Yang Kita Perlukan Obyektivitas Tasawwuf

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Buku ini adalah kumpulan tulisan M. Luqman Hakiem dalam waktu yang cukup lama. Sebagaimana layaknya buku kumpulan tulisan, dia tidak semata-mata mencerminkan hasil perenungan dari penulisnya, sekaligus juga merupakan refleksi atas kenyataan hidup. Oleh karenanya buku ini sebenarnya bukan sesuatu yang abstrak, tetapi mendialogkan hal-hal yang nyata dalam kehidupan dengan pemikiran-pemikiran kontemplatif yang abstrak. Sebagaimana umumnya orang yang cinta tasawwuf, ia berhasil menemukan empati, tetapi sekaligus berperilaku kritis terhadap subyek yang digarap. Dengan saya, ia berdebat di harian KOMPAS tentang hakekat tasawwuf di Indonesia, adakah terkait dengan wihdatul wujud/wihdatus syuhud dari Ibnu Araby? Saya beranggapan Ulama pesantren menggunakan pendapat ini bagi diri mereka sendiri, sedangkan bagi orang awam (leaty) digunakan pendidikan moral/akhlaq yang dibawakan tasawwuf Sunni. Sejarah yang akan menentukan mana yang benar diantara pendapat tersebut.
Salah satu kelebihan M. Luqman Hakiem adalah kemampuannya menjelajah dunia tasawwuf secara tuntas. Sehingga dapat mengambil referensi seluruh pandangan tasawuf. Didukung dengan kemampuannya menguasai ayat-ayat Qur’an, dengan sendirinya memberikan keuntungan bagi dirinya. Tulisannya sangat berpengaruh, karena dengan cara ini ia dapat mengenal dunia tasawwuf lebih mendalam dan sampai pada hal-hal yang substansial.
Sedangkan kita pada umumnya mengenal tasawwuf hanya pada ritus dan mekanismenya belaka, seperti wirid riyadhah dan sejenisnya. Namun demikian hal ini berarti berbahaya bagi dirinya, bila tidak hati-hati, dia akan menggunakan argumentasi ayat, hadits dan sejarah tasawwuf untuk memenangkan pendapatnya. Padahal pendapat yang dikemukakannya bisa bersifat obyektif dan subyektif. Bila pandangan dan pendapat itu terlalu berat pada watak subyektif, maka tulisan-tulisan akan dinilai pembaca yang kritis sebagai sesuatu yang mengada-ada. Karenanya obyektivitas diperlukan dalam tulisan M. Luqman Hakiem, terutama bila ia mencoba untuk melihat perkembangan yang ada dari kacamata tasawwuf.
Ini sangat terasa ketika ia membaca masa jabatan saya selaku presiden. Bahkan saya sebagai pelaku, merasa tulisan itu terlalu membela dan kurang memperhatikan kritik atas sikap saya. Tentu saja ini menggembirakan bagi yang mendukung sikap saya, tetapi pandangan ilmiah harus menuntut obyektivitas. Apalagi di negeri kita hampir tidak ada penulis yang mampu mengungkap pandangan tasawwuf sekaliber dia.
Karena itu saya berharap sikap obyektif lebih tampak dalam tulisan M. Luqman Hakiem. Dan tulisannya yang terangkum dalam buku ini merupakan pelajaran yang lebih berharga untuk mencari obyektivitas yang lebih tinggi. Ini bukan berarti saya tidak berterimakasih kepada M. Luqman Hakiem, tetapi tinjauan atas tasawwuf membutuhkan hal yang lebih besar dari sekadar empati. Saya yakin M. Luqman Hakiem akan mampu membuat dunia tasawwuf ke arah yang lebih besar. Besar sekali harapan kita, dia akan menjadi intelektual yang mampu mengungkap pikiran orang-orang Sufi, sebagaimana dulu saya mengungkapkan pada publik hal-hal yang terkait dengan perkembangan pesantren.