Ya, Mending Pak Try (Wawancara)

Sumber Foto: https://gusdurian.net/2025/01/02/gus-dur-sang-maestro-ekonomi-syariah/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Suatu kali, Kiai Ali Yafie berkomentar tentang Abdurrahman Wahid yang biasa dipanggil Gus Dur — dan massa Nahdlatul Ulama (NU). Massa NU, menurut bekas Rais Am NU itu, amat menjunjung pendiri organisasi itu, Kiai Hasyim Asy’ari. Tokoh tersebut adalah kakek Gus Dur. Begitu tinggi penghormatan massa NU kepada sang Kiai, sampai-sampai Yafie mengibaratkannya, “Jangankan cucu Kiai, kucing Kiai pun mereka hormati.”

Mungkin, komentar tersebut dapat menjelaskan secara memadai tentang posisi Abdurrahman Wahid, sebagai Ketua Tanfidziyah NU. Di balik gayanya yang nyeleneh dan aksennya yang lugu — seperti layaknya massa NU yang kebanyakan berasal dari masyarakat bawah pikiran dan tindakannya hampir selalu menimbulkan kontroversi, kalau bukan kebingungan dalam masyarakat.

Namun, menurut Yafie, umat NU tak ada yang protes. Boleh jadi, seperti kata Ali Yafie, karena umat NU enggan berkonfrontasi langsung dengan cucu kiai pendiri NU itu. Bahkan, lulusan Fakultas Sastra Universitas Baghdad, Irak, yang telah dua kali menjadi Ketua Tanfidziyah NU itu terpilih kembali menjadi ketua. Memang, ada dugaan pemerintah ikut berperan membantu Gus Dur terpilih kembali.

Dalam gelanggang politik, Gus Dur memang mempunyai posisi sendiri, seperti juga NU di tengah sejarah politik Indonesia. Begitu terpilih menjadi Ketua Tanfidziyah dalam Muktamar ke-27 di Situbondo, Jawa Timur, pada 1984, ia membelokkan kemudi NU kembali ke Khittah 1926. Artinya, NU meninggalkan politik praktis. Organisasi keagamaan itu pun melepaskan diri dari PPP — partai tempatnya bernaung setelah ada penyederhanaan. partai — untuk berkiprah di bidang sosial dan ekonomi.

Tindakan itu menyebabkan beberapa tokoh NU yang terlibat dalam politik praktis seolah surut karena tak bisa lagi menggunakan organisasi itu. Nama Gus Dur di dunia politik cukup melejit. Ia adalah cendekiawan Islam dengan massa berjumlah puluhan juta sebuah kekuatan yang pantas diperhitungkan. Sehingga, ada yang menganggap bahwa “akal”-nya mengembalikan NU ke Khittah 1926 sebetulnya membuka jalan bagi dirinya sendiri untuk muncul sebagai tokoh tunggal NU. Apel akbar dua juta umat yang digelar pada 1992, bagi beberapa orang, merupakan show of force-nya menjelang puncak “perebutan” kekuasaan politik di Indonesia dengan pemilihan umum dan Sidang Umum MPR.

Anggapan dan pendapat itu dikomentari Gus Dur seperlunya saja. “Pendapat, sih, boleh-boleh saja. Kalau saya dianggap mendepolitisasikan tokoh NU, ya, karena mereka memang sudah menjadi milik museum, he… he… he…,” ujar Gus Dur sembari terkekeh. Gus Dur tetap berpendapat, ia melakukan itu dengan tujuan agar Islam tidak terbelit kepentingan politik kelembagaan — itu memang menjadi salah satu konsepnya tentang peran Islam. “Saya akan menendang semua yang menggunakan NU untuk itu.” Suatu malam, ketika istrinya, Nuriah, baru saja pulang salat tarawih di mesjid di depan rumahnya, Gus Dur berbincang-bincang dengan Ayu Utami, Iskandar Siregar, dan Fauzan dari FORUM di rumahnya di kawasan Ciganjur, pinggiran Jakarta. Keluarga berputri empat itu pindah ke alamat baru itu sejak Oktober tahun lalu. Berbeda dengan rumah kontrakannya yang lama yang agak kecil, rumah baru Gus Dur tampak mentereng.

Satu hektare tanah di sisi rumah itu, dipersiapkan untuk pesantrennya, “Luhur Mahasiswa”. “Wakaf untuk pesantren Tebu Ireng lebih dari sembilan hektare. Saya juga harus punya pesantren, tapi sudah bukan zamannya wakaf tanah. Sekarang wakafnya untuk pompa bensin atau usaha lain,” ia bicara diiringi tawa lagi. Gus Dur memang banyak memperkenalkan beragam bentuk bisnis kepada umat NU.

“Saya tidak setuju Islam terkait langsung dengan politik secara institusional,” katanya seolah mengeluh. “Dalam seminar NU-Muhammadiyah (pada Februari-red.), saya juga bicara. Kalau umat Islam berpolitik, itu merupakan keharusan. Caranya, pakai saja saluran yang ada: Golkar, PPP, PDI, ABRI. Tapi, bukan dengan membikin lembaga politik keislaman sendiri. Itu sih biang kerok namanya….”

Dalam seminar itu, Anda juga menyebut “frustrasi politik” bagi gerakan Islam yang masuk birokrasi. Termasuk ICMI-kah?

Saya memang bilang keterlibatan orang Islam dalam birokrasi sebagai frustrasi. Frustrasi yang baik. Frustasi itu kan artinya karena jalan tertutup, lalu mencari jalan lain. Saya bilang dalam seminar, kalau umat Islam ingin mencapai sasaran politik–katakanlah, negara yang baik dan sejahtera — ada unsur-unsur yang mesti mereka miliki: mobilisasi massa, kemampuan mempengaruhi pendapat umum, dan akses kepada birokrasi. Tapi, upaya umat Islam untuk mendirikan kekuatan politik Islam keburu dikeroyok oleh yang sudah ada di lapangan. Ya, oleh Golkar, ABRI, juga oleh kaum profesional. Karena itu, ada upaya mencari jalan pintas. Di antaranya bikin ICMI. Ramai-ramai masuk ke pemerintahan. Islamisasi birokrasi. Ini salah satu bentuk frustrasi karena tidak mampu mengembangkan kekuatan, lewat jalan pintas. Segala upaya islamisasi birokrasi, menurut saya, adalah pertanda adanya frustrasi politik.

Bukan justru Anda yang frustasi karena tidak pernah mencoba menggalang kekuatan Islam lewat lembaga…

Ah, enggak juga. Pertanyaannya adalah, apa perlunya membentuk fungsi politis secara kelembagaan? Lembaga politik bisa lenyap suatu saat. Golkar, PPP, PDI bisa hilang. Militer bisa saja berubah. Nah, dengan tidak ikut membuat lembaga politik, Islam tak akan hancur. Agar tetap langgeng, Islam jangan terkait dengan hal-hal yang fana. Lihat saja, Muhammadiyah yang lahir tahun 1912, NU 1926, Sarekât Islam 1913. Kan semuanya masih hidup. Itu karena tidak menjadi lembaga politik langsung. Mana yang lain? Partai-partai Islam kini sudah hilang semua. Ada lagi alasan lain. Kalau terkait dengan kelembagaan, Islam akan dibatasi oleh kepentingan lembaga.

Atau, apakah sebaiknya Islam jadi kelompok penekan saja?

Enggak juga. Bukan soal pemerintah dan bukan pemerintah. Bisa saja orang Islam bekerja untuk cita-cita Islam di dalam pemerintahan.

Gus Dur adalah sosok yang pantas diperhitungkan dalam dunia politik. la, agaknya, tetap berpotensi menjadi unsur penekan. Dalam wawancara dengan Matra tahun lalu, misalnya, ia berharap ada kekuatan yang disegani di luar pemerintah. “Pemerintah punya wewenang, kita punya massa. Jelek-jelek begini, yang penting para menteri pada segan,” kata Gus Dur berseloroh waktu itu.

Lantas, ketika ia bersama beberapa intelektual lain, seperti T. Mulya Lubis, mendirikan Forum Demokrasi, banyak orang yang mengaitkan itu dengan keinginan Gus Dur agar ada kekuatan di luar pemerintah yang muncul. Gus Dur menyangkal dengan mengatakan, “Forum Demokrasi terbentuk karena keprihatinan terhadap gejala sektarian yang makin meningkat. Pemicunya adalah kasus Monitor.”

Bagaimanapun, Forum Demokrasi baru lahir setahun setelah kasus Monitor terjadi, dan ketika suatu lembaga keislaman bernama ICMI juga baru berumur beberapa bulan. Tak heran bila timbul kesan ada persaingan di antara kedua “bayi” tadi. Apalagi, Gus Dur bukan hanya menolak menjadi anggota ICMI, tapi juga mengatakan bahwa lembaga itu ditunggangi niat politis orang-orang tertentu. (Belakangan, tokoh-tokoh ICMI, yang selama ini tidak dikaderkan dalam dunia politik, memang banyak yang melompat mendominasi keanggotaan Badan Pekerja MPR).

Bagi beberapa orang di ICMI, sudah waktunya Islam menduduki 80 persen jumlah kursi di lembaga legislatif dan kabinet. Bagaimana komentar Anda?

Ah, kayak OPEC saja pakai jatah-jatahan. Lagi pula, apa hak ICMI mengklaim diri mewakili umat Islam? Klaim yang terlalu jauh. Mewakili muslim itu, muslim yang mana. Nanti ada sensusnya itu Ismail Sunny yang menghitung-hitung – mana yang saleh, mana yang salat, mana yang dekat dengan Kristen. Ya, Allah. Kayak Nazi saja. Lagi pula, tak semua anggota ICMI itu pemikir. Saya juga tidak percaya bahwa orang cendekia bisa bikin organisasi. Kecendekiaan itu kan transenden, melampaui segala batas.

Kegiatan Forum Demokrasi sendiri belakangan ini apa sih?

Kami punya agenda panjang. Untuk itu kami diskusi terus. Kami ingin mencari sesuatu yang lebih fundamental, yaitu memperbaiki UU kita. Banyak sekali UU kita yang bertentangan dengan UUD. Ada lagi, pelaksanaan hukum yang sewenang-wenang. Saya tahu, tiga ribu orang yang dibunuh tanpa proses pengadilan. Saya punya daftar nama itu karena orang kampung memberi saya kabar tentang itu. “Pak, warga saya dibunuh, dimasukin karung,” mereka mengeluh. Memang mereka residivis, tapi sudah menjalani hukuman. Untuk itu, kami mau persoalkan judicial review. Pada 1995 diperkirakan akan siap.

Garis batas antara ICMI dan Gus Dur semakin jelas menjelang penentuan anggota MPR tahun lalu. Sebagian warga NU menggugat keterlibatannya dalam Forum Demokrasi. “Malah ada yang menyebut saya zionis,” kata Gus Dur. la pun merasa, banyak orang berusaha memanfaatkan kesempatan untuk memojokkan dirinya. Beberapa langkahnya dijadikan kartu truf oleh “lawan-lawannya” untuk menghadapkannya dengan presiden. Antara lain, isu bahwa ia mencalonkan Benny Moerdani, yang Katolik itu, sebagai presiden. “Secara integritas pribadi, Pak Benny memang cocok untuk posisi itu,” ujar Gus Dur. Yang juga menjadi kartu truf adalah sikap NU di bawah Gus Dur yang tidak ikut ramai-ramai mencalonkan Pak Harto dalam “doa politik” bikinan Alamsjah Ratu Perwiranegara.

Agaknya, yang membawa isu pencalonan Benny ke luar adalah Ismail Sunny –tokoh Muhammadiyah, anggota ICMI– yang ke mudian juga menjadi anggota MPR dari utusan pendidik. Ketika itu, Sunny dan Nurcholish Madjid diundang makan oleh Duta Besar Amerika Serikat.

Seorang diplomat AS memancing soal suksesi. Ia bertanya, “Abdurrahman Wahid bisa menerima calon presiden Kristen?” Pertanyaan demikian timbul karena Gus Dur dikenal jauh dari sikap sektarian. Ada sepotong pengalaman yang mewarnai keimanannya. Ketika masih menjadi seorang santri berusia 17 tahun, Gus Dur diminta tirakat, menemuai seorang kiai yang dianggap wali, Gus Joko namanya. Dengan peci, sarung, dan kemeja kain kasur ia pun meminta doa. “Supaya menjadi orang alim dan pin-tar. Di sebelahnya, sederet wanita tuna susila juga bersujud. Mereka berdoa meminta agar “dagangan” mereka laku. “Sejak itu saya bertanya, di mana garis batas keimanan itu. Tak mudah kita putuskan bahwa seseorang itu buruk dan yang lain baik. Kebutuhan manusia pada Tuhan berbeda-beda pada saat yang berbeda,” ucap Gus Dur mengenang peristiwa itu.

Sunny merasa, pertanyaan seperti itu timbul karena Gus Dur memang berhasrat agar rakyat tidak semata-mata memilih presiden dari kalangan Islam. Yang jelas, setelah “hantaman-hantaman” politik tadi, nama Gus Dur yang baru saja mencuat tiba-tiba surut dari gelanggang politik.

“Saya memang dibikin babak belur. Sampai-sampai ada gubernur yang menoleh kepada saya pun enggak mau,” katanya. Ketika FORUM berusaha mewawancarainya tak lama seusai penentuan anggota MPR pada tahun lalu, Gus Dur kelihatan enggan. Waktu itu ia berujar, “Tentang itu saya belum mau bicara dulu. Kasihanilah saya kali ini. Nanti saya dikira kecewa.”

Memang, namanya lenyap dari daftar keanggotan MPR. “Ah, dari dulu pun saya tidak ingin menjadi anggota. Cuma, waktu itu supaya NU tidak dibilang memboikot, jadi saya bersedia,” kata anggota MPR periode lalu (1987-1992) itu. “Tapi, selama ini, 8 Ketua NU selalu menjadi anggota MPR?” FORUM bertanya lagi. Dan, Gus Dur yang tak pernah kehabisan kata-kata itu menyahut, “Kan sudah ada tiga orang NU di sana. Ada Pak Yusuf Hasyim (paman Gus Dur-red.), ada Kiai Ali Yafie, ada Rais Am (Kiai Ilyas Ruchiyat-red.). Mereka semua diangkat kan karena NU-nya,” kata Gus Dur. Dari ketiga orang NU itu, dua di antaranya adalah anggota ICMI-Ali Yafie dan Yusuf Hasyim.

Begitulah, “bintang” Gus Dur sempat kelihatan memudar. Namun, ketika para politisi lagi enggan menghitungnya, masih ada dan hanya ada seorang pejabat yang mau menoleh kepadanya. “Dia adalah Pak Moerdiono (Menteri Sekretaris Negara-red.),” ujar Gus Dur. “Beliau itu yang masih mau berhubungan dengan saya tanpa bertele-tele.” Ketika itu, lantaran memonya dan sikap NU yang belum mau ikut mencalonkan Pak Harto, Gus Dur dianggap menentang Pak Harto (belakangan, baru melalui Pesan Genggong, NU menyatakan pencalonan kembali Pak Harto). Akibatnya, para pejabat enggan berhubungan dengan Gus Dur. Lewat Moerdionolah, ia minta tolong agar sikapnya yang sesungguhnya dijelaskan ke pada para pejabat lainnya. Dan, Moerdino pun menunaikan permintaan Gus Dur.

Itu pula sebabnya, dalam soal suksesi, ia punya pendapat lain. “Moerdiono pantas menjadi presiden. Dari segi kepribadian, selain Pak Benny, Pak Moerdionolah yang saya lihat pantas untuk posisi itu.” Alasannya, selama ini Moerdiono cukup matang sebagai negarawan. Sebagai orang yang besar di Setneg, tentunya Moerdiono mengetahui seluk beluk pemerintahan. Dari segi loyalitas kepada Pak Harto pun, Menteri Moediono memenuhi syarat. Moerdiono juga dikenal bersedia menampung aspirasi lembaga-lembaga swadaya masyarakat. “Dan, kesetiakawanannya juga tinggi,” ujar Gus Dur. “Tapi, baik Benny maupun Moerdiono, yang sama-sama berasal dari Angkatan 45, sudah ‘lewat waktu’ untuk suksesi nanti pada 1998.”

Dulu Anda mengatakan, Pak Try tidak pantas menjadi wakil presiden…

Ah, enggak. Saya enggak pernah mengatakan begitu. (Dalam beberapa kesempatan, ia tampak setuju bahwa secara integritas pribadi, masih banyak yang lebih baik dari Try Sutrisno. Namun, kalau disuruh memilih antara Try dan BJ. Habibie, ia menyahut, “Ya, mending Pak Try, dong. Habibie itu orang besar di bidang teknologi, tapi orang kecil di bidang politik.”)

Tapi, Habibie mengaku bertahun-tahun belajar politik bertahun-tahun dari Profesor Soeharto?

Biarpun gurunya pintar, muridnya bodoh kan bisa saja. Buktinya, kalau dia memang pintar di pemerintahan, kenapa saya tidak masuk ICMI? He… he… he…..

Pak Try itu mempunyai kualifikasi yang jarang dimiliki orang lain. Yaitu, kemampuannya untuk menyerasikan pendapat-pendapat, menyantuni semua dengan baik. Lihat saja. Orang kayak Roekmini, Samsuddin, Saiful Sulun (ketiganya adalah anggota DPR periode lalu yang tergolong vokal-red.), merupakan orang-orang yang berpikir bebas di ABRI. Toh, mereka tetap bergabung dengan orang-orang yang doktriner di ABRI. Ini terjadi pada zaman Pak Try. Sebelumnya, ini tidak terjadi. Di samping itu, Pak Try mungkin memang orang yang paling cocok untuk saat seperti ini.

Dalam pencalonan wakil presiden kali ini, ABRI agak lain. Tidak seperti dulu, kini ABRI mengumumkan calon sebelum Sidang Umum MPR. Apa ini bukan berarti Pak Harto di-fait accompli?

Bukan begitu. Kalau tidak ada faktor Habibie yang bermain seperti ini, keadaannya mungkin lain. ABRI sendiri sebetulnya sudah bersedia membiarkan sipil mengambil alih. Tapi, melihat sipilnya sendiri cara bermainnya begitu, ya, mereka tarik kembali. Lihat saja, bagaimana Habibie dan ICMI yang berpolitik aliran! Malah saya bicara demokrasi dalam Forum Demokrasi dibilang alatnya Kristen. Sudah begitu dekadenkah mereka? Yang ditakutkan oleh ABRI itu kan ekses dari segala yang mu-tlak mutlakan begitu, politik aliran, kayak di zaman liberal dulu. Dalam hal ini, saya dan ABRI punya kesamaan pandangan.

Anda ingin mengatakan, sipil memang belum dewasa untuk mengambil alih kepemimpinan, begitukah?

Enggak juga. Sebetulnya, sipil sudah mampu, kok. Perkembangan demokrasi kita memang lambat tapi pasti. Dan, yang kita hadapi bukan kekuasaan militer. Bukan begitu. Saya bisa, kok, berbicara dengan jenderal-jenderal itu tentang demokrasi. Hanya, itu tadi. Mereka takut akan terjadi ekses. Makanya, marilah kita bicara untuk menghilangkan ekses-ekses itu.

Artinya, kunci untuk beralih ke sipil itu tetap masih ada pada ABRI kan?

Enggak juga. Kan ada dialog antara masyarakat dengan ABRI. Termasuk yang tidak terlihat di permukaan. Saya optimistis bahwa dialog ini akan menuju ke suatu tahap, kepada kesadaran kedua pihak. Yaitu, pembaruan atau penyegaran konsep itu. Memang, ada teman-teman yang tidak setuju cura saya. Mereka tidak percaya bahwa orang militer bisa merefor-masikan diri. Bisa memperbarui diri. Mereka itu rata-rata para cendekiawan yang memakai analisa politik dan sosiologis untuk melihat militer di sini. Saya tidak punya analisa begituan. Jadi, pakai agama saja. Sebagai orang beragama, saya percaya bahwa manusia itu pada dasarnya baik. Apakah pandangan itu salah atau tidak, mari kita buktikan.

ABRI mengklaim dwifungsinya dengan alasan sejarah. Sebab, cikal bakal ABRI ikut mendirikan negara ini. Tapi, itu kan peran ABRI Angkatan 45. Ketika para pemimpin negeri ini sudah berasal dari Angkatan Pasca-45, apakah tuntutan dwifungsi itu masih relevan?

Bagaimanapun kaitan historis akan tetap ada. Cuma, bentuknya yang harus terus-menerus disesuaikan dengan kondisi. Untuk mengubah itu, tak perlu mengubah dasar-dasarnya. Pendekatannya saja yang mesti situasional.

Dengan pendekatan situasional itu, apa yang paling cocok buat Indonesia?

Kita belum tahu. Menurut saya, kita belajar memahami diri kita. Dari hasil belajar itu, kita mengembangkan sistem pemerintahan. Enggak perlu kita mengubah sistem yang sudah ada sekarang. Saat ini, kita sudah memiliki semua lembaga dalam sistem politik yang kita inginkan. Sudah ada MPR, ada Mahkamah Agung. Kini, kita tinggal membenahi agar lembaga itu bisa menjalankan fungsinya.

Sejak Sidang Umum MPR 1988 — yang diramaikan dengan adanya interupsi dari F-ABRI — hingga pemilihan wakil presiden sekarang, kami mendengar ada perpecahan dalam tubuh ABRI. Ada yang bilang, sejak itu Pak Benny sudah tidak “akrab” lagi dengan Pak Harto…

Saya mendengar bahwa hubungan Pak Benny dan Pak Harto begini begitu sudah sejak 1970-an. Dan, enggak melihat buktinya. Kadang-kadang, orang tidak bisa membedakan antara perpecahan dan perbedaan pendapat. Seperti di NU. NU dibilang pecah. Padahal, NU biasa-biasa saja. Yang ada, hanya perbedaan pendapat. Itu wajar-wajar saja. Apalagi di NU, yang begitu heterogen.

Jalur komando di ABRI kan ketat. Apa perbedaan pendapat tidak dapat dikatakan perpecahan?

Begini. Perpecahan itu kan kalau ada akibatnya. Macet atau bersimpang jalan, lantas mengambil jalan sendiri-sendiri. Saya tidak lihat itu di ABRI. Kalau ada yang tidak bisa pecah, itu birokrasi dan ABRI. Bagaimana mau pecah, wong komandonya saja jelas. Perbedaan pandangan di kalangan mereka itu dirangkum dan diputuskan. Itu berjalan. Di NU enggak bisa begitu. Potensi perpecahannya jauh lebih besar. Toh, NU saja tidak pecah. Kok bisa bilang ABRI pecah?

Seandainya tidak pecah, tapi ada salah satu yang tersingkir kan?

Itu bisa saja terjadi, tapi kan tidak segampang yang Anda gambarkan: hitam-putih. Untuk beberapa hal mungkin ia tersingkir, tapi dalam beberapa hal tetap di tengah. Jadi, ada proses saling mengambil dan saling memberi. Bisa dibilang bargaining, bisa juga disebut tepa selira.

Hubungan Gus Dur dengan ABRI memang dekat. Agaknya, lantaran Gus Dur percaya bahwa di negeri ini ABRI memang punya peranan penting. Wajar jika ia sempat amat akrab dengan Benny Moerdani. “Beliau itu konseptornya ABRI selama ini. Kalau ingin tahu tentang ABRI, tanyalah kepada konseptornya. Juga, beri ia informasi yang benar,” kata Gus Dur. “Ini saya lakukan demi kepentingan NU. Agar antara NU dan ABRI tidak terjadi apa-apa. Pokoknya, istilah saya, kayak slogan Gudang Garam, ‘upayakan selamat’, he… he… he….”

Hubungan Gus Dur dengan Cendana setelah kasus-kasus tahun lalu, kini bagaimana?

Masih, saya masih bisa ke Cendana. Kenapa enggak? (Ia menyahut dengan malas-malasan). Saya enggak senang menjawab itu. Nanti dikira propaganda. Tolong, jangan singgung-singgung soal itu. Memang, di ICMI, di mana-mana ada kampanye begitu, biar saya enggak disenangi Pak Harto. Tapi, pendirian saya cuma satu. Bukan tujuan saya untuk disenangi beliau. Itu bukan tujuan sama sekali. Hanya jalan.

Itulah Gus Dur. Kalau ia tampak begitu akrab dengan permainan politik praktis, padahal ia mengaku antiketerlibatan Islam dalam politik secara kelembagaan, itu karena pandangannya tadi. “Itu tuntutan pekerjaan saya sebagai Ketua NU. Kalau saya ingin agar NU tidak terlibat permainan politik, saya harus memahami cara berpolitik,” katanya Gus Dur..