Yang Ribut Kan Para Patih (Wawancara)

Sumber foto: https://www.datatempo.co/foto/detail/P1007200208267/soemitro-bj-habibie-ali-sadikin-dan-sudomo

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Spontanitas Habibie mengundang Ali Sadikin ke PT PAL masih dipertanyakan. Salah seorang yang paling tidak Percaya “itu bukan rekayasa” adalah Ketua Tanfidziah Nahdlatul Ulama (NU), Abdurrahman Wahid. Ia, yang biasa dipanggil Gus Dur, mengemukakan alasannya kepada wartawan Forum, Riza Sofyat dan Sudharsono, di kantor Pengurus Besar NU, Jakarta.

Ada pendapat, undangan Habibie itu spontanitas. Tapi, ada juga yang bilang itu rekayasa. pendapat Anda?

Itu spontanitas Habibie? Saya enggak percaya. Gitu aja. Saya enggak tahu, apakah itu rekayasa atau bukan. Pokoknya, saya enggak percaya kalau itu spontanitas Habibie.

Sebab, dari cara ketemu Ali dan Habibie di rumah Pak Nas sudah diatur orang. Dan, di situ sudah ada, dari Pak Nas-nya sendiri kan? Sudah ada semacam unek-unek, termasuk Pak Nas itu mengembuskan bahwa negara kita akan menjadi negara fasis. Karena itu, harus dilawan. Caranya melawan itu menggabungkan diri dengan Habibie. Ini Pak Nas ngomong ke beberapa orang, lho, saya enggak ngarang. Ini memang begitu, saya apa adanya.

Pak Nas, Ali Sadikin, Anwar Haryono, ngomongnya gitu semua. Dan, saya sudah tahu, ini bahasanya ICMI. Saya obyektif.

Kemarin di DPR, Panglima ABRI mengatakan tidak akan ada rekonsiliasi, Petisi 50 tetap dicekal…

ABRI dari dulu, ya, begitu.

Menurut analisa Anda, ini ada apa?

Saya bilang, nanti tidak sampai akhir tahun Habibie wis “dipotong”. Sekarang kan sudah dipotong. Dia mengambil langkah terlalu jauh.

Tentang kunjungan ke PT PAL itu, Pak Nas tampaknya tidak banyak berperan, kok…

Dia itu yang mempertemukan Habbie dengan Ali Sadikin. Ya, itu terjadi tidak kebetulan, tapi diatur. Ketemu dirumah Pak Nas.

Ya, saya percaya itu timbangannya, bantahannya. Kemudian ngomong kepada orang-orang yang terpercaya. Pak Ali ceritanya juga begitu. Habibie kepada pembantu-pembantu terdekatnya juga begitu. Oh, jadi kalau begitu, sudah memang begitu. Artinya, mereka mau bikin koalisi baru menghadapi… Ini kan ada semacam mitos gombal bahwa harus ada demiliterisasi untuk menuju ke demokratisasi. Pengalihan peran kepada sipil baru tercapai proses demokratisasi.

Ada yang bilang, itu karena Pak Ali tetap keras…

Saya pikir, Pak Ali tidak keras. Wong dia sudah menyerahkan segala-segalanya. Wong dia ngomong ingin ketemu Pak Harto. Itu kan bisa dibaca, dia butuh rekonsiliasi dan mau memperbaiki citra dirinya di depan Pak Harto, lagi mencoba mencari cara-cara titik temu dengan Pak Harto. Ternyata, tidak bisa, kan?

Benarkah Pak Harto menghentikan dukungannya kepada Pak Habibie?

Saya rasa, juga tidak menghentikan dukungan. Kan tidak mungkin kita membayangkan Pak Harto menyuruh Habibie, “Kamu usahakan rekonsiliasi dengan Petisi 50.” Saya pikir juga tidak begitu. Habibie yang ngomong kepada Pak Harto, dan Pak Harto mantuk-mantuk seperti biasanya itu. Ini dianggap sebagai mandat penuh. Ternyata, ya, tidak. Buktinya, waktu ABRI bersikap tegas, Pak Harto enggak mengoreksi, gitu lho. Malah dia menegaskan kepada ABRI, enggak ada rekonsiliasi. Saya lihat itu, ya, hanya permainan di antara para pendukung Pak Harto.

Biasa, toh, adat Jowo kan begitu. Adat Jowo, yang ribut kan para patih. Para patih, tumenggung, demang… Rajanya tenang-tenang saja…

Menurut Gus Dur, cara Ali Sadikin sendiri bagaimana? Apakah sesuai dengan suasana politik sekarang?

Harus ada orang yang sadar betul akan kewajiban menegakkan kedaulatan hukum, harus ada. Yang dijalankan Ali Sadikin itu sebenarnya baik. Tapi, jangan terus berubah arah kayak gini. Itu yang membingungkan orang. Dia berubah arah dengan tiba-tiba, itu semua kan membuat orang bingung. Ternyata langkah itu tanpa hasil. Itu dilakukan, tidak ada hasilnya juga kan.

Jadi, bukan tidak berarti pendekatan dia selama ini jelek. Kita boleh menyatakan tidak efektif enggak berhasil dan sebagainya itu. Efektif tidaknya kan sejarah yang mengukur.

Orang seperti Alexandrovitch Sorokin, orang kayak Andrei Sakharov, apa mereka gagal? Kalau melihat ini, dibui, lalu pembuangan, dan segala macam itu, seolah-olah mereka gagal. Tapi, nyatanya komunisme ambruk, kan? Jadi, sulit mengukurnya itu.

Semua orang punya perannya masing-masing. Pak Ali pegang peranan, menjadi hati nuraninya bangsa. Maka, dia berani dengan segala risiko, sehingga dia diisolasi sedemikian rupa, dicekal, diisolasi dan dibunuh secara perdata, istilahnya. Tak boleh mengikuti kegiatan apa-apa. Selamanya, orang menunjukkan masa yang paling gelap satu bangsa, hati nurani bangsa itu tetap bekerja. Lha, itu Pak Ali.

Susahnya, ini, pelita demokrasi ini ternyata mengalami pukulan berat gara-gara satu langkah yang kurang diperhitungkan. Bagaimana itu selanjutnya, ya, lihat saja gimana. Mudah-mudahan, Pak Ali bisa memulihkanlah, fungsinya sebagai hati nurani bangsa.

Sebenarnya kepentingan Pak Nas apa?

Ini ada semacam kerancuan berpikir. Ada anggapan bahwa kekuasaan itu terlalu berlebih di tangan para perwira Kristen. Di ABRI itu didominasi orang Kristen. Itu dianggap merugikan Islam, menyebabkan ummat Islam terbelakang. Pak Nas ketularan pemikiran kayak gitu, belakangan nular juga ke Pak Ali Sadikin.

Sekarang, kan kita lihat, kenyataannya kan tidak begitu. Wong Pak Try juga Islam, Harsudiyono Hartas juga Islam. Pangdam-pangdam juga banyak yang Islam. Itu kan karena dulu orang Kristen lebih dulu memasuki jenjang militer. Sekarang, hukum probabilitas itu sudah terpenuhi. Kita sekarang kan menguasai probabilitas paling tinggi.

Ini yang salah dimengerti oleh orang-orang seperti Pak Nas. Bahwa di ABRI sudah ada perubahan yang fundamental.

Menurut Anda gejala apa sehingga banyak sekolah yang berbau militer?

Mungkin itu maksudnya untuk menutup kekurangan lulusan yang qualified. Sebab begini, anak-anak kita kan banyak juga yang malas masuk Akabri karena disiplinnya yang ketat. Maka banyak di antara mereka yang masuk fakultas yang lain seperti hukum, teknik, dan Lain-lain.

Karena itu, banyak yang terbaik tidak masuk ke militer. Memang itu idenya Pak Benny. Namun, sebenarnya itu kan milik keluarga besar ABRI. Inilah yang membuat rancu orang berpikir. Kalau saya, sih, yang fair-fair saja.

Saya benar-benar enggak mengerti. Wong yang dilakukan ABRI juga dilakukan Pak Nas di waktu lalu. Ali Sadikin dianggap mengkritik kecenderungan fasistik. Wong dia juga menempeleng sopir bus, kok. Bukannya dibawa ke pengadilan, tetapi ditempeleng. Itu kan juga kecenderungan tidak demokratis.

Kapan itu?

Waktu dia jadi gubernur.

Mengapa Pak Ali bisa populer walaupun dia tidak demokratis?

Ya, karena menerapkan sesuatu yang penting, misalnya kegiatan itu ada jadwalnya dan perencanaannya yang baik. Dan, keberhasilannya kan cukup tinggi. Leadership-nya.

Bagaimana dengan industri yang dipimpin Habibie? Sebab, tampaknya, IPTN terus maju dan bisa menjual produknya…

Ya, kalau mau menjual barang dengan rugi, banyak yang bisa. Susahnya kan jualan yang menguntungkan. Jadi, efektivitasnya kan bisa ditentukan, apakah bisa ditopang dengan subsidi-subsidi terus, apa kalau kelamaan, enggak terjadi pendarahan?