Visi Masyarakat terhadap Pe(Kerja)an

Sumber Foto: https://id.jobstreet.com/id/career-advice/article/ini-loh-5-jenis-pekerjaan-marketing-yang-sering-diminati

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Mayoritas masyarakat kita belum punya sikap yang jelas terhadap pekerjaan. Di satu pihak ada kerangka kemasyarakatan yang idealistis, di pihak lain desakan mempertahankan kelangsungan hidup fisis mendera secara dahsyat. Dan kemudian mereka kehilangan pegangan untuk menilai pekerjaan.

Meminjam Ortega y Gasset, maka yang terjadi di masyarakat kita sekarang adalah pemberontakan massal terhadap kerangka kemasyarakatan yang disodorkan dari atas. Pemberontakan tidak harus berarti pemberontakan fisis, tapi kerangka tersebut ditinggalkan tidak diperdulikan.

Secara umum ciri terpokok yang saya lihat dari sikap masyarakat kita tentang pekerjaan adalah: tidak/belum ada sikap yang jelas terhadap pekerjaan. Akibatnya harapan mereka tentang pekerjaan juga tidak jelas. Padahal, hemat saya pekerjaan sebetulnya merupakan hal yang paling esensial dari bangunan suatu masyarakat. Artinya, kerangka kemasyarakatan apa yang kita pakai untuk melihat pekerjaan. Bila dilihat dari segi idealistis, sebutlah model P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, ed.) sekarang yang melihat masyarakat sebagai sesuatu yang idealistis, maka tuntutan terhadap pekerjaan adalah pengabdian. Seperti pesan Pak Harto ketika melepas para duta besar baru-baru ini, agar mereka menjadi “Diplomat perjuangan”, itu kan menunjuk kepada semangat pengabdian. Masalahnya adalah masyarakat kita tidak semuanya mampu mengerti hal-hal yang idealistis itu. Sebagian besar justru tidak mengerti, dan mungkin tak berkesempatan untuk mengerti, karena mereka didera oleh kebutuhan untuk memberikan makan anak istrinya.

Deraan kebutuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidup fisis tersebut, akhirnya melahirkan semacam sikap tidak terlampau mempedulikan, apakah pekerjaan yang dilakukan tersebut bertentangan atau tidak dengan harkat manusia, dengan kemuliaan martabat manusia. Muncul pandangan, asal bisa memberi makan, sudah dipandang sebagai pekerjaan. Contohnya adalah calo, yang pekerjaannya adalah ke satu pihak merendahkan harga, ke pihak lain meninggikan harga, dan dia mendapatkan untung dari selisih harga tersebut. Pekerjaan ini sama sekali tidak mulia, tak ada bedanya dengan penipuan. Tapi toh calo sudah dianggap sebagai pekerjaan yang punya keabsahan sendiri di Indonesia sekarang. Kata calo sudah tidak menimbulkan getaran negatif apa pun lagi, berbeda dengan kesan dari kata makelaar dari bahasa Belanda yang ada arti pejoratifnya. Tapi di Indonesia sekarang tidak lagi digunakan kata makelaar, melainkan kata calo, dan pekerjaan calo malah sering dikagumi.

Latar belakang munculnya keadaan seperti ini adalah seperti saya kemukakan di atas tadi adanya pemberontakan terhadap kerangka kemasyarakatan yang sangat idealistis, yang tidak sempat dimengerti oleh masyarakat lapis bawah. Kerangka itu terlampau ideal, agak bertentangan dengan masalah-masalah praktis yang berhubungan dengan kelangsungan hidup fisis. Maka lahirlah apa yang disebut ‘moral subsisten, moral mana dengan sendirinya membawa kepada sikap tidak perduli terhadap kerangka yang disodorkan dari atas.

Akibat yang terjadi adalah pandangan masyarakat kita terhadap pekerjaan, bergerak dalam spektrum yang sangat luas yang membawa berbagai akibat yang saling berentetan. Sebab, bila kita sudah memandang pekerjaan dari sudut moralitas yang subsisten, maka bahayanya adalah kita bisa saja tidak menuntut apa-apa kepada yang di atas. Apa hak bangsa untuk menuntut agar pemimpin-pemimpinnya jangan korupsi, bila dia sendiri maling. Bila dia sendiri harus menipu orang, harus bergulat dengan sesuatu yang sangat periferal sifatnya: mencuri, merampok, mengambil hak orang dengan kekerasan, “korupsi kecil-kecilan”. Apakah dengan titik-tolak seperti itu mereka masih punya hak untuk menuntut sesuatu yang lebih tinggi, lebih luhur, kepada yang atas?

Akhirnya masyarakat akan membiarkan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di atas, dan menganggapnya sebagai hal yang wajar. Memang ada ketidakpuasan, tapi mereka tak mampu menolak. Karenanya kita melihat bahwa hampir tak ada orang yang menentang bila dimintai amplop. Terjadi kemudian penurunan harapan terhadap pekerjaan-pekerjaan yang luhur sifatnya. Pekerjaan-pekerjaan tertentu yang pada dasarnya bersifat luhur, tidak lagi dituntut untuk diluhurkan. Ada penurunan kualitas dari apa yang diharapkan atau dianggap wajar oleh masyarakat

Terasa Lucu

Sebagai contoh, dewasa ini bila ada berbagai pertentangan antar-ulama, maka hal itu dianggap wajar saja oleh umat. Atau ada ulama yang suka berkhutbah menganjurkan kesederhanaan hidup, tapi dia datang ke masjid naik mercedez, tidak dianggap apa-apa lagi, wajar saja. Atau Pak Kiai yang suka omong tentang masalah moral, menyerang mulai dari masalah rambut gondrong, celana blue jeans, sampai ke pacaran dan nonton film, tapi anaknya sendiri tidak bermoral, ya dibiarkan saja, tidak diapa-apakan. Paling-paling komentar dari kalangan umat adalah begini. “Biarkan saja dia omong begitu. Kita maklum deh. Toh akhirnya problem dia sama juga dengan kita kita ini.” Padahal, dulu ulama-ulama yang seperti itu bisa dilempari batu.

Bayangkanlah, kalau institusi seperti rohaniwan, para ulama, tidak ada ekspektasi apa-apa pada diri sendiri, maka bagaimana gawatnya situasi kita. Apalagi bila menyangkut institusi yang sifatnya duniawi, lebih tidak dianggap sebagai masalah lagi. Penyalahgunaan wewenang di segala tingkat kehidupan masyarakat, pemerintah maupun swasta sudah bukan apa-apa lagi, bukan persoalan lagi. Kalau ada pejabat yang hidupnya sama sekali tidak sesuai dengan gajinya, tidak lagi dipersoalkan.

Akhirnya, perjuangan orang-orang untuk menegakkan kriteria-kriteria yang baik dan sehat, seperti bantuan hukum, usaha konsumen, kesadaran lingkungan, kesadaran teknologis dalam arti menciptakan teknologi yang mampu kita bayar dan sesuai dengan kebutuhan kita, semua ini akhirnya menjadi relatif: tidak mendapat dukungan. Hal-hal yang luhur, nilai-nilai yang menurut kita yang masih idealis dipandang perlu diperjuangkan perwujudannya: kesadaran hukum, kesadaran lingkungan, kesadaran teknologis, kesadaran demokrasi ekonomi dalam arti koperasi dan prakoperasi yang betul-betul muncul dari bawah secara demokratis, kesadaran tentang kebebasan berpendapat, hak hak asasi manusia, dan sebagainya, akhirnya oleh masyarakat tidak dimengerti dan dihargai lagi. Mereka malah akan bertanya: “Lho. sudah baik-baik begini tak ada apa-apa, kok malah ditimbulkan persoalan?” Katakanlah soal korupsi. Itu tindakan yang tidak mulia, tidak normal, tapi bila semua orang melakukannya, maka akhirnya dianggap sebagai kenormalan tersendiri. Bila ada yang menggugat masalah itu, orang akan menjadi geli, merasa lucu. Akibatnya lalu patokan-patokan moral bangsa, nilai-nilai yang kita anut, mengalami kemunduran besar. Batas antara yang baik dan yang buruk, lantas menjadi kabur.

Hal yang saya uraikan di atas penting sekali diperhatikan karena menyangkut masalah penggerusan nilai antargenerasional. Apakah kita akan menjadi bangsa yang berprinsip pokoknya kita hidup enak sekarang ini dan memasabodohkan perkara generasi yang akan datang? Itu yang sekarang dinamakan keadilan antargenerasional. Umpamanya, apakah akan kita habiskan sumber-sumber alam seperti hutan dan sebagainya sekarang agar terjadi peningkatan hidup secara drastis dalam hal materi, tetapi berakibat penghancuran lingkungan alam untuk kepentingan generasi yang akan datang atau tidak, dewasa ini terlihat sudah dimasabodohkan orang. Sudah tidak dianggap masalah. Penembakan gajah secara semena-mena, atau pembagian konsesi hutan di kalangan atas, menunjukkan bahwa kesadaran akan keadilan antar generasional sudah amat tipis dewasa ini.

Penuh Pretensi

Saya adalah penganut paham bahwa pada dasarnya manusia itu baik. Saya, atas dasar pandangan ini, percaya bahwa masyarakat kita masih amat menghargai nilai-nilai yang bersifat luhur. Persoalannya sekarang adalah mereka didera oleh keadaan untuk bersikap sebaliknya. Mereka kemudian bersikap apatis, diam saja, tapi pemilihan sikap itu tidak berarti bahwa masyarakat kita menyerah pada keadaan. Bukan pembenaran. Lihat saja, bila ada berita korupsi di koran, orang masih marah. Tapi mereka tidak mengerti, mengapa masih ada orang yang mempersoalkan korupsi, karena mereka melihat bahwa semua orang toh melakukannya. Walaupun diri sendiri ikut mengerjakannya, tapi bukan berarti mereka menerima, malah seringkali menyesali, mengapa bisa ikut-ikutan berkorupsi.

Terjadi semacam pertentangan antara kesadaran yang hakiki dengan kenyataan-kenyataan di luar yang mereka lihat. Hal ini akhirnya menimbulkan ketidakmengertian yang besar (the great misunderstandings). Ini berbahaya bagi suatu bangsa dan negara. Bila masyarakat telah kehilangan pegangan tentang nilai-nilai, tidak tahu lagi mau apa, tidak tahu lagi apa yang sesungguhnya diinginkan dan di pihak lain yang disodorkan dari atas hanyalah referensi-referensi ideal yang tidak aplikatif sifatnya, maka masyarakat selalu hidup dalam ketegangan rohani yang dahsyat. Kehidupan lantas penuh dengan berbagai pretensi. Seseorang yang omong tentang moral, tapi tidak bermoral, maka dia akan mencari substitusinya, misalnya dengan memakai tatakrama. Tatakrama lantas ditempatkan pada tempat moral. Ini sungguh-sungguh buruk. Yang kemudian terjadi adalah semacam pengakuan dosa secara massal, tanpa mengidentifikasi siapa pelakunya. Hal-hal seperti ini akan menghancurkan bangsa kita cepat atau lambat. Bila bangsa ini hanya hidup atas pretensi-pretensi, maka tak ada lagi yang dapat kita wariskan kepada generasi yang akan datang. Kita tahu hal itu buruk, tapi toh semua tetap menjalankannya. Ini sungguh-sungguh amat menyedihkan.

Minoritas dan Mayoritas

Namun tidak semua kelompok masyarakat telah dilanda oleh hal-hal yang serba buram tentang pekerjaan. Saya masih melihat bahwa ada sekelompok kecil masyarakat yang tetap berusaha menegakkan nilai-nilai yang baik tentang pekerjaan. Yang senantiasa berusaha meningkatkan kualitas kerja dan keterampilan serta semangat kerja. Tapi kelompok yang masih memelihara nilai-nilai adalah minoritas. Sebutlah sejumlah eksekutif perusahaan. Meskipun kelompok minoritas ini pun tidak bisa menjalankan prinsip-prinsipnya dengan murni, sebab ada faktor izin, ada Lembaga Perkenan yang cukup menentukan berhasil tidaknya dunia usaha mereka. Bahkan juga di dunia ilmiah (ada perkenan/izin usaha, perkenan seminar, dsb.).

Jadi walaupun lembaga-lembaga yang modern seperti Harian Kompas misalnya, berusaha sedapat mungkin untuk menumbuhkan dan menerapkan berbagai nilai-nilai luhur di bidang pekerjaan, tapi ada satu batu sandungan, mereka tak boleh terlampau jujur. Terlampau jujur usahanya akan ditutup, korannya akan dibredel, dengan alasan dianggap mengganggu stabilitas nasional.

Di luar kelompok kecil ini terdapat gelombang massa yang tidak mau perduli dengan berbagai kriteria yang baik-baik itu, karena mereka tidak melihat ada karier di sana. Mereka adalah para tukang becak, tukang puntung rokok, tukang parkir, pedagang kakilima, buruh kecil, buruh tani, tukang sapu jalan, dan sebagainya, yang hanya berpikir tentang bagaimana bertahan hidup hari ini. Mereka tak punya karier, karena karier selalu berarti bila bekerja dengan baik, penuh dedikasi, akan ada peningkatan. Tapi kelompok mayoritas ini tidak melihat peluang untuk meningkatkan diri. Sudah syukur kalau masih bisa hidup.

Jadi seakan-akan ada dua dunia. Yang pertama adalah kelompok orang yang sadar dan berusaha menegakkan kriteria-kriteria yang baik tentang pekerjaan, walaupun juga tidak bisa murni karena ada faktor x. Mereka ini adalah kelompok minoritas. Sedangkan kelompok kedua, mayoritas, adalah orang yang sudah tidak perduli lagi tentang segala kriteria yang baik, karena didera oleh keadaan. Dengan demikian secara umum, kita mengalami kehilangan pegangan dalam menilai pekerjaan.

Pekerjaan: Lapangan Kerja

Pekerjaan, secara profesional biasanya diartikan dengan sesuatu tindakan yang menghidupi seseorang. Pekerjaan adalah profesi. Namun yang kita lihat dewasa ini adalah, di tengah buramnya nilai-nilai tentang pekerjaan yang melanda masyarakat kita, kita malah dirangsang secara dahsyat tentang pengertian baru mengenai pekerjaan-pekerjaan bukan lagi profesi tapi lapangan kerja (employments). Apa akibatnya?

Modal asing pun dengan leluasa malah diundang datang membawa pabrik-pabrik ke Cakung, Pulogadung, Waru di Surabaya, dan di berbagai daerah di Indonesia dan mulai mempekerjakan anak-anak usia belasan tahun dengan upah yang sangat rendah. Hal ini sepintas lain kelihatan teratur baik, rasional sebab mereka memakai prinsip Frederick Winslow Taylor mengenai efisiensi kerja. Tapi sesungguhnya yang terjadi adalah makin membesarnya kemelut di bidang pekerjaan. Kelihatannya efisien rasional, tapi dengan tak adanya jaminan sosial yang baik, tanpa masa depan bagi para pekerja, mereka bisa dipecat setiap hari secara sewenang-wenang, dan tanpa kemampuan membela diri apa yang diterapkan dalam arti efisiensi profesionalitas, tidak pernah terwujud. Dalam jangka panjang akibat lebih jauh yang akan muncul adalah para pekerja Indonesia akan dikenal di luar negeri, di Pakistan, India, Timur Tengah dll. sebagai pekerja yang murah, yang berprinsip mau kerja apa saja, yang lebih jauh berakibat terjadi peremehan tanggung jawab terhadap pekerjaan. Saya ingin bertanya: Apakah kita sedang menuju ke arah itu? Apakah kita sedang berkembang kepada sikap meremehkan tanggung jawab terhadap pekerjaan. Celakanya lagi, hal ini justru dimulai dari kalangan atas, mulai dari intelektual yang sibuk cari proyek dan memenuhi tasnya dengan proposal, yang tidak diselesaikan pada waktunya atau dikerjakan asal-asalan saja, sampai kepada birokrasi yang kita semua telah tahu bagaimana ulahnya.

Jadi dewasa ini saya melihat bahwa bangsa kita sedang menuju kepada bangsa dengan rasa tidak bertanggung jawab (sense of responsibility) yang makin besar. Romo Kadarman atau Pak Junardi Hadisumarto mungkin tidak setuju dengan pandangan saya. Tapi demikianlah apa yang saya amati secara makro. Memang ada sekelompok kecil orang yang mengusahakan perbaikan-perbaikan, namun saya melihat hal itu tak akan punya arti, bila masalah yang lebih besar ini tidak ditangani, mengembalikan dulu sense of responsibility. Artinya, kita harus mampu mengusahakan adanya jaminan-jaminan dasar tentang eksistensi atau kelangsungan hidup. Apa yang dapat dilakukan?

Pemerintah misalnya, harus secara sadar menekan pihak pabrikan, agar memberikan upah yang lebih tinggi. Di samping itu memberikan hak-hak dasar bagi para pekerja seperti hak untuk berserikat bagi buruh, hak untuk protes bagi buruh tani, hak untuk mengajukan keberatan-keberatan terhadap keputusan pejabat dan lain-lain. Ini semua harus diusahakan agar berjalan. Sebab, bila tidak, hal-hal yang dikerjakan oleh para beliau yang terhormat di bidang perbaikan sistem kerja, efisiensi, profesionalitas hanya akan mencakup sejumlah kecil orang saja kelas yang memerintah dunia usaha. Tak lebih dari itu. Hal ini akan membawa kepada suatu budaya yang sangat eksploitatif, karena akhirnya para eksekutif perusahaan, dengan prinsip efisiensinya menjalankan mesin-mesin yang serba hebat, kemudian merasa puas, tanpa merasa perlu bertanggungjawab kepada orang-orang yang dibawahinya. Langkah setelah itu adalah pemerasan. Atas nama profesi dan pengembangan karier di lingkungan mereka, para eksekutif tersebut bisa mengambil keputusan-keputusan prinsipil yang merusak tatanan lingkungan kita. Akibatnya keadilan antargenerasional terancam.

Adalah jelas bahwa pandangan masyarakat tentang pekerjaan ditentukan oleh tempat mereka dalam pelapisan masyarakat, oleh stratifikasi sosialnya. Secara makro, dari uraian di depan, bila hendak diperinci maka akan terlihat tiga kelompok besar dalam masyarakat kita: kelas birokrasi, golongan profesi, dan mayoritas masyarakat yang miskin. Pihak birokrasi akan memandang pekerjaan dalam visi uniformitas dan mungkin menjurus ke regimentasi – hal mana mulai terlihat dewasa ini, tidak boleh terlalu kritis, tidak boleh tanya macam-macam, patuh. Sebaliknya dari golongan profesi, anak para profesor, anak dirut perusahaan-perusahaan besar, anak para usahawan menengah – yang dididik dan dibesarkan dalam sikap memandang pekerjaan dari segi efisiensi usaha, mereka hanya memandang pekerjaan dari segi peluang bagi kemajuan diri mereka sendiri. Misalnya dari kalangan ini mulai terlihat sikap tidak terlampau terpaku pada Indonesia saja, mulai kerja di luar negeri. Ini terutama terlihat pada anak-anak para usahawan dan juga anak para jenderal. Jadi mulai muncul suatu sikap tidak begitu kuat komitmen terhadap nasionalitas sebagai bangsa. Ini tidak buruk semata, ada juga aspek positifnya. Saya hanya menunjuk kenyataan yang ada. Tapi bahayanya ialah, bisa terjadi brain-drain, kita kekeringan tenaga ahli -hal mana dialami oleh Srilanka sekarang, di mana ahli-ahli Srilanka di luar negeri terkenal hebat-hebat, tapi di dalam negeri sendiri konyol-konyol.

Memetakan Masalah Kemiskinan

Situasi kehilangan pegangan untuk menilai pekerjaan seperti sekarang punya dampak yang sangat besar kepada kemiskinan dan keterbelakangan. Contoh golongan menengah yang selalu melihat segala hal dari segi efisiensi, yang melihat karier sebagai masalah perorangan, profesionalisme sebagai keterampilan teknis, akan punya prinsip, asal kita produksi sebanyak-banyaknya toh akan menetes ke bawah juga. Tak terasa lagi kebutuhan untuk mengembangkan budaya mengabdi. Yang muncul kemudian adalah solidaritas sang cacat. Pada golongan birokrat dengan visi mereka tentang pekerjaan yang telah saya sebutkan tadi, dengan menggunakan kerangka kemasyarakatan yang idealistis sifatnya, dengan sendirinya mereka akhirnya lari kepada slogan-slogan. Umpamanya: “dengan Repelita kita atasi kemiskinan”, tanpa merasa perlu mempersoalkan apa yang dimaksudkan dengan kemiskinan. Tidak ada kebutuhan untuk merumuskan hal ini secara sungguh-sungguh. Paling-paling dipakai GNP atau daya beli sebagai ukuran. Tapi bahwa kemiskinan sebagai suatu totalitas kehidupan kelompok tertentu dalam masyarakat tidak pernah mau dimengerti. Bahwa orang miskin itu punya moral tersendiri, sistem nilai tersendiri, hirarki tersendiri, oleh birokrat dipandang sebagai bakan masalah mereka. Mereka sudah merasa puas dengan slogan-slogan umum dan kemudian karena merasa puas terjebak ke dalam sikap bahwa “Kamilah yang paling tahu tentang problem orang miskin. Kamilah yang sudah berjasa mencarikan pemecahan melalui anggaran belanja negara. Hal ini terlibat jelas misalnya dalam berbagai proyek yang dilaksanakan sekarang yang orientasinya karitatif. Selama orientasi demikian masih dipakai, maka masalah kemiskinan tidak akan tertanggulangi. Sudah terbukti dalam sejarah, kemiskinan tidak akan tertanggulangi dengan karitas. Saya jadinya ingin bertanya. Bila sikap dan pandangan kita seperti ini, apakah kita mampu memecahkan masalah kemiskinan dan keterbelakangan?

Di pihak lain ada sekelompok kecil orang yang melihat pekerjaan dari sudut pengabdian. Mereka adalah idealis. Sebutlah: Mulya Lubis, Rahman Saleh, Permadi dll. yang melihat pekerjaan yang dilakukan di lembaganya masing-masing sebagai pengabdian kepada masyarakat yang lebih baik di masa depan. Kelompok inilah yang bisa diharapkan dapat merumuskan dengan cukup tepat masalah kemiskinan. Hal itu hemat saya bisa diharapkan dari kelompok ini bila mereka mau belajar dari orang miskin tentang masalah kemiskinan, dan tidak memaksakan paradigma mereka kepada orang miskin. Tentu tak perlu dengan menjadi gelandangan, karena yang terpenting adalah bagaimana mereka mensistematisir informasi tentang paradigma orang miskin oleh orang miskin. Hal ini misalnya dicoba oleh kawan-kawan dari Bina Desa (Bambang Ismawan, George Junus Aditjondro dll) atau oleh Yayasan Indonesia Sejahtera. Walaupun Bung Lukas Hendrata dari Yayasan Indonesia Sejahtera itu hidupnya tidak miskin, dan bergaul di kalangan yang sama sekali tidak miskin –lingkup pergaulannya di kalangan atas– tapi secara institusional, apa yang dikerjakannya di Karangkobar dengan membuat matarantai munculnya informasi tentang kemiskinan oleh orang miskin, merupakan hal yang sungguh berharga. Hal seperti inilah yang harus lebih banyak kita kerjakan. Kita sebagai kelompok idealis ini, sebenarnya belum menyumbang apa-apa kepada pemecahan masalah kemiskinan dan keterbelakangan. Sumbangan kita akan punya arti bila pertama-tama kita mampu memahami paradigma-paradigma orang miskin secara benar.

Memang hal ini memakan waktu, bertahun-tahun lamanya. Tapi bila kelompok ini tidak putus asa dan mau belajar dari bawah, maka mereka akhirnya akan mampu memetakan kemiskinan secara benar. Sesudah itu baru kita mencari jalan pemecahannya. Dalam sejarah dunia belum pernah terjadi ada struktur yang mampu memecahkan masalah kemiskinan itu dari atas. Kemiskinan itu harus dipecahkan oleh orang miskin itu sendiri. Kelompok idealis ini hanya bertugas menciptakan sistem penunjang (supporting system). Tentu saja setelah dilakukan pemetaan masalah secara benar bagi orang miskin agar mereka mampu mengatasi persoalannya sendiri. Sistem penunjang itu sendiri hanya mungkin diciptakan dengan berhasil, bila terlebih dahulu dicapai konsensus tentang masalah kemiskinan dan keterbelakangan itu. Dari sanalah harus kita rumuskan: pekerjaan itu apa dalam kondisi seperti sekarang ini. Jepang dahulu juga sama melaratnya seperti kita. Tapi mereka akhirnya berhasil membangun bangsanya. Kuncinya adalah mereka berhasil mencapai persepsi yang sama terlebih dahulu tentang persoalan-persoalan pokoknya. Mereka punya rasa persetujuan bersama.

Refleksi Nasional

Kepada golongan yang masih sadar, yang masih memandang pekerjaan sebagai pengabdian dan ingin membela dan menolong orang miskin saya ingin berseru: “Sadarlah Anda sebelum terlanjur menjadi seperti teknokrat kita sekarang yang dulunya berangkat dari titik tolak yang idealistis, namun sekarang semua cita-cita itu tidak ketahuan lagi ke mana. Teknokrat yang nampaknya sudah puas dengan istri dua, mobil dinas, dan sejenak mengikuti acara kosmetik dialog Selatan-Utara dan akhirnya kerjanya cuma mengumpulkan tanah sekian hektar di daerah-daerah yang strategis guna menjamin hari tua mereka. Sadarlah Anda bahwa bila Anda tak mau turun sendiri, tidak mau belajar dari orang miskin tentang masa lalu kemiskinan itu bahwa Anda cuma bertugas menciptakan sistem penunjang lagi bagi orang miskin, maka Anda pun nanti terjebak ke dalam nasib seperti yang dialami para teknokrat kita sekarang”.

Seruan seperti ini akan punya arti bila kita mampu melakukan refleksi nasional – hal mana sulit sekali dilakukan dewasa ini. Refleksi bersama itu sangat sukar dilakukan karena ada begitu banyak hambatan. Misalnya saja yang namanya Pembangunan itu sudah di platform menjadi sekian jumlah kegiatan termasuk refleksi itu sendiri. Refleksi itu sudah dikonkritkan dalam sekian forum dengan jumlah peserta tertentu pula. Proses pembangunan itu sudah dikotak-kotakkan sedemikian rupa, sehingga nampaknya refleksi bersama itu sudah tak mungkin lagi dilakukan. Namun saya yakin bahwa bila masih mungkin melakukannya apakah lewat media massa, atau diskusi-diskusi terbatas yang kemudian dikembangkan menjadi refleksi nasional, perlu kita pikirkan.

Umpamanya saja di Nepal. Ketika ada pembicaraan di tingkat nasional tentang masalah landreform, di mana dikemukakan dua alternatif apakah disentralisir ataukah didesentralisir, masing-masing dengan kebaikan dan keburukannya, maka hal itu lantas muncul sebagai refleksi nasional.

Pro dan kontra terhadap kedua alternatif itu menjadi refleksi nasional hal mana saya saksikan sendiri ketika berada di sana selama seminggu. Mungkin saja bahwa Nepal mampu melakukan hal itu karena mereka masih monarki sehingga kohesinya tinggi, dan negaranya kecil. Tapi hal itu setidak-tidaknya menunjukkan bahwa kita pun mungkin melakukannya.

Mungkin mula-mula refleksi itu dilakukan oleh kelompok-kelompok yang masih sadar ini, tapi kemudian harus menjadi refleksi nasional karena ini toh persoalan bangsa. Kemauan politik bangsa (political will of the nation) itu harus kita ciptakan. Dan itu memerlukan kesadaran bersama, ada rasa kesamaan kepentingan di kalangan pemerintah, kaum idealis, golongan profesi, dan seluruh masyarakat untuk menciptakan kemauan politik bangsa kita. Tanpa kesamaan persepsi, akan sia-sia belaka apa yang kita lakukan, dan dipihak lain – keadaan makin memburuk bila kita tak mau memulainya. Yang idealis akhirnya menjadi anarkis, dan selalu hidup dalam keberangan. Mudah-mudahan kita belum terlambat melakukannya.