yang benar itu tidaklah penting
Kembali pada persoalan yang saya katakan bahwa persoalannya menjadi mentah kembali karena dihadapkan pada ijtihad jama’i itu tadi dan di sinilah yang paling penting yang harus dijawab.
(فائدة) قال في فَتَاوَى ابْنُ حَجَرٍ: لَيْسَ لِمَنْ قَرَأَ كِتَاباً أَوْ كُتُبَا وَلَمْ يَتَأَهّلُ لِلأَفْتَاءِ أَنْ يُفْتِيَ إِلَّا فِيمَا عَلِمَ مِنْ مَذْهَبِهِ عِلْماً جَازِمًا، كَوُجُوْبِ النِّيَّةِ فِي الْوُضُوءِ وَنَقْضِهِ بِمَس الذَّكَرِ، نَعَمْ إِنْ نَقَلَ لَهُ الْحُكْمَ عَنْ مُفْتٍ آخَرَ أَوْ عَنْ كِتَابٍ مَوْثُوْقٍ بِهِ جَاَز، وَهُوَ نَاقِلٌ لا مُفْتٍ، وَلَيْسَ لَهُ الْإِفْتَاءُ فِيْمَا لَمْ يَجِدْهُ مَسْطُوْراً، وَإِنْ وَجَدَ لَهُ نَظِيراً، وَحِينَئِذٍ المُتَبَحِّرُ فِي الْفِقْهِ هُوَ مَنْ أَحَاطَ بِأَصْوْلِ إِمَامِهِ فِي كُلِّ بَابٍ، وَهِيَ مَرْتَبَةُ أَصْحَابِ الْوُجُوهِ، وَقَدْ انْقَطَعَتْ مِنْ نَحْوِ أربعمائة سنة اهـ.
Ibnu Hajar berkata dalam kitab fatawanya bahwa meskipun seseorang membaca banyak kitab, bila ia tidak berkompeten untuk berfatwa, maka ia tidak boleh mengeluarkan fatwa kecuali dalam masalah yang ia ketahui dari madzhabnya secara pasti/ meyakinkan seperti pengetahuan tentang kewajiban niat ketika berwudhu serta batalnya wudhu sebab menyentuh dzakar. Apabila ia menukil dari mufti yang lain atau kitab yang dapat dipercaya tentang suatu putusan hukum maka diperbolehkan, dan dengan begitu ia disebut naqil (orang yang mengutip) bukan mufti. la tidak diperkenankan memberikan fatwa atas suatu masalah yang tidak ditemukan dasar tertulis secara eksplisit sebagai rujukan, meskipun ia menemukan hal yang serupa dengannya.
Dalam hal ini yang disebut pakar fiqh adalah orang yang mampu menyelami akar-akar imam mereka pada tiap bab fiqh. Inilah tingkatan para imam yang mempunyai pendapat dalam fiqh yang telah putus sejak kurun empat abad yang lalu.
Ini merupakan persoalan klasik yang masih menjadi persoalan hingga sekarang. Jadi seseorang yang punya wewenang untuk menentukan hukum itu namanya adalah mufti. Nah orang yang memindahkan hukum atau mengikuti pendapat orang lain, maka dia itu bisa menjadi mufti dan tidak lebih dari itu. Lalu timbullah pertanyaan hal ini adalah jika di negara yang mempunyai mufti, lalu bagaimana dengan negara yang tidak mempunyai mufti?
Seperti yang telah saya katakan tadi bahwa mu’tamar ke-35 NU di Banjarmasin ternyata saat ini di tentang oleh HT (Hizbu al-Tahrir), mereka mengatakan bahwa tidak mungkin melaksanakan syari’ah kalau tidak ada bentuk negara Islam. Jadi, karena memang antara HT dan NU itu berbeda cara berfikirnya, yang satu berpendapat bahwa masyarakat secara individual bisa mengambil pendapat sendiri-sendiri tanpa pemerintah dan yang satunya berpendapat perlu adanya pemerintahan yang memberikan keputusan diantara pendapat-pendapat yang ada.
Di dalam teks ini, mushanif (pengarang kitab) menyatakan pendapat pribadinya, kalau imam Syafi’i mempunyai pendapat lain lagi yaitu –idza shohha al-hadist fahuwa madzhabii– “jika suatu hadits itu shahih maka itulah yang menjadi madzhabku”. Jadi yang paling penting adalah di perkenankan adanya pebedaan-perbedaan pendapat di kalangan umat Islam.
مسئلة: يَحْرُمُ عَلَى الْمُفْتِي التَّسَاهُلُ فِي الْفُتْيَا وَسُؤَالُ مَنْ عُرِفَ بِذَلِكَ إِمَّا لِعَدَمِ التَّثَبُّتِ وَالْمُسَارَعَةِ فِي الْجَوَابِ أَوْلِغَرْضِ فَاسِدٍ كَتَتَبُّعِ الْحِيَلِ وَلَوْ مَكْرُوهَةً وَالتَّمَسُّكِ بِالشَّبَةِ لِلتَّرْخِيصِ عَلَى مَنْ يَرْجُو نَفْعَهُ وَالتَّعْسِيرِ عَلَى ضدِّهِ نَعَمْ إِنْ طَلَبَ حِيْلَةً لَا شُبْهَةَ فِيهَا وَلَا تَجُرُّ إِلَى مَفْسَدَةٍ بَلْ لِيَتَخَلَّصَ بِهَا السَّائِلُ عَنْ نَحْوِ الْيَمِينِ فِي نَحْوِ الطَلَاقِ فَلَا بَأْسَ بَلْ رُبَّمَا تُنْدَبُ.
Seorang mufti tidak diperbolehkan meremehkan fatwa dan tidak boleh pula bertanya pada orang yang telah dikenal berkarakter demikian. Adakalanya karakter ini disebabkan oleh tiadanya pembuktian (verifikasi) dan ketergesa-gesaan dalam menyikapi masalah atau dengan maksud-maksud tertentu yang tidak baik, seperti suka merekayasa hukum meskipun bukan haram. Demikian juga berpegang pada ketidakjelasan dengan tujuan memperlunak suatu hukum berdasarkan selera sponsor yang membiayainya dan mempersulit lawan-lawannya. Namun apabila ia merekayasa suatu permasalahan yang tiada mengandung ketidakjelasan (subhat) dan tidak mendatangkan mafsadah, tapi supaya si penanya terbebas dari semisal sumpah, sebagaimana dalam kasus perceraian, maka sah-sah saja malah kadang-kadang dianjurkan.
Disini sang muallif menunjukkan pada kita bahwa fatwa itu bisa bermacam-macam dan oleh orang yang bemacam-macam pula. Maka ada berbagai motif orang dalam memberikan hukum, ada yang memang pesanan dan ada yang tidak, dalam hal ini sekaligus aplikasinya. Misalnya dalam hal teologi itu bukan hanya menyangkut prinsip-prinsipnya tetapi kejadiannya juga, dan karena hal inilab pendapat ini di keluarkan.
Ada hal yang perlu di tampilkan di sini yaitu strategi kiai Haji Ahmad Mutamakkin al-Khajini, beliau ini hidup sekitar abad 17 M beliau sebagai pemimpin tarikat dan merubah strategi umat pada waktu itu. Pada waktu itu para pemimpin tarikat kalau menyerang penguasa itu tidak tanggung-tanggung dan blak-blakkan tetapi para fuqoha’ malah sebaliknya dan mereka berpendapat bahwa “Imamun fajirun sittuna ‘amman khoirun min faudlo sa’atin” – imam yang y otoriter enam puluh tahun masih lebih baik daripada anarki sesaat. Dengan berpegang pada kaidah tersebut para fuqoha’ lalu menghamba kepada para penguasa.
Kemudian di sekitar tahun 1970-an sampai dengan 1980-an keadaan menjadi terbalik yaitu kiai-kiai fiqh menentang penguasa sementara kiai-kiai tariqat malah menjadi dekat dengan para penguasa. Lalu kiai Ahmad Mutamakkin menyusun strategi yang di namakan dengan strategi alternatif teoritis dengan melakukan kritik kepada penguasa tanpa menyebut individu tertentu. Misalnya dengan ungkapan “kalau para penguasa ingin memimpin dengan adil maka harus begini-begini” dan strategi ini ternyata dilakukan oleh umat Islam mulai saat itu sampai sekarang.
Kemudian para fuqaha pada saat itu melihat bahwa kelakuan kiai ini membahayakan dan mengancam eksistensi mereka. Mereka pun mengusulkan agar kiai Mutamakkin di hukum mati, kemudian kiai Mutamakkin diperiksa oleh salah seorang pejabat yang pada saat itu adalah cucu Sunan Kudus, katib anom namanya yang berkedudukan sekelas menteri agama. Menghadapi investigasi ini, kiai Mutamakkin meminta maaf, dan cara ini pun termasuk bagian dari strategi beliau.
Kiai Mutamakkin oleh para fuqaha dianggap salah karena di dalam masjid beliau terdapat gambar gajah secara utuh, sehingga beliau dianggap melanggar syara. Di samping itu beliau juga gemar menonton wayang kulit yang mana hal ini pada waktu itu dianggap sebagai pelanggaran terhadap agama Islam.
(مَسْأَلَة: ش): نَقَلَ ابْنُ الصَّلاحِ الْإِجْمَاعَ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ تَقْلِيدُ غَيْرِ الأَئِمة الْأَرْبَعَةِ، أَي حَتَّى الْعَمَلُ لِنَفْسِهِ فَضْلاً عَنِ الْقَضَاءِ وَالْفَتْوَى لِعَدَمِ الثَّقَةِ بِنِسْبَتِهَا لِأَرْبَابِهَا بِأَسَانِيْدَ تَمْنَعُ التَّحْرِيْفَ وَالتَّبْدِيْلَ، كَمَذْهَبِ الزَيدِيَّةِ المَنْْسُوْبِيْنَ إِلَى الاِمَامِزَيْدِ بنِ عليِّ بنِ الحُسَيْنِ السِّبْطِ رِضْوَانُ اللّٰهِ عَلَيْهِمْ، وإِنْ كَانَ هُوَ إِمَامًا مِنْ اَئِمَّةِ الدِّيْنِ، وَعَلَمًا صَالِحًا لِلْمُسْتَرْشِدِيْنَ غَيْرَ أنَّ أصْحَبَهُ نَسَبُوْهُ اِلَى التَّسَا هُلِ فِي كَثِيْرٍ لِعَدَمِ اعْتِنَا ئِهِمْ بِتَحْرِيْرِ مَذْهَبِهِ، بِخِلَافِ المَذَاهِبِ الاَرْبَعَةِ
Ibnu Sholah menukil kesepakatan bahwa tidak diperkenankan taqlıd kepada selain empat madzhab, meskipun untuk diamalkan secara pribadi oleh si muqallid, terlebih untuk peradilan dan fatwa, karena adanya sebuah pendapat yang dinisbatkan pada empunya dengan mata rantai transmisi yang tidak mungkinkan terjadinya tahrif (penyelewengan) dan tabdil (pemalsuan) itu tidak dapat dipercaya (incredible), sebagaimana madzhab Zaidiyyah yang dinisbatkan kepada Imam Zaid ibn Ali ibn Husain. Meskipun Beliau adalah tokoh agama dan seorang ‘alim yang layak dijadikan rujukan, akan tetapi para sahabatnya beranggapan bahwa ia suka meremehkan banyak hal, karena mereka kurang perhatian terhadap kodifikasi madzhab, berbeda dengan empat madzhab tersebut.
Di sini kita melihat bahwa akar masalah adanya FPI adalah dari sini. Di dalam kitab ini Zaidiyah tidak dianggap sebagai madzhab, di sinilah sulitnya mempertemukan pandangan antara Syi’ah dan Sunni, namun hal yang paling penting adalah bagaimana kita tahu tentang dasar alasan bagi pandangan masing-masing kelompok Sunni Syafi’iyyah tentu berbeda dengan Sunni Malikiyyah demikian juga Sunni Malikiyyah tidak sama dengan Sunni Hanafiyyah demikian seterusnya.
2. Haid “Berkurangnya Akal”
فَائِدَةٌ: قَوْلُهُ صلى الله عليه و سلّم : «النِّسَاءُ نَاقِصَاتُ عَقْلٍ وَدِيْنِ» الْمُرَادُ بِالْعَقْلِ الدِّيَةُ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ الْعَقْلُ الغَرِيزِيُّ وَهُوَ الْمُنَاسِبُ لِلْمَقَامِ وَبِنَقْصِ الدِّيْنِ بِالنِّسْبَةِ لِلرِّجَالِ مِنْ حَيْثُ عَدَمُ تَعَبُّدِهِنَّ فِي بَعْضِ الْأَوْقَاتِ وَإِنْ كُنَّ يُثَبْنَ عَلَى التَّرْكِ إِنْ قَصَدْنَ اِمْتِثَالَ أَمْرِ الشَّارِعِ كَتَرْكِ الْمُحَرَّمَاتِ
Sabda Nabi SAW, “wanita itu kurang akal dan agamanya” Yang dimaksudkan dengan akal adalah diyat, sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud adalah akal naluriah. Inilah yang sesuai dengan konteks. Adapun kurang agamanya adalah bila dibandingkan dengan pria. Karena mereka tidak dapat beribadah pada waktu-waktu tertentu, meskipun mereka mendapat pahala karena meninggalkannya jika berniat melaksanakan perintah-perintah syari’at sebagaimana meninggalkan keharaman.
Jadi di sini kita membicarakan masalah akal perempuan, apakah kurang dari akal lelaki? Ini pendapat para ulama termasuk muallif (pengarang kitab) bahwa perempuan itu akalnya lebih kurang dari lelaki, tetapi kita jangan hanya mengikuti begitu saja dan harus melakukan kajian secara teliti. Menurut kajian yang ada bahwa hal ini tidak selamanya benar, memang pada saat-saat tertentu seorang perempuan tidak dapat menjalankan kewajiban agama yang sama penuhnya dengan seorang laki-laki, tetapi dikatakan oleh mu’allif sendiri bahwa hal yang demikian itu hilang dengan adanya niat yang baik. Jadi kita harus berhati-hati dan inilah gunanya kita mempelajari pendapat-pendapat masa lampau tidak untuk dibiarkan terus tetapi untuk menghubungkan kita akan penelitian yang lebih mendalam. Hal ini ternyata sangat kurang diperhatikan dalam lingkungan kita, pada umumnya mereka berpendapat seperti itu (bahwa perempuan kurang akal dan agamanya).
Di dalam kitab ini yang di persoalkan adalah pada kata-kata “kurang akalnya” bahwa kata ‘akal’ itu dibagi dua yaitu ada yang sesuai dengan apa yang diturunkan pada kita yaitu keadaan fisik dan ada yang yang tidak (akal dhahir dan bathin). Nah dalam hal ini saya rasa kalau sesuai dengan keadaan fisik maka relatif sama saja antara laki-laki dan perempuan, misalnya seorang laki-laki bisa keliru dalam mengambil keputusan sama dengan perempuan dalam satu soal. Selanjutnya saya akan memberikan contoh pendapat salah seorang tokoh NU yakni mbah kiai Bisyri Sansuri mengenai kepemimpinan seorang wanita. Menurut saya beliau (Mbah Bisyri Sansuri) sesungguhnya tidak setuju dengan adanya perempuan yang memimpin. Dalam aplikasinya terjadi seperti DPRD tingkat 1 Sumatera Barat mengambil keputusan bahwa seorang perempuan tidak boleh keluar rumah setelah jam sembilan malam kecuali dengan muhrimnya, seharusnya kalau tidak boleh itu ya dua-duanya yaitu laki-laki dan perempuan sekaligus bukan hanya perempuan saja.
Pada intinya boleh saja menggunakan syariatisasi asalkan tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan ini yang harus menjadi pegangan kita yang nomor satu dan hal ini belum disadari sepenuhnya bahkan oleh pejabat negara kita sekalipun. Dalam hal ini saya memberikan contoh bahwa salah seorang pejabat negara kurang bisa memahami substansi dari UUD 1945.
Kapolri yang waktu itu adalah Jenderal Dai Bahtiar pernah mengatakan bahwa para mahasiswa yang demo di depan kediaman Megawati Soekarno Putri yang pada waktu itu menjabat sebagai presiden, mereka telah mengganggu ketertiban umum. Mengenai hal ini saya mengajukan pertanyaan siapa yang menentukan kalau ketertiban umum itu terganggu atau tidak? Bukan polisi karena polisi hanya menjalankan tugas saja dan dia tidak berhak menentukan karena polisi hanya menjalankan keputusan Mahkamah Agung (MA). Justru lembaga inilah yang menentukan dan menilai, jadi setiap masalah itu harus kita dudukkan dengan sebetulnya.
Hal ini menunjukkan bahwa masalahnya itu sangat luas sehingga jangkauannya dan tidak sekecil yang kita duga. Sama dengan fatwa MUI yang mengatakan bahwa Ahmadiyyah itu sesat dan dilarang, berbeda dengan di Arab Saudi, di sana Ahmadiyyah itu di bolehkan karena undang-undang mereka adalah Al-Qur’an sedangkan kita punya UUD sendiri. Jadi menentukan sebuah pandangan sesat atau tidak itu siapa yang berhak Majelis Ulama’ ataukah Mahkamah Agung? Ini persoalannya teoritik yang menyangkut berbagai macam persoalan. Untuk menetapkan keputusan hukum mengenai Ahmadiyah tidak bisa hanya menggunakan satu teori saja. Kita harus menggunakan berbagai teori agar permasalahan tersebut diselesaikan sebagaimana mestinya Saya sendiri tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan kalau Ahmadiyyah itu murni Islam karena kalau tidak mengakui bahwa Muhammad itu adalah Nabi terakhir maka jelas keluar dari lingkaran Islam tetapi bukan berarti harus dilarang. Karena antara keluar dari lingkaran keyakinan İslam dan kontekstual Islam itu dua hal yang berbeda sama sekali, nah ini namanya kita mencoba berhati-hati dalam menyelesaikan masalah.
3. Shalat; rasionalitas atau ta’abbudi?
(مَسْأَلَةٌ: ش): أَفْضَلُ عِبَادَاتِ الْبَدَنِ الصَّلَاةُ، فَرْضُهَا أَفْضَلُ الْفُرُوْضِ، وَنَفْلُهَا أَفْضَلُ النَّوَافِلِ، لَكِنْ صَوْمُ يَوْمٍ أَفْضَلُ مِنْ رَكْعَتَيْنِ، بَلْ وَمَا فَوْقَهُمَا إِذَا اقْتَضَى الْعُرْفُ أَنَّهُ قَلِيلٌ فِي جَانِبِ يَوْمٍ فَهُوَ اَفْضَلُ مِنْهَا مِنْ حَيْثُ الاَكْثَرِيَّةِ.
Ibadah badan terbaik adalah shalat, kefariduannya adalah kefardluan terbaik dan sunnahnya adalah kesunnahan terbaik. Namun puasa sehari lebih baik daripada dua rakaat sholat atau lebih, jika ia lumrahnya masih dianggap sedikit dibanding satu hari Jadi, puasa lebih baik daripada sholat dari sisi kuantitasnya.
kalau kita bicara masalah puasa wajib dan sunnah itu lain lagi karena kalau sunat itu ikut pelanggerannya (ketentuan) kesunnatan yaitu jika di kerjakan dapat pahala dan jika ditinggalkan tidak dapat apa-apa.
[فائدة] أَكْثَرُ العُلَمَاءِ عَلَى أَنَّ اخْتِصَاصَ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ بِأَوْقَاتِهَا تَعَبُّدِيٌّ لا يُعْقَلُ مَعْنَاهُ، وَأَبْدَى بَعْضُهُمْ لَهُ حِكْمَةً وَهِيَ تَذَكَّرُ الْإِنْسَانِ بِهَا نَشْأَهُ فَكَمَالُهُ فِي الْبَطْنِ وَتَهَيُّؤُهُ لِلْخُرُوحِ مِنْهُ كَطُلُوعِ الْفَجْرِ، وَوِلَادَتُهُ كَطُلُوعِ الشَّمْسِ، وَمَنْشَؤُهُ كَارْتِفَاعِها، وَشَبَابُه كَوُقُوْفِهَا عِنْدَ الاسْتِوَاءِ، وَكُهُوْلَتُهُ كَمَيْلِهَا، وَشَيْخُوْحَتُهُ كَقُرْبِهَا مِنَ الْغُرُوبِ، وَمَوْتُهُ كَغُرُوْبِهَا، وَفَنَاءُ جِسْمِهِ كَانْمِحَاقِ أَثَرِ الشَّمْسِ.
Menurut mayoritas Ulama, Ketentuan waktu-waktu shalat yang lima itu adalah ta’abudi, tidak dapat dirasionalkan maknanya. Sebagian ulama menyatakan adanya hikmah pada waktu-waktu tersebut, yakni dengan shalat di lima waktu tersebut manusia diingatkan pada proses kehidupannya. Kesempurnaan dalam kandungan dan persiapannya untuk dilahirkan bagaikan menyingsingnya fajar, kelahiran umpama terbitnya matahari, pertumbuhannya serupa dengan naiknya matahari.
Masa mudanya laksana keteguhan pada posisi istiwa, saat dewasa serupa dengan proses condongnya matahari, masa tua mirip matahari mendekati saat tenggelam, kematian sederajat dengan ketenggelaman dan hancurnya tubuh adalah hilangnya bekas-bekas sinar matahari.
Ini adalah perumpamaan yang di pakai oleh Mu’allif, sedangkan Abu Yazid al-Bustami (seorang imam Ulama’ sufi) pernah memberi perumpamaan tentang shalat dengan mengatakan “Arojtu khomsa marrot kulla yaum” di kandung maksud bahwa beliau itu menyamakan shalat dengan mi’raj ke sidrat muntaha, mengenai bagaimana caranya beliau juga menjelaskan di beberapa kitabnya bahwa mulai dari takbiratul ihram sampai dengan ruku’ adalah bagaikan perjalanan di malam hari (Isra’) sedangkan mulai julus atau duduk tahiyyat itu seperti orang yang sedang menjalankan perjalanan dari baitul maqdis sampai dengan sidrotul muntaha sedangkan ketika salam itu ibarat seseorang yang sedang berada di sidrotul muntaha. Demikian ini merupakan hal yang biasa digunakan para imam dalam memberikan perumpamaan tentang shalat. Sementara tugas kita adalah mempelajari dan menghargai khazanah pemikiran mereka.
4. Keberadaan ‘Masjid’ Sebagai tempat Ritual (ahkam masajid)
فَائِدَةٌ : لَوْ اشْتَرَكَ جَمَاعَةٌ فِي بِنَاءِ مَسْجِدٍ بُنِيَ لِكُلِّ مِنْهُمْ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ، كَمَا لَوْ أَعْتَقَ جَمَاعَةٌ عَبْداً فَإِنَّ كُلاً يُعْتَقُ مِنَ النَّارِ، وَيُسَنُّ بِنَا ؤُهَا فِي الدُوَرِ، وَيُكْرَهُ فِيمَا تُكْرَهُ فِيْهِ الصَّلَاةُ إِلَّا الْحَمَّامَ وَالْمَقْبَرَةَ الْمُنْدَرِسَةَ اهـ
Apabila sekelompok orang membangun sebuah masjid, maka disediakan bagi tiap mereka rumah di surga. Sama halnya ketika mereka membebaskan seorang budak, maka tiap mereka dibebaskan dari api neraka. Disunnahkan membangun masjid di tengah-tengah permukiman dan dimakruhkan membangunnya di tempat-tempat yang makruh untuk pelaksanaan shalat. Kecuali pemandian dan kuburan yang hilang bekasnya.
Ini adalah pendapat mu’alif serta Ulama’-Ulama’ yang sependapat dengan beliau sedangkan ketentuan agamanya itu tidak ada, tetapi ada masalah yang lebih penting yaitu mengenai pengertian masjid.
Yang dikatakan mushannif “sebaiknya di bangun di tengah-tengah pemukiman” ini menimbulkan masalah, dulu saya menulis di sekitar tahun 1976 M pernah di rilis majalah Tempo yaitu di kabupaten Jember. Biasanya ketentuan mendirikan sebuah masjid adalah balad. Pengertian akan ukuran balad adalah kampung, berbeda kampung boleh juga berbeda masjid. Permasalahan di Jember adalah balad dari penduduk terkadang sama tapi RT-nya lain, jadi ada kemungkinan mendirikan dua masjid dalam satu RT. Sangat maklum karena para kiai itu pada umumnya berhati-hati dalam menetapkan hukum. Sehingga masalah ini menjadi pertanyaan pada Bahsul masa’ıl, namun masalah tersebut masih belum ada jawabannya sampai saat ini.
(مَسْأَلَةٌ: ي): الْمَسْجِدُ الْمَعْمُورُ بِمَوَاتٍ تَثْبُتُ لَهُ أَحْكَامُ الْمَسْجِدِيَّةِ بِشَرْطٍ أَنْ يَكُونَ العَامِرُ مُسْلِماً، وأن يَتَلَفَّظَ بَوَقْفِهِ ، أَوْ يَقْصِدَ بِالْبِنَاءِ جَعْلَهُ مَسْجِداً، وَأَنْ تَكُونَ الْأَرْضُ الْمَذْكُورَةُ لَمْ تُعْمَرْ أَصْلاً، أَوْ شُكَّ فِي عِمَارَتِهَا أَوْ عَمَرَهَا كَافِرٌ قَبْلَ اسْتِيْلَاءِ الْمُسْلِمِينَ عَلَيْهَا أَوْ بَعْدَهُ وَلَمْ تَدْخُلْ تَحْتَ يَدِ مُسْلِمٍ، أَوْ شُكَّ هَلْ العَمَارَةُ جَاهِلِيَّةً أَوْ إِسْلَاماً؟ وَكَالْمَوَاتِ مَا أَخَذَهُ الْمُسْلِمُ وَلَوْ بِشِرَاءٍ فَاسِدٍ مِنْ كَافِرٍ فَخَرَجَ بِالْمُسْلِمِ الْكَافِرُ، فَلَا اعْتِدَادَ بِبِنَائِهِ فِي تِلْكَ الصُّوَرِ، إِذْ لَا يَجُوزُ لَهُ إِحْيَاءُ مَوَاتِ الْإِسْلَامِ
Masjid yang didirikan di atas tanah tidak bertuan (tanah mati) dihukumi sebagimana masjid-masjid pada umumnya dengan syarat pengurusnya haruslah seorang muslim dan dinyatakan dalam pewakafannya atau dimaksudkan saat pendiriannya untuk dijadikan masjid. Di samping itu, tanah tersebut belum pernah dimanfaatkan sama sekali atau diragukan pemanfaatannya atau dimanfaatkan oleh orang-orang kafir sebelum orang-orang Islam menguasai wilayah itu, atau setelah orang-orang Islam menguasai tanah tersebut tapi belum dimiliki oleh seorang muslim atau diragukan pula apakah pemanfaatannya pada masa jahiliyah atau setelah kedatangan Islam. Apa yang diambil seorang muslim, meski dengan akad jual beli yang tidak sah, dari orang kafir sama pula ketentuannya dengan tanah tak bertuan.
Dalam hal ini orang kafir dikecualikan dari orang-orang Islam, sehingga pendirian masjid oleh orang-orang kafir di tanah tak bertuan tidak dapat dikategorikan sebagai pembangunan masjid, karena orang-orang kafir tidak memiliki hak untuk membuka lahan mati di wilayah kekuasaan muslim.
Ini mengenai masjid yang di bangun di atas tanah wakaf, padahal ada masjid yang didirikan di tanah-tanah yang bukan wakaf, masjid seperti ini biasanya milik perorangan atau pribadi. Masjid yang di bangun diatas tanah wakaf memiliki persyaratan bahwa Si pewakaf (wakif) tanah harus seorang muslim. Hal ini yang menjadi inti permasalahan dalam bahasan ini agar permasalahan pendirian bangunan sebuah masjid tidak menimbulkan konflik di kemudian hari. Dan harus dicatat bahwa wakaf itu tergantung syarat yang ditentukan oleh wakif nya, oleh karena itulah ketentuan seperti di atas tadi diadakan. Kita sekarang juga di hadapkan pada masalah yang mungkin perlu dicarikan jawabannya, masalah tersebut mengenal waqaf yang dilakukan oleh lembaga. Hal ini masih menjadi pertanyaan pada literatur kitab-kitab klasik dalam mengenai boleh atau tidaknya wakaf oleh sebuah lembaga (bukan individu). Dalam bahasan ini juga dibicarakan tentang sah tidaknya wakaf yang dilakukan oleh orang non-muslim, sementara pendapat yang berkembang menyatakan bahwa hal tersebut tidak sah. Seharusnya hal ini perlu di bicarakan bersama di lingkungan umat kita.
(wa’an takuna al-ardlu… walau bistro’in fasidin fi kafirin)
Untuk melengkapi pembahasan dalam bab ini perlu dijelaskan juga hubungan antara non-muslim dan orang muslim, misalnya ada seorang muslim yang tinggal di Negara yang dulunya merupakan wilayah negara Islam itu bagaimana hukumnya? Dalam mu’tamar NU tahun 1935 M di Banjarmasin yaitu non-muslim tadi tetap mempunyai hak-haknya. Jadi jangan mentang-mentang non-muslim kemudian kita sebagai warga muslim memakai dengan semaunya sendiri, katakanlah bahwa ungkapan tadı itu adalah pada saat dimana milik orang-orang kafir itu harus kita hormati.
(fahoroja ‘anil muslim…id la yajuzu lahu ihya’u mawat islam..).
Disini ada ketentuan bahwa kekuasaan muslim ada sendiri dan kekuasaan non muslim juga ada sendiri, kekuasaan di sini artinya kepemilikan, orang-orang kafir itu tidak ada jaminan bahwa dia boleh melakukan transaksi atau membuat sesuatu di tengah-tengah orang muslim, inilah yang menjadi masalah karenanya disini di persoalkan di anggap tidak boleh ada masjid di atas tanah yang tidak di miliki oleh kaum muslimin, Jadi kalau konteks di Indonesia itu lain, karena Indonesia hampir seluruhnya itu dimiliki oleh kaum muslimin.
Jakarta 05 Oktober 2005/1 Ramadhan 1926
Pesantren Ciganjur